Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 7

Oleh : Tjan ID

Seng Tiong-gak manggut-manggut, kemudian berjalan menuju ke luar.

Tang Cuan memahami maksud Susioknya, dia pun mengikuti di belakang Seng Tiong-gak keluar dari ruangan itu.

Mereka berdua langsung berjalan menuju ke halaman gedung tingkat ketiga.

Pada waktu itu, mereka berdua sama-sama tidak berbicara lagi, tapi jalan pemikiran mereka berdua adalah sama, dengan sepasang mata yang tajam mereka mengawasi situasi di sekeliling tempat itu.

Para anggota Kay-pang bertugas dengan disiplin yang tinggi, sewaktu mereka berdua masuk ke ruang tengah gedung ketiga, dari balik ruangan segera muncul seorang pengemis setengah umur yang segera menyapa.

“Seng-ya, Tang-ya kalian berdua sedang jalan-jalan?”

“Hati kami lagi kesal, ingin sekali berjalan-jalan di kebun bunga belakang sana,” jawab Seng Tiong-gak.

“Silakan, kebun bunga di belakang sana tidak terlalu besar, tapi sangat indah, perlu aku menjadi petunjuk jalan untuk kalian berdua?”

“Tidak usah, silakan kau urusi tugasmu sendiri.”

Pengemis setengah umur itu segera menjura dan berlalu dari situ.

Sambil berjalan sambil bercakap-cakap, dengan telitinya Seng Tiong-gak serta Tang Cuan lalu mengitari pula kebun itu satu kali, setelah itu baru mereka kembali ke gedung di lapisan ke dua.

Waktu itu Pek Bwe sudah lama menantikan kedatangan mereka berdua.

“Loya-cu!” Seng Tiong-gak segera berbisik, “kami rasa kita tak boleh hanya mengandalkan kekuatan dari pihak Kay-pang saja untuk melindungi keselamatan kita, maka aku dan Tang Cuan telah memperhatikan situasi di dalam gedung ini, sehingga bila terjadi sesuatu peristiwa, kita pun tak usah menghadapinya dengan panik.”

“Yaa, kita memang harus berhati-hati.”

“Cara kerja anggota Kay-pang memang amat disiplin, ketika kami memasuki gedung ketiga sana, telah berjumpa salah seorang di antaranya, cuma sayang gedung itu terlampau besar sedang mereka yang bertugas cuma enam orang saja, suatu jumlah yang terlampau kecil.”

“Aaai..... harus disalahkan aku yang terlalu bertindak gegabah,” keluh Pek Bwe sambil menghela napas panjang.

Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu urusan yang penting, sambil bangkit berdiri katanya lagi.

“Tiong-gak, kau mengatakan dalam gedung ketiga telah berjumpa orang anggota Kay-pang?”

“Satu orang!”

“Hanya satu orang?”

“Ya, aku hanya melihat satu orang.”

Pek Bwe termenung beberapa saat lalu katanya lagi.

“Beri tahukan kepadaku, macam apakah orang itu?”

“Pek Loya-cu, maksudmu, anggota Kay-pang tersebut pun amat mencurigakan?”

“Aku kuatir dia bukanlah anggota Kay-pang.........”

Kemudian sambil memandang sekejap ke arah Tang Cuan, ia melanjutkan :

“Kau tinggal di sini, aku dan Tiong-gak akan memeriksa sebentar keadaan di sana.”

Begitu selesai berkata, ia telah bergerak lebih dulu.

Seng Tiong-gak merasa masalah ini amat serius sekali, buru-buru dia menyusul di belakangnya.

Memandang bayangan punggung kedua orang itu berlalu, Tang Cuan merasakan hatinya amat sedih, terbayang sebelum gurunya meninggal dulu, segala sesuatunya Suhulah yang memikul tanggung jawab itu, sedang Suheng-te sekalian kecuali berlatih silat, boleh dibilang tiada persoalan lain yang dipikirkan lagi.

Siapa tahu setelah terjadinya tragedi di malam itu, bukan saja Suhunya mati oleh ilmu sakti lautan utara, perkampungan Ing-gwat-san-ceng pun musnah menjadi abu dalam semalaman saja, para sutenya mati dibunuh dan siau-sutenya lenyap tak berbekas, suasana riang gembira dan penuh kedamaian semula menyelimuti mereka kini berubah menjadi memedihkan hati, apalagi dewasa ini tinggal empat orang saja yang masih hidup.

Peristiwa ini bukan hanya suatu dendam berdarah saja, melainkan juga suatu tanggung jawab yang amat berat.

Begitu terjun ke dunia persilatan, semua kelicikan dan kebusukan orang persilatan segera dijumpainya, ia mulai merasa bahwa setiap langkahnya serasa menghadapi rintangan dan halangan, apalagi setelah terlepas dari pengawasan gurunya.

Penderitaan yang berat paling mudah membuat seseorang matang lebih cepat, peristiwa berdarah yang mengerikan membuat Tang Cuan dan Seng Tiong-gak mulai mempergunakan otak dan kecerdasan masing-masing untuk menghadapi setiap situasi dan perubahan.

Ia merasa hal ini harus dilaporkan dulu kepada ibu gurunya, agar bila terjadi sesuatu peristiwa tak sampai gelagapan dibuatnya.

Pelan-pelan ia berjalan ke depan kamar Pek Hong, lalu mulai mengetuk pintu.

Dari balik ruangan terdengar suara sahutan dari Pek Hong :

“Siapa di situ?”

“Tecu, Tang Cuan!”

“Ada urusan apa?”

“Pek-cianpwe menemukan bahwa anggota Kay-pang yang bertugas di gedung lapisan ketiga amat mencurigakan, ia bersama Seng-susiok telah pergi melakukan pemeriksaan, Tecu merasa kejadian ini amat gawat dan berbahaya, bila terjadi sesuatu perubahan tentu luar biasa sekali, maka sengaja Tecu datang memberitahukan hal ini kepada Subo.”

“Baik, aku sudah tahu!”

“Tecu akan berjaga di luar ruangan, jika Subo hendak memberi perintah harap segera disampaikan, Tecu segera akan menyusul kemari.”

Pelan-pelan pintu ruangan terbuka dan Pek Hong pun munculkan diri, katanya :

“Tang Cuan, tak kusangka kalian semua begitu setianya kepada perguruan, walaupun hatiku merasa amat bersedih hati, tapi dengan cepat telah memperoleh pula hiburan yang besar.”

“Tecu sudah banyak menerima budi kebaikan dari perguruan, meskipun badan harus hancur, budi ini belum tentu bisa terbalaskan.”

Pek Hong menghela napas panjang.

“Tang Cuan,” katanya, sekarang kau adalah seorang ciangbunjin dari perguruan Bu-khek-bun, aku yang menjadi Subomu sudah seharusnya melindungi keselamatanmu, Tang Cuan. Mari kita bersama-sama duduk di ruang tengah sambil menanti kedatangan mereka.”

“Tecu tak berani, lebih baik Subo beristirahat saja di dalam kamar.”

Pek Hong tertawa getir.

“Tang Cuan, aku membutuhkan sesuatu yang merepotkan, yaa, hanya kerepotan dapat mengurangi rasa sedih yang mencekam dalam hatiku.”

Tang Cuan tidak berani berbicara lagi, setelah mengiakan dia pun mengundurkan diri ke samping.

Dalam pada itu, Pek Bwe dan Seng Tiong-gak telah lari masuk ke gedung tingkat ketiga dengan langkah tergesa-gesa.

Suasana di dalam ruangan itu sunyi senyap, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.

Seng Tiong-gak mendehem berat-berat, kemudian menegur.

“Adakah seseorang di sini?”

Berulang kali ia berteriak, namun tiada jawaban yang kedengaran.

Paras muka Seng Tiong-gak segera berubah hebat, katanya kemudian :

“Loya-cu, tampaknya dugaanmu benar!”

Tiba-tiba Pek Bwe melompat ke depan dan menyelinap masuk ke tengah ruangan.

Mendadak cahaya tajam berkelebat lewat, tiga titik cahaya putih dengan kecepatan luar biasa menyergap diri mereka.

Waktu itu malam hari sudah menjelang tiba, pemandangan di sekeliling tempat itu sudah mulai kabur.

Tiga bilah pisau terbang itu menyambar lewat dari sisi tubuh mereka dan.... Traaang! Traaang! Traaang! Diiringi tiga kali dentingan nyaring ketiga batang senjata tersebut bersama-sama menancap di atas tiang penyangga ruangan.

Dengan sinar mata tajam Pek Bwe mengawasi ke balik kegelapan di mana senjata rahasia itu berasal, kemudian pelan-pelan berseru :

“Sobat, caramu yang bermain sembunyi macam cucu kura-kura, apakah tidak terasa sebagai perbuatan seorang manusia rendah yang tidak tahu malu...........?”

Tiba-tiba dari balik kegelapan menyelinap keluar dua sosok bayangan manusia yang langsung melompat naik ke atas atap rumah.

Seng Tiong-gak segera mengayunkan tangannya ke muka, dua batang senjata rahasia bunga teratai besi dengan cepat meluncur ke depan.

Senjata rahasia bunga teratai besi dari perguruan Bu-khek-bun merupakan ilmu sakti dari dunia persilatan, secepat sambaran kilat kedua biji senjata rahasia itu meluncur ke depan.

Suara mengaduh bergema memecahkan keheningan, sesosok bayangan manusia segera terjungkal ke bawah dari atas atap rumah, tapi orang yang berjalan di belakangnya karena terhalang oleh rekannya di depan, buru-buru merendahkan diri dan menghindarkan diri dari serangan tersebut :

Dengan kecepatan tinggi, Seng Tiong-gak melompat ke depan dan menyambar ke samping laki-laki yang terhajar oleh senjata rahasia bunga teratai besi itu.

Senjata rahasia bunga teratai besi itu bersarang telak di dada sebelah kiri lelaki itu sehingga masuk separuhnya, darah segar segera berhamburan keluar membasahi tubuhnya.

Lelaki itu masih berusaha untuk meronta dan mencoba bangkit berdiri, tapi sebuah totokan dari Seng Tiong-gak segera merobohkan dirinya.

Pek Bwe sendiri cuma berdiri tak berkutik, dia membiarkan lelaki yang seorang lagi kabur meninggalkan tempat itu.

Seng Tiong-gak yang menyaksikan kejadian itu segera menegur dengan kening berkerut.

“Locianpwe, kenapa kau lepaskan dia?”

“Seorang saja sudah lebih dari cukup, buat apa musti menahan kedua-duanya? Mereka tak lebih cuma manusia kelas tiga, percuma menahan mereka terlalu banyak, sebaliknya justru akan memancing perhatian dan rasa kuatir mereka. Sekarang, kita musti mencari dulu orang-orang Kay-pang sebelum bertindak lebih jauh.”

“Loya-cu, orang-orang ini semuanya bukan orang Kay-pang!”

“Semoga saja apa yang Lohu duga tidak keliru!”

Apa yang diduga Pek Bwe memang tidak salah, dari dalam sebuah ruangan yang amat rahasia mereka berdua berhasil menemukan tiga orang anggota Kay-pang.

Cuma saja, ketiga orang anggota Kay-pang itu telah berubah menjadi tiga sosok mayat.

Pek Bwe segera membuat obor dan memeriksa mayat mereka, tampak paras muka ketiga anggota Kay-pang itu sudah berubah menjadi hijau kebiruan, agaknya kematian mereka disebabkan oleh sejenis racun yang amat jahat.

Setelah memeriksa sekian lama atas ketiga sosok mayat itu, Pek Bwe menghela napas panjang, katanya :

“Mari kita pergi saja!”

“Mereka sudah mati semua?” bisik Seng Tiong-gak.

Pek Bwe mendengus.

“Paling tidak sudah empat jam lamanya mereka menghembuskan napas yang penghabisan.”

“Apa yang menyebabkan kematian mereka?”

“Terkena semacam senjata rahasia yang amat beracun, senjata rahasia itu biasanya disebut jarum ekor kalajengking, racun yang dipoleskan di ujung jarum itu sangat berbahaya, begitu ketemu darah lantas merenggut nyawa.”

“Perlu tidak kita laporkan peristiwa ini kepada Yu-toucu?”

Pek Bwe mengangguk.

“Kita harus melaporkan hal ini kepadanya, bahkan lebih cepat lebih baik, sebab mereka mempunyai senjata rahasia jarum ekor kala yang amat beracun, itu berarti mereka bisa membunuh orang tanpa menimbulkan sedikit suara pun.”

“Loya-cu, masakah jarum ekor kala itu sedemikian lihainya?”

“Benda itu asalnya datang dari Lam-huang dulunya dipakai sebagai senjata tulup orang-orang suku Biau, kemudian telah diubah orang menjadi semacam senjata pembidik otomatis yang diperlengkapi dengan pegas tinggi, sambaran jarumnya tidak menimbulkan suara, bentuknya macam ekor kala beracun dan panjangnya cuma tiga hun, jarang ada orang yang bisa meloloskan diri dari sergapan senjata rahasia tersebut.”

“Kalau begitu, sergapan senjata rahasia tersebut sulit untuk diatasi....?”

“Bukan berarti tak bisa diatasi, setiap benda tentu memiliki kelemahan, demikian juga dengan senjata rahasia tersebut, lantaran bentuknya yang amat kecil dan lembut maka jarak bidiknya tak bisa jauh, untuk memperoleh hasil yang baik, orang harus membidiknya dari jarak delapan depa dari sang korban.”

“Sungguh luas pengetahuan Loya-cu, Boanpwe betul-betul merasa kagum,” puji Seng Tiong-gak kemudian.

Pek Bwe menghela napas panjang.

“Aaai........! Tiong-gak, jangan berkata begitu, ucapanmu bisa bikin muka Lohu menjadi panas saja, hayo kita berangkat.”

“Bagaimana dengan orang lain?”

“Bawa saja, banyak persoalan ingin kita ketahui dari mulutnya.”

“Locianpwe, kita akan ke mana?”

“Ke halaman kedua lebih dahulu, kita lihat apakah Yu Lip telah datang atau belum?” seraya berkata, ia melangkah lebih dahulu.

“Locianpwe!” Seng Tiong-gak kembali berbisik, “anggota Kay-pang yang berjaga di halaman belakang sudah dibunuh orang, bagaimana dengan ketiga orang Kay-pang yang berjalan di halaman depan?”

“Yang bertugas di halaman depan masih sehat wal afiat tak seorang pun yang cedera.”

Ketika mereka memasuki halaman lapis kedua, tampaklah cahaya lampu menerangi seluruh ruangan, sedang di tengah halaman penuh berkumpul anggota Kay-pang.

Agaknya orang-orang itu semuanya kenal dengan Pek Bwe, ketika menyaksikan kedatangannya, masing-masing lantas menyapa dan saling menganggukkan kepala.

Pek Bwe membawa Seng Tiong-gak langsung menuju ke ruangan tengah.

Waktu itu Pek Hong sudah duduk di kursi kebesaran di tengah ruangan, di sampingnya berdiri Tang Cuan.

Ketika itu Hun-toucu dari perkumpulan Kay-pang cabang kota Siang-yang, si Kaitan Emas Yu Lip sedang berbisik-bisik dengan Tang Cuan dengan wajah serius, sewaktu dilihatnya Pek Bwe dan Seng Tiong-gak muncul sambil menggendong seorang lelaki asing, ia segera bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan mereka.

“Pek-ya, bagaimana nasib ketiga orang anggota Kay-pang yang bertugas di halaman belakang?”

“Semuanya telah ketimpa musibah!”

Yu Lip segera menghela napas panjang.

“Aaaai........! akulah yang salah, akulah yang salah, seharusnya aku sendiri yang musti bertugas di tempat itu.

“Saudara Yu, kau tak perlu menegur diri sendiri lagi,” hibur Pek Bwe, “kalau dibilang teledor, maka aku jauh lebih teledor dari padamu, tanggung jawab ini sudah seharusnya aku yang pikul.”

“Pek-ya, aku telah mengirim surat kepada Pangcu dan memohon dia orang tua agar datang kemari lebih awal, aaai! Perubahan yang terjadi di tempat ini terlalu banyak, tampaknya aku tak akan mampu menghadapi kesemuanya seorang diri.”

“Untung saja Tiong-gak berhasil meringkus salah seorang di antara mereka, mari kita tanyai dirinya lebih dulu!”

Yu Lip manggut-manggut :

“Seng-ya!” ujarnya kemudian, “lepaskan dia, dan tolong bebaskan dulu jalan darahnya.”

Seng Tiong-gak manggut-manggut, dia menurunkan laki-laki itu dari atas bahunya dan menepuk bebas jalan darahnya yang tertotok.

Dengan mata membara merah, Yu Lip menegur dengan suara dingin :

“Bocah keparat, dengarkan baik-baik kau telah membinasakan tiga orang anak buahku yang membuat kemarahan aku si pengemis meluap, asal sepatah kata saja kau berani berbohong, segera kukorek keluar sebuah matamu lebih dahulu.”

Setelah jalan darahnya dibebaskan, laki-laki itu menggerakkan lengannya sebentar, kemudian menjawab :

“Pengemis busuk, lebih baik jangan berlagak sok di depan bapakmu, jika kau sanggup mengorek sepatah kata saja dari mulutku, anggap saja kau si pengemis busuk memang betul-betul berkepandaian tinggi.”

Mencorong sinar tajam dari balik mata Yu Lip, dia segera mencengkeram lengan kanan laki-laki itu, kemudian serunya :

“Baik, anggap saja kau memang hebat, aku berharap kau bukan cuma berlagak di mulut belaka.”

Sepasang tangannya segera meremas sepenuh tenaga, “kraak!” lengan kanan laki-laki itu segera patah menjadi dua bagian.

Ternyata laki-laki itu memang perkasa, meskipun lengan kanannya dipatahkan, ternyata merintih pun tidak.

Melihat itu, kontan saja Yu Lip tertawa dingin.

“Bocah keparat, kau memang hebat, aku si pengemis tidak percaya kalau tubuhmu terbuat dari besi dan baja, kali ini aku pengemis akan mengorek keluar matamu.”

Tangan kanannya menyambar ke depan siap mengorek mata kanan laki-laki itu.

“Yu-toucu, hentikan perbuatanmu itu!” cegak Pek Bwe sambil menghembuskan napas panjang, “orang ini sudah mati!”

Yu Lip tertegun, ketika ia mencoba untuk memeriksa sendiri, betul juga sekujur badan lelaki itu sudah berubah menjadi hitam pekat, jelas ia telah menelan obat beracun bahkan sudah keracunan yang mengakibatkan jiwanya melayang.

Sambil menurunkan kembali mayat orang itu ke tanah, air muka Yu Lip berubah menjadi murung bercampur sedih, katanya :

“Aaai......! ibaratnya perahu terbalik dalam selokan, aku tidak mengira kalau keparat ini telah menyembunyikan kapsul berisi cairan racun jahat di antara sela-sela giginya........”

“Inilah yang dinamakan sekali salah melangkah, selanjutnya salah terus menerus, dengan kekalahan yang kita perbuat sekarang, maka segala sesuatunya kita bakal berada dalam perhitungan musuh.”

“Sudah lima tahun aku menjabat sebagai Hun-toucu dari kota Siang-yang, tapi selama lima tahun ini segala sesuatunya berjalan aman dan tak pernah terjadi sesuatu apa pun, baru saja Pangcu menyerahkan sebuah tugas kepadaku, aku sudah melaksanakannya dalam keadaan begini, aaai! Mana aku punya muka untuk berjumpa lagi dengan Pangcu?”

“Yu-toucu, kau tak usah bersedih hati, musuh kita berada dalam kegelapan dan kita justru di tempat terang, cara kerja mereka cukup keji dan hebat, dalam hal ini kau tak bisa disalahkan, coba kau lihat, bahkan Lohu pun berhasil dipecundangi olehnya.......”

Sesudah berhenti sejenak, terusnya :

“Cuma, kita masih belum gagal total............”

Yu Lip kembali tertawa getir, katanya kemudian :

“Kita belum gagal total? Tanpa menimbulkan sedikit suara pun tiga orang anggota Kay-pang kami telah dijagal orang, sedang jejak musuh pun tidak berhasil kita ketahui, apakah ini tidak terhitung sesuatu kekalahan yang mengenaskan?”

Agaknya rasa sedih, gundah yang mencekam perasaannya sudah mencapai titik puncak, hingga wajahnya ikut berubah menjadi hijau membesi dan tubuhnya agak menggigil.

Pek Hong yang selama ini membungkam, segera menghembuskan napas panjang, katanya :

“Yu-toucu, kau tak usah bersedih hati, andai kata Pangcu kalian menanyakan masalah ini, aku akan memikul tanggung jawab ini.”

Paras muka Yu Lip pelan-pelan berubah menjadi biasa kembali, buru-buru dia bangkit memberi hormat.

“Terima kasih Hujin,” serunya cepat.

“Yu-toucu, yang lewat kini sudah lewat, mari kita selesaikan dulu mayat dari ketiga orang rekan Kay-pang sebelum melakukan perundingan lebih lanjut,” usul Pek Bwe.

“Pek-ya, tiga orang saudara yang ketimpa musibah akan diselesaikan oleh Kay-pang, yang penting buat kita sekarang justru adalah cara untuk menghadapi mereka, kita musti mempersiapkan diri lebih baik agar jangan sampai terjadi sesuatu lagi.”

“Soal ini aku mengerti, kerepotan yang menimpa diriku selama ini sudah cukup memedihkan hatiku, maka aku pikir, kita tak boleh memberi kesempatan lagi bagi mereka di kemudian hari.”

“Pek-ya, pengetahuanmu sangat luas, tolong carilah sesuatu akal untuk mengatasi masalah ini, aku akan mengaturkan dulu penyelesaian dari ketiga layon saudara-saudara yang ketimpa musibah.”

Seusai berkata, dia lantas bangkit dan mengundurkan diri dari ruangan itu.

Memandang bayangan punggung Yu Lip yang buru-buru berlalu, Pek Hong berbisik :

“Ayah, apakah kau berhasil menemukan titik terang? Dari pihak manakah yang melakukan perbuatan keji ini?”

“Belum!” Pek Bwe menggeleng.

“Ayah, masakah dengan pengetahuanmu yang begitu luas, kau tidak berhasil melacaki asal-usul mereka?”

“Aaai! Hong-ji, sudah puluhan tahun bapakmu melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, aku tak berani mengatakan pengetahuanku amat luas, tapi aku percaya banyak masalah yang kupahami, tapi persoalan yang kita hadapi sekarang betul-betul luar biasa, bukan saja jejak mereka sukar dilacaki, bahkan asal-usul dari ilmu silat mereka pun tak bisa kuketahui dengan pasti.”

“Loya-cu,” sela Seng Tiong-gak, “aku dengar Kay-pang merupakan suatu organisasi yang paling tajam pendengarannya, mungkin mereka lebih tahu daripada kita.”

“Aaai! Yang menakutkan justru berada di sini, jika pihak Kay-pang sampai tahu, mereka pun tak akan menderita kerugian sebesar ini.”

“Ayah, lantas apa yang musti kita lakukan sekarang?” keluh Pek Hong.

“Hong-ji, bila menghadapi persoalan maha besar seperti ini, semakin kau tenang semakin mudah persoalan itu diatasi, aku tahu bahwa gerakan mereka ditunjang oleh suatu penyusunan rencana yang amat sempurna, sekalipun demikian mereka telah kelupaan juga di dalam beberapa masalah..........”

“Apa saja yang mereka lupakan? Mungkinkah persoalan itu penting?” tukas Seng Tiong-gak.

“Sampai sekarang Lohu belum berani memastikan, tapi aku yakin mereka pasti akan teledor dalam satu hal, dan keteledoran tersebut kemungkinan besar akan mendatangkan kerugian yang fatal untuk mereka sendiri.”

“Tapi keteledoran macam apa itu?”

“Sebetulnya mereka telah merasakannya, cuma kita belum berhasil menemukannya saja.”

“Ayah, aku tahu keteledoran mereka,” tiba-tiba Pek Hong berseru nyaring.

“Kau tahu, coba katakan!”

“Ayah, kata orang, bila membabat rumput tidak ke akar-akarnya, bila musim semi tiba rumput pun akan tumbuh kembali. Aku yakin mereka pasti akan membabat rumput sampai ke akar-akarnya, mereka pasti hendak membunuh mati kita semua.”

“Hong-ji, jika persoalannya sesederhana ini, bukan keteledoran namanya......”

“Kalau bukan suatu keteledoran, apa pula namanya?”

“Itu namanya suatu kesalahan yang fatal, jika mereka seharusnya membunuh kita dan tidak berhasil menyelesaikan jiwa kita semua, maka persoalan ini tidak seharusnya terjadi. Dewasa ini mereka hanya berusaha untuk menutupi keteledoran tersebut, kita tak akan menduga bagaimana cara mereka untuk menutupi keteledoran itu.”

“Lantas, kecuali ingin membunuh kita semua, apa pula tujuan mereka dengan menyusup kemari?”

Pek Bwe gelengkan kepalanya berulang kali.

“Tak mungkin mereka ingin membunuh kita, jarum ekor kala yang mereka bawa merupakan senjata rahasia yang paling beracun di dunia ini, begitu ketemu darah lantas merenggut nyawa, senjata rahasia semacam ini bukan saja tidak menimbulkan suara sewaktu dibidikkan, sewaktu menyambar pun tidak membawa desingan angin serangan, bila tujuan mereka ingin menyergap kita rasanya tak nanti kita bisa lolos dengan selamat........”

“Tapi siapa tahu kalau mereka belum berhasil mendapatkan kesempatan untuk melakukan sergapan?” tukas Pek Hong.

“Paling tidak, mereka toh punya kesempatan untuk membunuh Tiong-gak serta Tang Cuan?”

Seng Tiong-gak segera menghembuskan napas panjang, ujarnya :

“Apa yang dikatakan Pek Loya-cu memang benar, waktu itu baik aku maupun Tang Cuan sedikit pun tidak melakukan persiapan apa-apa, seandainya mereka berniat untuk menyergap kami dengan ekor kalanya, aku yakin aku serta Tang Cuan sutit sudah tewas secara mengerikan di ujung jarum kala tersebut di saat itu juga.”

“Kalau begitu, kedatangan mereka memang betul-betul karena tujuan lain....?” seru Pek Hong.

“Hong-ji,” kata Pek Bwe sambil menghembuskan napas panjang, “dalam menghadapi pelbagai persoalan, kau tak boleh cepat mengambil kesimpulan, pikirkan dulu masak-masak sebelum mengambil seutas kesimpulan yang akan menjadi dasar dari keputusanmu.”

“Ayak, aku betul-betul tak habis mengerti, sebetulnya apa yang hendak mereka lakukan?”

“Inilah sebab yang musti kita selidiki sekarang.”

“Padahal asal mereka bereskan nyawa kita semua, bukankah persoalannya akan beres dengan sendirinya?”

Pek Bwe goyangkan tangannya berulang kali mencegah ia bicara lebih lanjut, katanya :

“Hong-ji, kau tak usah berbicara lagi, biar kupikirkan dulu sebaik-baiknya.”

Untuk sesaat, suasana dalam ruangan itu pulih kembali dalam keheningan, sedemikian heningnya sehingga tak terdengar sedikit suara pun.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang memecahkan keheningan, menyusul Yu Lip muncul dengan langkah tergesa-gesa.

“Bagaimana dengan jenazah ketiga orang saudara itu?” Pek Bwe segera menegur.

“Telah dimasukkan ke dalam peti mati, dari tubuh salah seorang di antara mereka aku berhasil menemukan sebatang senjata rahasia.”

“Macam apakah senjata rahasia itu?”

“Sebatang jarum beracun yang lembut dan kecil, belum pernah kujumpai jarum semacam itu, mungkin itulah jarum ekor kala yang Pek-ya maksudkan tadi.”

“Coba berikan kepadaku!”

Dari sakunya Yu Lip mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari kain putih dan membukanya.

Di bawah sinar lentera, dapat dilihat jarum itu panjangnya cuma tiga hun, bentuknya memang mirip sekali dengan jurus seekor kalajengking.

Setelah melihat sejenak, Pek Bwe berkata,

“Betul, inilah jarum ekor kala yang termasyhur karena kejadian serta kelihaiannya.”

“Baik!” kata Yu Lip pula sambil membungkus kembali jarum ekor kala itu, “asal ada jarum ekor kala ini sebagai bukti, kita bisa berusaha melacaki jejak sang pembunuh dari sini.”

Pek Bwe memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu katanya :

“Yu-toucu, perintahkan kepada mereka untuk bubar saja!”

“Baik, aku telah memerintahkan kepada mereka untuk melakukan penggeledahan besar-besaran, dalam gedung ini sudah tidak ditemukan jejak musuh lagi.”

Tiba-tiba Tang Cuan menjura, lalu katanya :

“Yu-toucu, gara-gara persoalan Bu-khek-bun kami, perkumpulan anda harus kehilangan tiga orang saudara, kejadian ini sungguh membuat hati kami tak tenang, terimalah rasa terima kasih kami lebih dulu.”

“Yu-toucu, Tang Cuan telah menerima jabatan ciangbunjin dari perguruan Bu-khek-bun,” Pek Bwe segera menerangkan.

Yu Lip segera membungkukkan badannya memberi hormat.

“Menjumpai Ciangbunjin!” serunya.

Tang Cuan membalas hormat, lalu berkata :

“Tidak berani, tidak berani, budi kebaikan yang diberikan perkumpulan anda kepada Bu-khek-bun, tak akan kami lupakan untuk selamanya.”

“Ucapan Tang-ciangbunjin terlalu serius. Berulang kali Pangcu telah memberitahukan kepada kami bahwa Bu-khek-bun pernah melepaskan budi pertolongan kepada Kay-pang, seandainya bukan bantuan dari ciangbunjin yang berhasil melerai pertikaian antara perkumpulan kami dengan pihak Pay-kau, mungkin Kay-pang sudah tak bisa mempertahankan organisasi besar ini, sudah tiga puluh tahun Pangcu kami menjabat kedudukan ini, tapi belum pernah menerima budi kebaikan orang lain, satu-satunya budi kebaikan datangnya justru dari pihak Bu-khek-bun, maka Pangcu kami selalu mengingat kejadian itu di dalam hati, karenanya setiap kali beliau berkunjung ke kota Siang-yang ini selalu memberi pesan agar aku bisa banyak membantu Bu-khek-bun, jadi terhadap bantuan kami ini harap Ciangbunjin tak usah memikirkannya selalu di hati.”

Tang Cuan menghela napas panjang.

“Aaai....! Dalam semalam suntuk Bu-khek-bun ketimpa musibah, bukan saja bangunan kami porak-poranda, anggota perguruan pun banyak yang tewas, sekalipun Tang Cuan menjabat kedudukan ketua atas dasar pesan ciangbunjin, namun aku sadar bahwa usiaku masih muda dan pengalamanku masih cetek, di kemudian hari masih banyak bantuan yang kami harapkan dari Yu-toucu.”

“Aku pengemis tak berani menerimanya, kini musibah yang menimpa perguruan kalian telah kulaporkan kepada Pangcu, aku yakin dalam beberapa hari mendatang, sekalipun Pangcu tidak datang sendiri, beliau pasti akan mengutus beberapa orang Tiang-lo untuk menyusul kemari, dewasa ini meskipun anggota kantor cabang kami tak sedikit jumlahnya, akan tetapi yang betul-betul jago hanya berapa orang, dalam hal pelindungan otomatis tidak cukup sempurna, karena itu kami mohon Tiong-hujin dan Ciangbunjin suka bertindak lebih hati-hati, Yu Lip ingin mohon diri lebih dahulu.”

Pek Hong segera bangkit berdiri sambil menyatakan rasa terima kasihnya atas perhatian mereka.

Yu Lip pun setelah basa-basi sejenak, segera membawa para anak buahnya meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal para jago Kay-pang, Pek Bwe duduk kembali di kursinya sambil bergumam :

“Terhadap bocah itu, mau tak mau Lohu harus merasa kagum juga.”

“Ayah maksudkan siapa?”

“Cu Siau-hong! Bocah ini benar-benar adalah seorang jago lihay yang berotak cerdas!”

“Kok bisa begitu!”

“Ia bisa menduga kalau ada musuh yang bakal menguntil diriku, dan lagi dia pun bisa menduga kalau di sini banyak terdapat mata-mata lawan, maka setelah memberi pesan segera pergi meninggalkan tempat ini.”

“Loya-cu, kalau bukan pengalamanmu luas, mungkin kita semua sudah ketimpa musibah,” kata Seng Tiong-gak kemudian.

“Ini pun berkat peringatan kalian kepadaku, seandainya kalian tidak bercerita kalau telah bertemu dengan seorang anggota Kay-pang, aku pun tak akan curiga. Anak murid Kay-pang selalu bertindak jujur dan terbuka, kecuali merasakan sesuatu keadaan yang gawat, jarang sekali mereka akan menyembunyikan diri di tempat kegelapan. Tiga orang anggota Kay-pang yang bertugas di halaman luar selalu bercakap-cakap sambil bergurau, mana mungkin di halaman belakang cuma seorang yang menyambut kalian, dan lagi setelah kalian berkeliling satu lingkaran, hanya dia seorang yang kalian temukan.”

“Aaaaa..........! Berhati-hati di segala tempat memang suatu ucapan yang tepat, malam ini kembali kita pelajari suatu pengalaman yang luar biasa, tapi pelajaran ini harus dibayar dengan nyawa tiga orang anggota Kay-pang, rasanya suatu pengorbanan yang terlampau besar.”

“Jarum ekor kala begitu jahat dan kejinya, bila mereka menyergap dari kegelapan sungguh membuat kita susah untuk menghadapinya,” keluh Pek Hong sambil mengemukakan kekuatirannya.

“Jarum ekor kala adalah senjata rahasia yang dilarang untuk digunakan oleh umat persilatan, setiap orang yang mempergunakan senjata rahasia semacam ini mereka akan menjadi musuh umum dari umat persilatan, sudah puluhan tahun lamanya benda itu tak pernah muncul dalam dunia persilatan, sungguh tak disangka malam ini kita harus menjumpainya.”

“Itu pun lebih baik,” kata Seng Tiong-gak, “dengan dipergunakannya senjata rahasia beracun itu, berarti terungkaplah asal-usul mereka, asal kita melakukan pelacakan dari jarum ekor kala tersebut, rasanya tak sulit untuk menemukan sumber mereka.”

Pek Bwe menghela napas panjang.

“Apa yang berhasil diraih sekarang hanya bisa dianggap sebagai suatu titik terang, sampai kini masih belum memungkinkan buat kita untuk melakukan pelacakan tersebut, lebih baik kita menunggu kesempatan yang lain,” katanya.

“Ada lagi yang harus kita tunggu?” tanya Pek Hong.

“Menunggu sampai tibanya Pangcu dari Kay-pang. Dewasa ini kekuatan Bu-khek-bun telah mengalami kerugian yang parah, untuk sesaat tak mungkin kekuatan kita dapat pulih seperti sedia kala, jika ingin melakukan penyelidikan atas masalah ini, kita harus menggantungkan bantuan dari Kay-pang, itulah sebabnya persoalan ini kita rundingkan kembali setelah kedatangan Pangcu dari Kay-pang nanti.”

“Bagaimana dengan Siau-hong?” tanya Pek Hong lagi.

“Jangan terlampau menguatirkan Siau-hong, bocah ini cerdas dan hebat, aku percaya dia masih sanggup untuk mengatasi pelbagai perubahan situasi..........”

Ditatapnya Seng Tiong-gak dan Tang Cuan sekejap, kemudian ujarnya lebih jauh :

“Kita semua harus beristirahat secukupnya, kita harus baik-baik menjaga kondisi badan, sebab dalam keadaan seperti ini, setiap saat mungkin akan terjadi perubahan, musuh pun setiap saat bisa menyerbu kemari dalam jumlah besar, kita tak bisa hanya mengantungkan diri pada kekuatan dari Kay-pang saja, tempat ini hanya sebuah kantor cabang, tak mungkin ada banyak jago lihay yang bisa membantu kita.”

“Terima kasih atas petunjuk Cianpwe,” Seng Tiong-gak dan Tang Cuan segera menjura.

“Nah, sekarang kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat! Kalau tidur, pertingkat kewaspadaan masing-masing, kita tak akan mampu untuk menahan pukulan macam apa pun.”

Seng Tiong-gak dan Tang Cuan manggut-manggut, kemudian segera melangkah keluar dari ruangan.

Dengan demikian dalam ruangan pun tinggal Pek Bwe dan Pek Hong dua orang.

Menanti Seng Tiong-gak berdua telah berlalu, Pek Bwe baru berbisik :

“Nak, antara kau dengan Ling-kang apakah tersimpan suatu rahasia?”

“Tidak ada! Ayah, apa maksudmu mengajukan pertanyaan tersebut?”

“Tiada maksud lain, aku hanya ingin memahami duduk perkara yang sebenarnya dari peristiwa ini, sebab hal tersebut akan sangat membantu kita semua.”

Pek Hong termenung dan berpikir sejenak, kemudian katanya :

“Bila kutelusuri kembali kejadian yang berlangsung beberapa tahun belakangan ini, agaknya Ling-kang memang pernah melangsungkan suatu pertemuan rahasia dengan seseorang, cuma ia tak pernah menyinggung persoalan itu kepadaku.”

Setelah berhenti sejenak, dengan penuh kesedihan ia menambahkan.

“Padahal tak lama lagi anak-anak bakal lulus dari perguruan, sungguh tak nyana peristiwa tragis telah berlangsung lebih duluan.”

Pek Bwe tertawa, katanya :

“Hong-ji! Walaupun Ling-kang telah menyerahkan jabatan ciangbunjin kepada Tang Cuan, namun hal mana hanya terbatas pada masalah tugas umum, sedangkan kau masih tetap memikul tanggung jawab yang berat untuk membalaskan dendam bagi kematian Ling-kang.”

“Aku tahu Ayah, kalau aku tidak berhasrat untuk berbuat demikian, mana mungkin aku bisa hidup sampai sekarang?”

“Baik, kau pun pergilah beristirahat, aku pun akan beristirahat sebentar.”

Sekembalinya ke dalam kamar tidur Pek Bwe mengatur napas sebentar, kemudian bangkit dan melakukan perondaan di sekitarnya.

Dilihatnya anggota Kay-pang telah melakukan tiga lapis penjagaan yang ketat, di atas atap, di balik kegelapan hampir ada dua puluhan pos, penjagaan sangat ketat dan keadaan amat tegang.

Setelah menyaksikan penjagaan yang begini ketat, Pek Bwe sedikit banyak merasa lega juga, sekembalinya ke dalam kamar, ia pun tidur senyenyak-nyenyaknya.

Beruntun tiga hari lewat tanpa terasa, segala sesuatunya berjalan dengan aman dan tenang.

Pek Bwe, Pek Hong, Seng Tiong-gak, dan Tang Cuan yang beristirahat penuh selama tiga hari berhasil memulihkan kembali sebagian besar kekuatannya, namun perasaan Pek Hong masih belum juga tenang.

Ia menguatirkan keselamatan Cu Siau-hong, dalam tiga hari tersebut perasaannya selalu gundah berat, namun ia selalu berusaha menahan diri dan tidak mengutarakannya kepada siapa pun.

Kay-pang menyediakan hidangan, minuman, dan tempat berteduh yang paling baik untuk mereka.

Setiap kali bersantap, mereka selalu menyediakan hidangan yang beraneka macam dengan arak yang wangi, Pek Hong sekalipun bersantap dalam ruangan itu juga.

Ketika hari keempat telah tiba, di saat sarapan, Pek Hong benar-benar tak dapat menahan diri lagi, akhirnya dia berseru :

“Ayah, Siau-hong sudah ada tiga empat hari tiada kabar beritanya.”

“Ya, aku tahu, Lohu pun sangat menguatirkan keselamatannya,” kata Pek Bwe cepat.

“Loya-cu, bagaimana kalau aku pergi mencarinya selesai sarapan nanti?” tanya Seng Tiong-gak.

Pek Bwe segera menggeleng.

“Jangan, jangan pergi, kalau harus pergi seharusnya aku yang pergi, lebih baik kalian tinggal di rumah saja.”

“Untuk menghadapi persoalan seperti itu kenapa musti merepotkan Cianpwe dan Susiok? Biar aku saja yang pergi,” kata Tang Cuan.

Kembali Pek Bwe menggelengkan kepala.

“Tang Cuan, berbicara soal pengalaman dunia persilatan, aku jauh lebih berpengalaman dari padamu, tapi kenyataannya kau yang kena dibuntuti pun tidak merasa, dalam hal ini Lohu betul-betul merasa tidak puas.”

“Mereka sudah kenal dengan dirimu, jika ayah yang pergi, bukankah jejakmu segera akan ketahuan?”

“Lohu sudah puluhan tahun lamanya selalu melakukan perjalanan dengan wajah asli dan sebenarnya, tapi kali ini aku akan melanggar kebiasaanku itu.”

“Aaai! Ayah, aku merasa kuatir sekali!”

Dengan wajah serius Pek Bwe segera berkata.

“Semua orang sedang bersedih untuk yang mati, kuatir untuk yang hilang tapi memang begitulah dunia persilatan, suatu tempat yang penuh dengan mara bahaya dan ancaman jiwa. Bila ingin terjun ke dunia persilatan maka orang musti belajar untuk menerima badai dan ombak yang melanda di dunia persilatan. Dulu, kau sudah sering kali ikut aku berkelana menghadapi banyak aral melintang, tapi belum pernah kau tunjukkan sikap semacam ini, ke mana larinya semua pengalamanmu di masa lalu?”

“Ayah memang tepat sekali jika menegur diriku, apakah semakin tua nyali putrimu semakin kecil?” bisik Pek Hong.

“Aaai! Hong-ji, ayah jauh lebih tua dari pada kau, penderitaanku tidak lebih enteng dari penderitaanmu, sekarang aku hanya mempunyai seorang putri semacam kau, dalam usiaku ini siapa tahu aku musti kehilangan menantu, kehilangan cucu luar, pukulan batin yang kuhadapi tidak lebih enteng dari padamu. Sekarang kita sudah kehilangan terlalu banyak, yang hidup harus memikul beban dan bertanggung jawab yang berat ini, bukankah sudah pernah kau katakan, kita harus merubah penderitaan dan kesedihan sebagai kekuatan untuk membalas dendam sakit hati ini?”

“Perkataan ayah memang benar!”

“Kalau kau sudah mengerti itu lebih baik lagi, nah bersantapkah! Selesai bersantap, aku hendak pergi mencari Siau-hong.”

-------------------------------

Loteng Wong-kang-lo di kota Siang-yang merupakan rumah makan yang terbesar di situ.

Rumah makan itu terdiri tiga tingkat, setiap hari selalu penuh dengan pengunjung.

Tengah hari itu, sudah seratus meja penuh yang ditempati para tetamu, pada tingkat kedua dekat jendela duduklah tiga orang perempuan.

Mereka adalah satu-satunya rombongan perempuan yang berada di loteng Wong-kang-lo ketika itu.

Dengan sengaja tak sengaja ratusan pasang mata para tetamu melirik sekejap ke arah mereka. Bahkan ada pula yang terpengaruh oleh arak, mulai mengawasi dengan mata melotot.

Namun sebagian besar para tamu ditujukan pada seorang gadis yang berbaju hijau.

Walaupun gadis itu duduk sambil miringkan kepala, sehingga hanya sebagian wajahnya yang terlihat, rupanya ini sudah cukup menarik perhatian orang-orang banyak, ibaratnya besi bertemu dengan besi sembrani, sinar mata semua orang hampir tertuju ke arahnya.

Dua orang perempuan lainnya adalah nyonya setengah umur yang berusia tiga puluh tahunan, mereka pun mengenakan baju berwarna hijau, dandanannya ringkas dan di sisi mereka tergeletak sebuah bungkusan panjang.

Bagi mereka yang sering kali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, dalam sekilas pandang saja segera akan mengetahui kalau isi buntalan itu adalah senjata.

Entah dikarenakan hadirnya si nona berbaju hijau atau bukan, yang pasti semua tempat duduk di loteng tingkat kedua ini telah penuh.

Setelah menyaru wajahnya, Pek Bwe yang berjenggot putih kini berubah menjadi berjenggot hitam, setelah wajahnya ditutup dengan selapis topeng kulit manusia, maka berubahlah dia menjadi seorang yang lain.

Dengan jubah biru yang baru, pelan-pelan ia menaiki loteng tingkat kedua, mendadak ditemuinya pada sebuah meja dekat dengan tempat duduk nona berbaju hijau itu masih tersisa dua buah kursi, meja itu terdiri dari empat bangku, dua di antaranya sudah ditempati orang, berarti masih bisa memuat dua orang lagi.

Dengan kening berkerut, Pek Bwe segera menghampirinya, setelah menganggukkan kepalanya, ia berkata :

“Usaha Wong-kang-lo memang terlalu baik, Siaute datang agak terlambat, agaknya terpaksa ikut menumpang di sini.”

Agaknya dua orang itu pun tidak saling mengenal, mereka saling berpandangan sekejap lalu memandang pula ke arah Pek Bwe, tak seorang pun yang buka suara.

Melihat itu Pek Bwe kembali berpikir :

“Bagaimana pun aku sudah bertekad untuk duduk di sini, peduli amat kalian mau setuju atau tidak.”

Berpikir demikian tanpa menanti jawaban dari kedua orang itu lagi, dia lantas duduk di hadapan mereka.

Ketika diam-diam dia mencoba untuk mengawasi wajah kedua orang itu, maka diketahuinya yang di sebelah kiri adalah seorang sastrawan setengah umur yang berjubah hijau, sedang yang di sebelah kanan, agaknya seorang pedagang, bajunya hijau pupus, mukanya putih bersih, bertopi kecil, dan usianya antara empat puluh tahunan.

Tampaknya kedua orang itu merasa sangat tak puas dengan kehadiran Pek Bwe di sana. Meskipun tak sampai mengumbar amarahnya, namun rasa tak senang itu jelas terlihat pada wajah mereka.

Diam-diam Pek Bwe tertawa geli, pikirnya :

“Tampaknya kedua orang ini sudah merasa kurang senang karena harus duduk bersama semeja, kini ditambah lagi dengan aku seorang, tak heran kalau mereka makin tak senang hati.”

Tapi kedua orang itu ternyata dapat menahan diri, tak seorang pun yang mengumbar amarahnya.

--------------------------

7

Pek Bwe pun memanggil pelayan, sang pelayan menyahut sambil datang menghampiri, sapanya :

“Khek-koan mau pesan apa?”

Sebelum Pek Bwe sempat menjawab, lelaki setengah umur bertopi kecil itu sudah menyindir lebih dulu.

“Ehmm, bagus amat usaha kalian!”

Pelayan itu tidak membantu Pek Bwe mencari tempat duduk, tak lain karena ia kuatir membuat marahnya orang, maka setelah Pek Bwe mencari tempat duduknya sendiri, mau tak mau ia musti menghampirinya juga. Karena itu, setelah mendengar sindiran tersebut, terpaksa katanya,

“Aah………! Kesemuanya ini adalah berkat bantuan Toaya sekalian kepada warung kami.”

“Hmm, aku lihat, lebih baik aku batal saja,” kata laki-laki bertopi kecil itu sambil bangkit dan berlalu dari situ.

“Khek-koan, sayur pesananmu sudah dibuat.....” teriak pelayan itu gelisah.

“Tidak menjadi soal,” tukas Pek Bwe cepat, “biar sayur yang dia pesan berikan saja kepadaku.”

Setelah ada orang yang bersedia mengganti, senyuman segera menghiasi kembali wajah pelayan itu, bisiknya :

“Khek-koan, kejadian ini sungguh-sungguh karena terpaksa, tempat duduk warung kami memang tak banyak, harga pun murah, maka tak heran kalau tamu dan langganannya juga banyak.”

“Pelayan, aku punya akal bagus, sampaikan saja kepada ciangkwe mu, tanggung kesulitan kalian bisa teratasi.”

“Hamba siap mendengarkan petunjuk Khek-koan.”

“Naikkan saja harga arak dan sayur, niscaya warung kalian tak akan kerepotan.”

Pelayan itu segera tertawa getir.

“Khek-koan,” katanya, “cara ini pun sudah kami pikirkan, sayangnya cara itu pun tak bisa jalan.”

“Wah, kalau begitu aku pun tak punya akal lain, hidangannya lezat, harganya murah, terpaksa kalian musti repot terus.”

Pelayan itu buru-buru memberi hormat dan mengundurkan diri.

Pelan-pelan Pek Bwe mengalihkan sorot matanya ke wajah sastrawan setengah baya yang berjubah biru laut itu, ujarnya :

“Sobat, kau bersedia memberi muka kepadaku, aku merasa amat berterima kasih, biarlah aku yang mentraktir hidanganmu kali ini.”

“Tak usah, meskipun aku tidak terhitung kaya, untuk membayar rekening hidanganku ini masih mampu.”

Pek Bwe tertawa, pikirnya :

“Suasana dari para pengunjung rumah makan hari ini sungguh tak terlalu baik, jangan-jangan ini disebabkan sesuatu alasan?”

Berpikir demikian, sinar matanya mulai berkeliaran ke sana kemari.

Ia berharap bisa menemukan Cu Siau-hong di sana, maka ia perlihatkan tanda rahasia yang dijanjikan dengan pemuda itu.

Tapi dengan cepat ia merasa kecewa, agaknya Cu Siau-hong tidak datang, hingga hidangan sudah siap, belum ada juga yang menyapa dirinya atau menunjukkan jawaban atas tanda rahasianya itu.

Sastrawan setengah umur itu memesan empat macam sayur, sepoci arak dan makan minum seorang diri.

Lelaki setengah umur berwajah putih yang pergi karena mendongkol juga memesan empat macam sayur ditambah sepoci arak.

Sebuah meja kecil dipenuhi delapan macam sayur ini sudah menyita delapan bagian dari permukaan meja, untung saja seorang di antara mereka pergi karena mendongkol, coba tidak, andaikata Pek Bwe pun memesan empat macam sayur ditambah sepoci arak, meja itu pasti tidak muat lagi.......”

Sayur yang dipesan kedua orang itu semuanya berbeda, tapi masing-masing makan punya sendiri.

Sambil minum arak dan bersantap, sepasang mata sastrawan setengah umur itu tiada hentinya mengawasi dua tempat yang sama.

Yang satu tak usah dilihat pun Pek Bwe tahu kalau tempat itu adalah meja yang ditempati si nona berbaju hijau.

Sedang tempat yang lain adalah meja besar di tengah, di situ terdapat sebuah meja bulat yang besar.

Di sekitar meja duduk tujuh orang, enam orang di antaranya mengenakan pakaian yang sama sedangkan yang berada di tengah mengenakan jubah panjang.

Ini menunjukkan kalau keenam orang itu mempunyai kedudukan yang sama, sedangkan kedudukan orang itu paling istimewa.

Dia adalah seorang anak muda, kepalanya mengenakan topi pelajar dan di hadapannya tergeletak sebuah kipas yang panjangnya mencapai dua depa lebih.

Pengalamannya yang luas segera membuat Pek Bwe menjadi lebih waspada lagi, karena dalam sekilas pandangan ia telah mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang jago yang berilmu tinggi, sekalipun bajunya perlente, sedikit pun tidak membawa sifat dunia persilatan, namun kesemuanya itu tak dapat menutupi kemampuan mereka yang sesungguhnya.

Tiba-tiba sastrawan setengah umur itu mengangkat poci araknya dan memenuhi cawan Pek Bwe dengan cawan arak, kemudian bisiknya :

“Tolong tanya siapa namamu?”

“Siaute she Bwe!”

Sengaja ia pergunakan namanya sebagai nama marga.

“Apakah Bwe yang berarti bunga Bwe? Siapa nama anda?”

“Ah, namaku kurang sedap didengar, lebih baik tak usah dibicarakan!”

“Siaute ingin mengetahui dengan hati yang tulus,” sastrawan itu cepat berseru sambil tertawa.

“Kalau memang begitu, terpaksa aku harus mengakuinya, nama tunggalku adalah Pi!”

“Bwe Pi, bunga Bwe menyiarkan bau harus, biji Bwe bisa membuat arak, bagaimana dengan Bwe Pi (kulit bunga Bwe)? Apa kegunaannya?”

“Betul juga perkataan anda, sebab itu meski sudah setengah abad usiaku satu pekerjaan pun tak ada yang berhasil,” jawab Pek Bwe.

Setelah berhenti sejenak, ia ganti bertanya, “Siapa nama saudara?”

“Siaute she Pi, justru kebalikan dari nama saudara.”

“Oh, sungguh amat kebetulan, mari, mari, kita keringkan secawan arak!”

Setelah saling meneguk secawan, Pek Bwe berkata lagi :

“Siapakah nama lengkap saudara Pi......”

“Pi Kay!”

Pi Kay, kulit merekah, kulit bisa dibuat pakaian, bisa dibuat sepatu, kulit yang merekah.

Sambil tertawa, sastrawan setengah umur itu segera menyambung :

“Jika kulit merekah daging pun nampak, setelah kenyang bersantap aku harap saudara Bwe cepat-cepat melanjutkan perjalanan............”

“Maksud saudara Pi...........”

“Maksud Siaute, tempat ini tak baik untuk ditempati terlalu lama........”

“Oooh kenapa?”

“Tidak karena apa-apa, asal saudara Bwe tidak percaya dengan perkataan Siaute, silakan saja untuk tetap tinggal di sini.”

“Aku percaya, cuma aku ingin bertanya dulu sejelasnya.”

“Baik, tanyalah!”

“Tempat ini banyak sekali pengunjungnya, pertama aku tidak melanggar hukum, kedua aku pun tidak berbuat kejahatan, kenapa aku musti kabur dari sini?”

Pi Kay segera tersenyum.

“Saudara Bwe, bila ingin berbuat musti tahu dulu batas-batasnya, dalam mata yang jeli tak asal kemasukan butiran pasir.”

Pek Bwe ikut tertawa.

“Saudara Pi, tampaknya kau bukan she Pi bukan?” tegurnya.

“Aku pun tidak percaya saudara Bwe betul-betul she Bwe!”

“Kalau bicaranya kurang jelas semuanya tak akan jelas, kalau lampu tidak dipasang semuanya akan gelap, kalau toh kita sama-sama sudah mengetahui rahasia lawan, rasanya tak perlu saling merahasiakannya lagi bukan?”

“Betul! Tolong tanya siapa namamu yang sebenarnya?”
Pek Bwe tertawa.

“Bwe, pokoknya namaku memakai huruf Bwe dan saudara Pi?”

“Aku pun betul-betul bernama Pi!”

“Saudara Pi, masih ada satu hal Siaute merasa kurang mengerti?”

“Aku telah berbicara sejelasnya!”

“Saudara Pi, kalau Siaute pergi meninggalkan tempat ini, apa saudara Pi juga akan pergi dari sini?”

“Aku tidak pergi!”

“Kalau begitu dengan pertaruhkan nyawa Siaute pun akan menemani kau, mari kita berada di sini bersama-sama.”

Paras muka Pi Kay segera berubah hebat.

“Saudara Bwe, aku lihat air mukamu kurang baik, aku kuatir jiwamu tak bisa lewat sore ini!” katanya.

“Aaah, tidak mungkin, tidak mungkin, kebetulan sekali baru saja aku melihatkan nasibku pada tukang ramal, kata tukang ramal aku bisa hidup sampai usia delapan puluh tahun, tahun ini Lohu baru berusia empat puluh tiga tahun, itu berarti masih ada tiga puluh tujuh tahun aku hidup di dunia ini.”

“Aku kuatir perhitungan si tukang ramal itu kurang begitu cocok.”

“Oooh, lantas perhitungan saudara Pi?” tanya Pek Bwe.

“Aku lihat, paling banter kau hanya bisa hidup satu jam lagi.”

“Sungguhkah itu?”

“Dapatkah kau mengatur napas?”

“Sewaktu masih kecil dulu, aku pernah belajar!”

“Bagus sekali, apa salahnya kalau kau atur dulu napasmu untuk mencoba sendiri?”

Pek Bwe agak tertegun, diam-diam dia lantas mengatur napasnya untuk mencoba.

Tapi begitu dicoba paras mukanya kontan saja berubah hebat.

Kiranya sedari kapan, isi perutnya sudah keracunan hebat, bahkan sari racun tersebut masih menyusup terus ke jaring tubuh yang paling dalam.

“Bagaimana?” tegur Pi Kay, “ramalanku cocok bukan?”

“Tentu sekali! Tepat sekali! Cuma aku ingin tahu, mengapa kau turun tangan sekeji ini kepadaku? Toh di antara kita berdua tak pernah terikat perselisihan atau sakit hati di masa lampau?”

Pembicaraan yang berlangsung antara kedua orang itu selalu dilakukan dengan cara yang lembut dan halus, sekalipun yang dibicarakan menyangkut soal hidup mati, namun pembicaraan selalu dilakukan dengan berbisik-bisik, seperti dua orang sobat lama yang sedang melepaskan kangen saja.

Pi Kay mengangkat cawan dan meneguk kering isinya, lalu sambil tertawa dia berkata :

“Membunuh tanpa memberi peringatan adalah perbuatan yang keji, tapi aku toh sudah berulang kali memberi kisikan kepadamu, aku tahu kau pun seorang jago persilatan yang sudah sering melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, apa mau dibilang bisikanku itu ternyata tidak juga kau pahami, lantas apa dayaku?”

“Oooh, kiranya begitu. Aku merasa racun yang mengeram di tubuhku itu amat ganas, entah berapa waktu lagi aku masih bisa bertahan?”

“Dua belas jam, tengah malam tidak bertemu tengah hari, tengah hari tidak bertemu tengah malam, sampai waktunya kau pasti akan mampus tak ketolongan lagi.”

Pek Bwe meneguk habis isi cawannya, lalu tertawa.

“Dua belas jam terlalu panjang bagiku, sebab dalam sisa dua belas jam yang terakhir ini masih banyak pekerjaan yang bisa kulakukan, tahukah kau?”

“Maksudmu........”

“Sebelum aku mati keracunan, aku ingin membunuhmu lebih dulu, cuma aku pun tak ingin turun tangan di sini!”

“Kau bermaksud turun tangan di mana?”

“Lebih baik mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil.”

“Saudara Bwe, apa gunanya kau membunuh aku, toh kan akhirnya bakal mati juga, mengapa tidak mati dengan besarkan jiwa?”

“Perhitungan sipoa saudara Pi tampaknya bagus sekali, sayang aku tak bisa menerima dengan begitu saja, begini saja, setelah mengeringkan cawan arak, mari kita pergi bersama.”

“Kalau Siaute enggan pergi?”

Pek Bwe memajukan badannya ke depan sehingga kepala mereka hampir saja berbenturan satu sama lainnya, kemudian dengan suara yang amat lirih ia berbisik :

“Di sini terlalu banyak orang, andaikata kubunuh kau di tempat ini, hal tersebut tentu merupakan suatu kejadian yang kurang sedap dipandang?”

“Saudara Bwe, caraku melepaskan racun beraneka ragam, ada semacam racun yang bisa membuat orang kehilangan segenap tenaga dalamnya dalam waktu singkat.”

“Masa di dunia ini betul-betul terdapat racun seperti itu?”

“Apakah kau tidak percaya?”

“Aku percaya, cuma untung saja aku bukan terkena racun semacam itu, tenaga dalamku sampai sekarang masih utuh.”

“Aku tahu, tapi aku bisa segera menambahi dengan racun dari jenis tersebut.”

“Menurut apa yang kuketahui, jika racun diadu dengan racun maka musnahlah kegunaan dari kedua jenis racun itu, bila kau menambahkan semacam racun lagi di tubuhku, apakah kau tidak kuatir bila manfaat dari racun-racunmu itu akan musnah sama sekali?”

“Apakah saudara Bwe ingin kucobakan untukmu?”

“Saudara Pi, berapa macam racun yang kau bawa sekarang? Apa salahnya kalau kau pergunakan bersama atas diriku? Terkena semacam racun juga mati, sepuluh macam juga mati, toh aku sudah pasti akan mati.”

“Orang yang bakal mati biasanya akan berbicara soal kebajikan, aku tahu hati mereka pasti akan menjadi lunak setelah menghadapi keadaan tersebut, kau toh sudah tahu jika dirimu pasti mati, sebab apa kau musti menarik diriku pula untuk terjun ke air?”

“Sekalipun perkataanmu ada benarnya juga, cuma sebelum mati aku berharap bisa mendapat seorang teman perjalanan.”

“Padahal, kau belum tentu sanggup membinasakan diriku,” jengek Pi Kay kemudian.

Pek Bwe duduk lurus di tempatnya sambil meneguk secawan arak, mendadak ia menggerakkan tangannya mencengkeram pergelangan tangan Pi Kay, lalu serunya.

“Sobat, ayoh jalan, mari kita pindah ke tempat lain untuk minum sepoci arak lagi.”

Tindakan tersebut dilakukan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, Pi Kay tak mengira sampai ke situ, untuk berkelit sudah tak sempat lagi, untuk sesaat dia menjadi tertegun dibuatnya.

Pek Bwe telah beranjak dan meninggalkan meja tersebut.

Terpaksa Pi Kay ikut beranjak pula, serunya.

“Saudara Bwe, sayur dan arak di tempat ini termasuk lumayan, lebih baik kita makan di sini saja.”

“Tidak! Kita harus pindah ke tempat yang lebih sepi, sudah banyak tahun kita tak pernah bersua kita musti berbicara sampai puas.”

Di mulut ia berkata demikian, kelima jarinya yang mencengkeram pergelangan tangan itu, segera diperhebat gencetannya.

Seketika itu juga Pi Kay merasakan lengan kanannya menjadi kaku, segenap tenaganya lenyap tak berbekas, dalam keadaan demikian terpaksa dia harus mengikuti ke manapun Pek Bwe pergi.

Sambil berjalan Pek Bwe berkata lagi seraya tertawa.

“Saudara Pi, selama banyak tahun ini berapa banyak sudah yang telah kau bunuh?”

Walaupun tulang pergelangan tangannya terasa sakit sekali bagaikan mau retak semua, terpaksa Pi Kay harus menahannya sambil menggertak gigi, sebab ia tak mungkin bisa berkaok-kaok kesakitan.

Mendengar pertanyaan itu, sahutnya tertawa :

“Mana, mana sesungguhnya tidak terhitung banyak.”

“Berapa orang?”

“Kalau dihitung seluruhnya, paling banter cuma lima enam puluh orang saja.”

“Lima enam puluh orang? Itu berarti kau benar-benar adalah seorang algojo yang berhati bengis.”

Pi Kay menghela napas panjang.

“Saudara Bwe, peringanlah gencetanmu, ketahuilah untuk membebaskan keleningan, masih dibutuhkan orang yang memasang keleningan tersebut, meskipun aku bisa meracunimu aku pun dapat memunahkannya, racun yang diderita saudara Bwe bukan termasuk penyakit yang tak bisa disembuhkan lagi.”

“Saudara Pi, ini musti dilihat dulu bersediakah aku untuk hidup terus atau tidak.”

“Kau sudah tak ingin hidup lagi? Apa maksudmu?” seru Pi Kay dengan cepat.

“Saudara Pi, paling tidak sekarang kau musti mengerti, keadaan kita berdua sekarang sudah mengalami perubahan yang besar sekali, kini aku telah menguasai dirimu, aku bisa membunuh kau setiap saat, kemudian baru menggeledah sakumu untuk mencari obat pemunah tersebut.”

“Sekalipun aku membawa obat pemunah tersebut, toh kau tak bisa membedakan mana yang benar mana yang tidak?”

“Yaa, semuanya itu tergantung pada kemujuranku, pokoknya aku toh masih punya kesempatan, sedangkan kau sama sekali sudah tiada kesempatan lagi.”

Dalam pada itu Pek Bwe telah membawa Pi Kay menuju ke halaman belakang.

Halaman belakang dari rumah makan Wong-kang-lo adalah sebuah kebun bunga kecil, dalam kebun terdapat sebuah gardu kecil.

Waktu itu, suasana dalam kebun bunga itu sangat hening dan tak nampak seorang manusia pun.

Cengkeraman kelima jari tangan Pek Bwe atas pergelangan tangan lawan makin lama semakin kencang. Pi Kay merasa tulang pergelangannya bagaikan sudah hancur, darah tak lancar, sakitnya bukan kepalang, keringat sebesar kacang kedelai telah jatuh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

Dia ingin sekali menggertak gigi untuk menahan sakit, tapi menahan sakit bukan suatu pekerjaan yang mudah, akhirnya toh dia mulai merintih juga.

Mendengar rintihan tersebut, bukan mengendurkan cengkeramannya, Pek Bwe malah mencengkeram makin keras.

Sambil menyeretnya masuk ke dalam gardu, katanya sambil tertawa.

“Saudara Pi, silakan duduk, silakan duduk!”

Ketika pergelangan tangan kanannya menyentak keras, tanpa sadar Pi Kay segera terduduk di atas sebuah bangku kecil.

Dalam gardu itu terdapat empat buah bangku kecil, Pek Bwe duduk di samping Pi Kay, katanya kemudian.

“Saudara Pi, kau ingin mati dengan cara apa?”

“Aku tidak ingin mati!”

Pek Bwe segera tertawa dingin.

“Aku rasa, hal ini tidak mudah kau dapatkan!” sahutnya.

Dengan ujung bajunya Pi Kay menyeka peluh yang telah membasahi jidatnya, sambil menahan sakit bisiknya.

“Aku tak ingin mati, kau pun boleh hidup lebih jauh.”

“Maksudmu kau hendak memunahkan racun yang mengeram di dalam tubuhku?”

“Benar, tapi kau pun harus berjanji, setelah kupunahkan racun yang mengeram di tubuhmu, kau harus lepaskan aku pula untuk pergi meninggalkan tempat ini.”

“Tidak! Kalau begitu barter kita tak bisa dilangsungkan,” Pek Bwe segera menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Kenapa? Kita kan satu nyawa ditukar dengan satu nyawa, aku tidak mendapat keuntungan, kau pun tidak menderita kerugian.”

“Persoalannya sekarang adalah aku masih punya kesempatan sedang kau sudah tiada kesempatan lagi, aku bisa segera merenggut selembar nyawamu.........”

“Jika aku mati, kau toh akan mampus juga akhirnya juga setali tiga uang,” sambung Pi Kay lagi.

“Tidak, tidak sama! Aku bisa menggeledah sakumu untuk menemukan obat pemunah tersebut, andaikata dalam sakumu terdapat sepuluh botol obat, lima botol terdiri dari racun dan lima botol obat pemunahnya, itu berarti aku masih mempunyai lima puluh persen kesempatan untuk hidup lebih lanjut.”

“Yang paling tepat perhitungannya adalah kau masih ada kesempatan hidup hanya sepuluh persen, sebab walaupun separuh botol yang kubawa adalah racun dan separuh yang lain adalah obat pemunah, namun obat pemunah tersebut bukannya bisa digunakan semua. Kau ada kemungkinan salah minum obat, hal mana mungkin akan mempercepat proses bekerjanya racun yang mengeram di tubuhmu.”

Pek Bwe segera tertawa, tukasnya.

“Watakku selamanya adalah tidak doyan kekerasan tidak pula kelembutan, sekarang kau hanya ada satu kesempatan untuk bisa hidup lebih lanjut........”

Cengkeraman pada pergelangan tangan lawan segera dikendurkan, ini membuat penderitaan Pi Kay pun jauh berkurang.

“Apa syaratmu, cepat katakan!” seru Pi Kay.

“Mengaku dulu dengan terus terang, siapa nama aslimu, mau apa datang ke kota Siang-yang? Dan mengapa kau turun tangan sekeji ini terhadap seseorang yang masih asing bagimu.........”

Setelah tertawa dingin, terusnya :

“Masih ada satu hal lagi yang paling penting, berikan obat pemunah itu kepadaku.”

Pi Kay mengerutkan dahinya! Tapi terpaksa dia merogoh juga ke sakunya untuk mengeluarkan sebuah botol porselen.

“Inilah obat pemunahnya!” ia berseru.

Pek Bwe menerima botol itu dengan tangan kirinya, kemudian setelah menotok jalan darah penting di tubuh Pi Kay, katanya sambil tertawa :

No comments: