Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 2

Oleh : Tjan ID

Tiong Ling-kang tertegun.

“Siau-hong apa maksudmu......”

“Tecu hanya mempunyai suatu firasat, sulit untuk mengutarakannya keluar.”

Dengan tajam Tiong Ling-kang mengawasi wajah Cu Siau-hong sekejap, ia tidak bertanya lebih jauh tapi berpaling ke arah Tang Cuan sambil serunya,

“Tang Cuan, setelah tamat belajar nanti, sebagai murid tertua kaulah yang akan memikul tanggung jawab berat atas kejayaan Bu-khek-bun, ketahuilah di manapun kehadiranmu sama ibaratnya dengan kehadiranku sendiri.”

Tang Cuan segera bertekuk lutut dan memberi hormat, sahutnya :

“Tecu tahu tugasku berat, sayang kecerdasanku terbatas harap Suhu bersedia banyak memberi petunjuk.”

“Bangunlah!”

Tang Cuan segera bangun dan berdiri di samping dengan hormat.

“Setelah tamat belajar nanti, kuberi kekuasaan kepadamu untuk menjalankan peraturan perguruan, awasi terus gerak-gerik lo-ji dan lo-kiu selama tiga tahun, jika menemukan tindak-tanduk mereka tidak benar atau pikiran mereka menyeleweng dari rel kebenaran, wakililah aku untuk minta kembali kepandaian mereka.”

“Tecu terima perintah!”

Tiong Ling-kang memandang sekejap wajah Tiong tiki dan Cu Siau-hong, kemudian menambahkan :

“Dan kalian harus membantu Toa-suhengmu!”

Cu Siau-hong dan Tiong It-ki segera mengiakan,

“Baik, sekarang perhatikan baik-baik ilmu Hwe-sian-jiu-hoat ini!” kata Tiong Ling-kang.

Kali ini ia tidak melepaskan senjata rahasianya secara sungguhkan, tapi melakukan semua gerakan dengan pelan sambil menurunkan rahasia serta keterangan yang diperlukan.

Tang Cuan bertiga sudah pernah menyaksikan kehebatan dari ilmu senjata rahasia tersebut, maka semua orang memusatkan perhatiannya untuk mendegarkan dengan seksama.

Tiong Ling-kang membutuhkan waktu selama satu jam lebih untuk menjelaskan rahasia itu, kemudian sambil tertawa baru manggut-manggut dan mengajak ketiga orang muridnya kembal ke perkampungan.

Di tengah jalan, Tang Cuan masih teringat selalu dengan perkataan dari nona berbaju hijau itu, segera bisiknya :

“Suhu, benarkah kita akan mencari kumbang-kumbang itu untuk dikembalikan pada mereka?”

“Sekarang kalian sedang hebat-hebatnya berlatih ilmu silat, persoalan tersebut tak perlu kalian kuatirkan, aku dapat menyelesaikan sendiri.”

Tang Cuan mengiakan dan tidak berbicara lagi.

Sekembalinya ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng, sang surya telah jauh condong ke barat.

Buru-buru Cu Siau-hong menuju ke istal kuda, tapi di sana tak dijumpai seorang manusia pun, Lo-liok si penjaga istal telah pergi entah ke mana.

Sementara ia sedang terkejut bercampur keheranan, dilihatnya pengurus rumah tangga keluarga Tiong sedang berjalan mendekat.

Dia adalah pelayan tua sejak jaman Bu-khek-buncu generasi yang lalu, tahun ini telah berusia enam puluh lebih, tapi tubuhnya masih sehat dan suaranya masih keras dan lantas.

Ketika dilihatnya Cu Siau-hong, ia segera menghampiri sambil menegur dengan lantang.

“Siau-hong, mau apa kau datang kemari?”

“Congkoan, kau jumpa empek Liok yang menjaga istal kuda?”

Ong-congkoan menghela napas panjang.

“Aaaai..... begitu baik orang itu, siapa tahu kalau secara tiba-tiba terserang penyakit parah dan tak bisa melewati satu siangan!”

“Satu siang pun tak bisa dilewati, maksudmu dia telah meninggal dunia....?”

“Benar! Jam enam terserang penyakit, tak sampai tengah hari telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, aaai! Nasib manusia memang sukar di duga, rejeki dan bencana tak bisa diminta.....”

Cu Siau-hong merasa dadanya seolah-olah dihantam dengan martil berat, perasaannya amat bergetar keras, tanpa sadar ia bergumam :

“Hal ini mana mungkin? Kemarin dia masih sehat wal afiat!”

“Aai! Pagi ini dia pun masih memberi makan semua kuda, sewaktu aku datang mengontrol kemari ia masih sehat dan tidak menunjukkan apa-apa, tapi lewat satu jam kemudian kutemui wajahnya telah berubah menjadi hijau membesi, peluh dingin membasahi sekujur badannya, bicara pun sudah tidak jelas lagi.”

“Ini tak mungkin bisa terjadi!”

Cu Siau-hong orangnya tampan, sikapnya pun ramah tamah, semua anggota perkampungan sama-sama menyukainya.

Ong-congkoan segera menghela napas, katanya :

“Siau-hong, ini benar-benar telah terjadi, semuanya merupakan kenyataan, harap kau suka mempercayainya.”

“Di mana layonnya sekarang?”

“Telah dikubur, ia hidup sebatang kara tanpa anak tanpa keluarga, maka pesan Hujin agar layonnya segera dimasukkan ke dalam peti mati, dengan dipimpin olehku semua anggota perkampungan lantas memberi penghormatan terakhir kepadanya, bahkan Hujin datang pula memberi penghormatan, kurang lebih tengah hari tadi jenazahnya telah dibawa keluar perkampungan dan dikebunkan.”

Cu Siau-hong berdiri termangu-mangu, mukanya layu dan penuh diliputi kesedihan, ia pun tampang bingung dan tidak habis mengerti, seakan-akan belum dapat menerima kenyataan tersebut.

Ong-congkoan mengerutkan dahinya, tiba-tiba ia menegur :

“Siau-hong, tampaknya kau amat sedih, kenapa? Apakah antara kau dengan Lo-liok....”

Cu Siau-hong terperanjat, kewaspadaannya segera dipersingkat, dengan cepat wajahnya pulih kembali seperti sedia kala, katanya :

“Oh, tidak. Boanpwe sering datang mencuci kuda, aku merasa cocok sekali dengan empek Liok. Maka kematian yang menimpa dia orang tua secara tiba-tiba amat menyedihkan hatiku, seakan-akan membuat aku seperti kehilangan sesuatu.....”

Ong-congkoan segera tertawa,

“Lo-liok jarang sekali berbicara dengan orang, tampaknya kau memang pandai bergaul.”

“Congkoan, jenazah Liok-lojin kau kebumikan di mana?”

“Kenapa? Kau hendak bersembahyang di depan pusaranya?”

“Dia orang tua amat mengerti tentang kepandaian berkuda, banyak pengetahuan tentang kuda ia wariskan kepadaku, sungguh tak nyana ia telah berpulang dengan begitu saja, Boanpwe merasa sudah sepantasnya untuk menyambangi kuburannya sebagai pelimpahan rasa duka citaku.”

“Kau lebih banyak bersekolah dari pada orang lain, ternyata caramu berpandangan pun jauh berbeda dengan orang lain, Lo-liok di kebumikan di atas Che-san-po kurang lebih dua li di barat perkampungan, kuburan baru itu dapat kau jumpai dari kejauhan.”

“Terima kasih banyak atas petunjuk Ong-congkoan,” buru-buru Cu Siau-hong memberi hormat.

Setelah bersantap malam, Cu Siau-hong berganti pakaian dan berangkat meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Sudah sepuluh tahun lebih ia berdiam di sana, maka kuburan baru itu dengan cepat berhasil ditemukan.

Tempat itu merupakan tanah pribadi perguruan Bu-khek-bun, bukit Che-san-po nan hijau dengan pepohonan yang rindang ternyata kini bertambah dengan sebuah kuburan baru.

Sekalipun kuburan itu tidak terlalu besar, tapi merupakan satu-satunya kuburan yang ada di sana.

Di depan kuburan masih sisa abu kertas yang amat banyak, tampaknya Ong-congkoan telah membakar banyak uang kertas di depan kuburan itu.

Seorang kakek yang berkelana dalam dunia persilatan hidup tanpa sanak tanpa keluarga, setelah mati dia pun bisa menerima penghormatan semacam ini sesungguhnya hal ini sudah cukup lumayan baginya, tapi dalam hati Cu Siau-hong selalu tersimpan semacam perasaan yang aneh, ia selalu merasa bahwa Lo-liok bukan manusia sembarangan.

Sekalipun kuburan baru terbentang di hadapannya, tapi Cu Siau-hong masih tidak percaya bahwa ia benar-benar telah mati.

Waktu itu senja telah tiba, Cu Siau-hong segera menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan itu seraya berbisik.

“Locianpwe, kau adalah seorang manusia aneh yang luar biasa, kitab pemberianmu sebagaimana yang telah kau pesan telah kubakar sampai habis, kali ini aku sengaja datang ke depan kuburan untuk memberitahukan soal ini kepadamu......”

Ia menengadah dan menghembuskan napas panjang, katanya lagi :

“Kemarin aku masih mendapat pelajaran dari mu, hari ini kita harus dipisahkan oleh dunia yang berbeda, bila arwah Locianpwe di alam baka dapat mengetahuinya, terimalah salam penghormatanku ini.”

Dengan penuh penghormatan ia menjalankan penghormatan besar sebanyak tiga kali di depan kuburan.

Sekalipun ia menjalankan penghormatan dengan penuh kesungguhan, namun di dalam hatinya masih tetap tak bisa menerima kenyataan tersebut, ia tetap tidak percaya kalau Lo-liok telah tiada.

Untuk membuktikan hal tersebut kini hanya tersedia satu jalan, yakni membongkar kuburan.

Keinginan itu segera muncul dalam hati Cu Siau-hong, tapi ia tak berani bertindak gegabah, sebab seandainya Lo-liok benar-benar telah tiada, itu berarti ia telah bertindak kurang hormat kepadanya.

Apalagi peristiwa itu tentu akan diketahui oleh gurunya, bila sampai begitu gurunya pasti akan menanyakan alasannya, dan waktu itu dia akan menjadi susah sendiri karena mau mengaku tak bisa, tidak mengaku juga susah.

Akhirnya setelah berpikir sekian lama Cu Siau-hong membatalkan rencananya itu.

Hari telah gelap, lampu-lampu mulai dipasang dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Sudah setengah jam lebih Cu Siau-hong berlutut di depan kuburan baru itu.

Tiba-tiba dari kejauhan ia mendengar ada orang berseru dengan suara rendah dan berat,

“Jit-sute.”

Dengan perasaan terkejut Cu Siau-hong melompat bangun, ketika ia berpaling maka tampaklah Tang Cuan sambil bergendong tangan sedang berjalan menghampirinya.

Setelah membersihkan debu dari tubuhnya, dengan langkah cepat Cu Siau-hong menyongsong kedatangannya, ia menyapa :

“Toa-suheng, ada apa kau kemari?”

Tang Cuan tertawa.

“Sute, kuburan baru ini adalah......”

Kematian Lo-liok, si penjaga istal kuda bukan suatu kejadian besar, rupanya Tang Cuan belum mendengar kabar tersebut.

“Dia adalah Lo-liok, si penjaga istal kuda,” Cu Siau-hong menerangkan.

“Oooh...........dia?”

“Yaa, padahal semalam ia masih membantuku mencuci kuda, tak kusangka tengah hari tadi telah terserang penyakit dan tiada.”

“Suhu amat pandai dalam ilmu pertabiban, bila Suhu ada di rumah, penyakitnya tentu bisa disembuhkan.”

“Aaai........... kalau takdir telah berkata demikian, siapakah yang bisa membantahnya?”

“Siau-hong-sute, aku lihat kau menjalankan penghormatan besar kepadanya, apakah hubunganmu dengan Lo-liok benar-benar telah mencapai taraf yang amat mendalam?”

Cu Siau-hong sangat terperanjat, segera pikirnya :

“Rupanya tindak tandukku ini telah menimbulkan kecurigaan dalam hati Toa-suheng.......”

Pemuda itu telah bertekad untuk merahasiakan kejadian ini, karenanya ia berusaha mententramkan hatinya, kemudian berkata :

“Toa-suheng kau tidak tahu, Lo-liok amat cocok dengan Siaute, setiap kali Siaute datang mencuci kuda, ia selalu membantu pekerjaanku, lagi pula ia pun sering kali memberitahukan pengetahuannya tentang kuda kepadaku.....”

“Oooh..... kiranya begitu! Meski dia hanya seorang penjaga kuda, tapi ia pun bisa beristirahat dengan tenang karena setelah tiada ternyata bisa menerima penghormatan besar dari Sute.”

Setelah tertawa ia melanjutkan :

“Jit-sute, apakah kau tidak merasa bahwa Lo-liok adalah seorang manusia yang agak aneh?”

“Siaute memang berpendapat demikian, sayang ia telah tiada.”

Tang Cuan maju selangkah, lalu memberi hormat di depan kuburan, katanya :

“Yang mati adalah yang besar, terimalah sebuah hormat dari Siaute!”

Sebenarnya ia amat menaruh curiga karena Siau-hong memberi penghormatan besar kepada seorang penjaga kuda, akan tetapi berhubung jawaban Cu Siau-hong masuk di akal, maka kecurigaan di hati Tang Cuan pun segera tersapu lenyap.

Itu bukan berarti Tang Cuan sudah tak curiga lagi, hanya saja kecurigaan itu tidak sampai diutarakan lagi.

Cu Siau-hong kuatir Suhengnya membicarakan kembali persoalan itu, dia segera mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya :

“Toa-suheng, menurut pendapatmu mengapa Ouyang sianseng memelihara begitu banyak kumbang?”

Tang Cuan tertawa.

“Jit-sute,” jawabnya, “tentang persoalan ini bukan cuma aku saja yang tidak mengerti, bahkan Suhu sendiri pun belum tentu memahaminya, tapi bila Jit-sute ingin mengetahui latar belakangnya, sesungguhnya tidak sulit bagimu untuk mengetahuinya.”

“Aku musti bertanya kepada siapa?” tanya Cu Siau-hong tertegun.

“Aku pikir dewasa ini hanya ada dua orang yang mengetahui kegunaan dari kumbang-kumbang tersebut.”

“Siapa?”

“Yang satu adalah Ouyang sianseng sendiri, sedang yang lain adalah si nona berbaju hijau.”

“Toa-suheng, sayangnya Siaute tidak kenal dengan kedua orang itu.....”

“Soal ini kau tak perlu kuatir,” bisik Tang Cuan, “asal kau berani membuka suara, nona itu pasti akan memberitahukan kepadamu.”

“Aku takut Siaute tak berani buka suara.”

“Jit-sute, dalam dunia persilatan, Suhu memperoleh penghormatan tinggi dari sekalian umat persilatan, ada beberapa persoalan yang tak dapat ia tanyakan sendiri, ada pula perkataan yang tak dapat ia katakan, sebaliknya kita tak perlu mengusirkan soal-soal itu, maka kita pula yang harus menyelidiki apa kegunaan dari kumbang-kumbang tersebut, cuma bila kau ingin menanyakan kepada nona itu, pilihlah tempat serta waktu yang cocok!”

“Tempat dan waktu yang bagaimanakah baru dikatakan cocok?”

“Di saat tidak berada di hadapan Suhu.”

“Toa-suheng, jika persoalan ini merupakan rahasia pribadi orang, apa pula yang musti kita lakukan?”

“Siau-sute, menurut pendapat Siau-heng, tampaknya persoalan itu bukan termasuk rahasia pribadi orang, sekalipun benar, kita pun harus menyelidikinya sampai jelas, cuma kita tak boleh memberitahukan lagi kepada orang lain.”

Cu Siau-hong berpikir sebentar, kemudian mengangguk.

“Baiklah, Siaute akan berusaha sedapat mungkin.”

“Aku mencarimu lantaran ingin menyampaikan beberapa patah kata itu, tak nyana kau telah meninggalkan kamarmu............”

Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan :

“Siau-hong-sute, seingatku kau tidak sering kali bertemu dengan Lo-liok, kenapa sedalam itu hubungan batin kalian?”

“Alasannya telah kujelaskan tadi Suheng, terhadap kematian Lo-liok, aku lebih banyak dipengaruhi rasa kaget dan tidak percaya dari pada hubungan batin. Aaai........ hanya berpisah semalam, seorang yang masih sehat wal afiat kini telah tiada, padahal perkataannya masih mendengung dalam telingaku tapi kini harus berpisah dalam dunia yang lain, siapakah yang tidak terharu dibuatnya.”

“Oooh........ kiranya begitu, Siau-hong! Jangan salah paham kenapa Toa-suheng menyelidiki persoalan ini, sudah delapan sembilan tahun kita menjadi sesama saudara perguruan, tapi yang lewat kita semua terlalu kecil, tidak banyak persoalan yang kita ketahui. Lagi pula kita semua memusatkan perhatian untuk berlatih silat, sekalipun siang malam kita sering bertemu, hati masing-masing tidak kita ketahui. Jit-sute, beberapa patah kata Suhu pagi tadi ibaratnya telah memberi beban berat di atas pundakku, tentunya kau mengetahui bukan peristiwa tentang Ji-sute dan Kiu-sute?”

“Aaai, selama banyak tahun perbuatan mereka membuat orang tidak puas, Ji-sute terlalu licik, Kiu-sute terlalu sesat, bila membayangkan mereka berdua, mau tak mau aku menjadi makin curiga kepada siapa pun juga.”

“Toa-suheng telah menemukan apa tentang mereka?”

“Seandainya hari ini Suhu tidak menyerahkan tanggung jawab di atas pundakku, Siau-heng mungkin tak akan berpikir banyak, tapi tanggung jawab yang diberikan Suhu hari ini terlalu besar, ini semua membuatku teringat kembali dengan peristiwa pada dua tahun berselang.”

“Peristiwa apakah itu?”

“Tempat kejadian ada di sini, ternyata Ji-sute telah bertemu dengan seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya.........”

“Manusia macam apakah itu?”

“Aku tak sempat melihatnya dengan jelas, maka dari itu aku pun tak pernah membicarakan persoalan ini dengan siapa pun juga.”

“Apakah Ji-suheng mengetahui perbuatan itu?”

“Anehnya justru terletak di sini, di antara kita beberapa orang saudara perguruan, kecuali hasil latihanmu yang membuat orang sukar menebaknya, Siau-heng percaya dalam hal kepandaian apapun aku tak bakal kalah dengan siapa pun, tapi anehnya ternyata Ji-sute menemukan jejakku lebih dahulu.......”

“Ooooooh..................”

“Waktu itu aku tidak berpikir sebanyak itu, tapi bila dibayangkan kembali hari ini, aku jadi menemukan banyak sekali kecurigaan yang amat serius!”

“Toa-suheng, jikalau kau memang tidak melihat jelas, dari mana bisa kau tentukan kalau Ji-suheng sedang mengadakan pertemuan dengan orang lain di sini?”

“Sekalipun waktu itu aku masih kecil, tapi aku masih teringat jelas ketika aku sedang bercakap-cakap dengan lo-ji kulihat ada sesosok bayangan manusia berkelebat lewat!”

“Waktu itu apakah Toa-suheng berteriak?”

----------------000000000000------------------

“Tidak, waktu itu aku masih belum dapat menegaskan bahwa bayangan itu adalah seorang manusia, karena ia melayang terlampau tinggi dan lagi terlampau cepat, tapi setelah tiga bulan berselang, ketika aku telah menguasai ilmu gerakan Cian-liong-sin-thian (naga air menyusup ke langit) kemudian kubayangkan kembali kejadian malam itu, Siau-heng baru berani menegaskan bahwa bayangan hitam itu memang benar-benar adalah sesosok bayangan manusia.”

“Bagaimana selanjutnya?”

“Ketika itu Ji-sute beralasan bahwa ia tak bisa tidur dan datang kemari untuk berlatih silat, sekalipun aku tetap curiga tapi perkataannya ku percaya delapan puluh persen, namun bila dibayangkan kembali sekarang, jelaslah sudah bahwa lo-ji sedang berbohong.”

“Selanjutnya apakah kau masih menjumpai Ji-suheng datang kemari?”

“Selanjutnya aku tak pernah menjumpai mereka lagi, tapi sejak peristiwa itu lo-ji tampak lebih menyendiri dan sinis, rupanya ia mengira aku telah melaporkan kejadian ini kepada Suhu, padahal dua hari kemudian aku telah melupakan sama sekali kejadian itu, aku pun tak pernah melaporkan kejadian ini kepada Suhu.”

“Toa-suheng, kejadian itu memang cukup mencurigakan, cuma kita pun tak bisa mengatakan bahwa Ji-suheng hendak melakukan perbuatan yang berada di luar garis, sebab itu lebih baik kita mencari bukti lagi dalam persolan ini sebelum secara resmi melontarkan tuduhan tersebut kepada dirinya.....”

“Itulah sebabnya aku datang mencarimu, saat tamat belajar sudah di ambang pintu, di antara sesama saudara perguruan pun mungkin akan berpisah untuk sementara waktu, yang sudah mendekati sepuluh tahun tidak pulang ke rumah tentu akan menggunakan kesempatan itu untuk pulang menengok orang tua, kalau dihitung-hitung mungkin hanya ada kesempatan selama dua tiga bulan saja, aku harap saja dalam masa ini keadaan bisa aman dan tidak sampai terjadi peristiwa apa-apa.”

“Toa-suheng, hal ini mana mungkin bisa terjadi?” kata Cu Siau-hong dengan wajah tertegun.

“Jit-sute, tak dapat kuterangkan suatu alasan yang gampang, tapi aku merasa seandainya terjadi persoalan, maka kejadian ini pasti akan berlangsung menjelang saat kita tamat belajar. Sute, bila suatu rencana telah disusun dengan matang, maka rencana itu tak akan ditunda lebih lama lagi.....”

“Benar juga perkataan Toa-suheng, pelantikan bagi mereka yang tamat belajar merupakan suatu peristiwa besar bagi Bu-khek-bun kita, mungkin juga akan hadir banyak tamu dari jauh, suasana waktu itu pasti kalut dan tidak teratur, nah bila ada orang benar-benar berniat jahat atau menginginkan sesuatu dari Suhu, saat itu pula dia pasti akan melakukan operasinya......”

“Betul!” Tang Cuan menyambung, “itulah yang Siau-heng maksudkan tadi, bila telah didapatkan, apa lagi yang musti mereka tunggu? Bila belum didapatkan tapi rencana sudah matang, tampaknya mereka pun tak perlu menunggu lebih lama lagi untuk turun tangan.”

“Terhadap persoalan ini, apakah kau sudah mempunyai rencana yang masak?”

“Belum, Jit-sute kau orangnya baik, usianya masih muda, mulutnya pandai berbicara, mana keluaran dari keluarga bangsawan lagi, orang lain tentu akan memandang istimewa kepadamu, apalagi kecuali belajar silat kau sama sekali tidak membawa sifat seorang manusia persilatan....”

Setelah tertawa ia menambahkan.

“Yang lebih hebat lagi, adalah kau pandai menyembunyikan kepandaianmu yang sesungguhnya, orang lain mungkin tak tahu tapi Toa-suheng memahami jelas tentang ini, sesungguhnya kau ahli waris yang sebenarnya dari Suhu, tapi diluarkan kau tak mau terlalu menonjolkan diri. Aku yakin Suhu pun memahami persoalan ini, cuma dia orang tua tak mau mengucapkan keluar, sedang orang lain aku percaya mereka tak akan tahu tentang hal ini.....”

“Toa-suheng, kau ......”

“Jit-sute tak usah berdebat benar tidaknya perkataan Siau-heng, tentunya kau lebih jelas dari ku maka aku pun mohon bantuanmu, demi keamanan serta kesejahteraan perguruan kita, kau mesti membantu Siau-heng.”

“Perintahkan saja Toa-suheng, Siaute pasti akan melaksanakannya tanpa membantah.”

“Baik, kau bersedia membantuku ini semua menambah kepercayaan pada diri sendiri.........”

Setelah termenung sebentar ia melanjutkan :

“Sejak besok pagi kau musti awasi gerak-gerik Ji-sute dan Kiu-sute secara diam-diam, lebih baik lagi kalau bisa mengadakan hubungan langsung dengan mereka, aku tahu kau pandai bergaul, di hari-hari biasa pun bersikap baik kepada mereka, aai! Sebetulnya tak baik kalau sesama persaudaraan timbul curiga mencurigai, terutama aku sebagai Toa-suhengnya, tapi aku tak dapat melupakan kejadian lampau.”

“Aku dapat memahami maksud Toa-suheng, sekalipun Siaute bukan berasal dari keluarga persilatan, tapi apa yang kudengar dan kusaksikan selama ini sudah cukup menambah pengetahuanku tentang segala macam persoalan dalam dunia persilatan, Siaute pasti akan berusaha membantu usahamu itu.”

Ketika mereka berdua kembali ke perkampungan, Tiong tiki segera menyongsong kedatangan mereka sambil menegur :

“Toa-suheng, Jit-suheng, kalian pergi ke mana?”

“Ada apakah?” tanya Cu Siau-hong.

“Seng-susiok mencari kalian.”

“Oh, dia ada di mana?” seru Tang Cuan.

“Menunggu kalian dalam ruangan tengah.”

“Hayo jalan, kita temui cepat-cepat.”

Kebun bunga gedung keluarga Tiong amat luas, di sebelah depan kebun sebelah dalam adalah lapangan latihan silat.

Dalam kebun terdapat empang dengan bunga teratai yang indah, di samping empang berdiri sebuah ruang besar dengan bangunan yang indah

Di sanalah Seng Tiong-gak menantikan kedatangan mereka, dia adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan, mukanya bersih dan sikapnya halus dan lembut.

Ketika itu ia duduk sambil mengernyitkan alis matanya, mungkin ada sesuatu persoalan yang mengganjal hatinya selama ini.

Tiong It-ki mengajak kedua orang itu masuk ke dalam ruangan, segera teriaknya :

“Susiok, aku telah menemukan Toa-suheng dan Jit-suheng!”.

Tang Cuan dan Cu Siau-hong pun maju memberi hormat, jangan dilihat tingkat kedudukan mereka berbeda, karena usianya sebaya maka di hari biasa, mereka bisa bergaul menjadi satu.

“Hayo kemarilah kalian semua dan duduk dulu!” kata Seng Tiong-gak sambil menggapai.

Terhadap Susiok atau paman gurunya ini, Tang Cuan dan Cu Siau-hong tidak bersikap sehormat kepada gurunya, mereka lantas duduk mengelilingi meja ......

“It-ki!” kata Seng Tiong-gak kemudian, “pergi ke dapur dan suruh mereka siapkan arak dan beberapa sayur, hai ini Susiok ingin mengajak kalian minum beberapa cawan arak.”

Tiong It-ki menunjukkan wajah keberatan, katanya :

“Ayah pernah bilang, kecuali ia yang memberi perintah, di hari-hari biasa kita dilarang minum arak.”

“Hari ini berbeda, Susiok yang mengajak mereka minum, bila ayahmu menegur biar Susiok yang menanggung resikonya.”

Terpaksa Tiong It-ki mengiakan dan berlalu.

Sepeninggal Tiong It-ki, Tang Cuan baru berbisik lirih :

“Susiok, ada urusan apa?”

Dengan wajah serius Seng Tiong-gak mengangguk,

“Sebenarnya aku tak ingin memberitahukan persoalan ini kepada kalian, tapi aku pun merasa tak ada orang lain yang bisa diajak berunding, lagi pula aku pun membutuhkan bantuan, jadi terpaksa kuundang kalian berdua untuk bersama-sama membicarakan persoalan ini.”

“Seriuskah masalahnya?” tanya Cu Siau-hong.

“Bisa dikatakan besar bisa pula dikatakan kecil, mungkin Susiok cuma menduga secara ngawur, mungkin juga bisa mengakibatkan nama baik Bu-khek-bun ternoda, aku tak ingin nama baik Suhu kalian mengalami kehancuran karena peristiwa ini.”

Baik Tang Cuan maupun Cu Siau-hong sama-sama dibuat tertegun, kedua orang itu sama-sama tidak mengerti persoalan apakah yang telah membuat Susiok mereka menjadi setegang ini.

Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, lalu Tang Cuan bertanya lirih :

“Sesungguhnya apa yang telah terjadi?”

“Selewatnya kentungan ketiga malam nanti, bawa senjata tajam dan senjata rahasia kalian, tunggu aku di bawah pohon waru beberapa li di luar perkampungan Ing-gwat-san-ceng!”

Tang Cuan tertegun.

“Susiok, soal ini..... soal ini.......”

“Bila Suhumu tahu, aku yang akan bertanggung jawab, kalian tak perlu kuatir.....” tukas Seng Tiong-gak.

Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan :

“Satu hal lagi, Tiong It-ki tak boleh ikut pergi, sebentar kita harus melolosnya sampai mabuk.”

Cu Siau-hong segera merasakan bahwa persoalannya itu amat serius, dia mengangguk duluan.

“Baik, kita akan melaksanakan semua yang dikatakan Susiok!”

Sementara pembicaraan berlangsung Tiong It-ki telah kembali sambil membawa arak dan sayur.

Ternyata takaran minum Tiong It-ki tidak begitu baik, ditambah lagi ketiga orang rekannya memang berniat untuk melolosnya, tak sampai setengah jam ia sudah mabuk hebat.

Cu Siau-hong segera memayang Tiong It-ki kembali ke kamarnya, kemudian ia baru kembali ke kamar sendiri.

Kiranya Tang Cuan, Cu Siau-hong dan Tiong It-ki tinggal dalam sebuah gedung yang sama dengan kamar yang berbeda.

Itu berarti seandainya Tiong It-ki tidak mabuk, maka setiap gerakan yang dilakukan kedua orang itu di malam hari, pasti tak akan mengelabui pendengaran Tiong It-ki.

Kurang lebih kentungan kedua malam itu, Tang Cuan dan Cu Siau-hong telah berganti pakaian ringkas warna hitam gelap dan berangkat menuju ke bawah pohon waru.

Mereka berdua tidak melakukan perjalanan bersama, tapi secara beruntun tiba di tujuan hampir bersamaan waktunya.

Tang Cuan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian bisiknya :

“Heran Seng-susiok belum datang?”

“Tang Cuan, Siau-hong cepatlah kalian naik ke atas!” suara Seng Tiong-gak tiba-tiba kedengaran dari atas pohon waru.

“Oh, rupanya Susiok telah datang duluan!”

Ia lantas meloncat naik ke atas pohon waru dan menghampiri paman gurunya yang telah bersembunyi di balik dedaunan yang lebat.

Waktu itu Seng Tiong-gak duduk di balik dedaunan yang lebat sambil mengawasi perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

“Susiok sesungguhnya apa yang telah terjadi?” bisik Tang Cuan dengan perasaan ingin tahu.

“Kalian boleh saksikan sendiri nanti! Tapi ingat apapun yang bakal kalian lihat nanti, jangan sekali-kali bersuara, saksikan saja dengan tenang!”

“Susiok aku rasa kejadian ini kok serius dan misterius amat?”

“Emm! Memang suatu kejadian yang misterius, mana di luar dugaan lagi, lihat saja nanti dengan pelan-pelan!”

Tang Cuan maupun Cu Siau-hong duduk di samping Seng Tiong-gak, sinar mata mereka sama-sama ditujukan pula ke arah perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Kurang lebih sepertanak nasi lewat, namun tidak nampak sesosok bayangan manusia pun muncul di situ.

“Susiok, sebenarnya apa yang hendak kita tunggu?” bisik Tang Cuan tak tahan.

“Bersabarlah sebentar, kita tunggu sesaat lagi.”

Betul juga, tak selang beberapa saat kemudian tampak sesosok bayangan manusia meluncur datang dari kejauhan dengan kecepatan luar biasa.

“Hati-hati, tahan napas!” Seng Tiong-gak memperingatkan.

Tang Cuan maupun Cu Siau-hong segera menutup pernapasan dan menahan diri.

Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, dalam sekejap mata ia telah tiba di bawah pohon waru.

Setelah melihat jelas paras muka orang itu hampir saja Tang Cuan dan Cu Siau-hong menjerit kaget.

Coba kalau Seng Tiong-gak tidak berpesan lebih dulu secara serius, mungkin mereka berdua telah melompat turun dari pohon dan memberi hormat.

Pelan-pelan Tang Cuan berpaling dan memandang Seng Tiong-gak sekejap, Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya pelan-pelan, tandanya agar Tang Cuan berdua jangan berisik.

Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benak Cu Siau-hong, pikirnya :

“Penampilan mimik wajah Seng-susiok menunjukkan bahwa persoalan ini amat serius dan sudah mencapai keadaan yang gawat.”

Tapi ia tak pernah menyangka kalau orang itu tak lain adalah ibu gurunya yang selama ini amat dihormati dan disayangi........ istri Tiong Ling-kang, ciangbunjin dari Bu-khek-bun yang lebih dikenal sebagai Pek Hong.

Tak heran kalau Seng Tiong-gak tak berani sembarangan berbicara, melainkan mengajak kedua orang itu untuk membuktikan bersama.

Setibanya di bawah pohon waru, tiba-tiba Pek Hong membuat obor dan menggoyangkannya beberapa kali di tengah udara.

Tang Cuan tertegun, pikirnya :

“Sudah jelas itulah suatu tanda rahasia masakah Subo juga hendak mengadakan hubungan dengan orang luar?”

Seketika itu juga pelbagai kecurigaan berkecamuk di dalam benaknya.

Setelah memberi kode api, Pek Hong pun berdiri di bawah pohon waru dan tidak bergerak lagi.

Suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suara pun, ini semua menambah seramnya suasana.

Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pek Hong sekarang, seandainya Seng Tiong-gak memperdengarkan sedikit suara nafas saja, Pek Hong pasti akan menemukan jejak mereka.

Untung Seng Tiong-gak telah berpesan kepada dua orang keponakan muridnya agar menahan nafas.

Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, dari kejauhan muncul kembali sesosok bayangan manusia, sungguh cepat gerakan tubuh orang itu.

Ia mengenakan baju berwarna hitam, berkain cadar hitam di wajahnya hingga tak dapat melihat raut wajahnya.

“Kalian sudah mengambil keputusan?” Pek Hong segera menegur.

“Terserah kehendak Hujin!” jawab orang itu.

Pek Hong segera menghela nafas panjang,

“Aaai... Baiklah! Akan kutemui dia lagi.”

“Aku akan membawa jalan!” sambil berkata orang berbaju hitam itu putar badan berangkat lebih duluan.

Tang Cuan tak sabar mengendalikan diri, hampir saja ia hendak melompat turun dari tempat persembunyiannya untuk menghadang jalan pergi manusia berbaju hitam itu, untung niatnya itu dapat dicegah oleh Seng Tiong-gak.

Cepat nian gerakan tubuh kedua orang itu, dalam waktu singkat mereka sudah lenyap dibalik kegelapan.

Tang Cuan menghembuskan nafas panjang, katanya :

“Susiok, kita harus cepat-cepat menyusul mereka berdua!”

Seng Tiong-gak tertawa getir.

Malam ini adalah malam kedua kutemui perbuatannya itu, sebelumnya sudah berapa kali pertemuan semacam itu diadakan, aku sendiri pun tidak begitu mengerti.

“Susiok,” kata Cu Siau-hong, “dengan tenaga dalam Suhu yang sempurna, seharusnya gerak-gerik Subo tak akan mengelabui ketajaman pendengarannya............”

“Siau-hong, apakah kau tidak tahu kalau Suhumu tiap malam masih harus duduk bersemedi?”

“Duduk bersemedi setiap malam?”

“Yaa! Setiap kentongan pertama ia mulai bersemedi hingga kentongan kelima keesokan harinya. Dalam waktu tersebut ia hampir terputus hubungannya dengan dunia luar!”

“Kenapa Suhu harus duduk semedi tiap malam?”

“Suhumu hendak melatih sejenis ilmu silat, ia memerlukan sebuah ruangan rahasia secara khusus, hingga lewat kentongan kelima ia baru keluar dari ruangan rahasianya.”

“Jadi kalau begitu, Suhu sama sekali tidak tahu tentang ulah dari Subo selama ini?”

“Toa-suheng,” kata Cu Siau-hong, “Siaute rasa lebih baik Susiok saja yang memberitahukan kejadian ini kepada Suhu, yang penting sekarang adalah untuk memahami dulu siapakah yang akan ditemui Subo? Apa pula maksud serta tujuannya?”

Tang Cuan manggut-manggut, ujarnya :

“Susiok, apa yang musti kita lakukan sekarang?”

“Justru lantaran tak tahu cara untuk mengatasinya, maka kuundang kedatangan kalian berdua......”

Sesudah menghela napas panjang, ia meneruskan :

“Sesungguhnya Enso adalah seorang perempuan yang lemah lembut, sikapnya terhadap diriku juga baik dan ramah, seingatku dia adalah seorang perempuan yang pantas dihormati dan dipuji, keberhasilan Toa-suheng untuk membawa Bu-khek-bun dari suatu perguruan kecil menjadi perguruan yang besar dan terkenal pun sebagian besar merupakan hasil bantuannya, karenanya kejadian tersebut membuat aku amat sedih, sakit hati.”

“Susiok, dalam empat lima tahun belakangan ini Suhu tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, Subo sendiri pun selalu tinggal dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng, seandainya ada orang yang mengadakan hubungan dengannya, paling tidak kejadian ini telah berlangsung semenjak lima tahun berselang.”

Seng Tiong-gak manggut-manggut.

“Yaa, sejak dia kawin dengan Suheng, kedua orang itu selalu saling hormat-menghormati, Enso adalah orang yang lembut dan ramah, seharusnya tak mungkin akan melakukan tindakan yang melanggar rel kebenaran.”

Perkataan semacam ini hanya bisa diucapkan oleh Seng Tiong-gak, sudah barang tentu Tang Cuan maupun Cu Siau-hong tak berani sembarangan berbicara.

Sesudah termenung sejenak, Tang Cuan kembali berkata :

“Terlepas bagaimanakah akibat dari kejadian itu, sudah seharusnya bila kita selidiki persoalan ini sampai jelas.”

“Sampai sekarang kita masih belum tahu taraf kepandaian silat yang dimiliki orang itu,” kata Seng Tiong-gak, “tapi kalau dilihat dari gerakan tubuh orang tadi, tak bisa diragukan lagi dia adalah seorang jago kelas satu dalam dunia persilatan, mengerti ilmu silat Subo mu, aku rasa ia lebih tinggi dari ku, sekalipun kita menyusul ke sana paling-paling jejak kitalah yang bakal ketahuan.”

Cu Siau-hong manggut-manggut.

“Perkataan Susiok memang benar, tampaknya Susiok memang sudah mempunyai rencana yang matang?”

“Aku sudah memikirkan persoalan ini seharian penuh, cara memang ada satu, cuma, bersediakah kalian membantuku?”

“Tecu sekalian siap menyumbangkan tenaga,” cepat-cepat Tang Cuan dan Cu Siau-hong mengiakan.

Seng Tiong-gak segera membeberkan rencananya, kemudian membagi tugas untuk kedua orang itu.

Keesokan harinya, selewat setengah hari diam-diam Cu Siau-hong berangkat meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Kali ini dia berangkat dengan persiapan, satu setel baju yang compang-camping ia sembunyikan di balik semak belukar dua li di luar perkampungan.

Setelah berganti pakaian, ia mencoreng-coreng mukanya dengan tanah lumpur, maka Cu Siau-hong yang tampan segera berubah menjadi seorang manusia yang lain.

Kini dia telah menjadi seorang pemuda gunung yang berbaju dekil dan bermuka kotor.

Ketika penyaruan itu dilengkapi pula dengan seekor kerbau, maka berubahlah Cu Siau-hong menjadi seorang gembala.

Setelah naik ke punggung kerbau dan membawa seruling, ia menutupi sebagian wajahnya di balik topi lebar terbuat dari anyaman bambu.

Ketika malang menjelang tiba, pelan-pelan ia berjalan menuju ke arah mana Pek Hong dan manusia berbaju hitam itu pergi semalam.

Duduk di atas punggung kerbaunya, Cu Siau-hong berjalan terus ke depan, sementara sepasang matanya mengawasi sekeliling tempat itu dengan tajamnya.

Senja telah menjelang tiba, burung beterbangan kembali ke sarangnya.

Sudah enam tujuh li Cu Siau-hong melakukan perjalanan tapi belum juga ditemui sesuatu yang mencurigakan.

Jauh memandang ke depan sana, sebuah tebing yang tinggi menghadang jalan perginya, jalan makin lama makin sempit dan berliku-liku.

Rupanya tempat itu merupakan sebuah tebing yang tingginya mencapai lima puluh kaki lebih, sekalipun tidak terhitung terlalu tinggi, tapi dinding tebingnya lurus bagaikan papan baja, lagi pula curam dan berbahaya sekali.

Di atas dinding batu yang tak licin tampak ada tumbuhan, semuanya gersang dan gundul, di antara tebing-tebing itu terdapat pula sebuah batu karang yang menonjol keluar.

Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong, pikirnya :

“Meski tebing ini curam, tapi daya pandang luar dan jauh ke depan jika aku bersembunyi di atas tonjolan batu itu, semua pandangan dan gerak-gerik manusia yang lewat di sini dapat kulihat dengan jelas.......”

Berpikir sampai si situ ia lantas berputar ke tepi belakang dinding tebing itu, melepaskan baju penyamarannya, menyembunyikan sang kerbau dan berangkat ke puncak tebing.

Untung suasana di sekeliling sana sepi, dengan ilmu cecak ia merambat naik ke atas tebing tersebut dan menyembunyikan diri di belakang batu besar.

Batu besar itu luasnya beberapa kaki, di bagian belakangnya merupakan suatu tanah lekukan yang datar, tempat itu bukan saja bisa dipakai untuk duduk atau berbaring, tiga empat orang bersembunyi di situ pun masih muat, kecuali dari atas bisa melihat ke bawah, orang lain tak nanti mengetahui tempat persembunyiannya itu.

Malam semakin gelap, bulan memancarkan sinar dengan terangnya..........

Kurang lebih pada kentongan ketiga, tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang dari kejauhan yang kian lama kian bertambah mendekat.....

Cu Siau-hong coba mengintip ke bawah, ia saksikan dari balik tebing kecil muncul sebuah tandu, kecuali dua orang penggotong tandu itu, di belakang mengikuti pula empat orang laki-laki berpakaian ringkas warna hitam dan dandanan mereka sama sekali.

Tandu itu pun berwarna hitam, coba kalau malam itu secara kebetulan bulan tidak purnama, dengan warna tandu dan warna baju yang mereka kenakan sungguh sulit untuk menyaksikan kehadiran mereka.

Setibanya di depan dinding tebing, tandu itu berhenti, tirai tandu dibuka dan menghadap ke arah perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Keempat orang laki-laki berpakaian ringkas itu segera memencarkan diri dan berdiri di kedua belah sisi tandu, sementara dua orang tukang tandu itu berdiri di belakang tandunya.

Dilihat dari posisi tersebut, jelas mereka sedang melakukan perlindungan terhadap penghuni tandu itu.

Setelah tandu itu berhenti, tak seorang pun di antara mereka yang bersuara, suasana di sekeliling tempat itu pun pulih kembali dalam keheningan yang luar biasa.

Tak bisa disangkal lagi, di sinilah pertemuan rahasia itu diselenggarakan........

Cu Siau-hong pusatkan semua perhatiannya untuk mengawasi suasana di bawah sana.

Selang sesaat kemudian, dari arah perkampungan Ing-gwat-san-ceng muncul kembali sesosok bayangan manusia yang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.

Bayangan manusia itu berhenti kurang lebih dua kaki di depan tandu.

Kalau dilihat dari potongan tubuh orang itu, tak salah lagi kalau dia adalah ibu gurunya Pek Hong.

“Aaah.......... Sunio benar-benar telah datang kemari!” pikir Cu Siau-hong dengan perasaan terkejut.

Ia lantas menghimpun tenaga dalamnya untuk mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung di bawah sana.

Kedengaran orang yang berada dalam tandu itu berkata dengan suara yang dingin :

“Silakan duduk!”

Seorang lelaki berbaju hitam yang berdiri di samping kiri segera mengambil sebuah kursi lipatan dari dalam tandu dan diletakkan di depan tandu itu.

Pelan-pelan Pek Hong maju beberapa langkah ke depan dan duduk di kursi itu.

“Terima kasih!” katanya.

“Hidangkan air teh!” kembali orang dalam tandu itu berseru.

Laki-laki baju hitam yang ada di sebelah kanan mengambil secawan air teh dari dalam tandu dan dihantar ke depan.

Pek Hong menerimanya dan minum setegukan.

“Terima kasih!” kembali katanya.

“Malam ini adalah pertemuan kita untuk ketujuh kalinya, aku harap di malam ini juga kita bisa memperoleh suatu penyelesaian...”

Pelan-pelan Pek Hong menurunkan cawan tehnya dan berkata :

“Setiap malam aku telah datang kemari untuk berjumpa dengan kau, perbuatan ini sudah melanggar adat kesopanan seorang perempuan yang telah bersuami, maaf kalau besok malam aku tidak akan datang lagi.”

“Maka dari itu, malam ini juga kita harus bisa memberikan suatu penyelesaian.”

Kalau didengar dari pembicaraan mereka berdua, tampaknya kedua orang itu sudah lama saling berkenalan.

“Bila kau masih mempunyai perasaan persahabatan denganku, aku harap mengalahlah sebagian untukku,” kata Pek Hong, “kejadian ini sudah berlangsung dua puluh tahun lamanya, apa lagi yang musti dipersengketakan?”

“Kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut, tak nanti aku akan datang kemari untuk mencarimu,” sahut orang dalam tandu.

“Masa mudaku sudah lewat, rambutku mulai memutih, tahukah kau bahwa aku yang sekarang bukan Pek Hong yang dulu lagi.”

“Aku tahu, waktu hanya membawa pergi masa mudamu, bukanlah rambutku pun telah mulai beruban?”

“Tahun ini anakku telah berusia delapan belas tahun, ia sudah pantas untuk kawin dan punya anak.”

“Bila aku mau kawin, mungkin sekarang pun sudah membopong cucu!” sambung orang dalam tandu dengan cepat.

“Kalau kau mendesak aku terus menerus, sulit buat kita untuk berbicara lebih jauh.”

“Aku hanya mengharapkan jawabanmu saja, mengabulkan atau menampik!”

“Aku tidak dapat mengabulkan permintaanmu.”

“Jadi kau menampik?”

“Aku........... aku.............”

“Aku hendak mendengar dengan mata kepalaku sendiri kau mengatakan kata tampikan, sebab dengan begitu aku baru bisa turun tangan.”

“Lepaskanlah dia orang tua,” pinta Pek Hong, “aku bersedia menerima kematian dari mu.”

Orang dalam tandu itu menghela nafas panjang.

“Aaai...... yang kuminta adalah Pek Hong yang bisa berbicara dan tertawa, sudah dua puluh tahun aku menantikanmu, masa aku disuruh menantikan sesosok mayat!”

“Tapi perbuatanmu itu sama pula artinya dengan memaksa aku untuk mati......”

“Kau harus mengerti, kematianmu tak bisa menyelesaikan simpul mati ini, bisa jadi urusan malah akan semakin runyam.

Maksudmu, sekalipun aku telah mati, kau pun tak akan melepaskan mereka?”

“Aku tak ingin menyaksikan ada darah yang bercucuran, lebih-lebih tak ingin melihat ada orang yang binasa, tapi bila setitik darah sudah meleleh keluar, maka akan lebih banyak darah lagi yang akan mengucur keluar, bila seorang mati maka mungkin ada orang yang lebih banyak lagi bakal mati.”

Pek Hong menghembuskan napas panjang.

“Kita sama-sama sudah mencapai setengah umur, apakah persoalan ini harus di kembangkan menjadi suatu peristiwa berdarah?”

Tiba-tiba orang dalam tandu itu tertawa panjang, suaranya sedih dan mengenaskan.

“Benar! Kita semua telah mencapai setengah umur,” katanya, “ia pun sudah mengecap kegembiraan dan kesenangan bersamamu selama dua puluh tahun, maka mulai sekarang ia harus menyerahkan kau kepadaku....”

Tiba-tiba Pek Hong melompat bangun, teriaknya :

“Kau ........... kau telah menganggapku sebagai manusia macam apa?”

“Tentu saja sebagai manusia! Seorang manusia yang tak pernah kulupakan barang sedetik pun selama dua puluh tahun ini, dalam dua puluh tahun ini aku telah merasakan penderitaan yang paling besar, aku berlatih ilmu silat dengan tekun tak lain adalah menunggu kesempatan seperti hari ini, aku hendak merampasmu kembali dari cengkeraman Tiong Ling-kang.”

“Benarkah kau hendak bertindak buas seperti itu?”

“Pek Hong, bagaimanakah ilmu silat ayahmu, aku rasa kau pasti mengetahui jelas, aku tidak melakukan tindak penyergapan atau perbuatan licik lainnya untuk merobohkan dia, kubekuk dia dengan kepandaian silat yang kumiliki sekarang, aku tidak percaya kalau kepandaian silat yang dimiliki Tiong Ling-kang telah melampaui kehebatan ayahmu.”

“Bu-khek-bun adalah suatu kekuatan yang besar dan kuat, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan ayahku, kuat atau lemah ayahku hanya seorang diri ....”

“Aku pun datang dengan membawa banyak jago,” sela orang dalam tandu itu dengan cepat, “tapi asal orang-orang Bu-khek-bun tidak mengandalkan jumlah banyak untuk bermain kerubut, aku pun tak akan minta kepada mereka untuk membantuku, lebih baik lagi jika secara jantan dan ksatria Tiong Ling-kang berani melakukan duel satu lawan satu dengan diriku, bila aku mati, kalian boleh hidup berdampingan sampai hari tua, kalau Tiong Ling-kang yang mati maka dia harus menerima pembalasan akibat ulahnya pada dua puluh tahun berselang.”

Dari pembicaraan tersebut, seolah-olah dia masih belum tahu kalau Tiong Ling-kang kini sudah merupakan seorang jago yang disegani oleh umat persilatan.

Pek Hong menghela napas panjang.

“Aai.......... bagaimana keadaan ayahku sekarang?” ia bertanya.

“Sekarang ayahmu berada dalam keadaan baik-baik, tidak terluka pun tidak kehilangan ilmu silatnya, cuma jahe selamanya makin tua makin pedas, maka terpaksa kutotok jalan darahnya.”

“Bolehkah kujumpai dirinya?”

“Boleh saja, cuma ia berada di suatu tempat sepuluh li dari sini, karena aku tidak membawanya serta.”

“Sepuluh li dari sini?”

“Di sini ada tandu, dua orang tukang tanduku adalah orang-orang persilatan yang bertenaga besar, tidak menjadi soal baginya untuk menggotong kelebihan seorang.”

“Duduk setandu denganmu?”

“Yaa, kau tidak berani?”

“Aku tidak berani, kau tahu sekarang aku masih berstatus Tiong-hujin.......”

“Sungguh tak kusangka nona Pek yang liar seperti seekor kuda dan tidak takut langit tidak takut bumi kini menjadi seorang perempuan yang alim.”

“Dulu dan sekarang berbeda jauh, dulu aku adalah Pek Hong, sekarang aku telah menjadi istrinya Tiong Ling-kang, malam-malam kutemui dirimu di sini sudah merupakan pelanggaran adat kesopanan apalagi duduk setandu denganmu.”

“Kau tidak ingin menjumpai ayahmu?”

“Ingin, tapi tak ingin membuat persoalan ini menjadi tak terselesaikan, selama beberapa malam aku keluar rumah pada kentongan ketiga, pulang pada kentongan kelima itu pun kulakukan tanpa sepengetahuan Tiong Ling-kang....”

“Mengapa kau tidak katakan kepadanya?” tukas orang dalam tandu sambil tertawa dingin.

“Aku tak ingin menyaksikan kalian bentrok senjata sehingga mengakibatkan darah bercucuran, tapi sekarang tampaknya aku sudah tidak berdaya lagi...........”

“Pek Hong, kau anggap dengan andalkan beberapa jurus ilmu pedang Cing-ping-kiam-hoatnya itu ia sudah mampu untuk menandingiku?”

“Hem! Jangan memandang enteng diri Ling-kang,” dengus Pek Hong, “sekalipun kau sudah berlatih dua puluh tahun, belum tentu kau merupakan tandingannya!”

“Kenapa tidak dicoba? Dalam seratus jurus aku akan menyuruhnya mampus dengan tubuh bercucuran darah!”

Pembicaraan kedua orang itu dilangsungkan dengan suara keras, Cu Siau-hong yang bersembunyi di belakang batu karang dapat mendengarkan semua pembicaraan dengan jelas, hawa amarah segera berkobar dalam dadanya.

Tapi ia berusaha keras untuk mengendalikan hawa amarahnya, ia merasa keadaan dan saat seperti ini bukan saat yang tepat baginya untuk munculkan diri.

Cuma Cu Siau-hong merasa perjalanannya malam ini tidak sia-sia, paling tidak ia telah membuktikan kesalahpahamannya terhadap ibu gurunya.

Sekalipun Seng Tiong-gak secara langsung tidak mengatakan apa-apa, tapi dari sikap maupun nada suaranya yang marah dan penuh penderitaan, siapa pun dapat mengetahui betapa besarnya kecurigaannya terhadap Pek Hong.

Dalam kenyataannya ketika untuk pertama kalinya Tang Cuan dan Cu Siau-hong mengetahui kejadian tersebut mereka pun tercekam pula dalam perasaan yang sama.

Sekarang jalan pikiran Cu Siau-hong sudah makin terbuka, dia tahu meskipun Subonya mengadakan pertemuan dengan orang di tengah malam buta, namun ia sama sekali tidak melakukan perbuatan asusila. Bahkan walaupun berada di bawah ancaman ia tetap menjaga kesucian tubuhnya.

Kedengaran Pek Hong menghela napas panjang, lalu berkata :

“Rupanya di antara kita berdua sudah tak akan bisa dijumpai suatu cara penyelesaian yang disetujui kedua belah pihak lagi.”

“Pek Hong, sebenarnya aku mengira malam ini persoalan di antara kita dapat diselesaikan, tapi tak kusangka cintamu terhadap Tiong Ling-kang lebih dalam lagi dari samudra bahkan keselamatan ayahmu sendiri pun tidak kau gubris.......”

“Apakah kau benar-benar hendak membunuh ayahku?” sela Pek Hong.

“Kalau sudah jengkel, kau pun bisa kubunuh apalagi ayahmu!”

Paras muka Pek Hong berubah hebat.

“Kau .......... kau .............”

Orang dalam tandu itu tertawa dingin, ia menukas pembicaraan Pek Hong yang belum selesai :

“Dengarlah baik-baik, hanya kau yang bisa menolong ayahmu, hanya kau juga yang bisa menolong Tiong Ling-kang serta segenap anggota perguruan Bu-khek-bun, apa pun yang kau pikirkan, sebuah permintaan harus kau penuhi..........”

“Ulangi sekali lagi, apa yang kau inginkan?”

“Aku tidak takut ada orang mendengarkan perkataanku ini, apa salahnya kalau kuulangi sekali lagi..........”

Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan,

“Aku harap kau suka pergi bersamaku, pergi mengikutiku dalam keadaan utuh dan hidup, maka ayahmu akan segera kulepaskan. Tiong Ling-kang serta segenap anggota perguruan Bu-khek-bun juga akan kulepaskan.”

“Sekalipun aku setuju, Ling-kang belum tentu akan setuju!”

Cu Siau-hong yang bersembunyi di belakang batu karang menjadi terperanjat, pikirnya :

“Sejak munculkan diri Sunio selalu menunjukkan keteguhan hatinya ia tidak takut ancaman, tidak pula menerima pancingan kenapa sikapnya secara tiba-tiba bisa berubah?”

Pelan-pelan Pek Hong mencabut keluar sebuah pisau belati lalu katanya lembut :

“Bila aku bunuh diri di sini juga, apakah kau bersedia melepaskan Ling-kang dan Bu-khek-bun......”

“Tidak mungkin. Ayahmu pertama-tama akan kubunuh lebih dulu, kemudian akan kutemui Tiong Ling-kang dan mengajaknya berduel, kecuali ia berhasil membunuhku kalau tidak aku pasti akan memusnahkan Bu-khek-bun dari muka bumi.”

Pek Hong tertawa getir.

“Baiklah!” ujarnya kemudian, “kalau toh kematian ku tak dapat menyelesaikan persoalan ini, agaknya aku mesti memberitahukan kejadian ini kepada Ling-kang!”

“Pek Hong, hingga sekarang aku tidak mencelakai anggota Bu-khek-bun secara tiba-tiba, hal ini disebabkan aku masih teringat dengan hubungan kita di masa lampau, coba kalau aku sudah kalap perburuan Bu-khek-bun telah musnah di tanganku.”

“Yakinkah kau bisa melakukan perbuatan itu?”

“Aku bersedia melakukan perbuatan yang lebih besar dan lebih hebat, karena tujuanku hanya ingin memaksa Tiong Ling-kang agar menyerahkan kau kepadaku.”

“Cukup! Aku rasa tak ada persoalan yang bisa kita bicarakan lagi!”

“Aku memberi sebuah kesempatan lagi kepadamu, besok malam pada kentongan ketiga ajaklah Tiong Ling-kang datang kemari, aku hendak melangsungkan duel satu lawan satu dengannya.”

“Apakah semua murid Bu-khek-bun perlu ikut datang?”

“Tidak usah, hanya kalian berdua yang boleh datang!”

“Baik!” kata Pek Hong sambil manggut-manggut, “kukabulkan permintaanmu itu besok malam aku pasti akan datang bersama Ling-kang!”

“Ingat, jangan lewat kentongan ketiga!”

“Yaa, aku pasti datang tepat pada waktunya!”

“Bila selewat kentongan ketiga kalian belum juga datang, maka perbuatan pertama adalah membunuh Pek Bwee lebih dulu.”

“Aku mengerti!” katanya.

Kemudian tanpa banyak berbicara lagi dia lantas putar badan dan berlalu dari situ.

Menanti bayangan punggung Pek Hong sudah lenyap dari pandangan mata, orang dalam tandu itu menitahkan anak buahnya untuk berangkat meninggalkan tempat itu.

Malam yang gelap pun pulih kembali dalam keheningan yang mencekam.

Dengan sabar Cu Siau-hong menunggu beberapa saat lagi di situ, setelah benar-benar yakin kalau orang dalam tandu itu telah pergi jauh, diam-diam ia pun ngeloyor turun dari atas tebing dan kembali ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Tiba di bawah pohon waru, tampak Seng Tiong-gak serta Tang Cuan telah menunggu di situ.

Waktu itu kentongan lima belum tiba. Sebelum Seng Tiong-gak sempat buka suara, Cu Siau-hong telah bertanya lebih dulu.

“Apakah Subo telah pulang?”

“Yaa, malam ini dia pulang rada awal!” jawabnya.

“Sute, apa yang berhasil kau lihat?” tanya Tang Cuan pula.

“Hampir saja kita menaruh salah sangka terhadap Subo!”

“Salah sangka?” bisik Seng Tiong-gak tertegun.

Cu Siau-hong menghela nafas, ia lantas menceritakan apa yang telah dilihatnya selama ini.

Ketika kisah itu selesai dituturkan, Seng Tiong-gak lantas berseru :

“Aaah... jadi ada peristiwa semacam itu? Siapakah nama orang yang berada dalam tandu?”

“Selama ini ia tak pernah menyebutkan nama sendiri, Subo sendiri pun tak pernah menyebut namanya.”

“Suhu pasti mengetahui nama orang itu?” seru Tang Cuan.

“Toa-suheng, Suhu memang tahu orang itu, tapi siapa yang akan pergi menanyakan persoalan ini?”

“Yaa, sulit juga, kecuali Subo mengatakan sendiri, memang tidak ada orang lain yang sanggup mengucapkan persoalan ini kepada Suhu.”

“Susiok, Subo telah berjanji dengan orang yang beradu dalam tandu untuk berjumpa lagi besok malam pada kentongan ketiga, demi keselamatan Pek-lotoaya aku percaya Subo pasti tak akan mengingkari janjinya.”

“Itu berarti Subo pasti memberitahukan persoalan ini kepada Suhu!” sambung Tang Cuan.

“Yang menjadi persoalan sekarang adalah latihan malam Suhu telah selesai atau belum, coba kalau sudah selesai urusan tentu akan terselesaikan,” kata Cu Siau-hong.

“Jadi maksudmu Siau-hong, Subomu tak akan memberitahukan persoalan ini kepada Suhu?” tanya Seng Tiong-gak.

“Keponakan memang berpendapat demikian, aku kuatir Subo akan memenuhi janji itu sendirian.”

“Setelah kita mengetahui persoalan ini, tentu saja tak akan kita perkenankan Subomu pergi memenuhi janji seorang diri.”

“Maksud Susiok ..........” tanya Tang Cuan.

“Biar aku mewakili Suheng dan Enso untuk memenuhi janji tersebut,” tukas Seng Tiong-gak.

“Susiok, sebagai murid Bu-khek-bun, Tecu semua berkewajiban untuk menanggulangi semua kesulitan yang kita hadapi, biar Tecu saja yang memenuhi janji itu.”

Seng Tiong-gak tertawa.

“Kalian semua belum menjalankan pelantikan, sebagai murid yang belum tamat belajar, kalian tak boleh melakukan pertarungan, rasanya hanya aku seorang yang pantas untuk melaksanakan tugas ini.”

“Susiok, orang dalam tandu mempunyai pembantu yang sangat banyak,” kata Cu Siau-hong, “bagaimanapun juga Susiok tak boleh pergi seorang diri.”

“Betul!” sambung Tang Cuan, “persoalan ini mempunyai sangkut paut yang besar sekali dengan keselamatan perguruan kita, keputusan tak bisa kita ambil secara gegabah, bagaimanapun juga kita musti melaporkan kejadian ini kepada Suhu.”

“Betul juga perkataan Toa-suheng,” kata Cu Siau-hong pula, “bila kejadian ini sampai berkembang lebih lanjut, mungkin akan menyangkut mati hidupnya Bu-khek-bun, kita tak boleh mengambil keputusan sendiri sehingga mengakibatkan timbulnya kesalahan besar.”

Seng Tiong-gak termenung beberapa saat, lalu katanya kemudian :

“Setelah fajar menyingsing nanti, akan kujumpai Enso lebih dulu, agar ia mau memberitahukan persoalan ini kepada Suheng.......”

Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan :

“Jangan kita beri tahukan persoalan ini kepada It-ki.”

Tang Cuan dan Cu Siau-hong segera membungkukkan badan sambil mengiakan.

Tak lama setelah fajar menyingsing, Seng Tiong-gak telah pergi ke ruangan belakang.

Waktu itu Pek Hong dan Tiong Ling-kang sedang duduk saling berhadapan sambil sarapan pagi.

Melihat kedatangannya, Tiong Ling-kang segera bangkit sambil menyongsong kedatangannya.

“Tiong-gak!” ia berkata, “sepagi ini sudah bangun tidur, ayoh duduklah dan bersama-sama sarapan pagi.”

Seng Tiong-gak berpaling memandang sekejap ke arah Pek Hong, lalu katanya pula.

“Menjumpai Enso!”

“Duduklah!” jawab Pek Hong sambil tertawa, seakan akan tak pernah terjadi apa-apa.

Bahkan ia turun tangan sendiri untuk mempersiapkan mangkuk dan sumpit untuk Seng Tiong-gak.

“Sute, makanlah!”

Sesungguhnya banyak urusan penting yang hendak dibicarakan Seng Tiong-gak, tapi ketika dilihatnya Pek Hong bersikap tenang terpaksa ia pun harus berabar diri.

Tiba-tiba Tiong Ling-kang meletakkan mangkuk dan sumpitnya lalu berkata sambil tertawa :

“Tiong-gak, bersantaplah pelan-pelan aku sudah selesai dan akan keluar sebentar, selama dua bulan belakangan ini kita belum pernah bercakap-cakap, hari ini kita musti bicara baik-baik!”

“Silakan Suheng!” sahut Seng Tiong-gak sambil berdiri dengan hormat.

Tiong Ling-kang tertawa, ia bangkit dan berlalu dari ruangan.

Setelah Tiong Ling-kang pergi jauh, Seng Tiong-gak baru berbisik :

“Enso beberapa malam ini siapa yang telah kau jumpai?”

“Dari mana kau bisa tahu?” tanya Pek Hong dengan paras muka berubah hebat.

“Kebetulan Siaute sedang meronda di luar perkampungan, secara tidak sengaja kutemui Enso keluar tiap malam, orang itu..........”

Pek Hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya :

“Sute, jangan kau lanjutkan pembicaraanmu, soal ini jangan sampai diketahui Suhengmu.”

“Enso, kejadian ini mempengaruhi mati hidup perguruan Bu-khek-bun kita, sebagai seorang ciangbunjin kenapa Suheng tak boleh tahu?”

Sekali lagi Pek Hong tertegun, ditatapnya wajah Seng Tiong-gak lekat-lekat, setelah termenung agak lama ia bertanya lagi :

“Sute, berapa banyak yang telah kau ketahui?”

“Yang Sute ketahui cuma sebanyak itu, Enso, persoalan ini bukan persoalan seorang, bukan juga persoalan Suheng, tapi menyangkut seluruh perguruan Bu-khek-bun, maka dari itu dengan memberanikan diri Siaute harap agar kejadian ini dilaporkan kepada Toa-suheng.......”

“Jangan kau lanjutkan,” tukas Pek Hong, “Sute, sebentar akan kuajak kau untuk merundingkan persoalan ini, mari kita atasi bersama persoalan serius itu.”

Tiba-tiba suara Tiong Ling-kang berkumandang datang dari luar :

“Persoalan apakah itu? Takut aku tahu?”

Sambil berkata dia lantas melangkah masuk ke dalam ruangan.

Pek Hong dan Seng Tiong-gak saling berpandangan, untuk sesaat mereka terbungkam dan tak mampu bicara.

Dengan wajah yang lembut Tiong Ling-kang mengalihkan sinar wajahnya ke wajah Seng Tiong-gak, kemudian ujarnya :

“Tiong-gak, coba kau saja yang berbicara, sesungguhnya kejadian apakah itu?”

“Soal ini..... soal ini..........”

Tiong Ling-kang tersenyum, sorot matanya kembali dialihkan ke wajah Pek Hong, kemudian melanjutkan :

“Pek Hong, mungkin kurang leluasa buat Tiong-gak untuk membicarakan persoalan ini, bagaimana engkau saja yang mengatakannya kepadaku.........”

“Ling-kang betul-betul tak ada persoalan serius,” seru Pek Hong.

Sekali lagi Tiong Ling-kang tertawa.

“Hujin, bukankah ada seorang sahabat lama telah datang mencari kita?”

“Kau............”

“Malah aku tahu kalau orang itu bernama Liong Thian-siang.”

“Dari mana kau bisa tahu? Ia bilang hanya memberitahukan kepadaku seorang...........”

“Beberapa hari ini, setiap kentongan ketiga malam kau musti pergi dan kentongan kelima baru kembali, selama ini tentu lelah sekali bukan. Yaa, Liong Thian-siang telah menggunakan waktu selama dua puluh tahun untuk melatih ilmu silatnya, tentu saja ia tak mau menyerah dengan begitu saja. Hujin, aku lihat dalam persoalan ini pun kau tak usah memohon lagi kepadanya.”

“Eeeh...... dari mana kau bisa tahu tentang persoalan ini?” seru Pek Hong keheranan.

No comments: