Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 15

Oleh : Gan KL

Selain jurus serangannya aneh, kedua perisai ini memang sangat dahsyat, sebab bobotnya sekali lipat daripada senjata umumnya. Maka begitu kedua perisai menghantam, serentak angin dahsyat menyambar dan menimbulkan daya guncangan yang hebat. Bahkan serangan susul-menyusul sehingga membuat lawan kewalahan.

Terdengar orang banyak bersorak. Namun Po-giok tetap tenang saja, ia menggeser kian-kemari dan belasan jurus dapat dihindarkannya tanpa balas menyerang, namun setiap jurus serangan lawan tidak terlepas dari pengamatannya.

Biasanya bila orang menggunakan senjata ganda tentu yang satu menyerang dan yang lain berjaga, satu jantan dan yang lain betina. Akan tetapi sekarang Eng Thi-ih justru dapat menyerang sekaligus dengan kedua perisai, gerak serangannya juga sukar diraba.

Tambah keras sorak-sorai orang banyak, ada yang mengejek, “Wahai, Pui Po-giok, jika kau tidak berani balas menyerang, lebih baik menyembah dan mengaku kalah saja!”

“Jangan-jangan mabukmu tempo hari sampai sekarang belum lagi reda?!” teriak lagi seorang lain.

Ejekan ini tidak dihiraukan Po-giok, akan tetapi perasaan Ban Cu-liang dan lain-lain tambah tertekan.

“Serangan kedua perisai Hong-uh-sin-eng memang luar biasa, jika ingin mencari peluang dari serangannya mungkin ....” Bok Put-kut menghela napas dan tidak melanjutkan.

“Menurut suara yang tersiar di dunia Kangouw, Hong-uh-sin-eng ini katanya merupakan jago utama di antara ke-40 jago muda yang akan bertemu di Thay-san nanti,” kata Kim Co-lim.

“Meski aku tidak tahu betapa lihai jurus serangan kedua perisainya, tapi Hong-uh-siang-pay Eng Thi-ih dapat menduduki nomor empat di antara ke-13 jenis senjata khas jelas tidak boleh dipandang enteng,” ujar Ban Cu-liang, kedua tangannya tersembunyi di balik lengan baju, jelas setiap saat ia siap untuk mencegah serangan maut Eng Thi-ih.

Menurut pandangan semua orang, harapan menang bagi Pui Po-giok sekarang semakin tipis. Wajah Ciok Put-wi tampak gelap, sebaliknya Nyo Put-loh tampak merah beringas, Kim Put-we juga mengertak gigi, dahi Gui Put-tam penuh butiran keringat.

Thi-wah memukul-mukulkan kepalan pada telapak tangan, perasaannya juga gelisah serupa Ciok Put-wi dan lain-lain, ia berharap sekali pedang Po-giok bergerak akan dapat menembus kedua perisai Eng Thi-ih.

Akan tetapi sejauh itu Po-giok tetap tidak balas menyerang.

Bukannya dia tidak mau menyerang, sesungguhnya dia tidak dapat turun tangan.

Pikirannya yang semula mulai jernih mendadak timbul rasa kusut dan tidak tenteram yang tidak pernah terjadi. Padahal suara berisik di sekelilingnya ramai orang mendesak agar dia turun tangan.

Tampaknya Eng Thi-ih tambah bersemangat, jurus serangannya semakin lihai. Semua orang yakin pertarungan ini pasti akan dimenangkan olehnya.

Sang surya semakin tinggi di tengah langit, ejekan orang banyak semakin gemuruh, “Yang tidak berani turun tangan adalah pengecut ... penakut ....”

Pada saat itulah sekonyong-konyong pedang kayu Pui Po-giok menebas lurus ke depan.

Dalam sekejap itu jantung Bok Put-kut dan lain-lain seakan-akan berhenti berdenyut. Suara berisik orang banyak juga berhenti.

Gerak pedang kayu yang enteng itu tampak menembus ke tengah bayangan kedua perisai dan “brak”, pedang kayu tepat menusuk perisai.

Akhirnya Po-giok tidak sempat menggunakan peluang yang segera lenyap dalam sedetik itu, ujung pedang selisih setitik dan menjadikan kesalahan yang tak terampunkan.

Eng Thi-ih membentak perlahan, perisai menyampuk sekuatnya, “krek”, pedang kayu patah menjadi dua.

Po-giok tergetar mundur beberapa langkah, pedang kayu yang dipegangnya tinggal setengah potong.

Serentak orang banyak berteriak, “Ah, Pui Po-giok kalah! Kalau sudah kalah, ayolah lekas mengaku kalah, Pui Po-giok!”

Po-giok tampak lesu dan menurunkan pedang buntungnya. Mendadak Thi-wah berteriak, “Toako, engkau belum kalah, siapa bilang engkau kalah? Ayo maju lagi!”

Semangat Po-giok tampak terbangkit. Sedang Eng Thi-ih tertawa latah, teriaknya, “Haha, ternyata hanya begini saja ilmu pedangmu!”

Segera perisai menghantam lagi, sekali ini ia tambah garang, daya serangnya tambah dahsyat.

“Sudah jelas kalah, kenapa belum mau mengaku kalah, Pui Po-giok?!” teriak orang banyak. “Huh, sungguh tidak tahu malu!”

Di antara penonton itu ada dua orang berteriak paling keras. Tentu saja Thi-wah gusar, ia memburu ke sana, menerjang kedua orang itu.

Melihat lelaki serupa raksasa ini menerjang tiba, tentu saja kedua orang itu gugup, namun di mulut mereka tidak mau kalah dan menegur, “Kau mau apa?”

“Akan kubungkam bacot kalian!” teriak Thi-wah murka, berbareng kedua orang itu hendak dicengkeramnya.

Cepat kedua orang itu menangkis dengan agak jeri. Siapa tahu meski gerak-gerik Thi-wah tampaknya lamban, akan tetapi serangannya sangat aneh, tahu-tahu kedua orang itu kena dicengkeramnya terus diangkat.

Padahal banyak orang tahu ilmu silat kedua orang itu tidak lemah, siapa tahu menghadapi pemuda raksasa ini mereka serupa anak kecil saja dan diangkat ke atas tanpa berdaya meski mereka meronta-ronta sekuatnya.

Dengan mengangkat kedua orang itu di atas kepala, secara demonstratif Thi-wah berjalan sekeliling di depan para penonton dan berteriak, “Nah, inilah contohnya bagi orang yang banyak bacot! Jika ingin selamat, lekas tutup mulut. Bila toakoku benar-benar kalah barulah kalian boleh berteriak sampai bejat bacot kalian!”

Semua orang terkejut dan jeri sehingga sebagian besar lantas bungkam.

Bok Put-kut dan lain-lain tidak mengira pemuda gede dungu ini dapat menggunakan gerak tangkapan selihai itu, mereka merasa heran, tentu juga merasa senang.

Setelah suasana agak sunyi, terdengarlah deru angin yang diterbitkan oleh gerak kedua perisai Eng Thi-ih. Kini gerak tubuh Pui Po-giok juga kelihatan lebih gesit daripada tadi.

Sebagai jago berpengalaman, Ban Cu-liang dan lain-lain merasakan Eng Thi-ih sudah mulai tidak sabar, serangannya tambah gencar, agaknya ingin lekas menundukkan Po-giok.

“Mungkin elang sakti itu akan segera melancarkan serangan maut,” ucap Kongsun Put-ti dengan suara tertahan.

Benar juga, belum lenyap suaranya, mendadak Eng Thi-ih bersuit panjang terus meloncat tinggi ke atas.

Gayanya serupa elang pentang sayap terbang di udara, kedua perisainya seperti kedua sayap. Mendadak, kedua perisai pecah menjadi empat terus terbang berhamburan.

Kiranya kedua perisai terpasang pegas yang dapat mulur-mengkeret sesukanya. Sekarang perisai pecah menjadi empat dan menimpa Po-giok dari udara.

Seketika Po-giok terancam dari kanan-kiri dan muka-belakang, dalam jarak beberapa tombak sama terkurung oleh perisai terbang itu.

Bok Put-kut dan lain-lain sama berteriak kaget, orang lain juga tidak sempat bersorak lagi karena ternganga oleh serangan luar biasa itu.

Akan tetapi sekarang pikiran Po-giok justru sedemikian tenangnya, pedang kayu yang tersisa setengah potong itu menggores setengah lingkaran ke atas, tahu-tahu keempat potong perisai pecah yang berhamburan itu tercungkil ke samping.

Selagi Eng Thi-ih terkejut, ternyata kedua tungkak kaki juga tersabet oleh pedang kayu sehingga jatuh terguling ke tanah. Sampai mati pun ia tidak mengerti mengapa gerak pedang kayu kutung Po-giok itu bisa membawa daya serang sedahsyat itu.

Jika tidak menyaksikan sendiri, siapa pun tidak dapat membayangkan perubahan secepat ini dan baru saja orang bersorak-sorai, berbareng Eng Thi-ih juga terkapar, serentak mereka urung bersuara, suasana berubah sunyi senyap.

Thi-wah berteriak gembira, kedua orang yang diangkatnya itu dilemparkan, ia sendiri lantas berjingkrak dan menari.

Tanpa terasa Kim Put-we juga berteriak, “Haha, menang, Po-ji menang!”

Ban Cu-liang dan lain-lain yang biasanya sangat sabar dan tenang menghadapi persoalan apa pun, sekarang mereka pun terharu dengan air mata berlinang. Sebaliknya kawanan penonton sama melongo dan termangu seperti patung.

Eng Thi-ih memandang Po-giok dengan terkesima, sampai lama barulah ia merangkak bangun, katanya dengan menghela napas, “Sungguh kagum!”

“Terima kasih,” jawab Po-giok.

Tanya-jawab mereka hanya singkat saja, namun dalam beberapa patah kata itu entah betapa banyak mengandung pahit-getir, mengandung darah dan air mata ....

*****

Menjelang petang, terjadi hujan gerimis.

Di luar rumah hujan dan dingin, namun Ban Cu-liang dan lain-lain yang berkumpul di dalam rumah justru penuh semangat dan hangat.

“Anak baik,” seru Kim Put-we dengan tertawa, “pertarungan ini sungguh sangat gemilang. Biarpun Ci-ih-hou hidup kembali kukira juga tidak lebih daripada ini.”

“Ya, sudah banyak juga kudengar kisah kehebatan tokoh Bu-lim angkatan tua, tapi dalam keadaan seperti Po-ji tadi, dari kalah berubah menjadi menang, sungguh jarang terjadi,” tukas Ban Cu-liang.

“Jika aku, di bawah ejekan orang banyak tentu aku bisa gila saking gemasnya,” ujar Kim Co-lim dengan tertawa. “Ada lagi, tindakan Thi-wah tadi, jurus cengkeramannya itu juga sangat indah.”

“Hehe, sekian tahun kubelajar bersama Toako, paling banyak juga cuma dua-tiga jurus itu saja, jika dua-tiga jurus saja tidak kulatih dengan mahir, kan terlampau goblok,” seru Thi-wah dengan tertawa.

Dengan sungguh-sungguh Ban Cu-liang berkata, “Ilmu silat mengutamakan saripatinya dan tidak perlu banyak, biarpun cuma dua-tiga jurus yang kau kuasai, asal jurus serangan mahalihai, rasanya tidak banyak tokoh Kangouw yang mampu menahan dua-tiga jurus seranganmu itu.”

Ucapan ini keluar dari In-bong-tayhiap, dengan sendiri lain bobotnya.

Thi-wah merasa gembira dan puas, gumamnya, “Alangkah baiknya bila komentar Ban-tayhiap ini dapat didengar si dia.”

Dengan sendirinya orang lain tidak tahu, “si dia” yang dimaksudkan Thi-wah, hanya Po-giok yang tahu. Keduanya saling pandang dengan tersenyum dan tahu sama tahu.

“Kalah tidak perlu patah semangat, dihina tidak emosi, apa yang dapat kau lakukan ini sungguh luar biasa, Po-ji,” kata Kongsun Put-ti. “Selanjutnya kesan orang Kangouw padamu pasti akan banyak berubah. Menang tapi tidak sombong, hendaknya camkan pesanku ini.”

“Petuah Paman ini takkan kulupakan selama hidup,” jawab Po-giok dengan khidmat.

“Tapi ini pun baru permulaan saja,” tukas Kongsun Put-ti. “Bilamana kau ingin mencuci bersih penghinaan yang pernah kau terima, kau masih harus berjuang terlebih keras. Maka kalau pertarunganmu dengan Thian-to Bwe Kiam besok dapat kau menangkan pula, maka dapatlah kau beri bukti kepada semua orang bahwa kau bukan penipu, bukan pendusta.”

“Kabarnya senjata andalan Bwe Kiam itu adalah Sok-lian-to, golok melengkung yang tersembunyi di dalam toya sepanjang satu tombak lebih, pada ujung toya dipasang lagi gelang baja berantai, bagian rantai tergantung lagi lima buah bola besi ....”

“Rupanya di ujung toya itu terpasang pegas dan golok tersembunyi itu akan menjeplak bila dipencet alatnya,” ujar Po-giok dengan tersenyum.

“Oo, kiranya begitu,” kata Bok Put-kut dan lain-lain.

“Dan kelihaian golok melengkung itu meski cuma sebuah, tapi dapat digunakan menjadi dua macam senjata.”

“Betul,” tukas Sebun Put-jiok. “Konon Bwe Kiam itu asalnya seorang pelaut pendatang dari kepulauan timur, entah dari mana ia belajar ilmu golok yang aneh itu, sejak tiba di daerah Tionggoan lantas menjadi suatu aliran tersendiri.”

Ban Cu-liang menghela napas gegetun, dan berucap pula, “Guru Po-ji sungguh luar biasa, sudah lama ia mengasingkan diri, namun segala seluk-beluk dunia persilatan tetap diketahuinya dengan jelas.”

“Cuma sayang, tanpa sebab beliau meninggalkan kami lagi dan entah ke mana sekarang,” seru Thi-wah.

“Apa pun juga Bwe Kiam ini pasti lawan berat bagi Po-ji,” ujar Kongsun Put-ti. “Pertarungan besok kukira jauh lebih susah daripada hari ini.”

“Tidur, Po-ji,” sela Ciok Put-wi mendadak.

“Betul, hari ini kita telah menempuh perjalanan beratus li, untuk menghadapi pertarungan sengit besok, Po-ji harus istirahat sebaiknya,” kata Ban Cu-liang.

Dengan hormat Po-ji mengiakan dan bermaksud mengundurkan diri, siapa tahu baru saja ia berdiri, “sret”, mendadak dari luar jendela selarik cahaya membawa angin tajam menyambar lewat di depan Po-ji dan menancap di pilar hingga ambles beberapa senti dalamnya. Ternyata sebuah ujung tombak perak mengilat.

Selagi semua orang terkejut, terdengar di luar ada suara jeritan dan bentakan, seorang bersuara serak lagi berkata, “Thi Un-hou, Li Eng-hong, apakah kalian ingin kabur?”

“Wah, celaka!” seru Po-giok khawatir. “Rupanya Paman Li dan Paman Thi ada kesulitan, ayo lekas melihatnya keluar.”

“Jangan khawatir, biar kami yang membereskan,” kata Kongsun Put-ti. “Thi-wah, tunggu toakomu di sini.”

Baru selesai ucapannya segera ia menerobos keluar jendela, tanpa disuruh Ban Cu-liang dan lain-lain segera ikut mengejar keluar.

Di bawah hujan gerimis tampak empat orang berbaju putih dengan kedok putih pula sedang bertempur mengerubut satu orang.

Agaknya yang dikerubut itu sudah lelah, malahan dia menggendong seorang lagi dan sekuatnya bertahan sambil putar tombaknya yang tinggal setengah potong.

Keempat orang berbaju putih itu kelihatan seram serupa badan halus, gerak tubuh mereka sangat aneh, meski tangan tidak bersenjata, namun gerak-gerik mereka sangat gesit, biarpun tidak bersenjata, tapi telapak tangan mereka sebentar menebas, memotong dan mencengkeram, sekaligus menggunakan berbagai gaya ilmu silat dari berbagai aliran.

Ban Cu-liang khawatir terlambat menolong, sebelum tiba di tempat tujuan lebih dulu membentak, “Jangan khawatir, Li Eng-hong, ini datang bala bantuanmu!”

Suaranya keras dan mendengung membuat anak telinga tergetar. Keruan keempat orang berbaju putih itu terkejut.

Sementara itu Bok Put-kut dan lain-lain juga sudah memburu tiba, tanpa bicara mereka terus melabrak kawanan orang berbaju putih.

Ban Cu-liang sudah kenal Li Eng-hong, katanya, “Biarlah kami menggantikanmu, lekas kau masuk ke rumah untuk istirahat dulu.”

“Teri ... terima kasih,” jawab Li Eng-hong dengan napas tersengal.

Ia memang sudah lemas, tanpa sungkan lagi ia lari ke rumah sana.

Ban Cu-liang tidak ingin main kerubut, ia membiarkan Bok Put-kut, Ciok Put-wi, Kim Put-we, dan Nyo Put-loh menghadapi keempat orang berbaju putih, ia berjaga di luar kalangan untuk mengawasi keadaan bila musuh bermaksud lari.

Sebagai murid Siau-lim-pay, ilmu pukulan Bok Put-kut dengan sendirinya cukup lihai. Tapi sebelum dapat meraba aliran kungfu lawan, ia tidak mau sembarangan menyerang, tapi hanya bertahan. Sebaliknya Kim Put-we tidak sungkan lagi, langsung ia melancarkan serangan keras sesuai gaya ilmu silat Go-bi-pay.

Begitu juga Nyo Put-loh, dengan murka ia keluarkan kungfu andalannya, yaitu Tay-lik-eng-jiau-kang, ilmu cakar elang bertenaga raksasa, bila kena dicengkeram, jiwa seketika akan melayang.

Si baju putih yang menjadi lawannya agaknya rada jeri terhadap gaya serangannya yang ganas itu, setelah belasan jurus, berulang ia terdesak mundur beberapa tombak. Walaupun begitu untuk mengalahkan keempat orang berbaju putih jelas juga tidak mudah.

“Dari manakah keempat orang ini?” kata Gui Put-tam. “Ilmu silat yang aneh ini rasanya belum pernah kudengar.”

“Ya, melihat gerak-gerik mereka, kungfu mereka tidak dikenal di daerah Tionggoan, tampaknya kurang kuat meski aneh gaya ilmu silat mereka,” tukas Kongsun Put-ti.

Belum lenyap suaranya, orang yang bergebrak dengan Nyo Put-loh mendadak mengeluarkan suara suitan aneh, berbareng itu keempat orang itu lantas melemparkan sesuatu ke tanah.

Hanya dalam sekejap saja dari tanah lantas mengepul selapis kabut putih dan segera buyar terbawa angin.

“Celaka, dalam asap ada racun!” seru Ban Cu-liang.

“Lekas mundur, Toako dan Site!” cepat Kongsun Put-ti berteriak.

Segera Bok Put-kut berempat melompat mundur.

Makin tebal asap yang timbul, semua orang sama menahan napas agar tidak mengisap hawa berbisa.

Ketika angin meniup dan asap mulai buyar, ternyata bayangan keempat orang berbaju putih tadi sudah lenyap.

“Kalah-menang belum jelas, mengapa mereka kabur mendadak ....” gumam Kongsun Put-ti dengan heran dan juga waspada, ia khawatir di balik urusan ini tersembunyi sesuatu intrik keji.

Sebaliknya Kim Co-lim berkata dengan tertawa, “Jika aku menjadi mereka, tentu aku pun akan kabur. Habis kalau tidak dapat menang, tinggal lebih lama di sini kan berarti minta digebuk belaka?”

Semua orang ikut tertawa oleh banyolannya, mereka pulang ke hotel dan tidak banyak pikir lagi. Bahwa dirinya dapat menyelamatkan pendekar ternama seperti Li Eng-hong tentu saja Kim Put-we sangat senang.

Sementara itu Po-giok yang tertinggal di hotel, meski ia yakin mereka pasti mampu menolong Li Eng-hong, tidak urung ia merasa khawatir juga. Maklumlah, budi kebaikan Li Eng-hong dan Thi Un-hou kepadanya tak dapat dilupakannya selama hidup.

Dengan gelisah ia mengawasi dari balik jendela, tiba-tiba seorang berlari datang di bawah hujan sambil menggendong seorang lagi.

“Paman Li!” seru Po-giok sambil melompat keluar dan menyongsongnya.

Orang itu merandek dan bersuara dengan ragu, “Siapa Anda?”

“Siautit Po-giok ... Po-ji, masa Paman Li pangling,” jawab Po-giok.

“Ahhh,” seru Li Eng-hong, “kiranya Po-ji, sudah sebesar ini dan telah tumbuh segagah ini. Tak ... tak terduga masih dapat kulihat dirimu ....”

Ia bicara dengan tersendat, suatu tanda betapa terharu hatinya.

Di bawah cahaya lampu yang menyorot keluar dari jendela, terlihat pendekar ternama ini bermuka pucat, sekujur badan basah kuyup, mata sayu terlampau lelah, sikap gagahnya masa lampau hampir tak terlihat lagi.

Air mata Po-giok juga berlinang-linang, hampir sukar dipercayanya bahwa lelaki yang dikejar orang serupa binatang buas terluka ini adalah Li Eng-hong yang terkenal di masa lampau.

Entah air mata atau air hujan yang membasahi muka Li Eng-hong, ia menatap Po-ji dengan terkesima, Po-ji juga menatapnya dengan terharu, dalam suasana tanpa bicara ini terkandung rasa pedih dan juga rasa girang yang tak terhingga.

Tiba-tiba Thi-wah melompat keluar, lalu ia pun berdiri terkesima.

“Kau mau apa?” tanya Po-ji.

“O, tidak apa-apa,” sahut Thi-wah sambil menyengir. “Toako suka main hujan-hujan, terpaksa kutemani.”

“Ai, kau ini, coba aku sampai lupa mengundang Paman Li masuk ke rumah,” kata Po-ji dengan tersenyum.

Malahan ia pun lupa bahwa masih ada seorang dalam gendongan Li Eng-hong, yaitu Thi Un-hou yang terluka parah.

Waktu Li Eng-hong menaruh Thi Un-hou di tempat tidur, barulah Po-ji menyadari hal itu, sungguh sedih hatinya melihat lelaki gemblengan masa lampau sekarang tampak kurus kering. Meski lengan kiri yang patah sudah tersambung, namun lengan kanan Thi Un-hou telah buntung seluruhnya, keadaannya kembang kempis.

“Sejak pertempuran di Thian-hong-tong, segenap musuh lama maupun baru serentak mencari kami sehingga selama tujuh tahun ini, hidup kami tidak pernah tenteram,” tutur Li Eng-hong.

“Kekalahan tempo hari itu sungguh meruntuhkan kami segalanya,” sambung Li Eng-hong dengan berlinang air mata, ia pandang Thi Un-hou sekejap, lalu menyambung, “Apalagi keadaannya serupa orang tidak berguna lagi, selama tujuh tahun ini kami selalu buron belaka dan senantiasa dibayangi musuh. Cian-toasiokmu juga menghilang entah ke mana, tersisa kami berdua ... Sampai hari ini, dia terkena tiga kali pukulan maut musuh dan tampaknya jiwanya sukar ... sukar ditolong lagi.”

“Tidak, Paman Thi takkan mati!” teriak Po-giok mendadak.

“Memangnya kau yakin mampu menyembuhkan dia?” tanya Eng-hong dengan heran.

“Ya,” sahut Po-giok sambil mengangguk.

“Tapi dia ....”

“Sudahlah, tanpa dijelaskan Paman juga kutahu,” potong Po-giok. “Dahulu Paman Thi telah menyelamatkan diriku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, hari ini betapa pun harus kusembuhkan dia.”

Bicara sampai di sini, mendadak ia pondong tubuh Thi Un-hou terus dibawa lari keluar.

“Hei, Toako ... akan ... akan kau apakan dia?” seru Thi-wah kaget.

Tanpa menoleh Po-giok menjawab, “Jika ditanya orang, katakan kupergi untuk menyembuhkan luka Paman Thi dan besok pagi dapat kukembali ke sini ....”

Waktu Thi-wah menyusul keluar, bayangan Po-giok sudah tidak tertampak lagi.

*****

Sekembalinya Bok Put-kut dan lain-lain di hotel, mereka tidak melihat Po-ji lagi, hanya Thi-wah tampak berdiri termenung sedih di situ, Li Eng-hong juga menunduk muram.

“Ke mana perginya Po-ji?” tanya Kongsun Put-ti khawatir.

Dengan tergegap Thi-wah bertutur apa yang terjadi.

“Suruh kau jaga dia, mengapa ....” omel Bok Put-kut.

Dengan wajah getir Thi-wah menjawab, “Habis kalau Toako mau pergi, Thi-wah tidak dapat mencegahnya dan juga tidak sanggup menyusulnya.”

“Mari kita cari dia!” seru Kim Put-we mendadak.

“Sudahlah, tidak perlu dicari lagi,” kata Kongsun Put-ti sambil menggeleng.

“Mengapa tidak cari?” tanya Kim Put-we khawatir. “Hendak mengobati luka kan tidak perlu dikerjakan dia, kita juga sanggup. Apalagi malam ini mana ... mana boleh dia menyembuhkan luka orang?”

“Tentu disebabkan luka Thi-tayhiap sangat parah, ia tahu orang lain tidak sanggup dan terpaksa dilakukannya sendiri,” ujar Kongsun Put-ti dengan pedih. “Ya, tentunya ia khawatir kita akan merintanginya, maka ia pergi dengan diam-diam. Semua ini dilakukan dengan tekad bulat, andaikan kita mencarinya juga tidak berguna.”

Semua orang tidak dapat membantah, mereka hanya mondar-mandir dengan gelisah.

“Kalian kelihatan cemas, apakah ....” tanya Li Eng-hong.

“Ya, esok pagi Po-ji akan menghadapi suatu pertarungan dahsyat dan menyangkut timbul-tenggelam namanya,” tutur Bok Put-kut. “Jika sekarang dia harus mengorbankan tenaganya untuk menolong Thi-tayhiap, mungkin besok ....”

Belum habis ucapannya Li Eng-hong lantas berteriak dengan khawatir, “Ah, jika demikian, jadi akulah yang membikin susah dia malah ....”

“Tapi engkau juga tidak dapat disalahkan,” ujar Bok Put-kut.

“Jika dia sudah tahu besok harus bertempur, toh dia mau menolong orang lain, rupanya dia lebih suka mengorbankan diri sendiri daripada ....” sampai di sini suaranya menjadi tersendat dan tidak dapat melanjutkan, hatinya duka dan menyesal.

“Bagus!” teriak Ciok Put-wi mendadak.

“Dalam keadaan begini, apanya yang bagus?” tanya Kim Put-we dengan gusar.

“Ya, budi luhur Po-ji sungguh harus dipuji, sekalipun pertempuran besok akan mengalami kekalahan juga tidak perlu malu, kita justru harus bangga mempunyai keponakan sehebat ini,” sela Bok Put-kut dengan terharu.

Sementara itu suara ayam berkokok sudah ramai, ufuk timur mulai remang-remang, dan Po-ji belum lagi pulang.

Menurut perasaan semua orang, malam ini merupakan malam terpanjang selama hidup mereka. Tapi ketika Po-ji belum lagi muncul, mereka malah menyesali fajar yang datang terlalu cepat.

Bok Put-kut dan lain-lain sama memandang keluar jendela dengan gelisah.

“Sialan, mengapa belum lagi pulang,” omel Kim Put-we sambil mengentak kaki.

“Sabar, sebentar juga pulang,” ujar Gui Put-tam.

“Kau suruh aku sabar, kau sendiri tampak gelisah,” sahut Put-we.

“Entah pada waktu apa akan dilakukan pula pertandingan Po-ji menurut perjanjian?” tanya Li Eng-hong.

“Pada saat ini, mungkin sudah lewat waktunya,” kata Kongsun Put-ti.

Tiba-tiba Ban Cu-liang menyela, “Biarpun Po-ji belum pulang, betapa pun kita harus memenuhi janji. Marilah kita berangkat ke tepi danau untuk memberitahukan Thian-to Bwe Kiam.”

“Ya, seharusnya begitu,” tukas Bok Put-kut.

Tapi baru saja mereka bergegas hendak berangkat, tiba-tiba terdengar suara ramai di luar.

“Agaknya kita tidak perlu berangkat lagi,” ujar Kongsun Put-ti.

Segera Bok Put-kut mendahului lari keluar disusul yang lain. Maka terlihatlah serombongan orang sedang datang dari tepi danau sana.

Beratus orang dalam rombongan itu hingga menimbulkan suara berisik, terdengar suara mereka, “Itu dia, di hotel itu.”

“Dari mana kau tahu? Apakah kau ....”

“Itu lihat sendiri, siapa itu yang keluar dari hotel?!”

“Ah, betul, yang itu seperti Ban-tayhiap adanya.”

“Dan yang mana Pui Po-giok?”

Seorang yang berjalan di depan rombongan itu berperawakan sedang dan kekar, wajahnya yang cokelat menampilkan tanda-tanda orang yang sudah kenyang asam garam dunia Kangouw.

“Itu dia, Thian-to Bwe Kiam sudah datang,” kata Ban Cu-liang dengan menyesal.

Orang yang kekar kuat itu memang Thian-to Bwe Kiam adanya. Ia berdiri tegak di depan rombongan Ban Cu-liang dan menyapa, “Selamat Ban-tayhiap, karena cukup lama kutunggu kedatangan Pui-siauhiap dan belum lagi muncul, kabarnya semalam Pui-siauhiap mondok di sini, maka sengaja menyusul kemari untuk bertemu dengan dia.”

Ban Cu-liang memberi hormat dan menjawab, “Maaf jika Bwe-tayhiap sampai menunggu sekian lama.”

“Soalnya sangat ingin kulihat wajah Pui-tayhiap yang gagah, maka tidak sabar menunggu,” kata Bwe Kiam dengan tertawa. “Entah sekarang bolehkah minta Pui-siauhiap keluar untuk bertemu denganku?”

“Wah, ini ... ini ....” Ban Cu-liang gelagapan, terpaksa ia menoleh dan memandang Bok Put-kut dan lain-lain yang tampak juga saling pandang belaka.

Ban Cu-liang coba menjawab sebisanya, “Oh, dia ... dia tidak berada di sini.”

“Ke mana dia?” tanya Bwe Kiam heran.

Mendadak Ban Cu-liang terbatuk-batuk hingga menungging.

Kim Put-we tidak tahan, ia berteriak, “Ke mana perginya, kami sendiri tidak tahu.”

Keruan Bwe Kiam melengak, ucapnya dengan kurang senang, “Pertandingan ini berasal dari janji Pui-siauhiap dan kalian sendiri, sekarang kudatang menurut waktu perjanjian, sebaliknya Pui-siauhiap malah menghilang, apakah memang sengaja hendak mempermainkan diriku?”

Belum habis ucapannya, orang banyak yang berdiri di belakangnya lantas ribut, ada yang berteriak, “Aha, Pui Po-giok telah kabur!”

“Wah, sungguh lelucon yang tidak lucu. Ia sendiri yang berjanji untuk bertanding, setiba waktunya ia sendiri yang merat malah?”

“Haha, rupanya Pui Po-giok cuma seorang pengecut belaka!”

“Suruh Pui Po-giok keluar! ... Dia harus keluar untuk menepati janji! ....”

Begitulah berbagai ejekan dan olok-olok dialamatkan kepada Pui Po-giok. Keruan Bok Put-kut dan lain-lain gusar tidak kepalang, tapi juga tidak dapat berbuat sesuatu.

“Diam, kalian dengarkan dulu penjelasanku ....” teriak Kim Co-lim sambil memberi tanda.

Meski lantang suaranya, namun segera tenggelam di tengah gemuruh suara orang banyak yang marah, “Persetan! Siapa ingin penjelasanmu segala! ... Suruh Pui Po-giok keluar untuk bertempur dengan Bwe-tayhiap! ... Kau sendiri lekas enyah ....”

Kim Co-lim mengepal dengan gemetar saking dongkolnya, Ban Cu-liang menariknya dan mendesis, “Saat ini Po-ji entah ke mana, Thi Un-hou yang terluka juga tidak di sini, biarpun kau beri penjelasan macam-macam juga sukar dipercaya mereka?”

Mendadak Kongsun Put-ti mendekati Bwe Kiam, katanya dengan hormat, “Saat ini Pui Po-giok tidak di sini, tapi sebelum tengah hari dia pasti akan kembali. Bilamana untuk sementara Anda sudi bersabar, pada waktu tengah hari pasti akan kusuruh Po-giok berkunjung ke kediamanmu.”

“Agaknya yang bicara ini Kongsun-tayhiap yang termasyhur,” jawab Bwe Kiam. “Baiklah, demi menghormati Kongsun-tayhiap, sementara ini kuterima usulmu, pada waktu tengah hari kutunggu kedatangan kalian di rumah.”

Dia memang seorang gagah kesatria, setiap ucapannya dilaksanakan dengan tegas dan cepat, serentak ia membalik tubuh dan berseru kepada orang banyak, “Bilamana hadirin sudi menghormati orang she Bwe, hendaknya sekarang ikut pulang bersamaku, tunggu sementara hingga tengah hari. Biarpun orang she Bwe bukan orang kaya, tapi sekadar makanan kecil masih cukup tersedia di rumah. Maka kuharap kalian suka ikut ke rumahku sekarang juga.”

Serentak orang banyak menjawab setuju dan beramai-ramai ikut pergi bersama Bwe Kiam, walaupun ada juga beberapa orang di antaranya masih mengomel karena merasa tertipu.

Menyaksikan kepergian orang banyak itu, Bok Put-kut dan lain-lain sama menggeleng kepala dan menghela napas menyesal.

“Untung Bwe Kiam ini seorang lelaki berbudi ....”

Belum lanjut ucapan Ban Cu-liang, mendadak Nyo Put-loh berteriak, “Aku justru lebih suka dia seorang lelaki yang tidak pakai aturan, dengan begitu dapat kulabrak dia sepuasnya daripada bicara ini dan itu ....”

Selagi mereka ribut sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang berlari di luar, tahu-tahu seorang menerobos masuk, siapa lagi dia kalau bukan Pui Po-giok.

Hanya semalam saja wajahnya yang merah cerah telah berubah menjadi pucat dan layu, akan tetapi Thi Un-hou yang berada dalam pangkuannya yang semula pucat kurus kini telah berubah menjadi merah segar.

Mestinya semua orang ingin mengomeli anak muda itu, tapi demi melihat keadaannya, tentu saja mereka tidak sampai hati.

Li Eng-hong memburu maju, tanyanya dengan terharu, “Po ... Po-ji, dari mana ....”

Wajah Po-giok yang pucat dan lesu menampilkan senyuman terhibur, ucapnya, “Syukurlah tidak mengecewakan harapan Paman.”

Kalimat singkat itu diucapkan dengan ringan dan hambar, tidak ada yang tahu bahwa di balik perkataan itu terkandung air mata dan darah.

“Ah, baiklah jika sekarang Po-ji sudah pulang,” kata Ban Cu-liang kemudian dengan tertawa cerah. “Rasanya kita pun tidak perlu cemas lagi.”

Namun dalam hati diam-diam ia menyesal kepulangan anak muda itu agak terlambat sedikit.

Dengan air mata berlinang Li Eng-hong menerima tubuh Thi Un-hou yang masih lemah itu.

“Saat ini Paman Thi lagi tidur, sebentar bila mendusin, kesehatannya akan banyak pulih ...” sampai di sini mendadak Po-ji menoleh dan bertanya, “Eh, bagaimana dengan Thian-to Bwe Kiam? ....”

Cepat Kongsun Put-ti mendahului menjawab, “Meski dia sudah datang dan pergi lagi, tapi jangan khawatir, kami sudah mengatur waktu pertandingan, diundurkan sampai tengah hari nanti dan sudah diterima oleh Bwe Kiam.”

“Ah, bagus ....” seru Po-giok dengan lega. Siapa tahu baru saja bicara sekian, mendadak tubuhnya terkulai.

Semua orang terkejut dan cepat membangunkan dia dan didudukkan di kursi. Terlihat wajah anak muda itu pucat lesi serupa mayat, kaki tangan pun dingin.

“Hei, Po-ji, ken ... kenapa?” seru Bok Put-kut khawatir.

Perlahan Po-giok membuka mata dan tersenyum, seperti mau omong apa-apa, tapi sebelum terucap ia jatuh pingsan lagi. Nyata ia lelah lahir batin sehingga kehabisan tenaga.

Tentu saja semua orang terperanjat dan khawatir. Kongsun Put-ti mengangkat Po-giok ke dalam, dia ditaruh di tempat tidur, perlahan ia memberi selimut, lalu semua orang disuruh keluar, pintu pun dirapatkan.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Kim Put-we perlahan.

Kongsun Put-ti menggeleng kepala, sahutnya, “Rupanya dia kehabisan tenaga dan sekarang memikirkan lagi pertandingan yang akan datang, maka dia ... dia tidak tahan.”

“Wah, lantas bagaimana dengan pertandingan tengah hari nanti?” ujar Kim Put-we.

Semua orang sama diam dan tidak dapat memberi sesuatu saran.

Sampai sekian lama semua orang sama menunduk sedih, akhirnya Ban Cu-liang berkata sambil menghela napas, “Dalam keadaan begini, kukira cuma ada suatu jalan.”

“Terus terang, pikiran kami sama kusut, maka mohon Ban-tayhiap sudi memberi pendapat yang baik,” pinta Kongsun Put-ti.

“Sekarang hanya dapat minta Li Eng-hong membawa Thi Un-hou ke tempat Bwe Kiam dan menjelaskan kepada hadirin di sana tentang seluk-beluk urusan ini, dengan nama baik mereka berdua, ditambah lagi bukti keadaan Thi Un-hou yang terluka parah, tentu semua orang akan percaya kepada keterangan mereka.”

Apa yang diuraikan Ban Cu-liang memang satu-satunya jalan yang dapat ditempuh dalam keadaan menghadapi jalan buntu ini.

Segera semua orang menyatakan setuju. Semangat Bok Put-kut juga terbangkit, cepat ia berlari ke dalam rumah sambil berseru, “Li-tayhiap ... Li-locianpwe ....”

Akan tetapi tidak ada suara jawaban, di dalam kamar hanya ada dua orang, yaitu Nyo Put-loh dan Pui Po-giok yang lagi tidur, bayangan Li Eng-hong dan Thi Un-hou tiada terlihat lagi.

Waktu mereka coba memeriksa keadaan kamar, terlihat di dinding ada tulisan yang berbunyi: “Maaf Po-ji, kami bersalah padamu.”

Tulisan merah jelas, ternyata ditulis dengan darah.

Ternyata Li Eng-hong dan Thi Un-hou sudah pergi. Bahwasanya kedua orang ini terkepung musuh dan terluka parah, lalu minta tolong dan sebagainya, semua itu ternyata juga tipu muslihat belaka, perangkap yang sengaja diatur untuk membikin celaka Po-ji.

Ban Cu-liang, Bok Put-kut, dan lain-lain hampir tidak percaya kepada apa yang terjadi ini, akan tetapi semua ini justru bukti nyata yang tidak dapat disangkal.

Tokoh gemblengan serupa Ban Cu-liang sampai terhuyung-huyung memikirkan hal ini, dengan lemas ia duduk di kursinya, katanya dengan terputus-putus, “Sungguh tidak ... tidak nyana Li Eng-hong dan Thi Un-hou adalah manusia kotor demikian, selama hidup kujelajahi dunia Kangouw, siapa duga sekarang bisa salah lihat.”

“Tempo hari Auyang Cu, sekarang Li Eng-hong dan Thi Un-hou,” ucap Bok Put-kut dengan sedih. “Mengapa mereka berbuat demikian, padahal hubungan mereka dengan Po-ji sangat erat, sebab apa mereka membikin susah Po-ji?”

“Jelas saat ini terdapat seorang iblis yang tak terlihat dan tak terdengar oleh kita berniat membikin susah Po-ji,” kata Kongsun Put-ti. “Sebab iblis ini tahu hanya orang seperti Auyang Cu dan Li Eng-hong saja yang dapat menipu Po-ji.”

Semua orang merinding membayangkan tipu muslihat yang diatur iblis tak terlihat dan tak terdengar seperti apa yang dikatakan Kongsun Put-ti itu.

“Iblis jahat itu selain ingin merenggut nyawa Po-ji, bahkan ingin membuat Po-ji tersiksa dan kehilangan nama baik secara perlahan, kehilangan semangat, kehilangan kepercayaan diri dan akhirnya mati. Betapa keji dan kejam maksud iblis itu, sungguh tidak ada bandingannya di dunia ini.”

Bilamana membayangkan betapa rapi muslihat yang diatur iblis tak tertampak itu, sampai orang cerdik seperti Ban Cu-liang dan Kongsun Put-ti juga terjeblos ke dalam perangkap si iblis, sungguh mengerikan dan membuat semua orang sama merinding.

Mendadak Kim Put-we berteriak dengan suara parau, “Sesungguhnya siapakah iblis jahat ini? Ada permusuhan apa antara dia dengan Po-ji? Orang yang berhubungan erat dengan Po-ji seperti Auyang Cu dan Li Eng-hong, mengapa juga tunduk kepada iblis itu dan mau membikin celaka Po-ji? Ahh, siapakah di dunia ini yang tahu rahasia ini dan siapa kiranya yang dapat memberi jawaban padaku?”

Suasana terasa sunyi dan seram, sebab sejauh ini memang tidak ada seorang pun yang tahu rahasia itu, apalagi untuk menjawab pertanyaannya.

*****

Waktu tengah hari, awan mendung telah buyar, cahaya matahari menyinari bumi.

Tempat kediaman Thian-to Bwe Kiam yang luas tapi sederhana itu sunyi senyap tiada orang lagi, kawanan orang Kangouw yang tadi ingin melihat keramaian itu kini sudah pergi semua.

Dua orang anak berbaju hijau sedang menyapu halaman.

Bwe Kiam duduk sendirian di bawah kerindangan pohon, perlahan asyik membersihkan senjata andalannya, golok berantai.

Tiba-tiba seorang berlari datang, memberi hormat dan melapor, “Di luar ada In-bong-tayhiap Ban Cu-liang, Bok Put-kut dari Siau-lim, dan Kongsun Put-ti dari Bu-tong, mohon bertemu dengan Toaya.”

Bwe Kiam bersuara perlahan sambil berkerut kening, buru-buru ia lari keluar.

Memang benar Ban Cu-liang bertiga sudah berdiri di ruangan tengah. Tampak mereka merasa heran oleh kesunyian rumah ini.

“Apakah para kawan tadi sudah pergi?” tanya Ban Cu-liang segera setelah berhadapan dengan tuan rumah.

“Ya, sudah pergi semua,” jawab Bwe Kiam.

Ban Cu-liang bertiga saling pandang dengan heran, kejut dan juga girang. Diam-diam mereka bersyukur dan membatin, “Jika orang banyak sudah bubar, tentu urusan lebih mudah diselesaikan.”

Bwe Kiam memandang mereka sekejap, lalu tanya, “Entah ada petunjuk apa kedatangan kalian?”

“Soalnya kan sudah kujanjikan agar menemui Bwe-tayhiap pada waktu tengah hari ini,” tutur Kongsun Put-ti.

“Betul,” kata Bwe Kiam. “Tapi Pui-siauhiap sendiri ....”

“Justru kedatangan kami ingin memberi penjelasan mengenai urusan ini,” kata Ban Cu-liang. “Soalnya Po-giok mendadak ... mendadak jatuh sakit berat dan tidak dapat bangun, jelas hari ini dia tidak dapat memenuhi janji.”

“Oo, apa betul?” Bwe Kiam menegas dengan kening bekernyit.

“Demi kehormatanku, selama hidupku tidak pernah omong kosong, apalagi terhadap Bwe-tayhiap, masakah berani kudusta,” sahut Ban Cu-liang tegas. “Yang kuharap agar Bwe-tayhiap suka mengingat diriku dan sudi mengundurkan waktu pertandingan untuk beberapa hari saja.”

Bwe Kiam tidak lantas menjawab, sinar matanya yang tajam menyapu pandang Ban Cu-liang bertiga, dengan sendirinya perasaan ketiga orang sama terasa tegang menanti jawaban.

Tiba-tiba Bwe Kiam mendengus, “Hm, padahal tadi Pui-siauhiap baru saja datang kemari, sungguh aku tidak mengerti apa maksud kalian?”

Tentu saja Bok Put-kut bertiga terperanjat.

“Apa ... apa Bwe-tayhiap tidak salah lihat?!” tanya Kongsun Put-ti.

“Hm, biarpun aku tidak kenal Pui-siauhiap, tapi dari para kawan yang hadir di sini tadi kan banyak yang kenal dia, memangnya mereka pun salah lihat?” sahut Bwe Kiam dengan ketus.

Ban Cu-liang bertiga saling pandang dengan bingung, jawab Bok Put-kut kemudian, “Namun ... namun sejak tadi Po-ji jelas tertidur lelap ....”

“Bukan saja Pui-siauhiap sudah datang kemari, malahan ia mengantar sendiri sepucuk surat, apakah kalian ingin membaca suratnya?” tanya Bwe Kiam sambil menyodorkan sepucuk surat dan cepat diterima Bok Put-kut.

Waktu mereka membentang surat itu, isinya menyatakan Pui Po-giok telah menyadari kecerobohannya, beberapa pertarungan yang sudah terjadi dianggapnya cuma terdorong oleh darah muda yang sok menang. Tapi sekarang ia menyadari kekeliruannya dan bersumpah takkan menggunakan kekerasan lagi untuk menghadapi orang Kangouw. Begitu pula ia minta maaf kepada Bwe Kiam dan menyatakan batal pertandingan mereka.

Surat itu singkat dan indah tulisannya, Bok Put-kut bertiga sama melongo setelah membaca isi surat itu. Segera Bok Put-kut dan Ban Cu-liang bermaksud membantah pula isi surat itu, namun Kongsun Put-ti keburu mencegahnya.

“Setelah menyampaikan surat ini, tanpa bicara Pui-siauhiap lantas tinggal pergi,” tutur Bwe Kiam. “Semua ini disaksikan orang banyak, kuyakin kalian pun dapat membenarkan maksud surat Pui-siauhiap ini.”

“Numpang tanya,” kata Kongsun Put-ti. “Setelah semua orang melihat kepergiannya tanpa bertanding, apa komentar para kawan yang hadir di sini?”

“Dengan sendirinya ada yang memuji Pui-siauhiap yang mau menyadari kesalahannya,” tutur Bwe Kiam. “Akan tetapi lebih banyak lagi yang mengejeknya sebagai pengecut dan macam-macam kata kotor yang tidak pantas kutirukan.”

Ia berhenti sejenak sambil menghela napas, lalu menyambung, “Setelah kubaca surat Pui-siauhiap ini, terus terang hatiku terharu juga. Hidup kaum persilatan kita yang setiap hari hanya bergelimang di ujung golok memang tidak setenang hidup kaum terpelajar.”

Kongsun Put-ti tidak tahu maksud ucapan orang ini benar-benar timbul dari perasaan terharu atau cuma untuk menyindir, segera ia memberi hormat dan berkata, “Terima kasih atas keterangan Bwe-tayhiap, maaf kami mohon diri saja.”

Ia tarik Ban Cu-liang dan Bok Put-kut dan diajak meninggalkan tempat Bwe Kiam.

Setiba kembali di hotel, perlahan mereka melongok kamar Po-giok, anak muda itu terlihat masih tidur nyenyak.

Melihat ketiga kawan yang berkelakuan aneh itu, dengan sendirinya Kim Put-we dan lain-lain minta keterangan kepada mereka. Ban Cu-liang lantas menceritakan apa yang dialaminya di tempat Bwe Kiam itu.

Keruan semua orang sama melengak, Gui Put-tam berseru, “Sungguh tidak masuk akal, sejak tadi Po-ji tidur pulas dan tidak pernah pergi dari sini.”

“Agaknya orang she Bwe itu pun seorang rendah dan kotor,” teriak Kim Put-we dengan gusar. “Masakah dia sengaja membuat hal-hal demikian untuk memfitnah Po-ji. Ayo Ciok-lote, mari kita mencari orang she Bwe dan melabraknya.”

“Nanti dulu,” sela Kongsun Put-ti. “Dalam hal ini tidak dapat menyalahkan Bwe Kiam.”

“Tidak menyalahkan Bwe Kiam, lantas siapa yang harus disalahkan?” teriak Put-we gusar.

Kongsun Put-ti menghela napas, katanya, “Masa tidak dapat kau lihat semua ini pasti tipu muslihat yang diatur iblis jahat di balik layar itu? Apa yang diperbuatnya ini sengaja menimbulkan rasa hina para kesatria terhadap Po-ji. Jika apa yang terjadi sekarang tersiar di dunia Kangouw, maka runtuhlah nama Po-ji, andaikan nanti Po-ji muncul dan bertempur, tentu ia akan dituduh sebagai manusia yang tidak dapat dipercaya dan apa pun sukar bagi Po-ji untuk memberi penjelasan.”

Semua orang sama menarik napas dingin membayangkan muslihat keji iblis itu.

Dengan geregetan Kim Put-we berteriak, “Sungguh iblis yang kejam dan tipu yang keji. Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan Po-ji sehingga dia sengaja mengatur cara sekotor ini untuk menghancurkan hidup Po-ji?”

“Kuduga iblis itu pasti seorang yang sangat mengenal seluk-beluk Po-ji,” ujar Kongsun Put-ti setelah termenung sejenak, “sebab itulah dia dapat menyuruh orang menyaru sebagai Po-ji, bahkan menirukan gerak-geriknya dengan persis dan tidak ketahuan di depan orang banyak.”

Semua orang sama berpikir dan bertanya-tanya, “Siapakah kiranya orang yang mengenal baik Po-ji dan sengaja memusuhi anak muda itu?”

Kini semua orang pun menyadari keempat orang berbaju putih yang misterius itu tidak lebih hanya bersekongkol dengan Li Eng-hong, setelah tujuannya tercapai cepat mereka kabur. Jika iblis laknat itu mampu memerintah keempat orang berbaju putih yang tinggi ilmu silatnya, tentu kedudukan iblis itu bukan sembarangan. Padahal di antara kenalan atau sanak kerabat Po-ji mana ada tokoh sehebat itu?

“Sesungguhnya siapa iblis laknat itu, saat ini mungkin cuma Po-ji saja yang dapat merabanya, biarlah coba kutanya dia,” seru Kim Put-we sambil berlari ke sana dan hendak menggedor pintu kamar Po-ji.

Cepat Kongsun Put-ti mencegahnya dan berkata, “Nanti dulu. Apa pun juga saat ini jangan kita ganggu Po-ji, biarpun perlu tanya dia juga tunggu nanti saja setelah dia bangun.”

Sementara itu sudah jauh lewat tengah hari, menjelang senja, suasana di hotel kecil ini terasa tambah sunyi.

Ketika malam tiba, tiada seorang pun menyalakan lampu. Rupanya semua orang sama duduk serupa patung dengan perasaan tertekan sehingga tidak ada yang menghiraukan tibanya malam gelap.

Sekonyong-konyong di luar ada suara berisik terseling suara gelak tertawa Kim Co-lim. Cepat semua orang berlari keluar.

Dalam kegelapan malam terlihat dua sosok bayangan, sembari menyanyi dan tertawa, keduanya saling rangkul dan datang dengan langkah terhuyung. Sesudah agak dekat, dapat terlihat seorang di antaranya adalah Kim Co-lim, entah sejak kapan dia telah keluar.

“Hah, yang datang bersama Kim Co-lim bukankah Thian-to Bwe Kiam adanya?!” seru Ban Cu-liang heran.

Waktu mereka menyongsong maju, terlihat baju Kim Co-lim terkoyak dan sekujur badan berlumuran darah, meski wajah kelihatan letih, namun sinar matanya menampilkan rasa riang dan bersemangat.

Keadaan Bwe Kiam juga kedodoran, selain bajunya robek sebagian, rambutnya juga kusut dan terikat tak teratur.

Napas kedua orang tampak sama terengah-engah dan berbau arak, sikap keduanya tampak sangat akrab, tapi juga mirip baru saja mengalami pertempuran sengit.

Tentu saja semua orang heran dan kejut, tidak tahu apa yang terjadi.

Dengan tertawa, Kim Co-lim lantas berseru, “Haha, tentu kalian tidak tahu ke mana kupergi tadi? Hah, pasti kalian tidak dapat menerkanya ... Tadi kupergi mencari Bwe Kiam dan mengadu jiwa dengan dia!”

“Tadi Kim-heng datang mencari diriku dalam keadaan setengah mabuk, tanpa bicara ia labrak padaku,” tutur Bwe Kiam dengan tertawa. “Semula tidak ingin kulayani dia, tapi ketika beberapa jurus serangannya selain berbahaya juga sangat lihai, aku menjadi getol untuk main-main beberapa jurus dengan dia.”

“Haha, sudah lama kudengar golok pengunci Thian-to Bwe Kiam adalah semacam senjata yang sukar dilawan,” seru Kim Co-lim, “semula aku tidak percaya, setelah pertarungan tadi, hehe, barulah kubuktikan senjata Bwe-tayhiap itu memang lain daripada yang lain. Terutama goloknya yang tersembunyi dan bola berantai pada ujung toya, semacam senjata berubah menjadi serbaguna. Sungguh hari ini orang she Kim tidak sedikit menambah pengalaman setelah bergebrak dengan Bwe-tayhiap.”

Melihat bajunya yang berlepotan darah, semua orang dapat menduga pertarungan ini telah membuat Kim Co-lim banyak menelan pil pahit. Dan entah mengapa kedua seteru ini bisa berubah menjadi kawan pula.

Terdengar Bwe Kiam juga tertawa, katanya, “Biarpun golokku sangat sulit dilayani, tapi kewalahan juga menghadapi kegagahan Kim-heng yang tidak kenal takut. Kutempur dia dari tengah hari hingga petang, tubuhnya sudah penuh hiasan luka, bila orang lain mustahil takkan patah semangat dan menyerah. Siapa tahu makin lama dia makin gagah, setiap jurus serangannya bertambah tangkas. Selama hidupku tidak pernah jeri menghadapi siapa pun, tapi hari ini harus kuakui hatiku rada kecut menghadapi Kim-heng.”

“Ah, jangan kau umpak diriku,” ujar Kim Co-lim tertawa. “Apabila engkau tidak berlaku sungkan, tentu sejak tadi aku menggeletak tak bisa bergerak lagi. Meski orang she Kim bukan kesatria segala, sedikit banyak juga tahu baik dan buruk. Ketika engkau berhenti menyerang, mana bisa kumain seruduk lagi tanpa tahu diri?”

“Soalnya kuhormati sebagai orang gagah, maka perlu kutanya untuk apa kau tempur diriku,” ujar Bwe Kiam. “Karena itulah Kim-heng lantas menceritakan segala sesuatu mengenai Pui-siauhiap.”

“Dan sekarang engkau sudah percaya?” tanya Kim Put-we.

“Keterangan orang gagah semacam Kim-heng masa tidak kupercaya?” sahut Bwe Kiam. “Tentu saja kupercaya, maka kuajak Kim-heng minum arak sepuasnya, dan sekarang kudatang untuk menjenguk keadaan Pui-siauhiap.”

“Haha, kata peribahasa, tidak berkelahi tidak saling mengenal,” seru Ban Cu-liang dengan tertawa. “Nyata setelah bergebrak, antara Bwe-tayhiap dan Kim-heng telah menjadi bersahabat. Sayang kami tidak ikut menyaksikan pertandingan yang mengagumkan dan jarang terjadi itu.”

“Sekarang akan kupanggilkan Po-ji untuk bertemu dengan Bwe-heng,” kata Kim Put-we.

“Ah, tidak perlu terburu-buru,” ujar Bwe Kiam. “Kabarnya Pui-siauhiap sedang istirahat, buat apa mengejutkan dia. Yang penting orang she Bwe sudah tahu para kawan di sini adalah kesatria sejati, marilah kuhormati kalian tiga cawan sekadar permintaan maaf. Sebentar bila Pui-siauhiap sudah mendusin, barulah kutemui dia.”

“Benar juga,” seru Ban Cu-liang.

“Aha, bagus, biar kuiringi minum lagi tiga ratus cawan,” tukas Kim Co-lim dengan tergelak.

Di luar tahu mereka, pada saat itulah daun jendela kamar Po-ji yang sedang tidur itu telah tersingkap, sesosok bayangan orang menyelinap ke dalam kamar dengan licin serupa belut.

Kelihatan bayangan itu berpinggang ramping, sinar matanya mencorong terang, meski dalam kegelapan itu tidak kelihatan wajahnya, namun dapat dipastikan tentu seorang perempuan cantik.

Ia berdiri di depan tempat tidur dan memandang termangu pada Po-giok yang masih tidur nyenyak, sorot matanya yang mencorong terasa lembut pula.

Di bawah cahaya bintang yang remang-remang menyelinap ke dalam kamar, tampak rambutnya yang panjang terurai dan kulit mukanya yang putih dengan sikap yang anggun.

Siapa dia?

Sampai lama ia berdiri diam, pandangannya juga tidak bergeser.

Akhirnya terjulur tangannya yang putih halus, perlahan ia meraba kelopak mata Po-giok, tangan yang lembut itu seperti agak gemetar.

Dengan suara perlahan ia tanya, “Coba ... coba terka siapa ... siapa aku? ....”

Akhirnya Po-giok terjaga bangun dalam kegelapan. Lebih dulu ia merasakan bau harum serupa berada di taman bunga, lalu terdengar sayup-sayup bisikan lembut serupa rayuan kekasih yang membetot sukma.

Meski cuma bisikan lembut, namun sudah membuat Po-giok bergetar dan terjaga bangun, akan tetapi tubuh terasa kaku dan tidak dapat bergerak.

“Coba terka siapa aku? ....” terdengar bisikan itu masih mengiang di telinganya.

Tiba-tiba air matanya berlinang-linang, dari balik air mata seakan-akan terbayang olehnya sebuah lukisan ... lukisan dalam mimpi, yaitu seorang anak dara dengan berbaju putih mulus sedang duduk dengan bertopang dagu dan termangu-mangu memandangi bunga kamelia di dalam pot ....”

“Hah, kau ... kau ....” seru Po-giok.

Tangan yang lembut membelai keningnya, ucapannya terlebih lembut, “Anak baik, apa kau mimpi buruk? Jangan takut, aku sudah kembali di sampingmu, apa pun tidak perlu takut.”

Waktu Po-giok membuka mata lebar-lebar, samar-samar dapatlah dilihatnya orang ini memang Siaukongcu adanya. Sesaat itu ia merasa seperti di alam mimpi, apakah pahit atau manis pertemuan ini, sungguh sukar untuk dijelaskan.

Po-giok tidak bersuara, ia tidak dapat berucap, dirasakan tubuh Siaukongcu yang harum dan lunak telah menggelendot dalam pangkuannya.

Perpisahan yang cukup lama telah terlupakan dalam sekejap ini, penderitaan dan kepedihan selama berpisah juga lenyap dalam pelukan lunak ini.

Po-giok ingin bicara, mendadak Siaukongcu mendorongnya dengan keras, lalu berdiri dan menatapnya lekat-lekat sambil menggigit bibir, kemudian berkata, “Bangsat cilik, telur busuk cilik, selama ini apakah pernah kau pikirkan diriku?”

Po-giok tertawa.

Siaukongcu mengentak kaki perlahan dan mengomel, “Bangsat cilik, apa ... apa yang kau tertawakan?”

“Kutertawa karena ... karena selama ini perangaimu belum juga berubah,” jawab Po-giok tertawa.

“Tentu saja aku tidak berubah, yang berubah adalah dirimu,” kata Siaukongcu.

“Dengan sendirinya aku berubah, aku sudah dewasa dan kau masih tetap anak-anak,” ujar Po-giok.

“Ya, sekarang kau sudah besar, sudah menjadi seorang tokoh besar, entah betapa banyak anak perempuan dunia Kangouw yang tergila-gila padamu, tentu saja kau tidak ingat lagi padaku.”

Bicara sampai di sini, matanya menjadi merah dan basah, mendadak ia membalik tubuh dan bermaksud lari pergi, namun Po-giok keburu menariknya.

Dengan mendelik Siaukongcu berkata, “Tokoh besar, untuk apa kau pegang anak seperti diriku.”

“Takkan kupegang dirimu dan engkau juga jangan pergi,” sahut Po-giok dengan lembut.

Sejenak Siaukongcu termenung, katanya kemudian, “Baik ... Coba katakan bahwa selama berpisah ini senantiasa engkau terkenang padaku, mimpi pun memikirkan diriku, dengan begitu aku tidak jadi pergi ... Nah, katakan lekas!”

“Dengan sendirinya senantiasa kukenangkan dirimu,” kata Po-giok.

“Tidak, bukan begitu cara bicaramu,” seru Siaukongcu. “Harus kau katakan seperti apa yang kuucapkan, satu kata pun tidak boleh berbeda. Kalau tidak ... kalau tidak, segera kupergi dan takkan menggubrismu selamanya.”

Po-giok yakin si nona takkan pergi, tapi entah mengapa, di depan si cantik, anak muda yang berwatak keras ini berubah menjadi anak penurut.

Kekerasan hati dan kecerdasan yang tergembleng selama sekian tahun ini kini lenyap seluruhnya di depan si nona.

Muka Po-giok agak merah, ia menunduk, akhirnya berkata, “Ya, selama berpisah, senantiasa kau terkenang padaku, dalam mimpi pun memikirkanku ....”

“Tidak, salah, salah,” seru Siaukongcu. “Kenapa kau katakan terbalik, tolol, bukan aku yang memikirkan dirimu.”

“Aku kan menurut kehendakmu dan menirukan apa yang kau katakan tadi, satu kata pun tidak berbeda,” ujar Po-giok.

“Huh, benci aku, kau sengaja berlagak pilon ....” ucap Siaukongcu dengan menggereget, mendadak ia menjatuhkan diri ke dalam pangkuan Po-giok, merangkul lehernya dan digigitnya satu kali.

Selama beberapa tahun dulu entah berapa kali Po-giok digigit nona itu, namun menurut perasaannya, gigitan sekali ini terasa sangat berlainan dengan dahulu.

Dalam sekejap ini pikirannya terasa kusut dan mabuk, kata “benci” tadi dirasakan mengandung arti yang sukar dilukiskan.

Cahaya bintang seakan-akan tambah terang, menyinari dua bayangan orang yang saling dekap. Tidak ada yang bicara, sebab mereka tidak tahu apa yang perlu dibicarakan. Namun kesunyian tanpa kata itu jauh melebihi beribu kata-kata.

Entah berselang berapa lama, akhirnya Po-giok berucap, “Selama berpisah sesungguhnya apa yang pernah kau alami, coba ceritakan padaku, supaya ingin kubagi sedikit pahit-getirmu dan juga membagi sedikit rasa bahagiamu.”

“Bahagia?” Siaukongcu menegas. “Dari mana datangnya bahagia? Selama ini, kukira ... kukira pengalamanmu yang menyenangkan akan jauh lebih banyak daripadaku. Maka lebih dulu kau ceritakan kebahagiaanmu saja.”

“Ah, selama ini ... apa yang dapat kuceritakan,” ujar Po-giok dengan gegetun. “Pokoknya selama ini dari pagi sampai petang, dari malam sampai siang, di mana pun aku berada, yang senantiasa kupikirkan hanya berlatih kungfu, dengan tekun kupelajari cara bagaimana supaya diriku benar-benar dapat terlebur dengan kungfu yang kulatih.”

Mendadak Siaukongcu mendorongnya lagi dan menjengek, “Hm, kutahu yang kau pikirkan memang cuma belajar kungfu belaka, mana sempat memikirkan diriku.”

Nyata, di depan nona ini satu kata pun tidak boleh salah omong.

Terpaksa Po-giok merayu, “Ai, masa tidak kupikirkan dirimu.”

“Aku tidak percaya, kecuali ....”

“Jika aku bohong, biarlah aku ....”

Cepat Siaukongcu mendekap mulutnya dan menyela, “Baik, aku percaya setiap perkataanmu. Nah, katakan padaku, selama ini adakah anak perempuan yang tergila-gila padamu itu lebih ... lebih ....”

Dengan sendirinya Po-giok dapat menduga apa maksud si nona, katanya tertawa, “Lebih cantik daripadamu? Memangnya perlu kau tanya lagi?”

Siaukongcu menjatuhkan diri lagi ke pangkuan anak muda itu, selang sejenak, tiba-tiba ia berkata pula, “Aku mau pergi saja sekarang.”

“Baru datang segera kau mau pergi lagi?” tanya Po-giok. “Kita baru bicara beberapa kata, masa engkau lantas mau pergi?”

“Setiap saat aku dapat datang dan pergi, siapa yang dapat mengurus diriku?” sahut Siaukongcu.

Kembali Po-giok melenggong dan tak dapat bicara.

Tapi biarpun di mulut bilang mau pergi, ternyata Siaukongcu masih menggelendot di pangkuan Po-giok.

Perlahan Po-giok membelai rambut si nona dan memandang cahaya bintang di luar jendela dengan termangu, ucapnya kemudian dengan gegetun, “Mestinya engkau tidak datang kemari. Bilamana engkau tidak datang, biarpun hatiku kesepian, namun akan tetap tenang. Sekarang kau datang dan segera mau pergi lagi, aku ... aku menjadi bingung.”

Mendadak Siaukongcu berdiri dan menghadap ke sana.

“Engkau benar mau pergi?” tanya Po-giok.

“Kau bilang mestinya aku tidak datang kemari, lalu apa yang kutunggu lagi di sini?” ujar Siaukongcu.

Sejenak Po-giok terkesima, gumamnya kemudian, “Memangnya kau minta kumohon ....”

Waktu ia mendongak, dilihatnya tubuh si nona agak gemetar.

“Engkau men ... menangis?” tanya Po-giok.

“Siapa menangis? Buat apa aku menangis? ....” walaupun demikian ucapnya, mendadak Siaukongcu menjatuhkan diri di tempat tidur dan menangis sedih.

Po-giok menjadi gugup, “Wah, barangkali aku salah omong, engkau jangan ....”

“Tidak, engkau tidak salah omong,” sela Siaukongcu dengan terguguk. “Aku memang seharusnya tidak datang kemari supaya pikiranmu tenang, buat apa kudatang untuk menemuimu pada terakhir kali ini?”

“Terakhir kali?” Po-giok menegas, hatinya seperti dipalu sekali. “Mengapa terakhir kali? Apa maksudmu?”

Siaukongcu seperti menyadari ucapan itu mestinya tidak dikatakan, mendadak ia melompat keluar jendela.

Meski dalam benak Po-giok belum timbul maksud “mengejar”, namun tanpa terasa tubuhnya langsung ikut mengejar keluar. Maklumlah, gemblengan selama sekian tahun ini telah membuatnya memiliki semacam daya reaksi yang spontan.

Siaukongcu juga tidak menyangka gerak tubuh sang anak muda itu bisa begitu cepat, tahu-tahu lengan bajunya kena dipegang Po-giok, namun langkahnya tidak berhenti dan terpaksa Po-giok ikut berlari ke depan.

Dilihatnya air mata si nona bercucuran, tentu saja Po-giok cemas dan bertanya, “Ada apa? Mengapa kau bilang pertemuan terakhir kali?”

“Tidak apa-apa, lepas ... lepaskan ....” sahut Siaukongcu.

Tentu saja Po-giok tidak mau lepas tangan dan keduanya tetap berlari ke depan secepat terbang, setelah melintasi sawah ladang, akhirnya masuk sebuah hutan.

Di situlah Siaukongcu berhenti dan mengomel, “Benci aku, siapa suruh engkau ikut kemari?”

Meski diomeli, namun perasaan tertekan Po-giok menjadi ringan malah, ucapnya lirih, “Bilamana tidak kau jelaskan apa sebabnya, selamanya tetap kuikut padamu.”

“Jangan, kumohon dengan sangat, jangan mendesak padaku,” pinta Siaukongcu.

Ia melepaskan pegangan Po-giok dan berlari lagi ke depan. Dan Po-giok tetap menyusulnya meski tidak lagi memegangi si nona.

“Baik,” kata Siaukongcu akhirnya, “jika engkau memaksaku bicara, terpaksa kukatakan, engkaulah yang minta kubicara, maka janganlah engkau menyesal ....”

*****

Malam sudah larut, halaman dalam hotel kecil itu sunyi senyap.

Gui Put-tam dan Sebun Put-jiok tampak mondar-mandir di halaman, berulang Put-tam mendongak memandang langit dan memperkirakan waktunya, katanya kemudian, “Sudah lebih dua jam rombongan Toako keluar.”

Dengan tersenyum Sebun Put-jiok menjawab, “Dua jam sih belum ada, memang orang yang sedang menunggu selalu merasakan lamanya waktu menunggu. Sebaliknya mereka yang minum arak akan merasakan waktu berjalan dengan cepat.”

“Justru lantaran kita tidak gemar minum, maka diberi tugas pahit ini,” kata Put-tam dengan menggeleng. “Disuruh jaga di sini, ai, apa pun juga kan lebih enak yang sedang minum arak?”

“Kau memang biasa tidak mau dirugikan,” ujar Sebun Put-jiok dengan tertawa. Tiba-tiba ia menghela napas dan menyambung, “Akhir-akhir ini perasaan Toako memang agak berat, kita harus memberi kesempatan padanya untuk minum sepuasnya sekadar menghibur hatinya.”

Belum lagi Put-tam menanggapi, terdengarlah suara ramai orang banyak di luar, menyusul Bok Put-kut, Ban Cu-liang, Bwe Kiam, dan lain-lain membanjir masuk.

“Gui-samte berdua tentu sudah mengantuk,” kata Bok Put-kut, lalu ia tuding kamar Po-giok dan bertanya, “Apakah masih tidur?”

“Ya, sampai saat ini belum terdengar sesuatu gerak-gerik, mungkin tidurnya sangat lelap,” jawab Gui Put-tam.

“Sudah cukup lama ia tidur. Bwe-toako juga sudah menunggu sekian lamanya,” teriak Kim Co-lim. “Betapa pun juga harus kita bangunkan dia dan jangan membuat Bwe-toako menunggu lebih lama lagi.”

Semua orang memandang Kongsun Put-ti dan menunggu komentarnya.

Put-ti tersenyum, ia mendekati pintu kamar Po-giok dan mengetuk perlahan sambil memanggil, “Po-ji ... Po-ji, bangunlah ....”

Meski sudah diulang memanggil tetap tidak ada jawaban. Segera ia mendorong pintu dan masuk ke situ, ternyata kamar kosong melompong.

Kejut semua orang sungguh tak terkatakan. Ciok Put-we dan Gui Put-tam cepat menyalakan lampu, terlihatlah di atas meja ada secarik surat, jelas ditinggalkan oleh Po-ji.

Isi surat itu meminta maaf kepada para paman bahwa keadaan mental dan fisiknya telah merosot setelah mengalami beberapa pertandingan, bahwa disadarinya cara menggunakan ilmu silat untuk mencari nama adalah cara yang keliru dan menimbulkan antipati orang banyak, maka selanjutnya dia akan mengundurkan diri dari dunia Kangouw dan malu untuk bertemu lagi dengan para paman. Kepergiannya adalah untuk mengasingkan diri untuk mengakhiri masa hidup selanjutnya.

Isi surat ini kecuali berbeda sebutan dan kalimatnya juga berlainan, selebihnya seperti kertas surat, gaya tulisan, nada, semuanya serupa surat yang diterima Bwe Kiam itu. Barang siapa asalkan pernah membawa kedua surat ini tentu akan memastikan kedua pucuk surat ini ditulis oleh si orang yang sama.

Semua orang bergiliran membaca surat itu, semuanya sama melenggong.

Pengaruh arak pada Bwe Kiam lenyap sama sekali, ia pandang Kim Co-lim dan berkata, “Kiranya surat yang kuterima memang benar ditulis oleh Pui Po-giok.”

Kim Co-lim juga tersadar dari mabuknya, ucapnya dengan menyesal, “Hah, mana ... mana bisa Po-giok bertindak demikian. Dia bukan manusia begitu, Bwe-heng, dia ....”

“Hm, mungkin kalian pun tertipu olehnya,” jengek Bwe Kiam.

Wajah Bok Put-kut dan lain-lain sama pucat. Kongsun Put-ti berpikir sejenak, tiba-tiba ia sodorkan surat itu ke depan Thi-wah yang tampak termenung di samping, tanyanya, “Apakah ini memang tulisan tangan toakomu?”

Hendaknya maklum, meski semua orang telah berkumpul sekian lama dengan Po-giok tapi tiada seorang pun pernah melihat gaya tulisan anak muda itu, terpaksa mereka minta keterangan kepada Gu Thi-wah.

Siapa tahu bocah gede itu hanya menunduk saja dan menjawab, “Aku pun tidak tahu.”

Semua orang sama menggeleng kepala dan menghela napas belaka.

Tiba-tiba Bok Put-kut berkata, “Salah kita, sejak tadi tidak ada yang menjenguk Po-ji apakah masih tidur di sini atau tidak ... Ai, bilamana benar ia bertindak demikian, sungguh terlalu dia, sampai kita pun tega dikelabuinya.”

Nada ucapannya jelas menunjuk pikirannya mulai goyah dan tidak percaya penuh lagi kepada Pui Po-giok.

Bwe Kiam menghela napas, katanya sambil menepuk bahu Kim Co-lim, “Bukan maksudku berolok-olok. Padahal dengan kungfu setinggi Pui Po-giok, siapa pula di dunia ini yang mampu memaksakan sesuatu yang tidak mau diperbuatnya, dan siapa pula yang dapat menculik dia ... Seumpama ada yang lebih unggul daripada dia, ketika keduanya bertengkar pasti juga akan menimbulkan suara, masakah orang di luar tidak ada yang dengar?”

Uraian ini cukup masuk di akal sehingga membuat semua orang tidak dapat membantah.

Mendadak Thi-wah berteriak, “Aneh, mengapa isi surat ini sama sekali tidak menyinggung diriku?”

“Ya, betul, kau tidak disebut-sebut,” tukas Ban Cu-liang.

“Jika surat ini tidak menyebut diriku, maka surat ini pasti bukan ditulis oleh toakoku,” teriak Thi-wah. “Sebab kalau Toako benar mau pergi, apa pun juga dia pasti akan tanya pendapatku.”

Habis bicara, tak tahan lagi air matanya bercucuran.

Kim Put-we juga mencucurkan air mata, teriaknya, “Betul, apa pun juga aku pun tidak percaya akan perbuatan Po-ji, semua ini pasti muslihat keji pula si iblis jahat di balik layar itu.”

*****

Sementara itu Siaukongcu sedang menatap tajam Po-giok dan berkata, “Kau sendiri yang minta kukatakan, setelah tahu janganlah engkau menyesal.”

“Asalkan aku sendiri sukarela, urusan apa pun takkan membuatku menyesal,” sahut Po-giok.

“Baik,” kata Siaukongcu. “Nah, kau tahu, aku kan diculik oleh kawanan orang jahat itu, berada di tengah kawanan iblis itu, penderitaan yang telah kualami tentu dapat kau bayangkan tanpa kujelaskan.”

No comments: