Sunday 25 January 2009

Pendekar Budiman 3

Oleh : Gan KL

“Kukira tidak perlu dicari lagi,” ujar Li Sun-hoan sambil menggeleng. “Cukup kau carikan sedikit arak bagiku, biarkan kumati dengan mabuk saja dan akan sangat berterima kasih padamu. Sekarang aku sangat ... sangat lelah, aku ingin mengaso.”

Mendadak si berewok berlutut, tidak tahan lagi air matanya bercucuran, ucapnya dengan suara parau, “O, Siauya, kutahu engkau lelah, selama bertahun ini belum pernah engkau merasa gembira, engkau sedih, engkau memang lelah, tapi ....” ia pegang pundak Li Sun-hoan dan berseru pula, “engkau tidak boleh mati, Siauya, engkau harus berani hidup, jika engkau mati begini saja, malahan mati dengan menanggung nama pemabuk, petualang dan sebagainya, di alam baka pun Loya (tuan besar) pasti tidak rela.”

Sun-hoan memejamkan matanya rapat-rapat, butiran air matanya sudah terbeku menjadi mutiara es. Namun masih tersembul senyuman pada ujung mulutnya, ucapnya, “Pemabuk atau petualang juga tidak jelek, paling tidak kan jauh lebih baik daripada kaum munafik yang pura-pura berbudi luhur.”

“Namun ... namun Siauya mestinya adalah orang yang berguna, siapa pun tak dapat membandingi kebaikanmu, mengapa engkau sengaja menyiksa diri dan menjerumuskan diri sendiri, demi perempuan macam Lim Si-im itu, apakah berharga tindakan Siauya ini?”

Mendadak sinar mata Li Sun-hoan mencorong tajam, bentaknya, “Tutup mulut! Kau berani langsung menyebut namanya?”

Seketika si berewok menunduk, dan tidak berani bersuara lagi.

Setelah melotot sekian lama, kemudian Li Sun-hoan memejamkan mata pula, katanya dengan menyesal, “Baiklah, jika hendak kau cari, bolehlah kita terus mencarinya, namun dunia seluas ini, sisa waktu sangat terbatas, ke mana hendak kau cari Jian-jiu-lo-sat?”

Serentak si berewok melompat bangun, serunya dengan wajah cerah, “Thian pasti takkan mengecewakan orang yang bertekad bulat, kita pasti dapat menemukan dia.”

Selagi dia hendak menggendong Li Sun-hoan pula, tiba-tiba dari atas pohon ada bunga salju rontok dan menjatuhi tubuhnya, ketika ia mengebasnya dengan tangan, mendadak dilihatnya bunga salju ini bersemu merah darah.

Waktu ia mendongak, kiranya di dahan pohon semampir sesosok tubuh, tubuh seorang mati, tubuh orang mati yang telanjang bulat, tubuh seorang perempuan.

Mayat perempuan ini sudah kaku, dadanya yang montok dihiasi sebatang tombak pandak sehingga tubuhnya terpantek di dahan pohon.

Rupanya Li Sun-hoan dan si berewok asyik memperhatikan mayat Hoa Hong sehingga tidak memperhatikan mayat di atas pohon.

Segera si berewok melompat ke atas pohon dan membawa turun mayat telanjang itu. Muka perempuan ini sudah terbeku selapis es tipis sehingga tidak jelas berapa usia perempuan ini, hanya dapat dipastikan pada waktu hidupnya jelas seorang perempuan yang sangat cantik.

“Kita ternyata betul dapat menemukan dia, mungkin ini pun berkat Thian yang tidak mau mengecewakan orang yang punya tekad bulat,” ujar Sun-hoan dengan tersenyum pedih.

Si berewok mengepal kedua tinjunya, katanya dengan gemas, “Meski Jian-jiu-lo-sat terkenal keji dan kejam, tapi, setelah orang ini membunuhnya, mengapa membelejeti pula pakaiannya? ....”

“Salah dia sendiri, baju yang dipakainya bernilai terlalu tinggi,” kata Sun-hoan.

“Aha, betul juga” seru si berewok dengan terbeliak, “konon Jian-jiu-lo-sat paling mengutamakan pakaian, “baju yang dipakainya selalu dihias dengan benang emas dan macam-macam batu permata.”

“Jika gajah tak bergading dan macan tak berkulit, tentu takkan mati di tangan si pemburu,” ujar Sun-hoan dengan tersenyum getir.

“Tapi tujuan orang yang membunuhnya kan demi merebut Kim-si-kah, setelah mendapatkan benda mestika ini toh masih juga mengincar sepotong baju, orang serakah demikian mungkin di dunia tidak ada orang kedua lagi.”

“Betul, hanya ada satu ....”

“Si Yau-sian, mati pun minta duit !” tukas si berewok cepat.

Li Sun-hoan tertawa, katanya pula, “Coba kau periksa pula tombak pandak yang menancap di tubuhnya itu.”

Tombak yang dimaksud terbuat dengan sangat indah, tangkainya berhias batu jamrud.

“Si Yau-sian terkenal mahapelit, satu duit saja dipandangnya seperti nyawa sendiri, setelah membunuh orang saja baju korbannya dibelejeti sekalian, mana mungkin dia meninggalkan tombak berharga ini di sini?”

“Tidaklah banyak orang Kangouw yang menggunakan senjata sebagus ini, jangan-jangan senjata ini ditinggalkan oleh Poa Siau-an, si pemuda bajul yang terkenal itu?”

“Tepat, memang betul kedua orang itu yang turun tangan bersama,” kata Sun-hoan.

“Padahal sifat kedua orang itu bertolalak belakang, yang satu pelit, yang lain royal, sama sekali berbeda, mengapa keduanya bisa berkumpul menjadi satu?”

“Tuan muda Poa kita terkenal sangat royal, termasyhur sebagai pemuda perayu, baik makan, tempat tinggal, pakaian dan kendaraan, semuanya harus yang paling top. Kalau Si Yau-sian ikut dia, bukan saja makan minum gratis, bahkan dapat berlagak sebagai tuan besar. Kesempatan baik ini mana bisa disia-siakan oleh Si Yau-sian.”

“Jika begitu urusan menjadi mudah,” si berewok berkeplok. “Hawa sedingin ini, Poa-toasiauya kita pasti tidak mau menunggang kuda dan kedinginan, lebih-lebih lagi tidak mungkin berjalan kaki, maka dia pasti akan menumpang kereta. Dan asalkan dia menumpang kereta kita pasti dapat menyusulnya.”

Betul juga, tidak jauh mengejar, samar-samar di atas tanah bersalju memang dapat ditemukan bekas roda kereta. Dari lebarnya sumbu roda kereta, jelas kereta yang ditumpangi mereka adalah sebuah kereta yang sangat longgar. Dan umumnya kereta besar ini memang santai ditumpangi, tapi larinya tidak dapat terlalu cepat.

Semangat si berewok terbangkit, segera ia berlari dan mengejar lebih cepat. Cara mengejarnya sekali ini jauh lebih sederhana, sebab asalkan mengikuti jalan raya, akhirnya kereta itu pasti akan tersusul, betapa pun kereta besar itu tidak mungkin mengambil jalan kecil.

Sementara itu cuaca sudah gelap, di jalan raya tiada nampak bayangan seorang pun.

Dia lari lagi sekian lama, meski dengan menggendong satu orang tapi langkahnya tetap sangat enteng dan cepat. Siapa pun tidak menyangka orang yang memiliki Ginkang setinggi ini dapat menjadi budak orang. Bahkan orang yang menguasai ilmu mengentengkan tubuh sehebat ini pasti bukanlah jago yang tak ternama.

Setelah berlari lagi sejenak, tiba-tiba salju yang memenuhi permukaan jalan di depan halus licin seperti kaca, sedikitnya sudah dua-tiga jam jalan ini tidak pernah dilalui orang.

Sungguh aneh, mengapa jejak kereta besar itu bisa menghilang secara mendadak?

Si berewok tertegun sejenak, cepat ia memutar balik. Sekali ini dia berjalan dengan agak lambat dengan penuh perhatian terhadap kedua tepi jalan. Tidak lama kemudian dapatlah diketahui ada bekas roda kereta yang membelok ke suatu jalan simpang.

Tadi jalan simpang ini tidak diperhatikannya, sebab di kedua tepi jalan ini penuh pepohonan yang lebat, malahan pada ujung tikungan jalan ada arca yang biasanya digunakan hiasan kuburan. Jelas jalan simpang itu menuju ke suatu tanah pemakaman orang kaya.

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kereta besar ini bisa membelok ke jalan kuburan yang buntu.

Kereta berhenti di depan makam besar yang terbuat dari batu marmer, kuda penarik kereta sudah tidak kelihatan, tiga lelaki berjaket kulit juga menggeletak binasa di atas tanah bersalju.

Di samping kabin kereta bersandar miring seorang lelaki berbaju bulu binatang yang mahal, berwajah pucat, meski usianya sudah setengah baya, tapi mukanya tercukur kelimis. Cukup dilihat dari cincin jamrud yang tak ternilai harganya segera dapat diketahui orang ini pasti Poa Siau-an yang terkenal royal itu.

Di samping Poa Siau-an terdapat pula dua sosok mayat dengan kematian yang sama, yaitu tertutuk Hiat-to mati secara berat. Sedangkan ketiga lelaki tadi jelas binasa oleh pukulan dahsyat.

Siapa yang turun tangan keji ini?

Si berewok berkerut kening dan berkata, “Jangan-jangan Si Yau-sian ....” belum lanjut ucapannya, tiba-tiba ditemukan pula di samping belakang makam itu juga rebah seorang mati, kepalanya botak kelimis tanpa rambut, rebah telentang dengan kedua tangan bergaya seperti hendak memegang sesuatu dengan erat sebelum mati, tapi barang yang hendak dipegangnya tetap luput.

Jelas orang botak inilah Si Yau-sian, si pelit yang terkenal sudah masuk peti mati saja tetap minta duit itu.

Tiba-tiba Li Sun-hoan menghela napas dan berkata, “Seorang boleh saja hidup bebas sekehendaknya, yang penting janganlah salah berkawan, kalau tidak, maka jadinya seperti Poa-toasiauya kita ini, sudah mati saja tidak tahu dibunuh oleh siapa.”

“Maksud Siauya, dia dibunuh ... dibunuh oleh Si Yau-sian?” tanya si berewok dengan ragu.

“Coba kau lihat mukanya yang begitu tenang, jelas dia sedang merangkul si cantik di kanan-kiri dan tahu-tahu Hiat-to maut tertutuk, jiwa terus melayang. Padahal di dalam kereta ini hanya dia dan Si Yau-sian, kecuali Si Yau-sian, siapa lagi yang dapat membinasakan dia di luar dugaannya?”

“Akan tetapi ....” si berewok merasa sangsi.

“Akan tetapi air muka yang lain tampak terkejut seakan-akan mati pun tidak percaya Si Yau-sian bisa turun tangan keji terhadap mereka, lebih-lebih kedua perempuan cantik ini, bukan mustahil waktu hidupnya ada hubungan mesra dengan Si Yau-sian sehingga mereka lebih-lebih tidak percaya kepada apa yang terjadi atas diri mereka.”

“Kabarnya ilmu Tiam-hiat memang merupakan Kungfu andalan Si Yau-sian, di daerah Soasay dia terkenal sebagai jari maut, kejadian ini memang mirip seperti perbuatannya, namun ....”

“Selama bergaul dengan Poa-toasiauya kita, entah sudah berapa banyak Si Yau-sian menarik keuntungan,” kata Sun-hoan pula, “Sekali ini Poa-toasiauya menghendaki Kim-si-kah, sebagai anteknya sudah barang tentu Si Yau-sian tidak berani mencegahnya, sebaliknya Kim-si-kah benar-benar benda yang sangat menarik, Si Yau-sian sendiri juga mengincarnya, maka ia menjadi nekat, Cukong sendiri dibunuhnya lebih dulu.”

“Akan tetapi Si Yau-sian sendiri juga mati,” ujar si berewok tetap ragu terhadap analisa tuannya.

Li Sun-hoan tertawa, katanya, “Pembunuh akhirnya juga terbunuh, inilah hukum karma. Pada waktu Si Yau-sian membunuh orang, bisa jadi ada seorang yang suka ikut campur urusan orang lain kebetulan melihatnya di sekitar makam ini. Mungkin juga Si Yau-sian mengetahui perbuatannya dilihat orang, maka ia bermaksud membunuhnya sekalian untuk menutup mulutnya. Siapa tahu, gagal membunuh ia sendiri malah terbunuh.”

“Tapi Kungfu Si Yau-sian kan tidak lemah, siapakah yang membunuhnya?!”

Ia coba mendekati mayat Si Yau-sian, dilihatnya pada tubuh orang botak itu tidak ada luka lain kecuali tenggorokannya yang berlubang. Lubang yang ditembus oleh pedang yang tidak tajam.

Li Sun-hoan mendekap di atas gendongan si berewok, keduanya sama termangu-mangu sejenak, lalu sama-sama menghela napas panjang dan tersembul senyuman pada ujung mulut mereka, katanya berbareng, “Ah, kiranya dia!”

“Pedang Fei-siauya memang lebih cepat daripada Fei (terbang), pantas Si Yau-sian tidak mampu menangkis atau mengelak,” ujar si berewok dengan tertawa.

Li Sun-hoan memejamkan mata, lalu berkata dengan tersenyum, “Bagus, bagus sekali, sungguh bagus sekali! Kim-si-kah berada padanya, boleh dikatakan sangat cocok. Tampaknya pasti bakal celaka bandit bunga sakura itu.”

“Marilah kita mencari Fei-siauya, kukira dia belum pergi jauh,” kata si berewok.

“Untuk apa kau cari dia?” kata Sun-hoan.

“Obat penawar ....”

Sun-hoan lantas menyela, “Jika pada tubuh Hoa Hong tak ditemukan obat penawar dan telah dirampas oleh Jian-jiu-lo-sat, lalu diambil pula oleh Si Yau-sian, maka sekarang obat penawar pasti tetap berada pada Si Yau-sian, sebab A Fei tidak mau sembarangan mengambil barang orang lain, dia hanya mengambil Kim-si-kah saja, sebab dia anggap hanya barang itulah milikku.”

Si berewok memandang perhiasan yang masih dipakai kedua mayat perempuan cantik itu dan memandang pula cincin berbatu jamrud pada jari Poa Siau-an, mau tak mau ia mengangguk, katanya dengan gegetun, “Betul, biarpun bumi ini penuh berserakan emas pasti juga takkan disentuh Fei-siauya.”

“Makanya, kalau obat penawar tidak berada pada Si Yau-sian, apa gunanya kita mencari A Fei?” kata Sun-hoan.

Jari si berewok tampak bergemetar, ia mulai menggerayangi tubuh Si Yau-sian, jelas dia sangat tegang, sebab tinggal inilah satu-satunya tumpuan harapannya.

Akan tetapi, akhirnya si berewok harus kecewa, tiada sesuatu pun yang ditemukan pada mayat Si Yau-sian.

Lama juga dia tertegun seperti patung. Akhirnya ia keluarkan semua mayat dari dalam kereta dan mendudukkan Li Sun-hoan di dalam kereta.

Tiba-tiba terlihat di dinding kabin kereta terdapat dua baris tulisan yang diukir dengan pedang, bunyinya: “Telah kubalaskan sakit hatimu, kubawa pergi kudamu!”

Li Sun-hoan tertawa, ucapnya, “Semula belum berani kupastikan dia, tapi sekarang sudah dapat dipastikan, hanya dia saja yang tidak sudi menarik keuntungan sekalipun pada orang mati.”

Dia tersenyum, lalu berkata pula, “Anak ini sungguh menyenangkan, cuma ... cuma sayang ....”

Tidak dilanjutkan ucapannya, tapi si berewok sudah tahu apa sebenarnya yang hendak dikatakannya, yaitu sayang selanjutnya tak dapat berjumpa lagi dengan anak muda yang menyenangkan itu

Remuk redam hati si berewok, hampir saja ia tidak tahan dan akan roboh.

Tapi Li Sun-hoan tetap tenang saja, ucapnya dengan tersenyum, “Tidak perlu kau sedih bagiku. Mati, kukira tidak menakutkan sebagaimana kalian bayangkan. Sekarang kecuali kurasakan kehabisan tenaga, perasaanku malah sangat tenang, aku cuma ingin minum secawan arak.”

Mendadak si berewok melompat bangun, ia lepaskan bajunya sehingga kelihatan simbar dadanya yang lebat dan berotot, segera ia panggul bum kereta terus diseret berlari sekuatnya seperti kesetanan.

Sun-hoan tidak mencegahnya, sebab ia tahu perasaan si berewok yang penuh duka itu perlu pelampiasan. Tapi waktu ia merapatkan pintu kereta, tidak urung ia menitikkan air mata.

Bunga salju yang tertimbun di tanah sudah membeku menjadi es, roda kereta menggelinding dengan licin di atas lapisan es sehingga s berewok tidak perlu banyak mengeluarkan tenaga dan kereta itu dapat melaju secepat terbang.

Tidak lama, sampailah mereka di Gu-keh-ceng. Sebuah kota kecil yang cukup ramai.

Hujan salju sudah berhenti, penghuni toko di kedua tepi jalan kota sedang sibuk membersihkan salju yang tertimbun di depan pintu rumah masing-masing. Ketika mendadak melihat seorang lelaki kekar dengan dada telanjang menyeret sebuah kereta dan berlari seperti kesurupan setan, semua orang sama terkejut, ada yang membuang sapunya dan lari ketakutan.

Sudah barang tentu di kota ini ada rumah minum arak, begitu sampai di depan pintu rumah minum, kereta itu mendadak berhenti.

Si berewok meraung keras seperti bunyi geledek sambil menahan sekuatnya dengan tubuh mendoyong ke belakang, “blang”, kabin kereta sampai pecah tertumbuk, sedang kakinya menancap ke tanah sehingga lapisan es tersuruk hingga berhamburan.

Orang-orang di kota kecil ini sama terkejut melihat tenaga sakti si berewok.

Sebagian tetamu rumah minum itu pun sama kabur ketakutan demi nampak lelaki kekar berewok ini masuk ke situ.

Si berewok menjajarkan tiga bangku, lalu sebuah meja dirobohkan dan ditegakkan di belakang bangku sebagai sandaran, di atas bangku dilapisi mantel kulit Poa Siau-an, kemudian baru Li Sun-hoan dipondongnya ke situ dan didudukkannya.

Wajah Li Sun-hoan pucat seperti mayat, bibir saja sudah biru, setiap orang yang melihatnya pasti tahu sakit parah yang dideritanya.

Bahwa seorang yang sudah sekarat masih masuk rumah minum, sungguhpun rumah minum ini sudah bersejarah dua-tiga puluh tahun juga tidak pernah melihat tamu demikian, karena itu baik kasir maupun pelayannya sama melengak.

Sambil menggebrak meja si berewok lantas berteriak, “Ambilkan arak, harus arak yang paling baik. Bila tercampur setetes air saja akan kupecahkan kepala kalian.”

Li Sun-hoan memandang si berewok hingga lama, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Selama 20 tahun terakhir ini, baru sekarang tampak semangat jantanmu sebagai Thi-kah-kim-kiong sejati!”

Tergetar hati si berewok, agaknya dia terkesiap karena disebutnya nama Thi-kah-kim-kong atau si raksasa berlapis baja. Tapi segera ia menengadah dan tertawa, katanya, “Sungguh tidak nyana Siauya masih ingat nama ini, kusendiri malah sudah lupa.”

“Hari ini kau ... kau pun melanggar kebiasaanmu dan minum arak?” kata Sun-hoan.

“Ya, berapa banyak Siauya minum hari ini, sebanyak itu pula akan kuminum,” sahut si berewok.

Li Sun-hoan juga menengadah dan bergelak tertawa, “Haha, dapat membuat kau langgar pantangan minum arak, sungguh tidak percumalah hidupku ini.”

Melihat mereka bergelak tertawa, tamu lain sama terbelalak heran pula. Diam-diam mereka mengikuti gerak-gerik kedua orang ini, mereka heran masakah seorang yang sudah sekarat masih juga bergembira ria.

Arak yang diantarkan bukan arak kualitas tinggi, tapi benar-benar tidak dicampur dengan air.

Si berewok mengangkat cawan dan berkata, “Siauya, maafkan kelancanganku, terimalah satu cawan penghormatanku!”

Sekali tenggak Li Sun-hoan habiskan isi cawan, tapi lantaran tangan gemetar, arak tercecer. Sembari terbatuk-batuk dia mengusap bajunya yang basah, ucapnya dengan tertawa, “Belum pernah kusia-siakan setetes arak pun, tak tersangka sekarang .... Haha, baju ini sudah mengawaniku sekian tahun, memang harus kuhormatinya satu cawan arak.”

Saat itu baru saja si berewok menuangkan lagi secawan arak, mendadak ia siram seluruhnya di atas baju sendiri.

Keruan si pelayan saling pandang dengan si kasir, mereka pikir, “Kiranya orang ini bukan saja sakit, tapi juga gila.”

Dan begitulah kedua orang lantas minum tiada hentinya secawan demi secawan, sekarang Li Sun-hoan harus memegang cawan arak dengan kedua tangannya agar cawan arak dapat didekatkan ke mulutnya. Habis itu keduanya lantas bergelak tertawa, lalu mengucapkan kata sedih pula.

Melihat kelakuan mereka, kembali si pelayan dan kasir saling pandang dan membatin, “Kedua orang ini ternyata orang gila semua!”

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang melangkah masuk dengan terhuyung-huyung, lalu mendekap di atas meja kasir sambil berteriak dengan suara serak, “Arak, arak, lekas ambilkan arak!”

Melihat kelakuannya itu, tampaknya kalau tindak minum arak mungkin akan segera mati kehausan.

Si kasir mengernyitkan kening, pikirnya, “Kembali seorang gila lagi.”

Orang ini memakai baju biru yang sudah luntur sehingga hampir berwujud putih, bagian dada dan lengan bajunya berlepotan minyak, kuku tangannya yang panjang juga kelihatan hitam kotor, meski kepala memakai kopiah orang terpelajar, tapi rambutnya gondrong semrawut di luar topi. Mukanya kuning pucat, potongannya mirip seorang Siucai (gelar kesusastraan) miskin dan berbau kejut.

Dengan ogah-ogahan si pelayan membawakan satu poci arak.

Tanpa menggunakan cangkir, Siucai rudin ini terus angkat poci arak, seperti air mancur saja ia tuang isi poci ke dalam mulutnya sehingga sekaligus sudah setengah poci masuk perutnya. Tapi mendadak arak itu tersembur keluar lagi, lalu teriaknya sambil berjingkrak, “Hei, arak macam apakah ini? Hakikatnya ini bukan arak melainkan cuka, cuka yang dicampur dengan air.”

Dengan melotot si pelayan menanggapi, “Sudah barang tentu kami pun menjual arak murni, cuma ....”

Siucai rudin itu menjadi gusar, “Memangnya kau kira tuanmu tidak mampu bayar? Ini, ambil!”

Sekali lempar, sepotong uang perak bernilai 50 tahil dilemparkan ke atas meja.

Pada umumnya sikap kaum pelayan memang ditentukan dengan banyak dan sedikitnya uang sang tamu, pelayan ini pun tidak terkecuali, seketika ia melayani dengan giat, dalam waktu singkat arak murni lantas dibawakan.

Siucai itu tetap tidak menggunakan cawan, poci arak diangkat terus dipancurkan ke dalam mulut, dihabiskannya isi poci sekaligus. Lalu duduk terdiam dengan mata terpicing, mirip orang yang keselak dan tidak dapat bernapas.

Si pelayan menjadi khawatir jangan-jangan cara minum Siucai itu terburu nafsu dan tersumbat jalan napasnya, bisa runyam jadinya. Tapi Li Sun-hoan yang ahli minum arak tahu Siucai itu tidak beralangan apa-apa melainkan sedang menikmatinya rasanya arak.

Benar juga, sejenak kemudian Siucai itu mengembuskan napas panjang, matanya lantas mencorong juga, wajahnya juga bercahaya, terdengar ia bergumam, “Meski tidak terlalu sedap araknya, tapi lumayanlah di tempat seperti ini.”

Dengan cengar-cengir si pelayan memberi penjelasan, “Sudah belasan tahun kami menyimpan satu guci arak ini dan baru sekarang disuguhkan kepada Tuan.”

Mendadak si Siucai menggebrak meja dan berteriak, “Pantas rasa arak sangat tawar, kiranya tersimpan terlalu lama. Lekas ambilkan satu guci arak baru dan dicampurkan. Ingat, campur tiga bagian saja dengan arak baru, tidak boleh lebih, juga tidak boleh kurang. Lalu buatkan sekalian beberapa macam santapan.”

“Makanan apa yang dikehendaki Tuan?” tanya si pelayan.

“Kutahu di tempat ini tidak nanti ada makanan enak, rebus saja satu ekor ayam, tumis Paklai (isi perut) dengan saus manis ....”

Meski kelihatan miskin dan kotor, tapi untuk makan dan minum ternyata tidak mau sembarangan.

Makin dipandang Li Sun-hoan makin tertarik pada orang ini. Jika dalam keadaan biasa tentu dia akan berkenalan dan mengajaknya makan minum bersama. Tapi sekarang setiap saat dia bisa roboh, dia tidak mau membikin orang lain ikut susah.

Siucai itu pun tidak menghiraukan keadaan sekitarnya, ia minum terus, seakan-akan selain arak tiada barang lain lagi yang dilihatnya.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai dan mendadak berhenti di depan rumah makan ini. Sekilas air muka Siucai itu tampak berubah juga.

Dia berbangkit seperti mau pergi, tapi setelah memandang arak di atas meja, ia duduk kembali dan sekaligus minum lagi tiga cawan, disumpitnya sepotong rempela ayam dan dimakannya dengan nikmat.

Tiba-tiba terdengar seorang berteriak, “Itu dia, setan arak, hendak lari ke mana lagi kau sekarang!”

“Kan sudah kukatakan pasti dapat menemukan dia di rumah minum,” tukas seorang lagi.

Di tengah teriakan itu lima-enam orang telah menyerbu masuk dan mengepung si Siucai di tengah. Beberapa orang ini semuanya berdandan ringkas dan membawa senjata, tampaknya tidak lemah kepandaian mereka.

Seorang yang bertubuh jangkung dan memegang cambuk kuda segera berkata sambil menuding hidung si Siucai, “Sudah menerima duit orang harus melaksanakan tugas dengan baik. Kau telah menerima honorarium kami, tapi tidak mengobati yang sakit, sebaliknya malah berlari ke sini untuk minum arak, sesungguhnya apa artinya ini?”

“Masakah kalian tidak tahu artinya?” Siucai rudin itu menjawab dengan tertawa lebar, “soalnya karena aku ketagihan minum arak. Kalian tahu, apabila Bwe-jisiansing sudah ketagihan arak, biarpun langit ambruk juga tidak kupeduli, minum arak dulu dan urusan belakang.”

Salah seorang lelaki bermuka bopeng lantas berkata, “Nah, kau dengar tidak, Tio-lotoa, kan sudah kukatakan setan arak ini tidak dapat dipercaya, bila duit sudah berada di tangan, urusan selanjutnya tak dihiraukannya lagi.”

Tio-lotoa, si jangkung tadi, menanggapi dengan gusar, “Siapa pun tahu ciri setan arak ini, tapi penyakit Losi tidak bisa tidak harus diobati dia, apa daya kita?”

Semula Li Sun-hoan mengira, kedatangan orang-orang ini adalah hendak mencari perkara, setelah mengikuti percakapan mereka baru diketahui Siucai yang mengaku bernama Bwe-jisiansing ini adalah seorang tabib, sudah terima uang tapi tidak mau mengobati orang yang sakit.

Meski orang-orang itu berteriak dan marah, namun Siucai itu tetap duduk dengan tenang sambil menikmati araknya secawan demi secawan.

“Sret”, mendadak Tio-lotoa mengayun cambuknya sehingga poci arak di atas meja terlempar keluar. Dengan suara bengis ia membentak, “Tidak perlu banyak omong lagi, sekarang sudah kami temukan dirimu, lekas kau ikut kami pulang untuk mengobati orang sakit, asalkan penyakit Losi sudah sembuh, kujamin kau dapat minum arak sepuasmu.”

Bwe-jisiansing memandangi poci arak yang terbanting hancur itu dengan menghela napas panjang, ucapnya, “Jika kalian tahu tabiat Bwe-jisiansing, seharusnya kalian juga perlu tahu akan kebiasaan Bwe-jisiansing yang menentukan peraturan ‘Sam-put-ti’ (tiga syarat pengobatan).”

“Sam-put-ti apa?” tanya Tio-lotoa.

“Pertama, honorarium harus bayar di muka, kurang satu peser pun tidak boleh.”

“Bilakah kami utang satu peser bayaranmu?” teriak si muka bopeng dengan gusar.

“Kedua,” sambung Bwe-jisiansing, “harus sopan dan hormat padaku. Ketiga, kaum penjahat, pencuri, perampok, pengganggu keamanan, semuanya takkan kuobati.”

Lalu dia menghela napas sambil menggeleng, “Sekarang kalian telah melanggar syarat kedua ini dan tetap ngotot minta Bwe-jisiansing mengobati kawan kalian, bukankah kalian sedang mimpi dan mengigau?”

Tidak kepalang gusar beberapa orang itu, mereka meraung murka, “Jika tidak mau mengobati Losi, segera kami renggut jiwamu!”

“Jiwaku terenggut juga tidak kuobati kawan kalian,” sahut Bwe-jisiansing dengan bandel.

Kontan si muka bopeng menggampar sehingga Bwe-jisiansing bersama kursinya terpental beberapa kali jauhnya, ia jatuh tersungkur dengan ujung mulut berdarah.

Melihat kemantapan Bwe-jisiansing, semula Li Sun-hoan mengira dia pasti seorang jago kosen terpendam, siapa tahu dugaannya ternyata meleset, Bwe-jisiansing hanya mulutnya saja yang keras, tapi tangannya tidak keras.

“Sret”, segera Tio-lotoa melolos goloknya dan membentak, “Bilamana kau berani lagi bilang tidak, segera kutabas sebelah tanganmu.”

Bwe-jisiansing menuding muka sendiri dan menjawab, “Sekali kubilang tidak mau mengobati tetap takkan kuobati, memangnya orang she Bwe takut kepada kawanan bangsat semacam kalian ini?”

Tio-lotoa meraung murka terus hendak menubruk maju.

Tak terduga mendadak si berewok tadi menggebrak meja dengan keras sambil membentak. “Di sini adalah tempat minum arak, yang tidak minum arak lekas enyah!”

Bentakan ini menggelegar seperti bunyi guntur, Tio-lotoa berjingkat kaget dan menyurut mundur, ia pandang si berewok dan menegur, “Siapa kau? Berani ikut campur urusan tuan besar?”

Li Sun-hoan tersenyum dan berkata, “Hanya suruh mereka enyah saja tidak menarik, suruh mereka merangkak keluar saja!”

“Nah, kalian dengar tidak?” bentak pula si berewok. “Siauya bilang kalian harus merangkak keluar!”

Melihat kedua orang ini dalam keadaan tidak normal, yang seorang jelas sakit parah dan sudah dekat ajal, yang lain mabuk hingga membuka mata saja tidak sanggup, seketika Tio-lotoa jadi tabah lagi, jawabnya dengan menyeringai, “Hm, karena kalian tidak tahu diri, boleh kalian berkenalan dulu dengan golokku!”

Mendadak golok berkelebat, langsung ia membacok kepala Li Sun-hoan.

Si berewok berkerut kening melihat tindakan orang yang keji itu, segera sebelah tangan digunakan menangkis.

Dia seperti sudah mabuk hingga lupa daratan, maka dengan tangan telanjang hendak ditangkisnya golok lawan yang tajam itu. Keruan si pelayan berteriak kaget, ia percaya tangan si berewok pasti akan berpisah dengan tuannya.

Siapa tahu, begitu golok membacok ke bawah, tangan si berewok tidak cedera apa pun, sebaliknya golok malah tergetar terbang, bahkan tubuh Tio-lotoa juga tergetar hingga sempoyongan ke belakang.

“Wah, bocah ini menguasai Kungfu Kim-cong-to atau Thi-poh-san (sebangsa ilmu kebal senjata), agaknya hari ini kita telah ketemu setan!” teriak Tio-lotoa.

Si muka bopeng juga berubah pucat, cepat ia berkata dengan mengiring tawa, “Numpang tanya siapakah nama Anda yang mulia, kita berkenalan setelah berkelahi, supaya selanjutnya kita dapat berkawan.”

“Hm, berdasarkan apa kau setimpal berkawan denganku?” jengek si berewok.

Tio-lotoa meraung pula, “Janganlah sahabat ini terlalu menghina orang! Hendaklah maklum bahwa kami Wi-ho-jit-kau (tujuh ular dari sungai Kuning) juga bukan orang yang mudah direcoki, apabila ....”

Belum habis ucapannya, mendadak si muka burik menariknya ke samping dan bisik-bisik padanya, sembari bicara sambil melirik pisau kecil yang tertaruh di samping cawan arak Li Sun-hoan.

Air muka Tio-lotoa tampak pucat seperti mayat, dengan suara serak dia berucap dengan perlahan, “Kukira bukan dia.”

Si burik mendesis, “Memangnya siapa kalau bukan dia? Setengah bulan yang lalu sudah kudengar kabar bahwa dia telah pulang ke daerah Tionggoan, kawan yang bercerita itu cukup kenal wajahnya, pasti tidak keliru.”

“Tapi setan penyakitan ini jelas ....”

“Orang ini memang terkenal gemar makan minum, judi dan main perempuan, kesehatannya memang kurang terjaga, tapi pisaunya ....” bicara tentang pisau si Li, suara si burik menjadi rada gemetar, “pendek kata, lebih baik kita sedia payung sebelum hujan, untuk apa kita cari penyakit?”

“Jika sebelumnya kutahu dia berada di sini, biarpun kudukku diancam dengan golok juga aku tidak mau masuk ke sini,” kata Tio-lotoa.

Dia berdehem dua-tiga kali, lalu memberi hormat kepada Li Sun-hoan dan berkata, “Maaf, kami bermata tapi buta melek dan tidak dapat mengenali Anda sehingga telah mengganggu minat minum Anda, hamba sekalian memang pantas mampus, sekarang juga kami akan enyah dari sini.”

Li Sun-hoan seperti tak acuh, entah mendengar tidak ucapannya, dia mulai minum arak lagi dan terbatuk-batuk pula seakan-akan tidak pernah terjadi apa pun.

Beberapa orang yang menerjang masuk seperti harimau tadi sekarang telah berlari pergi dengan mencawat ekor sebagai anjing.

Maka barulah Bwe-jisiansing merangkak bangun dengan perlahan, ia pun tidak mengucapkan terima kasih kepada Li Sun-hoan, tapi terus berduduk lagi dan minta dibawakan arak.

Pelayan itu kucek-kucek matanya, seperti tidak percaya bahwa Siucai rudin inilah yang baru saja dihajar orang hingga merangkak di lantai.

Dalam pada itu, tetamu lain sudah sama kabur ketakutan, hanya tersisa mereka bertiga saja yang masih terus menenggak arak secawan demi secawan, makin banyak arak yang ditenggak, tambah sedikit malah ocehan mereka.

Li Sun-hoan memandang cuaca di luar, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, “Yang namanya arak sungguh barang yang ajaib, semakin kau ingin minum hingga mabuk, semakin sukar mabuknya, bila kau tidak mau mabuk, mabuknya berbalik tambah cepat.”

Mendadak Bwe-jisiansing menengadah dan terbahak-bahak, ucapnya, “Sekali mabuk lenyaplah segala kesedihan, mati mabuk lebih senang daripada menjadi raja. Cuma sayang ada sementara orang berharap akan mati mabuk, tapi Thian justru tidak boleh dia mati seenak itu.”

Selagi si berewok mengernyitkan kening, tiba-tiba Bwe-jisiansing mendekati mereka dengan langkah sempoyongan, ditatapnya Li Sun-hoan, lalu bertanya, “Apakah Anda tahu berapa lama lagi hidupmu ini?”

“Kutahu takkan lama lagi,” jawab Sun-hoan dengan hambar.

“Jika tahu tak dapat hidup lama lagi, mengapa tidak lekas pulang untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan, tapi malah minum arak di sini?” kata Siucai rudin itu.

“Mati atau hidup adalah urusan sepele, mana boleh urusan minum arak harus terganggu oleh soal ini?”

Bwe-jisiansing berkeplok tertawa, “Haha, tepat, tepat sekali! Mati atau hidup adalah soal kecil, minum arak adalah urusan besar. Ucapan Anda ini sangat cocok dengan hatiku.”

Habis berkata, mendadak ia mendelik dan bertanya, “Dan Anda tentu sudah tahu siapa diriku?”

“Malah belum tahu,” jawab Sun-hoan.

“Benar-benar kau tidak kenal diriku?”

Si berewok tidak tahan, timbrungnya dengan mendongkol, “Kalau tidak kenal ya tidak kenal, untuk apa banyak omong?”

Bwe-jisiansing tidak menggubrisnya, dia tetap menatap Li Sun-hoan dan berkata pula, “Jika demikian, jadi Anda menolong diriku bukan lantaran mengharapkan pertolonganku atas penyakitmu?”

“Apabila Anda ingin minum arak, boleh silakan duduk dan ikut minum bersama,” kata Sun-hoan dengan tertawa. “Tapi kalau mau bicara tentang pengobatan penyakit, silakan menyingkir dulu, jangan mengganggu waktu kuminum arak.”

Bwe-jisiansing kembali menatapnya lekat-lekat, sampai sekian lama barulah ia bergumam. “Mujur, sungguh mujur, kau dapat bertemu dengan diriku sunguh kau sangat mujur.”

“Aku tidak dapat membayar biaya pengobatan, pribadiku juga tidak banyak berbeda daripada penjahat, maka silakan Anda kembali saja,” kata Sun-hoan.

Siapa tahu Bwe-jisiansing justru menggeleng kepala dan berucap pula, “Tidak, tidak bisa jadi. Penyakit orang lain takkan kuobati, tapi penyakitmu harus kuobati, jika kau tolak kuobati penyakitmu, lebih dulu harus kau bunuh diriku.”

Sungguh aneh orang ini. Tadi orang memaksa dia mengobati orang, bahkan mengancam akan membunuhnya dan dia tetap menolak. Sekarang dia berbalik memaksa hendak mengobati Li Sun-hoan.

Si pelayan sampai geleng-geleng kepala, sungguh ia ingin lari pulang dan tidur tiga hari tiga malam dan berharap jangan lagi bertemu dengan tiga orang gila ini. Kalau terus-menerus begini, bukan mustahil dia yang akan dibikin gila.

Dalam pada itu si berewok kelihatan tertarik, ucapnya, “Kau benar-benar dapat menyembuhkan penyakitnya?”

“Di dunia ini mungkin tiada orang lain yang mampu menyembuhkan penyakitnya kecuali Bwe-jisiansing,” ucap si Siucai rudin dengan pongahnya.

Seketika si berewok melonjak bangun dan menjambret leher bajunya dan bertanya, “Kau tahu apa penyakitnya?”

Bwe-jisiansing mendelik, “Jika aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu? Kau kira Hoa-loliok mampu meracik obat penawar ‘Han-keh-san’ ini?”

“Han-keh-san?” si berewok menegas. “Jadi dia terkena racun Han-keh-san?”

Bwe-jisiansing tertawa bangga, “Ya, kecuali Han-keh-san dari keluarga Bwe, racun apa di dunia ini yang dapat meracun mati Li Sun-hoan?”

“Hah, jadi Han-keh-san milik Hoa Hong itu berasal darimu?” seru si berewok terkejut dan bergirang.

Bwe-jisiansing terbahak-bahak, “Kecuali diriku ‘Biau-long-tiong’ (si tabib ajaib) Bwe-jisiansing, siapa lagi yang mampu meracik racun Han-keh-san? Huh, sungguh dangkal pengetahuanmu, masa urusan sepele ini saja tidak tahu.”

Girang sekali si berewok, serunya, “Hah, kiranya dia inilah Biau-long-tiong dari ketujuh manusia ajaib itu, kiranya racun yang mengenai Siauya itu adalah buatannya. Kalau dapat membuat tentu juga dapat menawarkannya. Siauya, engkau pasti dapat tertolong!”

Li Sun-hoan tersenyum getir, ucapnya, “Tampaknya seorang kalau ingin hidup bukanlah pekerjaan mudah, jika ingin mati dengan tenang, ternyata juga tidak gampang.”



*****



Roda kereta berputar pula, kereta itu kembali dilarikan di bawah hujan salju.

Tapi sekali ini mereka telah menggunakan sais yang lain, si berewok tinggal di dalam kereta, selain untuk menjaga Li Sun-hoan, sekalian juga mengawasi si tabib ajaib Bwe-jisiansing.

Tampaknya dia masih khawatir, dia masih terus bertanya, “Jika kau sendiri dapat menawarkan racun ini, kenapa perlu mencari orang lain lagi? Siapa yang akan kau cari. Di mana tempatnya? Apakah masih keburu waktunya?”

Bwe-jisiansing menjawab dengan kurang senang, “Yang hendak kucari bukan lain ialah Bwe-toasiansing, kakakku sendiri, dia tinggal di sekitar sini, jangan khawatir, kalau Bwe-jisiansing sudah mau terima pasien, kujamin pasien ini pasti takkan mati.”

“Mengapa harus mencari Bwe-taisiansing?” tanya si berewok.

“Sebab obat penawar Han-keh-san berada padanya. Nah, puas tidak alasan ini?”

Maka si berewok tidak bicara lagi.

Sebaliknya Bwe-jisiansing lantas bertanya padanya, “Yang kau latih Kim-cong-toh atau Thi-poh-san?”

“Thi-poh-san,” jawab si berewok dengan mendelik.

Bwe-jisiansing menggeleng kepala, ucapnya dengan tertawa, “Sungguh tak terduga di dunia ini masih ada orang mau berlatih Kungfu bodoh ini, padahal Kungfu ini selain untuk menakut-nakuti kawanan penyamun saja, pada hakikatnya tidak ada manfaat lain.”

“Biar Kungfu bodoh kan lebih baik daripada tidak mahir Kungfu,” jengek si berewok.

Bwe-jisiansing ternyata tidak marah meski diejek, ia masih juga menggeleng kepala dan tertawa. “Konon untuk melatih Thi-poh-san harus dimulai dengan Tong-cu-kang (tubuh jejaka tulen), kurasa pengorbanan ini agak terlalu besar, betul tidak.”

Si berewok hanya mendengus saja tanpa menjawab.

“Konon selama 50 tahun terakhir ini hanya seorang saja yang giat berlatih Kungfu bodoh ini,” kata Bwe-jisiansing pula. “Kabarnya orang ini bernama Thi-kah-kim-kong (si raksasa berbadan baja) Thi Toan-kah. Tapi 20 tahun yang lalu kabarnya telah dipukul orang hingga tergelincir ke dalam jurang sehingga tidak diketahui dengan pasti sudah mati atau masih hidup, atau mungkin juga masih sanggup berduduk dan minum arak.”

Si berewok tetap tutup mulut, apa pun yang dikatakan Bwe-jisiansing dan betapa pun ditanya, dia tetap tidak mau menjawab.

Karena itulah terpaksa Bwe-jisiansing juga memejamkan mata untuk istirahat.

Siapa tahu, selang tak lama, tiba-tiba si berewok mulai ganti bertanya lagi, “Konon setiap anggota Jit-biau-jian (tujuh orang ajaib) itu adalah orang yang tidak tahu malu, tapi Anda ternyata tidak mirip mereka.”

Dengan mata tetap terpejam Bwe-jisiansing menjawab, “Kalau sudah menerima upah orang, tapi tidak mau mengobati orang yang sakit itu, apakah perbuatan ini tidak termasuk tidak tahu malu?”

“Bilamana kau mau mengobati orang macam begitu barulah benar-benar tidak tahu malu,” ujar si berewok dengan tertawa. “Terima uang dan mengobati orang memang dua hal yang berlainan. Uang dari orang macam begitu memang pantas kau terima.”

“Hah, tak tersangka kau ini tidak terlalu bodoh,” ujar Bwe-jisiansing dengan bergelak tertawa.

Li Sun-hoan sudah bersandar di jok kereta dengan mengulum senyum, ia seperti asyik mengikuti percakapan mereka, seperti juga lagi melayang jauh pikirannya, hatinya seperti sudah terbang jauh ke suatu tempat.

Di luar kereta hanya bunga salju yang bertebaran, segala kekotoran dunia ini seakan-akan telah tercuci bersih oleh bunga salju yang putih mulus itu.

Dalam hati Li Sun-hoan saat itu timbul bayangan seorang, seorang perempuan berbaju ungu muda dengan mantel ungu pula. Di bawah bunga salju yang memutih perak perempuan berbaju ungu itu serupa anggrek yang cantik dan segar.

Masih teringat olehnya si dia paling suka kepada salju. Pada waktu hujan salju dia sering mengajaknya keluar dan bermain lempar bola salju di halaman depan, habis itu dia lantas berlari sambil tertawa dan menyuruh Sun-hoan mengejarnya.

Masih teringat dengan segar ketika pada suatu hari ia membawa pulang Liong Siau-hun, waktu itu juga sedang hujan salju. Si dia lagi duduk memandangi bunga salju yang berhamburan di hutan Bwe (sakura) yang berdaun jarang-jarang dengan bunga Bwe yang lagi mekar semarak.

Lankan gardu pemandangan tempat duduk si dia itu bercat merah, bunga Bwe juga merah, tapi warna merah lankan dan bunga Bwe itu seakan-akan kehilangan cemerlangnya dibandingkan kecantikan si dia.

Waktu itu Sun hoan tidak melihat perubahan air muka Liong Siau-hun, tapi kemudian dapat dibayangkannya, sejak pertama kali itu Liong Siau-hun melihat si dia, sang kawan karib itu lantas mabuk kepayang.

Dan sekarang, apakah keadaan taman bunga Bwe itu masih tetap mekar? Apakah si dia juga masih suka berduduk di gardu pemandangan itu dan memandangi bunga Bwe yang lagi mekar di bawah bunga salju yang bertebaran?

Tiba-tiba Sun-hoan berpaling ke arah Bwe-jisiansing, ucapnya dengan tertawa, “Di dalam kereta ini ada arak, marilah kita minum!”

Hujan salju terkadang turun dan sebentar-sebentar berhenti.

Di bawah petunjuk Bwe-jisiansing, kereta itu membelok ke suatu jalan kecil di kaki bukit, setiba di depan sebuah jembatan kecil, kereta tidak dapat maju lagi.

Salju memenuhi jembatan tanpa kelihatan bekas kaki orang, hanya tertampak bekas kaki anjing yang mirip serentetan bunga Bwe bertebaran di tepi pagar jembatan.

Si berewok memapah Li Sun-hoan melintasi jembatan kecil itu, lalu tertampaklah di balik pepohonan sana ada beberapa buah rumah batu, rumah yang penuh ditaburi bunga salju berhiaskan bunga Bwe di sekelilingnya, pemandangan indah bagai lukisan.

Sayup-sayup dari balik rumpun pohon sana berkumandang suara orang, sesudah dekat, kelihatan seorang tua bermantel dan berkopiah tebal sedang memimpin dua kacung sibuk mencuci bunga salju yang memenuhi batang pohon.

“Inikah Bwe-toasiansing?” tanya si berewok dengan suara mendesis.

Bwe-jisiansing tertawa, jawabnya, “Kecuali orang gila ini, siapa pula yang mau mencuci salju dengan air dalam cuaca seperti ini?”

Tertawa geli juga si berewok, katanya, “Masa dia tidak tahu bahwa sesudah dicuci, bunga salju tetap akan menebari batang pohon dan air cucian itu pun akan membeku menjadi es?”

Bwe-jisiansing menghela napas, ucapnya sambil menyengir, “Dia dapat membedakan tulen atau palsunya setiap lukisan, dia mahir meracik obat racun yang paling keras beserta obat penawarnya, akan tetapi dalih yang paling sederhana ini tidak pernah dipahaminya.”

Suara percakapan mereka berkumandang juga jauh ke sana, kakek berkopiah itu berpaling dan melihat mereka, seketika ia ketakutan seperti baru melihat setan penagih nyawa, cepat ia berlari ke dalam rumah sambil menyingsing lengan baju, bahkan terus berteriak-teriak pula, “Ayo, lekas, lekas sembunyikan semua lukisan dan tulisan di ruangan tamu, jangan sampai barangku dilihat anak celaka ini, bisa jadi akan dicurinya lagi untuk ditukarkan arak.”

“Jangan khawatir, Lotoa (kakak),” seru Bwe-jisiansing dengan tertawa. “Hari ini aku sudah mendapatkan kasir yang akan membayar arak yang kuminum. Sekarang cuma kubawa dua orang sahabat ke sini ....”

Belum habis ucapannya, Bwe-toasiansing terus mendekap mukanya dengan kedua tangan sambil berseru, “Tidak, aku tidak ingin melihat sahabatmu, tiada seorang pun sahabatmu orang baik, asalkan melihatnya sedikitnya aku akan sebal selama tiga tahun.”

Mendadak Bwe-jisiansing berjingkrak gusar sambil berteriak, “Bagus, kau hina diriku, memangnya aku tidak boleh punya sahabat yang pantas? Baik, baik, Li-tamhoa, jika dia tidak tahu menghormati orang, marilah kita pergi saja.”

Selagi si berewok merasa gelisah, obat penawar belum didapatkan masakah segera akan pergi lagi.

Tak terduga mendadak Bwe-toasiansing lantas berputar balik dan memanggil mereka malah, “Eh, nanti dulu, yang kau maksudkan apakah Li-tamhoa si pisau kilat?”

“Memangnya ada berapa orang Li-tamhoa yang kau kenal?” jengek Bwe-jisiansing.

“Inikah orang?” tanya pula Bwe-toasiansing sambil menatap Li Sun-hoan.

“Maaf, memang betul diriku ini Li Sun-hoan,” ucap Sun-hoan dengan tersenyum.

Bwe-toasiansing memandangnya dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas, mendadak ia pegang tangan Sun-hoan dan bergelak tertawa, “Hahahaha, sudah 20 tahun mengagumi nama Anda, tak tersangka baru sekarang bertemu. O, Li-heng, alangkah kurindukan Anda.”

Mula-mula bersikap dingin, kemudian bersikap hormat dan hangat, Li Sun-hoan jadi melenggong sendiri.

Dalam pada itu Bwe-toasiansing telah menjura pula dan berkata, “Maaf Li-heng jika sikapku tadi kurang hormat, soalnya saudaraku ini yang membuatku sirik. Dua tahun yang lalu dia membawa pulang seorang, katanya seorang ahli pengeritik seni lukis dan tulis, dan minta lihat koleksi lukisanku. Siapa tahu mereka telah menggunakan dua gulung kertas blangko untuk menukar dua buah lukisanku yang sukar dicari, akibatnya hampir tiga bulan aku tidak dapat tidur nyenyak.”

Sun-hoan tertawa geli, katanya, “Hendaklah Bwe-toasiansing jangan menyalahkan dia. Maklumlah, seorang peminum bilamana ketagihan dan lagi kantong kempis, rasanya memang tidaklah enak.”

“O, jika demikian, tampaknya Li-heng juga penggemar minum?” ujar Bwe-toasiansing dengan tertawa. “Ayo, Ki-ho, jangan cuci bunga dulu, ambilkan kedua guci Tiok-yap-jing simpanan 20 tahun itu biar dicicipi oleh Li-tamhoa.”

Ia tersenyum dan menjura pula, lalu menyambung, “Bunga indah dipersembahkan kepada si cantik, arak enak harus disuguhkan kepada tokoh ternama. Dua guci arak simpananku selama 20 tahun, tujuanku justru untuk disuguhkan kepada tokoh ternama seperti Li-heng.”

“Ucapan ini bukan basa-basi belaka,” tukas Bwe-jisiansing. “Biasanya, tamu mana pun, jangankan disuguh arak, air saja tidak ada. Cuma kedatangan Li-heng ini bukanlah ingin minum arakmu.”

Bwe-toasiansing memandang Sun-hoan sekejap, lalu tertawa dan berkata, “Ah, hanya racun Han-keh-san saja, urusan kecil, silakan Li-heng minum sepuasnya, urusan ini tentu akan kuselesaikan nanti.”

Ruangan yang indah dengan arak simpanan 20 tahun yang sedap. Setelah menghabiskan satu cawan tiba-tiba Bwe-toasiansing berkata pula, “Konon lukisan ‘pemandangan waktu berziarah’ yang tersimpan di istana saja barang tiruan, yang asli kabarnya justru berada di tempat Anda, apakah berita ini benar?”

Baru sekarang Li Sun-hoan tahu tujuan pelayanan orang yang berlebihan ini ternyata terletak pada pertanyaan ini, dengan tertawa ia lantas menjawab, “Kabar ini memang tidak salah.”

“Wah, bilamana Li-heng sudi memberi pinjam lihat lukisan itu kepadaku, sungguh tidak kepalang rasa terima kasihku,” kata Bwe-toasiansing dengan girang.

“Kalau Bwe-toasiansing berminat, mana bisa kutolak?” ujar Sun-hoan. “Cuma sayang, diriku ini juga pewaris yang suka menghabiskan harta benda orang tua. Sepuluh tahun yang lalu harta warisan sudah kubikin ludes, lukisan terkenal itu pun sudah kuberikan kepada orang.”

Maka Bwe-toasiansing duduk tidak bergerak lagi dan juga tidak tertawa, tampaknya seperti seorang yang kepalanya mendadak dikemplang orang satu kali, berulang-ulang ia bergumam, “Wah, sayang ... sayang ....”

Belasan kali ia menyebut sayang, tiba-tiba ia berbangkit dan masuk ke dalam sambil berseru, “Ki-ho, lekas simpan pula sisa araknya, Li-tamhoa sudah cukup minum.”

Bwe-jisiansing menggeleng kepala, ucapnya, “Wah, tampaknya kalau tidak dapat melihat lukisan, seketika arak pun tidak boleh diminum.”

“Arakku ini memang tidak disuguhkan kepada orang secara percuma,” jengek Bwe-toasiansing.

Li Sun-hoan tidak marah, sebaliknya malah tertawa. Ia merasa orang ini meski agak eksentrik dan pelit, tapi wataknya polos, paling tidak bukanlah manusia munafik.

Namun si berewok tidak tahan, mendadak ia melompat bangun dan membentak, “Kalau tidak dapat melihat lukisan, apakah obat penawar juga tidak ada lagi.”

Suara bentakannya sangat keras sehingga atap rumah serasa ikut tergetar.

Namun Bwe-toasiansing tidak menjadi jeri, ucapnya ketus, “Arak saja tidak ada lagi, mana obat penawar segala.”

Hampir saja si berewok menubruk maju saking gemasnya.

Tapi Li Sun-hoan keburu mencegahnya, katanya dengan tak acuh, “Bwe-toasiansing memang tidak kenal kita, adalah pantas jika dia tidak mau memberikan obat penawar kepada kita. Sedikitnya kita sudah minum secawan araknya, mana boleh kita bertindak kasar pula terhadap tuan rumah?”

Dengan suara parau si berewok berucap, “Tapi ... tapi Siauya sendiri ....”

Li Sun-hoan memberi tanda agar jangan bicara lagi, lalu ia menjura kepada tuan rumah dan berkata, “Sayang pertemuan dengan Anda ini terjadi setelah lukisan tidak dapat kuperlihatkan, biarlah sekarang juga kami mohon diri.”

Sana tahu Bwe-toasiansing berbalik mendekatinya lagi dan bertanya, “Masa kau tidak menginginkan obat penawar lagi?”

“Setiap barang ada pemiliknya sendiri, biasanya aku tidak suka memohon secara paksa,” jawab Sun-hoan dengan tersenyum.

“Apakah kau tahu jiwamu pasti akan amblas apabila tidak mendapatkan obat penawar?” tanya pula Bwe-toasiansing.

“Mati atau hidup adalah takdir, hal ini tidak pernah kupikirkan,” sahut Sun-hoan.

Sampai sekian lama Bwe-toasiansing menatapnya, lalu bergumam, “Betul, memang betul, kalau sebuah lukisan tak ternilai saja rela diberikan kepada orang, apalagi nyawa sendiri. Manusia demikian memang jarang ada di dunia ini, memang jarang ada ....”

Habis itu mendadak ia berseru pula, “Ki-ho, keluarlah lagi araknya, kecuali tamu kita ini, siapa lagi yang sesuai mendapatkan suguhan arakku?”

“Dan bagaimana dengan obat penawarnya?” tukas si berewok dengan kejut dan girang.

“Kalau ada arak masakah tidak ada obat penawar?” jawab Bwe-toasiansing sambil melotot.

Maka obat penawar pun diminum oleh Li Sun-hoan, setelah minum arak pula, bekerjanya obat penawar bertambah cepat, tidak sampai lima-enam jam, tenaga Li Sun-hoan sudah terasa mulai pulih.

Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, meski melek semalam suntuk, tapi orang yang bergembira biasanya juga penuh semangat, cuma lantaran terlalu banyak menenggak arak, maka kepala si berewok terasa rada pening.

Bwe-jisiansing juga mendekap kepalanya sambil mengeluh. “Wah, sialan, hari sudah terang lagi.”

“Memangnya kenapa kalau hari terang?” tanya si berewok.

“Pada waktu minum arak justru kutakut menghadapi hari terang, apabila pagi belum tiba, tentu arak dapat terus kuminum, tapi bila hari sudah terang, kepalaku lantas sakit sehingga nafsu minum lantas lenyap.”

Li Sun-hoan sedang memejamkan mata, tampaknya setengah mengantuk, tiba-tiba ia menanggapi dengan tertawa, “Kukira tidak Anda saja, setiap peminum mungkin mempunyai ciri serupa itu.”

“Jika demikian, mumpung hari belum lagi terang, marilah lekas kita habiskan lagi beberapa cawan!” seru Bwe-jisiansing.

“Cara kita minum seperti kerbau, bila dilihat Bwe-toasiansing pasti akan membuatnya sedih,” ujar Sun-hoan dengan tertawa.

“Makanya sejak tadi dia sudah pergi tidur, mata tidak melihat, hati tidak sakit,” tukas Bwe-jisiansing.

Li Sun-hoan lantas menenggak lagi satu cawan, lalu terbatuk-batuk tiada hentinya.

Bwe-jisiansing memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia tanya, “Penyakit batukmu ini sudah berjalan berapa lama?”

“Rasanya sudah belasan tahun,” jawab Sun-hoan.

“Jika demikian, sebaiknya kau jangan minum arak lagi,” kata Bwe-jisiansing dengan kening berkernyit, “sebab batuk yang lama tentu akan mengganggu paru-paru, bila minum arak lebih banyak lagi mungkin akan ....”

“Mengganggu paru-paru? Memangnya masih ada paru-paruku yang dapat terganggu? Paru-paruku sudah lama hancur ludes,” kata Sun-hoan dengan tertawa. Mendadak ia berhenti tertawa, sinar matanya gemerdep, lalu mendesis dengan suara tertahan, “Ssst, mungkin di sini akan kedatangan tamu pula.”

“Tamu yang datang tengah malam buta pasti bukan tamu Bwe-lotoa, yang dicari mungkin ialah diriku,” ujar Bwe-jisiansing.

Segera terdengarlah suara gemeresak di luar, suara orang berjalan. Agaknya yang datang tidak cuma satu orang saja. Semuanya melangkah dengan sangat perlahan dan enteng.

Sejenak kemudian terdengarlah seorang berseru lantang di luar, “Sepada! Apakah di sini Bwe-hoa-cau-tong (villa bunga sakura)?”

Tidak lama lantas terdengar suara Bwe-toasiansing bergema di ruangan depan, “Yang berkunjung di tengah malam buta ini apakah maling atau perampok”

“Kami sengaja berkunjung kemari, bukan maling juga lain perampok, malahan kami membawa oleh-oleh yang lumayan!” seru orang tadi.

“Huh, mengantar oleh-oleh pada tengah malam buta, jelas tidak berniat baik, silakan kalian pulang saja,” jengek Bwe-toasiansing.

Tapi dengan tertawa orang itu berkata pula, “Wah, jika demikian, terpaksa lukisan Ong Mo-kiat ini harus kami bawa pulang.”

“Apa? Lukisan Ong Mo-kiat? ....” seru Bwe-toasiansing, belum habis ucapannya, tahu-tahu pintu sudah dibuka.

“Rupanya pendatang ini sudah dapat meraba watak Lotoa dan menyediakan barang kesukaannya, tentu kedatangan mereka menghendaki sesuatu,” demikian kata Bwe-jisiansing. “Eh, coba kita Lihat siapakah mereka ini?”

Dia tidak keluar melainkan membuka pintu sedikit dan mengintip.

Terlihat pendatang itu ada tiga orang, seorang berusia 30-an, pendek kecil dan kekar, sinar matanya tajam, membawa sebuah kotak kayu lonjong.

Orang kedua bermuka bulat, berjenggot panjang sebatas perut, memakai mantel ungu sutera kembang, melihat sikapnya yang angkuh dan lirik pandangnya, jelas seorang yang biasa memberi perintah.

Orang ketiga ternyata seorang anak kecil berumur belasan, mukanya bulat, matanya bundar, memakai mantel merah dengan kopiah lebar yang diberi bulu kelinci pada tepi topi sehingga tampaknya seperti boneka merah yang menyenangkan.

Kecuali anak kecil ini, dua orang yang lain kelihatan gelisah dan sedih.

Lelaki kekar yang membawa kotak itu segera memberi hormat begitu melangkah masuk, katanya, “Lukisan ini dibeli dengan harga mahal oleh Cukong kami, sudah dikir oleh kaum ahli bahwa lukisan ini memang asli, silakan Bwe-siansing memeriksanya sendiri.”

Pandangan Bwe-toasiansing sudah sejak tadi mengincar pada kotak itu, tapi di mulut ia berkata, “Tanpa berjasa tidak terima anugerah. Sebenarnya apa yang dikehendaki kalian?”

“Kami hanya ingin mohon petunjuk kepada Bwe-toasiansing agar kami dapat menemukan Bwe-jisiansing,” jawab orang itu.

Seketika Bwe-toasiansing mengembus napas lega, ia tertawa cerah dan berkata, “Ini tidak sulit,” sembari merebut kotak itu dari tangan orang segera ia berseru, “Loji (saudara kedua), keluarlah, ada orang mencari kau!”

Bwe-jisiansing menghela napas menyesal, ucapnya sambil menggeleng, “Buset, sudah terima lukisan, saudara sendiri lantas dikorbankan.”

Ketika kedua orang itu melihat Bwe-jisiansing, girang mereka tak terlukiskan. Hanya si “boneka merah”, anak kecil serba merah tadi, kelihatan mengernyitkan kening, ucapnya sambil melirik hina pada Bwejisiansing. “Orang kotor dan malas begini apakah dapat mengobati orang sakit?”

Si mantel ungu khawatir anak kecil itu sembarang omong lagi, cepat ia menyapa, “Sudah lama kami mendengar kesaktian Bwe-jisiansing dalam mengobati orang sakit, sebab itulah kami hendak mengundang Anda, berapa pun honorarium yang diperlukan dapat kami bayar di muka.”

Bwe-jisiansing tertawa, “Wah, kiranya tabiatku juga sudah kalian selidiki dengan jelas, tapi apakah kalian tidak takut kulari setelah terima pembayaran kalian?”

Si jubah ungu menarik muka dan tidak bicara lagi, sikapnya itu tiada ubahnya hendak menyatakan, “Tidak mungkin kau dapat lari!”

Si pendek kekar lantas menambahkan, “Asalkan Bwe-jisiansing mau terima undangan kami, selain honorarium yang harus kami bayar, akan kami sediakan pula tanda terima kasih yang lain.”

Dengan tenang Bwe-jisiansing menjawab, “Kecuali honorarium harus bayar di muka, apakah kalian tahu Bwe-jisiansing juga ada peraturan ‘tiga tidak’? Yaitu tidak mengobati bandit, tidak mengobati pencuri dan ....”

“Cayhe (saya yang rendah) Pah Eng, meski tergolong Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama), tapi Cin Hau-gi, Cin-loyacu ini cukup terkenal, sedikit banyak tentu Bwe-jisiansing pernah mendengar nama beliau,” demikian si pendek kekar memotong ucapan si tabib.

“Cin Hau-gi?” Bwe-jisiansing menegas. “Maksudmu si bola baja Cin Hau-gi?”

“Ya, ya, inilah beliau,” jawab Pah Eng sambil menunjuk si jubah ungu.

Bwe-jisiansing mengangguk, katanya, “Ehm, boleh juga orang ini. Baiklah, selang dua-tiga hari lagi boleh kalian datang kemari, tatkala mana bila aku sempat, bisa jadi kumau terima undangan kalian.”

Belum habis ucapannya, serentak si anak serba merah berjingkrak dan berteriak, “Hah, besar amat lagak orang ini! Untuk apa kita banyak cincong dengan dia, seret saja dia pulang kan beres!?”

Cepat Pah Eng menariknya agar diam, lalu berkata dengan mengiring tawa, “Kalau sakitnya tidak berat memang tidak menjadi soal bila kami datang lagi dua-tiga hari kemudian, namun luka si sakit sungguh terlalu parah, jangankan beberapa hari, mungkin beberapa jam saja tidak boleh terlambat.”

“Apakah orang sakit kalian begitu penting, dan orang sakit di tempatku ini tidak penting?” tiba-tiba Bwe-jisiansing menjawab dengan kurang senang.

“He, di tempat Jisiansing juga ada pasien?” tanya Pah Eng.

“Betul,” jawab Bwe-jisiansing. “Sebelum kusembuhkan penyakitnya, betapa pun aku tidak dapat pergi dari sini.”

Pah Eng jadi melengak, ucapnya dengan ragu-ragu, “Tapi ... tapi orang yang sakit di tempat kami itu ialah putra sulung tercinta Cin-loyacu sendiri, juga murid dari keluarga swasta satu-satunya ketua Siau-lim-si sekarang ....”

Mendadak Bwe-jisiansing berjingkrak marah, katanya, “Memangnya kenapa kalau putra tercinta Cin Hau-gi? Kenapa pula kalau dia murid Siau-lim-pay? Memangnya jiwanya terlebih berharga daripada jiwa pasienku ini?!”

Wajah Cin Hau-gi tampak merah padam saking gusarnya, tapi tidak sanggup bicara apa pun.

Biji mata si anak serba merah berputar, tampaknya ia mempunyai gagasan, tiba-tiba ia berkata, “Dan bagaimana kalau pasienmu ini mati?”

“Kalau dia mati dengan sendirinya tak perlu kuobati lagi,” jengek Bwe-jisiansing. “Cuma sayang dia takkan mati.”

“Apa betul?” tiba-tiba si anak merah tertawa, “berrr”, mendadak secepat anak panah ia melompat masuk ke dalam rumah sebelah, betapa cepat gerak tubuhnya, sampai si berewok di dalam rumah juga terkejut.

Pah Eng memandang Cin Hau-gi sekejap, keduanya ternyata tidak mencegah dan juga tidak bersuara.

Begitu menyusup masuk ke dalam rumah, pandangan si anak merah lantas terpusat kepada Li Sun-hoan. “Kaukah pasiennya?” teriaknya.

Li Sun-hoan tertawa dan berkata, “Adik cilik, memangnya kau ingin kulekas mati?”

“Betul, setelah kau mati barulah si setan dekil itu mau mengobati Cin-toako!” seru Ang-hai-ji atau si anak merah.

Sembari bicara, mendadak dari dalam lengan bajunya menyambar keluar tiga batang anak panah kecil langsung mengarah kedua mata dan tenggorokan Li Sun-hoan.

Sungguh serangan di luar dugaan, cepat lagi jitu, bahkan sangat kuat sambaran ketiga anak panah itu.

Siapa pun tidak menyangka anak kecil berumur sepuluh tahunan bisa berhati sekeji ini, coba kalau bukan Li Sun-hoan, orang lain pasti akan binasa di bawah panahnya.

Namun Li Sun-hoan hanya menjulurkan sebelah tangannya dan ketiga anak panah kecil itu sudah tertangkap olehnya, katanya dengan berkernyit kening, “Anak sekecil ini sudah sedemikian kejam, kalau sudah besar apalagi?”

“Hm, hanya sedikit kepandaianmu menangkap panah, lantas hendak kau beri petuah padaku?” jengek Ang-hai-ji, berbareng ia mengapung ke atas, tahu-tahu tangan sudah memegang sebilah pedang pandak, secepat kilat ia menusuk beberapa kali ke arah Li Sun-hoan.

Cara menyerang anak itu tidak cuma cepat, tapi juga keji, biarpun tokoh Kangouw kawakan juga tidak selihai dia. Malahan setiap serangannya tanpa kenal ampun, seakan-akan ada permusuhan besar dengan pihak lawan, kalau bisa sekali tusuk Li Sun-hoan hendak ditembus dengan pedangnya.

“Hah, kalau sudah besar tampaknya anak ini akan menjadi Im Bu-kek (seorang tokoh terkenal mahakejam) kedua!” ucap Li Sun-hoan dengan gegetun.

Si berewok juga berkerut kening, “Meski Im Bu-kek terkenal kejam, tapi dia tidak mau membunuh orang yang tak berdosa, sedangkan anak ini ….”

“Huh, Im Bu-kek itu terhitung apa?” tiba-tiba si anak merah menjengek. “Pada waktu berumur tujuh sudah pernah kubunuh orang, bagaimana dia?”

Karena beberapa kali serangannya tetap tidak dapat mengenai sasarannya dan Li Sun-hoan masih berduduk dengan tenang di tempatnya, maka serangan anak itu bertambah gencar dan tambah keji.

Li Sun-hoan tersenyum getir, ucapnya, “Memang, pada waktu kecilnya mungkin Im Bu-kek juga tidak sekejam anak ini.”

“Setelah besar nanti, bocah ini pasti akan menjadi bencana bagi dunia persilatan,” ujar si berewok dengan suara tertahan. “Akan lebih baik kalau ....”

“Aku merasa tidak sampai hati,” kata Sun-hoan.

Dalam pada itu sudah ratusan jurus si anak merah menyerang tanpa hasil, ia pun menyadari telah berhadapan dengan tokoh yang sukar dilawan, ia menjadi gelisah sehingga mata pun merah, dengan geregetan ia berteriak, “Apakah kalian tahu siapa ayah-ibuku? Bila kalian berani mengganggu seujung rambutku, mustahil ayah-ibu takkan mencincang kalian hingga menjadi pergedel.”

Li Sun-hoan menarik muka, ucapnya dengan kurang senang, “Jadi cuma boleh kau bunuh orang dan orang lain tidak boleh mengganggu dirimu?”

“Asalkan kau berani, boleh saja coba bunuh diriku,” seru Ang-hai-ji.

Li Sun-hoan termenung sejenak, katanya kemudian, “Aku tidak mau turun tangan hanya karena usiamu masih terlalu muda, apabila ada yang mendidik dengan ketat, kelak masih dapat menjadikan dirimu seorang yang baik. Nah, sebelum pikiranku berubah, lekas kau pergi saja.”

Ang-hai-ji tahu tiada gunanya menyerang lagi, mendadak ia berhenti menyerang, tanyanya dengan napas terengah, “Sungguh hebat kepandaiannmu, sebenarnya siapakah Anda? Mengapa selama ini tidak pernah kulihat dirimu?”

“Kau tanya namaku, apakah kau masih ingin membalas dendam?” jawab Sun-hoan.

Wajah Ang-hai-ji menampilkan senyuman kekanak-kanakan, ucapnya, “Kau telah mengampuni jiwaku, mana aku hendak membalas dendam lagi? Aku benar-benar kagum padamu, seluruhnya kuserang 107 kali, sebaliknya sama sekali kau tidak bergeser dari tempat dudukmu.”

Gemerdep sinar mata Li Sun-hoan, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Kau ingin belajar tidak kepandaian ini?”

“Engkau sudi menerimaku sebagai murid?” seru Ang-hai-ji dengan girang.

“Jika kudapat mendidikmu bagi kedua orang tuamu, kelak mungkin kau masih ada harapan,” ujar Sun-hoan dengan tertawa.

Belum habis ucapan Li Sun-hoan, terus saja Ang-hai-ji berlutut dan menyembah, “O, Suhu, terimalah hormatku ....”

Baru saja “ku” terucapkan, sekonyong-konyong tiga larik sinar hitam gilap menyambar lagi dari punggungnya, kembali tiga batang panah kecil yang terpasang dengan pegas dan terikat di bagian punggung anak itu.

Seluruh badan anak kecil ini ternyata penuh Am-gi atau senjata rahasia.

Sekali ini Li Sun-hoan benar-benar terkejut, coba kalau dia tidak berpengalaman dan cepat reaksinya, sekali ini dia mungkin akan terjungkal di tangan anak yang jahat ini.

Karena serangannya kembali meleset, segera Ang-hai-ji menubruk maju pula sembari memaki, “Huh, kau terhitung orang macam apa? Berdasarkan apa kau berani mewakili ayah-ibu untuk mendidik dan menerimaku sebagai murid?”

Wajah si berewok tampak dingin kelam, mendadak ia membentak, “Pembawaan anak ini memang berjiwa kejam dan berhati binatang, tidak perlu disayang lagi!”

Li Sun-hoan menghela napas menyesal, sebelah tangannya lantas mengebas ke depan ....



*****



Dalam pada itu, Cin Hau-gi dan Pah Eng jelas-jelas melihat Ang-hai-ji menerobos ke dalam dan bermaksud membunuh orang, namun keduanya pura-pura tidak tahu, mereka tetap berdiri di tempatnya dengan tenang tanpa menghiraukan.

Bwe-toasiansing juga asyik memandangi lukisan kuno itu dengan kesima, urusan lain sama sekali tidak digubrisnya.

Hanya Bwe-jisiansing kelihatan kurang senang, ucapnya, “Anak kecil yang kalian bawa kemari itu hendak membunuh orang, kenapa kalian tinggal diam saja?”

Pah Eng mengangkat bahu dan menjawab, “Terus terang, apa yang hendak diperbuat anak itu, siapa pun tidak dapat ikut campur.”

“Jika dia dibunuh orang, kalian ikut campur tidak?” jengek Bwe-jisiansing.

Pah Eng hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

“Hm, melihat ketenangan kalian, jelas karena kalian yakin akan kepandaian anak itu, hanya bisa terjadi dia membunuh orang dan tidak mungkin orang membunuhnya, begitu bukan?” kata Bwe-jisiansing pula.

“Terus terang, kepandaian anak ini memang boleh juga,” jawab Pah Eng dengan tertawa, “sudah banyak orang Kangouw kawakan yang terjungkal di tangannya, apalagi dia masih mempunyai seorang ayah yang baik dan seorang ibu yang sayang padanya. Bila orang lain dirugikan oleh dia, terpaksa anggap saja sial.”

“Masa ayah-ibunya juga tidak ikut campur perbuatan anaknya?” tanya Bwe-jisiansing.

“Mempunyai anak sepintar ini, sebagai orang tua masakah sampai hati mengekangnya terlalu keras?” ujar Pah Eng.

“Betul juga,” kata Bwe-jisiansing, “bilamana ayah-ibunya melihat dia membunuh orang, mungkin pada lahirnya mereka memarahinya, tapi di dalam hati jauh lebih senang daripada siapa pun juga. Akan tetapi hari ini dia benar-benar ketanggor, dia bertemu dengan pasienku ini, mungkin dia bisa celaka.”

“Oo?!” melengak juga Pah Eng.

“Asalkan tangan pasienku ini bergerak, maka tamatlah riwayatnya,” sambung Bwe-jisiansing.

“Sekali tangan bergerak lantas mencabut nyawa orang?” Pah Eng menegas dengan tertawa. “Ah, keteranganmu ini sukar untuk dipercaya. Memangnya pasienmu itu serupa Li-tamhoa, Li Sun-hoan, sekali tangan bergerak, pisau terbangnya tidak pernah meleset dan jiwa orang pun melayang?!”

Bwe-jisiansing tersenyum hambar, “Bicara terus terang, pasienku ini justru ialah Li Sun-hoan!”

Mendengar keterangan ini, seketika wajah Pah Eng sepucat mayat, ucapnya dengan kikuk, “Hehe, jang ... jangan Anda bergurau!”

“Jika kau tidak percaya, boleh kau lihat sendiri ke dalam,” kata Bwe-jisiansing.

Sejenak Pah Eng melenggong, mendadak ia berlari ke dalam sambil berseru, “Li-tamhoa! Li-tayhiap! Ampuni dia!”

Bwe-jisiansing menggeleng kepala, “Ternyata beginilah tampang asli manusia yang sok anggap dirinya kaum pendekar ini, hanya jiwa anak sendiri yang berharga, kalau jiwa orang lain tidak lebih berharga daripada hewan, hanya anak sendiri boleh membunuh orang, tapi orang lain dilarang membunuh anaknya.”

Wajah Cin Hau-gi yang kelihatan angker itu tiba-tiba tersembul senyuman yang licik dan keji. Tapi sedapatnya ia menutupi senyuman kotor itu, ia menghela napas panjang dan berkata, “Jika benar Li Sun-hoan membunuh anak itu, mungkin dia akan menyesal selama hidup!”



*****



Dalam pada itu Li Sun-hoan telah mengebaskan tangannya ke arah si anak merah, gerak tangan yang biasa, tampaknya tiada sesuatu perubahan yang istimewa.

Meski masih kecil, tapi cara bertempur anak merah itu ternyata sangat cerdik seperti orang tua. Ketika hantaman Li Sun-hoan itu tiba, dia tidak mengelak atau berkelit, ternyata sudah diperhitungkannya bahwa serangan ini pasti cuma serangan pura-pura saja, serangan mematikan yang sesungguhnya justru terletak pada pukulan berikutnya Sebab itulah dia hanya sedikit mengangkat ujung pedangnya, seperti hendak menahan, serupa juga hendak menangkis, dia menghadapi serangan gertakan dengan tangkisan pura-pura juga.

Bagaimanapun perubahan serangan Li Sun-hoan itu dapat pula diikuti dengan gerak perubahan pedangnya. Apabila pukulan Li Sun-hoan itu mendadak dilancarkan dengan sungguhan, maka pedangnya juga bergerak sungguh dan sekalian menabas pergelangan tangan lawan.

Jurus anak ini sungguh lihai luar biasa, baik tempat, waktu dan tenaga, semuanya diperhitungkan dengan tepat. Tidaklah banyak ahli pedang dunia Kangouw yang mampu mengeluarkan jurus serangan demikian, jelas anak ini pernah mendadak didikan kaum ahli, bahkan pembawaannya memang berbakat menjadi ahli silat.

Cuma sayang, lawan yang dihadapinya sekarang ialah Li Sun-hoan.

Serangan Li Sun-hoan ini tidak memperlihatkan sesuatu gerak perubahan, hanya sangat cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak memberi peluang bagi lawan untuk memikirkan apa yang terjadi, karena itulah pertahanan si anak merah yang telah disiapkan itu menjadi tidak berguna sama sekali. Ketika pedangnya hendak ditabaskan kepada pergelangan tangan Li Sun-hoan, tahu-tahu tangan lawan sudah hinggap lebih dulu di atas dadanya.

Anak itu tidak merasa kesakitan, hanya dirasakan suatu arus hawa hangat merembes dari telapak tangan lawan terus tersebar ke seluruh tubuhnya, rasanya seperti orang kedinginan di musim dingin mendadak minum satu cangkir arak yang panas.

Dan saat itulah baru terdengar teriakan khawatir Pah Eng di luar yang memintakan ampun kepada Li Sun-hoan. Tapi ketika Pah Eng menerjang ke dalam, Ang-hai-ji sudah terkapar di lantai, seperti orang baru sadar dari mabuk, sekujur badan lemas lunglai, sedikit pun tidak bertenaga.

“Bagaimana keadaanmu, Hun-siauya?” seru Pah Eng khawatir.

Jelas Ang-hai-ji merasakan gelagat tidak baik, matanya tampak merah basah, ucapnya dengan tersendat, “Mungkin … mungkin aku telah dicelakai orang ini, lekas kau pulang dan panggil … panggil ayah untuk membalaskan sakit hatiku.”

Belum habis ucapannya, menangislah dia tergerung-gerung.

Pah Eng mengentak-entak kaki dengan kelabakan, keringat tampak memenuhi dahinya.

Si berewok lantas menjengek, “Meski Kungfu anak ini sudah dimusnahkan, tapi mendingan jiwanya dapat disisakan, hanya karena pada waktu Siauya kami turun tangan tiba-tiba timbul rasa kasih sayangnya, jika aku … hm! ….”

Pah Eng tidak menghiraukan lagi apa yang digerutu si berewok, yang dipikirkan cuma keselamatan si anak merah.

Mendadak si berewok membentak, “Jika kau ingin menuntut balas, boleh turun tangan saja!”

Pah Eng tidak bicara, mendadak ia berlutut dan menyembah kepada Li Sun-hoan.

Hal ini membuat Li Sun-hoan melengak malah, ia tanya dengan kening berkerut, “Apa hubunganmu dengan bocah ini?”

“Hamba Pah Eng, meski Li-tamhoa tidak kenal hamba, namun hamba kenal Li-tamhoa,” jawab Pah Eng.

“Baik sekali jika kau kenal diriku,” kata Sun-hoan tak acuh. “Bila ayah-ibunya ingin menuntut balas, suruh mereka langsung mencari diriku saja. Sekarang lekas kau bawa pulang anak ini, jika tepat cara mengobatinya, biarpun kelak tidak dapat main silat lagi, untuk beergerakk mungkin tidak beralangan.”

Mendadak Ang-hai-ji menangis keras-keras sambil mengentakkan kaki ke tanah, teriaknya, “Keji amat orang ini! Berani kau bikin cacat diriku, aku … aku tidak mau hidup lagi … aku tidak mau hidup lagi!”

Dengan suara bengis si berewok lantas membentak, “Ini hanya sekadar hukuman supaya selanjutnya kau jangan sembarangan menyerang orang, bisa jadi karena ini hidupmu akan tambah lama, kalau tidak, dengan caramu yang ganas ini, cepat atau lambat kau pasti akan dibunuh orang.”

Tiba-tiba seorang menanggapi dengan dingin, “Jika demikian, Li-tamhoa yang suka membunuh tanpa kenal ampun mengapa sampai sekarang tidak mengalami petaka?”

“Siapa itu?” bentak si berewok.

Maka tertampaklah seorang tua bermuka merah berjenggot melangkah masuk dengan perlahan, sapanya, ”Sepuluh tahun tidak bertemu, masa Li-tamhoa tidak kenal lagi kepada sahabat lama?”

Gemerdep sinar mata Li Sun-hoan, sambil berkerut kening ia menjawab, “Aha, kiranya si bola baja sakti Cin-tayhiap adanya! Pantaslah anak ini berani sembarangan main bunuh orang, rupanya mendapat deking Cin-tayhiap, tentu saja siapa pun dapat dibunuhnya.”

“Orang yang kubunuh rasanya tidak ada separonya daripada orang yang dibunuh Li-heng,” jengek Cin Hau-gi.

“Ah, kenapa Cin-tayhiap rendah hati,” ujar Sun-hoan. “Cuma, bilamana kubunuh orang, maka tuduhannya adalah keji tanpa kenal ampun. Kalau Anda yang membunuh orang, alasannya demi membela keadilan.”

Dia tersenyum, lalu menyambung, “Bila anak ini jadi membunuh orang sekarang, yang tersiar kelak tentunya bukan karena dia membunuh lantaran berebut tabib melainkan karena dia dan Cin-tayhiap telah menumpas lagi seorang jahat bagi dunia Kangouw.”

Biarpun Cin Hau-gi sudah berpengalaman dan tenang, tidak urung merah juga mukanya oleh sindiran itu.

Mendadak si anak merah menangis dan berteriak pula, “Paman Cin, lekas engkau turun tangan membalaskan sakit hatiku!”

“Jika orang lain melukaimu, tentu ada orang akan membalaskan sakit hatimu,” jengek Cin Hau-gi. “Tapi sekarang Li-tamhoa yang melukaimu, mungkin kau terpaksa harus menerima nasib.”

“Seb … sebab apa?” tanya Ang-hai-ji.

Cin Hau-gi melirik Sun-hoan sekejap, ucapnya, “Apakah kau tahu siapa yang melukaimu ini?”

Ang-hai-ji menggeleng, “Aku cuma tahu dia seorang jahat berhati keji.”

“Tapi dia inilah si pisau kilat Li Sun-hoan yang namanya termasyhur, juga saudara angkat sehidup semati ayahmu sendiri.”

Keterangan ini membuat Ang-hai-ji melenggong. Juga Li Sun-hoan terperanjat.

“Apa katamu? Dia anak siapa?” tanya Sun-hoan.

Pah Eng menghela napas dan menyela, “Anak ini adalah putra kesayangan Liong Siau-hun, Liong-siya. Namanya Liong Siau-in.”

Serasa disambar geledek kepala Li Sun-hoan, hampir saja sukmanya terbang ke awang-awang.

Dia duduk termangu dengan sorot mata yang sayu, otot daging pada ujung mulutnya berkejang, keringat dingin mengucur dari dahinya.

Juga si berewok tampak berubah pucat dan berkeringat. Hanya dia saja yang tahu persis hubungan antara Li Sun-hoan dengan Liong Siau-hun serta istrinya, Lim Si-im. Tapi sekarang Li Sun-hoan telah melukai putra kesayangan mereka, maka betapa pedih dan menyesalnya sukar dilukiskan.

“Sungguh kejadian yang tak terduga sama sekali,” ujar Pah Eng dengan menyesal, “hanya lantaran putra Cin-loyacu, si pukulan sakti berwajah cakap Cin Tiong, terluka pada waktu berusaha menangkap Bwe-hoa-cat (penjahat bertanda bunga sakura), meski jiwanya dapat dipertahankan dengan obat luka Siau-hoan-tan dari Siau-lim-si, namun keadaannya tetap gawat. Semua orang tahu Bwe-jisiansing adalah tabib nomor satu yang mahir menyembuhkan luka luar dan segala macam racun, sebab itulah Cin-loyacu berusaha mencari Bwe-jisiansing dan akhirnya ditemukan di sini, siapa tahu anak muda berwatak kurang sabar, In-siauya telah bertindak gegabah sehingga terjadi seperti sekarang ini.”

Dia bicara sendiri dan entah ada yang mendengarkan atau tidak, sebab pada saat itu Bwe-jisiansing juga sudah mengetahui kepedihan Li Sun-hoan, maka ia sedang memeriksa keadaan luka Ang-hai-ji, lalu memegang nadinya, kemudian ia berbangkit dan berkata, “Kujamin jiwa anak ini takkan beralangan, bahkan segalanya akan pulih seperti biasa.”

“Bagaimana dengan ilmu silatnya?” dengan girang Pah Eng bertanya.

“Untuk apa mempertahankan ilmu silatnya?” jengek Bwe-jisiansing, “memangnya supaya lain hari digunakannya untuk membunuh orang lagi.”

Pah Eng melengak, ucapnya kemudian, “Mungkin Jisiansing tidak tahu, Liong-siya hanya mempunyai seorang anak ini, anak yang berbakat, sebab itulah Liong-siya suami-istri sangat menaruh harapan besar padanya agar kelak dapat lebih menjayakan nama keluarga. Dan sekarang bilamana beliau mengetahui putra mereka sudah cacat dan tidak dapat berlatih Kungfu lagi, sungguh entah betapa Liong-siya suami-istri akan berduka.”

“Hm, salah mereka sendiri yang tidak dapat mendidik anak, masa orang lain yang disalahkan?” jengek Bwe-jisiansing.

Apa yang dipercakapkan mereka hampir tidak sepatah kata pun yang masuk telinga Li Sun-hoan. Entah mengapa, pada saat demikian pikirannya telah tenggelam lagi dalam Iamunannya pada masa lampau, banyak urusan yang mestinya tidak perlu dipikirkannya kini jadi teringat semua.

Masih teringat olehnya, hari itu tanggal tujuh, untuk sesuatu urusan penting dia harus meninggalkan rumah meski masih dalam suasana tahun baru.

No comments: