Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 1

Oleh : Tjan ID

Dalam kitab Ping-ki-boh (catatan ilmu senjata) tercatat pelbagai ilmu silat kenamaan dalam dunia persilatan serta ulasan tentang senjata tajam, terutama tentang kegunaan istimewa pelbagai senjata aneh, barang siapa dapat membaca kitab Ping-ki-boh dia akan memahami tujuh puluh persen dari pelbagai ilmu silat dan senjata yang ada di dunia.

Maka dari itu Ci-cu Ping-ki-boh disebut sebagai Kangou-tit-it-khi-su (Kitab paling aneh di dunia kangou).

Konon kitab tersebut dibuat oleh seorang yang bernama Ban Ci-cu.

Manusia macam apakah Ban Ci-cu itu? Hingga kini masih merupakan suatu teka-teki karena belum ada seorang pun yang pernah menjumpainya.

Banyak catatan yang tercantum dalam kitab Ping-ki-boh akhirnya tersiar dalam dunia persilatan, catatan itu dicatat semua oleh pelbagai perguruan serta keluarga persilatan untuk selanjutnya diturunkan kembali kepada anak murid serta keturunannya.

Tak sedikit di antaranya, bahkan mengeluarkan banyak tenaga dan biaya untuk membuktikan kebenaran berita tersebut, ternyata semuanya memang terbukti akan kebenarannya.

Oleh sebab itu, seorang pun mengikuti bahwa kitab itu merupakan kitab paling aneh di dunia.

Sayang tak manusia pun yang berhasil menguasai semua kepandaian itu dan menganalisa kembali seluruh isi kitab Ci-cu Ping-ki-boh tersebut.

Mungkin saja ada orang yang pernah membaca seluruh isi kitab itu paling tidak orang itu belum diketahui oleh umat persilatan.

Bulim Cun-ciu-pit (pit wasiat) lebih-lebih merupakan suatu peringatan bagi umat persilatan, dengan pena wasiat inilah banyak kejadian besar dalam dunia persilatan telah dicatat dalam kitab besar.

Bukan hanya manusia-manusia termasyhur saja yang akan dicatat oleh Cun-ciu-pit, bahkan orang yang tidak ternama dan tidak termasyhur pun kadang kala ikut dicatat juga.

Cun-ciu-pit dapat membuat seorang tokoh persilatan yang disegani dan dihormati orang menjadi orang yang paling busuk namanya dan dibenci orang dalam sehari saja.

Tapi dapat pula membuat seorang umat persilatan yang tak ternama menjadi seorang tokoh persilatan yang disegani dan dihormati semua orang dalam sehari.

Tentu saja banyak alasan yang dimiliki Cun-ciu-pit untuk bisa memiliki kekuasaan sebesar ini.

Tapi di antara sekian banyak alasan ada dua di antaranya yang paling penting, pertama semua kejadian yang dicatat Cun-ciu-pit adalah kenyataan, bukan Cuma isapan jempol belaka, ada waktunya ada tempat kejadiannya ada jalan ceritanya, bahkan ada pula barang bukti atau saksi hidupnya.

Kedua karena pena wasiat itu amat misterius. Tentu saja pena itu tak mungkin bisa menulis sendiri semua kejadian, tentu ada orang yang pernah tahu siapa gerangan orang itu, ia tak pernah melibatkan diri dalam pertikaian dunia persilatan, tapi seakan-akan dalam banyak kejadian ia selalu hadir di tempat.

Tak mungkin orang bisa menulis semua kejadian dengan terperinci seandainya ia tidak hadir di sana.

Itulah Bu-lim Cun-ciu-pit, sebuah pena wasiat.

Ia dapat membongkar kedok kemunafikan seorang ksatria dunia persilatan, agar orang dapat mengetahui semua keburukan, kebengisan dan kejahatannya di balik kebaikan.

Dia pun dapat mengungkapkan semua perjuangan, pengorbanan serta perbuatan mulia seorang ksatria sejati, agar namamu menjadi tenar di mana-mana.

Pena wasiat itu hanya khusus mengurusi semua perbuatan orang-orang persilatan.

Ia mengungkap kebobrokan orang tapi mendengungkan kebaikan orang.

Terhadap pena wasiat itu, ada sementara orang persilatan yang merasa pusing kepala merasa pecah nyali dan ketakutan.

Tapi ada pula yang menyanjung dan memuliakannya ..........

Tiga puluh tahun telah berlangsung tanpa terasa ...........

Tahun ini, kawanan jago dari Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sudah jarang melakukan perjalanan dunia persilatan.

Empat keluarga persilatan yang paling kuat dan tenar di masa lalu kini pun mulai lemah dan mundur.

Satu-satunya perguruan yang paling tenar dan disegani orang waktu itu adalah Bu-khek-bun (perguruan Bu-khek) yang dipimpin oleh Cing-peng-kiam-khek (jago pedang Cin-peng) Tiong Ling-kang sebagai ketuanya.

Markas besar mereka terletak di bawah bukit Liong-tiong-san di luar kota Siang-yang, luasnya mencapai puluhan hektar, meski tidak terhitung megah dan angker tapi jumlah murid berikut pelayan mencapai ratusan orang.

Yang mengemban kewajiban perguruan Bu-khek-bun adalah papan nama yang tergantung di depan pintu gerbang.

Papan nama itu terbuat dari kayu Song pilihan dasar hitam dengan tulisan emas, tiga huruf tercantum di situ yang bernama: “Bu-khek-bun”.

Bukan bahan atau tulisan itu yang berharga, justru tanda tangan di bawah papan nama itulah yang tak ternilai harganya, karena di situlah tercantum nama dari jago-jago Siau-lim, Bu-tong, keluarga persilatan Tong-hong, ketua Kay-pang, dan ketua Bay-kau. Lima orang tokoh paling berkuasa dalam dunia persilatan waktu itu.

Pada usia dua puluh tahun, Tong Ling-kang turun gunung mulai berkelana, seratus delapan jurus ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat telah dikuasainya secara sempurna, tiga tahun kemudian ia telah berhasil meraih gelar Cing-peng-kiam-khek.

Pada usia tiga puluh tahun, namanya makin tersohor setelah dia berhasil membinasakan tujuh orang manusia paling buas dalam dunia persilatan waktu itu.

Pada usia tiga puluh dua tahun, dia menjabat kedudukan sebagai ciangbunjin perguruan Bu-khek-bun, pada tahun yang sama ia kawin dengan Pek Hong, putri kesayangan Sin-heng-siu (kakek pejalan sakti) Pek Bwee hingga namanya makin dikenal di mana-mana.

Dalam perguruan Bu-khek-bun, terdapat empat orang jago yang berbakat bagus, pertama adalah Seng Tiong-gak, siau-sute dari Tiong Ling-kang sendiri, meskipun menjadi adik seperguruannya dalam kenyataan usianya selisih banyak dengan Tiong Ling-kang, tahun ini berusia tiga puluh tahun, ketika suhu Tiong Ling-kang baru menerimanya sebagai murid, orang tua itu jatuh sakit dan tak dapat bangun kembali, karenanya ilmu silat yang dimiliki Seng Tiong-gak sebagian besar adalah ajaran dari Tiong Ling-kang.

Orang kedua yang bisa diandalkan adalah seorang murid Tiong Ling-kang sendiri, ia bernama Cu Siau-hong.

Sebenarnya bocah itu adalah keturunan seorang bangsawan, kakeknya pernah menjadi pembesar dan ayahnya seorang sastrawan kenaman.

Dalam keluarga macam beginilah justru muncul seorang bocah yang berbakat bagus, ketika ditemukan oleh Tiong Ling-kang dan menganggapnya berbakat aneh, dengan segala usaha yang sulit dan berbelit-belit akhirnya ia berhasil memaksa ayah Cu Siau-hong untuk menghantar anaknya belajar silat dalam Bu-khek-bun.

Ternyata pilihan Tiong Ling-kang memang tak salah, Cu Siau-hong betul-betul seorang manusia yang berbakat untuk belajar silat, pada usia tujuh tahun ia masuk perguruan dan tahun ini berusia sembilan belas tahun, tapi seluruh kepandaian milik Cing-peng-kiam-khek telah dikuasainya, ditambah lagi sejak kecil gemar membaca, ini membuatnya menjadi seorang Bun-bu-cuan-cay (pandai dalam bidang sastra maupun silat).

Orang ketiga bernama Tang Cuan dia berasal dari keluarga silat, ayahnya pernah menjadi piausu, ketika usia setengah umur berganti usaha dengan berdagang, harta kekayaannya amat banyak dan merupakan keluarga ternama di kota Lu-ciu.

Ayah Tang Cuan adalah seorang pengagum Tiong Ling-kang, maka ketika ia menghantar putranya untuk belajar silat, melihat juga Tang Cuan berbakat baik, Tiong Ling-kang pun menerimanya sebagai murid.

Orang keempat tidak lain adalah putra kesayangan Tiong Ling-kang dengan Pek Hong yang bernama Tiong It-ki.

Penghargaan Tiong Ling-kang terhadap keempat orang ini sangat besar, maka dengan penuh kesungguhan hati dipupuknya mereka secara sungguh-sungguh dan penuh kasih sayang.

Di antara tiga orang angkatan muda, usia Tang Cuan paling besar, tahun ini telah berusia dua puluh tiga tahun, dia adalah murid tertua dalam perguruan Bu-khek-bun.

Dengan pasti Tiong Ling-kang tahu, bahwa di antara dua belas orang muridnya, hanya ketiga orang itu yang paling besar harapannya untuk berhasil.

Maka mereka diminta untuk berdiam dalam perkampungan selama banyak tahun, bukan saja latihan mereka diawasi dengan ketat, lagi pula dengan pelbagai macam bahan obat mereka dipupuk tenaga dan kekuatannya, banyak kejadian dalam dunia persilatan sering kali diceritakan kepada mereka.

Oleh sebab itu, meski ketiga orang tak pernah meninggalkan bukit Liong-tiong-san, tidak sedikit yang mereka ketahui tentang masalah dalam dunia persilatan.

Suatu hari, seusai mencoba kehebatan ilmu pedang mereka bertiga, dengan wajah berseri Tiong Ling-kang memanggil mereka bertiga untuk menghadap, lalu ujarnya dengan gembira.

“Selama lima enam tahun belakang ini, aku jarang sekali melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, harapanku adalah dapat mendidik kalian sebaik-baiknya, ternyata usahanya tidak sia-sia, kesempurnaan kalian dalam soal ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat sudah cukup mengagumkan, tenaga dalam pun sudah mencapai taraf bisa digunakan menurut kehendak hati sendiri, tapi kalian jangan keburu besar kepala, aku harap kalian jangan menjadi malas dan tinggi hati karena pujian tersebut.”

Ketiga orang muridnya segera mengiakan berulang kali.

“Besok aku hendak mewariskan ilmu senjata rahasia Thiat-lian-hoa (bunga teratai besi) kepada kalian,” kata Tiong Ling-kang lagi sambil tertawa, “Kalian mesti tahu, Cing-peng-kiam-hoat dan 24 teratai besi adalah kepandaian yang paling kuandalkan selama ini, sekali pun memakai senjata rahasia kurang mencerminkan perbuatan seorang ksatria, namun kadang kala kita memerlukannya untuk digunakan menghadapi kaum Siau-jin, karenanya secara khusus kumiliki beberapa macam kepandaian yang bisa digunakan untuk mengatasi serangan senjata rahasia lawan. Aku harap kalian bisa mempelajarinya secara tekun dan rajin sehingga tak sampai menyia-siakan pengharapanku.”

Tang Cuan segera membungkukkan badan memberi hormat.

“Budi kebaikan Suhu lebih tinggi dari bukit lebih dalam dari samudra, sudah menjadi kewajiban bagi Tecu sekalian untuk ikut menyemarakkan nama perguruan hingga Bu-khek-bun kita selamanya bisa berdiri tegak dalam dunia persilatan.”

“Bagus!” kata Tiong Ling-kang sambil mengangguk, “semoga saja kalian memiliki semangat juang yang luar biasa sehingga tidak sia-sia pengorbananku selama ini ........”

Setelah berhenti sejenak ia menambahkan:

“Selama lima tahun belajar silat, belum pernah kalian meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng barang selangkah pun, cuti dua tahun sekali untuk pulang menengok keluarga pun dihapuskan, maka sebagai selingan kalian besok akan kuajak kalian berburu di atas gunung, sekalian kuwariskan ilmu Thiat-lian-hoa kepada kalian semua.”

Tiga orang pemuda yang selama lima tahun belum pernah meninggalkan perkampungan, tiba-tiba mendengar bahwa esok pagi akan diajak berburu sudah barang tentu mereka menjadi sangat gembira, rasa girang itu lamat-lamat tercermin pula di atas wajah mereka.

Tiong Ling-kang menunjukkan pula rasa gembiranya, sambil tertawa katanya pula :

“Sekarang pergilah beristirahat dulu, besok pagi-pagi kita akan meninggalkan perkampungan untuk berburu.”

Selesai berkata ia lantas berlalu lebih dulu dari situ.

Tiong It-ki sekalipun sebagi putra kesayangan Tiong Ling-kang, tapi hubungan dengan tiga orang rekannya akrab sekali.

Sepeninggal gurunya, Tang Cuan berpaling ke arah Tiong It-ki seraya katanya :

“Siau-sute, selama banyak tahun kau selalu tinggal bersama kami di kebun belakang, meskipun suni ada beberapa jengkel saja di hadapanmu , namun kesempatan kalian untuk bertemu jarang sekali. Padahal menurut perkataan Suhu tahi, jelas ilmu pedang kita telah berhasil baik dan kita meningkat akan diajari senjata rahasia Thiat-lian-hoa. Apa salahnya kalau kau menengok Subo sekalian sampaikan pula salam dari kami semua?”

“Siaute turut perintah,” Tiong It-ki segera mengiakan.

Tang Cuan lantas mengalihkan sorot matanya ke wajah Cu Siau-hong, kemudian katanya pula :

“Jit-sute, kau pergi ke istal dan tuntun keluar ketiga ekor kuda hadiah suhu kepada kita tahun berselang, sikatlah bulunya sampai bersih, bila aku selesai membersihkan ruangan nanti, kita semua akan pergi membantumu.”

“Siaute turut perintah,” Cu Siau-hong memberi hormat.

Dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng memang terdapat banyak pelayan dan dayang tapi Tiong Ling-kang justru menanamkan prinsip hidup berdikari bagi murid-muridnya, kecuali soal makan hampir semua pekerjaan mereka lakukan sendiri.

Cu Siau-hong telah masuk ke istal, istal itu luas dan indah, di sana terpelihara hampir tiga puluh ekor kuda bagus.

Penjaga istal adalah seorang kakek yang bernama Lo-liok, sekalipun usianya sudah amat tua, rambutnya telah putih semua, tapi semangatnya masih bagus, setiap hari kerjanya melulu membersihkan ruang istal tersebut.

Kamar tidur Lo-liok terletak di pintu masuk menuju ke istal.

Waktu itu sinar matahari sore masih memancarkan sisa-sisa cahaya, Lo-liok sedang duduk di sebuah bangku di luar istal sambil menghisap huncwenya.

Sekulum senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya, seakan-akan ia merasa puas sekali dengan kehidupannya sekarang sebagai seorang penjaga istal kuda.

“Cu-kongcu, mau jalan-jalan naik kuda?” tanya Lo-liok.

Cu Siau-hong segera tertawa.

“Oh tidak! Kami akan membersihkan kuda, sebab esok pagi Suhu hendak mengajak kami berburu di atas bukit.”

“Kalian sudah tidak berlatih pedang lagi?”

Cu Siau-hong duduk di samping kakek itu, lalu jawabnya,

“Kata Suhu, mulai besok beliau akan mengajarkan cara melepaskan senjata rahasia Thiat-lian-hoa kepada kami.”

“Oh, jadi kalau begitu ilmu pedang kalian tentu sudah berhasil mencapai kesempurnaan kata Lo-liok sambil manggut-manggut.”

“Entahlah, Suhu tidak berkata demikian.”

Lo-liok membersihkan mangkuk huncwenya dari arang tembakau, lalu setelah mengisinya yang baru ia berkata lagi sambil tertawa.

“Cu-kongcu, berapa ekor kuda yang hendak kau cuci?”

“Tiga ekor, kuda milik Toa-suheng kuda milikku dan kuda milik It-ki sute!”

“Baik, kubantu nanti!”

“Ah, tidak usah empek Liok, setelah berbincang-bincang sebentar akan kukerjakan sendiri nanti, berapa toh tenaga yang musti dikeluarkan untuk mencuci tiga ekor kuda?”

Sikapnya yang lemah lembut dan penuh kesopanan ini membuat di atas wajah Lo-liok terlintas suatu perubahan mimik wajah yang aneh. Tapi halnya sebentar saja, lantas lenyap kembali.

Cu Siau-hong tidak melihatnya, padahal sekali pun tahu, dia pun tak akan memahami arti dari perubahan tersebut.

Lo-liok menghembuskan asap huncwenya, kemudian berkata :

“Cu-kongcu, coba lihatlah sinar matahari sore yang memancarkan cahaya keemas-emasan betapa indahnya pemandangan saat ini, sayang masa yang indah selalu hanya berlangsung pendek, bila sinar senja telah lenyap magrib pun menjelang tiba.”

Cu Siau-hong mengerdipkan sepasang matanya yang jeli lalu bertanya :

“Liok-lopek kau pernah bersekolah?”

Rupanya Lo-liok tahu kalau sudah salah berbicara ia lantas tertawa terbahak-bahak.

“Haaahh.........haaahh.........haaahh....... itu kejadian di masa mudaku dulu kalau dihitung-hitung..... yaa sudah hampir lima puluh tahun lebih.”

“Liok-lopek aku merasa kau tidak mirip sebagai seorang penjaga istal kuda!”

“Cu-kongcu, nasib ada di tangan Thian, sudah puluhan tahun lolap bekerja sebagai penjaga istal kuda, separuh hidupku hampir kulewatkan dalam kandang kuda.”

Tiba-tiba Cu Siau-hong seperti merasakan sesuatu yang aneh, ia merasa kakek penjaga kuda ini seakan-akan mempunyai suatu kewibawaan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang penjaga istal kuda, sekalipun bajunya sederhana meski pekerjaannya rendah, namun tak dapat menyembunyikan sepasang matanya yang jeli dan tajam serta suatu pancaran kewibawaan serta keagungan yang tebal.

Cu Siau-hong memang tidak berpengalaman untuk menaksir sesuatu, namun di wajah orang itu memiliki sesuatu yang luar biasa.

Maka setelah menghembuskan napas panjang pelan-pelan anak muda itu berkata lagi,

“Liok-lopek, aku benar-benar bodoh, aku benar-benar amat bodoh, padahal sudah banyak tahun kita berkumpul setiap hari bertemu muka, tapi sekarang baru kuketahui bahwa Liok-lopek sesungguhnya adalah seorang jago lihay yang sengaja menyembunyikan kepandaian sendiri.”

Rupanya Lo-liok tidak menduga kalau Cu Siau-hong berhasil menyelami sedemikian dalamnya tentang dia, untuk sesaat dia tertegun, lalu katanya :

“Nak, kemarilah kau!”

Ia bangkit dan masuk ke kamar tidurnya.

Ruangan itu kecil dan perabotnya amat sederhana.

Selain sebuah pembaringan kayu, di situ hanya terdapat sebuah meja dan dua buah kursi. Tapi segala sesuatunya berada dalam keadaan rapi dan bersih, sepreinya sekalipun sudah luntur warnanya tapi tidak tampak acak-acakan.

“Padahal ia sudah tua, lagi pula musti mengurusi begitu banyak kuda, tapi kamarnya begini bersih dan rapi, jelas ia adalah seorang kakek yang rajin.”

Sementara itu Lo-liok telah mengeluarkan sejilid kitab berwarna kuning dari bawah pembaringannya, sambil tertawa ia berkata :

“Nak, bersediakah kau menyanggupi beberapa buah permintaanku?”

Dengan sikap yang sangat menghormat, Cu Siau-hong menjura, sahutnya lirih :

“Apa pun permintaan Lopek, Siau-hong pasti akan berusaha untuk melaksanakannya secara baik.”

“Bila orang lain membicarakan soal diriku, kau musti menunjukkan bahwa hubungan kita sebenarnya dingin dan tiada sesuatu yang luar biasa.”

“Tentang soal ini, Siau-hong tentu saja dapat memenuhinya, tapi bolehkah Siau-hong sering berkunjung kemari di kemudian hari.”

Lo-liok segera menghela napas panjang.

“Aaaai..... Nak, hari ini Lohu sudah terlanjur banyak melakukan kekeliruan, kita hanya berjodoh untuk bertemu satu hari saja, Nak! Aku percaya dengan kemampuanmu sekarang, tidak sulit bagimu untuk mempelajari ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu, tapi ingat! Kau hanya mempunyai waktu selama dua hari untuk mempelajarinya, kau pun dilarang membicarakan persoalan ini dengan siapa pun, termasuk gurumu sendiri.”

“Oooh...........!”

“Ilmu silat yang tercantum di dalamnya boleh Kau pelajari, Kau harus menyanggupi permintaanku yakni sampai di manapun kesempurnaan dalam kepandaian yang Kau pelajari dari kitab itu, dalam setahun ilmu tadi tak boleh kau pergunakan”

Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong, tanyanya :

“Liok-lopek, seandainya nyawa Siau-hong terancam mara bahaya?”

“Sekalipun terancam juga tak boleh menggunakannya.”

“Selewat setahun?”

“Tentu saja Kau boleh mempergunakannya,” jawab Lo-liok sambil manggut-manggutkan kepalanya, “tapi jangan lupa Kau adalah murid Bu-khek-bun, banyak kepandaian silatmu adalah perubahan dari jurus serangan dalam perguruan Bu-khek-bun!”

“Siau-hong mengerti!”

“Lupakan aku Nak, seolah-olah kau tak pernah berjumpa denganku.”

Pelan-pelan ia serahkan kitab tadi ke tangan Cu Siau-hong, kemudian melanjutkan :

“Usiaku sudah tua, mataku sudah kabur dan telingaku rada congek, daya ingat pun ikut mundur, aku betul-betul sudah tak ingat lagi di manakah pernah menjumpaimu, di manakah melihat wajahmu dan di manakah pernah mendengar suaramu Nak, di dunia ini masih terdapat banyak sekali pemuda macam Kau, Kau dan mereka adalah sama saja, bagiku merupakan seorang pemuda yang asing.”

“Siau-hong memahami maksud Lopek!”

“Kalau paham itulah lebih bagus, Nak, baik-baik simpan kitab itu, tuntunlah keluar kudamu dan sikatlah mereka! Sebentar lagi Toasuhengmu akan tiba di sini.”

“Locianpwee.......”

Tiba-tiba wajah Lo-liok diliputi kembali keketusan dan kedinginan yang menyeramkan, kembali ia berkata :

“Ingat baik-baik perkataanku, kau harus membakar kitab itu dua hari kemudian, kalau tidak menuruti perkataanku pasti ada bencana besar akan menimpamu, sekarang pergilah! Mulai detik ini Lohu sama sekali tidak mengenal kau!”

Selesai berkata dia lantas putar badan dan pergi.

Cu Siau-hong tertegun, terpaksa kitab itu disimpan baik-baik lalu ikut keluar dari ruangan.

Belum selesai ketiga ekor kuda itu dibersihkan, Tang Cuan dan Tiong It-ki telah tiba di sini.

Atas kehadiran Tiong It-ki, Cu Siau-hong merasa rada sedikit di luar dugaan, katanya sambil tertawa,

“Sute bukankah Kau pergi menengok Sunio?”

“Siaute telah bertemu dengan ibu, kata ibu, sekalipun aku anak ayah tapi termasuk pula murid Bu-khek-bun, maka segala sesuatunya harus sama dengan orang lain, sebelum pelajaran diselesaikan dan melakukan upacara peresmian, siapa pun tak akan diperlakukan secara istimewa....”

Sesudah tertawa ia melanjutkan,

“Toa-suheng, Siau-hong suheng, ibu telah menitahkan pengurusan rumah tangga untuk membangun sebuah bangunan indah.”

“Sebuah bangunan indah, kenapa?”

“Kata ibu semasa kita masih belajar ilmu silat maka pangkat kita hanya seorang pelajar, segala sesuatu pekerjaan mesti dilakukan sendiri, maka cuci pakaian, membersihkan kuda harus kita kerjakan sendiri pula, namun begitu tamat belajar dan selesai melakukan upacara pelantikan, kita dianggap telah dewasa, maka kita harus mempunyai tempat tinggal yang baik dan tak perlu melakukan semua pekerjaan sehari-hari.”

“Budi kebaikan perguruan lebih dalam dari samudra, entah bagaimana kita harus membalasnya,” ujar Tang Cuan.

“Toasuheng,” bisik Tiong It-ki, “kalau didengar dari pembicaraan ibu, agaknya seusai pelantikan nanti tampaknya Suhu hendak mengajak kita untuk melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.”

“Sungguhkah itu?” tanya Cu Siau-hong sambil menghentikan pekerjaannya menggosok tubuh kuda.

“Tentu saja sungguh, konon kita akan diajak untuk menghadiri sebuah pertemuan besar, sekalian diajak berjalan-jalan dalam dunia persilatan.”

Tang Cuan tersenyum.

“Besok pagi Suhu mengajak kita berburu, selain hendak mengajarkan cara melepaskan senjata rahasia Thiat-lian-hoa, Beliau pun hendak mencoba ilmu silat kita, yaa ilmu pedang Suhu memang sangat hebat, sudah belasan tahun aku yang menjadi Toa-suheng mempelajarinya, tapi sampai sekarang toh belum juga berhasil menguasai secara matang.”

Tiong It-ki ikut tertawa, katanya :

“Toa-suheng, kau jangan merasa rendah hati, padahal ayah sangat puas dengan keberhasilan kita sekarang....”

“Siau-sute, dari Suhu apa saja yang pernah Kau dengar?”

“Aku dengar dari Seng-susiok, ayah pernah membicarakan soal kita dengannya, Suhu amat puas dengan keberhasilan kita, katanya Toa-suheng telah berhasil mendapatkan sebagian besar ilmu kepandaian Suhu.”

Sekalipun sekuat tenaga Tang Cuan berusaha untuk mengendalikan, rasa girangnya sempat pula menghiasi wajahnya.

“Kata Suhu, tenaga dalam serta ilmu pedang Toa-suheng memperoleh kemajuan dengan pesat,” kata Tiong It-ki lebih lanjut, “konon Kau telah menguasai delapan sampai sembilan puluh persen kepandaian Suhu, padahal Siaute sendiri cuma menguasai enam tujuh puluh persen belaka.”

Tang Cuan berpaling dan melirik sekejap ke arah Cu Siau-hong, kemudian bertanya :

“Siau-sute, pernahkah Suhu membicarakan tentang Jit-suhengmu?”

Kiranya dalam urutan murid dalam Bu-khek-bun, Cu Siau-hong menempati urutan nomor tujuh sedang Tiong It-ki paling kecil dan menempati urutan kedua belas.

Mereka bertiga merupakan murid-murid yang paling cemerlang di antara dua belas orang murid Bu-khek-bun, oleh Tiong Ling-kang mereka dipisahkan di tempat lain, sedang sembilan orang murid lainnya karena merasa bakat mereka memang terbatas maka tak ada yang merasa tak senang hati.

Hanya dua orang saja di antara mereka yang iri dan dengki mereka adalah lo-ji (murid kedua) dan lo-kiu (murid kesembilan).

Kedua orang itu pun mempunyai kecerdasan yang luar biasa tapi masih selisih jauh kalau dibandingkan tiga orang itu.

Sementara itu Tiong It-ki termenung sejenak setelah mendengar perkataan dari Tang Cuan, kemudian ujarnya :

“Kata Suhu, Siau-hong suheng paling aneh dan tidak diketahui sampai di mana taraf kesempurnaannya, ia tampak seperti pintar tapi permainan pedangnya terlalu tumpul, masih kalah tajamnya dari pada permainan Toa-suheng.”

“Toa-suheng, kecerdasan Siaute mana bisa dibandingkan dengan Toa-suheng................?” seru Cu Siau-hong cepat-cepat, “aku mengerti, bila Siaute berhasil menguasai ilmu pedang itu, paling-paling juga sejajar keberhasilan It-ki sute, mana mungkin bisa sejajar dengan Suheng?”

Tang Cuan tersenyum.

“Jit-sute, kau tak usah merendahkan diri, aku yang menjadi Toa-suheng pun bisa melihat bahwa dibalik ketumpulan permainan ilmu pedangmu justru mengandung perubahan yang di luar dugaan, itulah baru merupakan kesempurnaan yang luar biasa!”

“Toa-suheng terlalu memuji,” kata Cu Siau-hong sambil tersenyum.

Tang Cuan ikut tersenyum.

“Siapa yang lebih tinggi siapa lebih rendah semuanya adalah orang sendiri, kenapa musti dipikirkan dalam hati?” katanya! “Tapi yang pasti selama banyak tahun Suhu telah banyak mengeluarkan pikiran dan tenaga untuk mendidik kita, bukan cuma dalam ilmu silat, Beliau pun mencari pelbagai obat mujarab untuk membantu keberhasilan kita, kesemuanya ini sudah cukup bagi kita untuk sangat berterima kasih kepadanya.”

“Perkataan Toa-suheng memang benar, terhadap budi kebaikan Suhu, kita memang tak bisa membalasnya!” sela Siau-hong.

Selesai mencuci kuda, mereka kembali ke tempat pemondokan masing-masing dan sudah hampir malam.

Cu Siau-hong merasa amat gelisah, dia ingin cepat-cepat mengetahui apa isi kitab tersebut.

Ia tidak tahu apa saja yang tercantum dalam kitab itu tapi ia sadar kitab itu pasti sebuah benda yang amat penting.

Untung ketiga orang itu menempati kamar tersendiri, dan lagi Cu Siau-hong memang mempunyai kebiasaan membaca buku seorang diri sampai larut malam..........

Dengan sangat hati-hati kitab itu dibukanya, lalu dibaca isinya ternyata itulah tujuh jurus ilmu pedang.

Dibanyak bagian tampak sengaja dirusak orang sehingga tulisannya tak dapat dibaca lagi, ini membuatnya tak dapat mengetahui dari manakah asal-usul ilmu pedang itu dan apa nama ilmu pedang yang terdiri dari tujuh jurus itu.

Untunglah pelajaran ilmu pedang itu sendiri masih utuh dan lengkap sehingga mudah dipelajari.

Pada dasarnya Cu Siau-hong memang seorang yang cerdik, daya ingatnya juga bagus, dengan cepat dapat diketahui bahwa isi kitab terdiri dari tujuh jurus ilmu pedang, setiap jurus menempati dua halaman, satu halaman terdiri dari lukisan dan satu halaman berisi tulisan yang mengungkapkan kupasan dari tiap perubahan jurus, ternyata setiap jurus mempunyai tujuh perubahan sehingga keseluruhannya terdiri dari tujuh kali tujuh empat puluh sembilan perubahan.

Di atas kitab tidak tercantum nama seseorang, juga tidak dijelaskan apa nama ilmu pedang itu.

Hanya membaca tiga kali Cu Siau-hong telah mengingat semua setiap tulisan dan lukisan yang tercantum dalam buku.

Setelah membakar buku tadi, memadamkan lentera, ia memejamkan matanya untuk tidur, sebab esok pagi dia harus ikut gurunya berburu sambil mempelajari ilmu Thiat-lian-hoa.

Dengan dasar kepandaian yang dimilikinya sekarang, ternyata ketujuh jurus ilmu pedang yang baru dihafalkan itu ibaratnya tujuh buah biji yang ditanam dalam badannya.

Pelan-pelan ketujuh jurus ilmu pedang itu mulai bersemi dalam otaknya.

Itulah pengalaman yang amat menyiksa, perubahan gerakan dari ketujuh jurus ilmu pedang itu selalu memenuhi benaknya, membuat Cu Siau-hong hampir tak dapat memejamkan matanya.

Pemuda itu merasa bahwa semakin ia berusaha membuang jauh semua pikiran, semakin menghebat perubahan-perubahan jurus pedang itu mencekam pikirannya, bahkan kemudian ia merasa betapa banyaknya perubahan aneh dan hebat yang tercantum di dalamnya.

Lama-kelamaan ia makin kesemsem dan terbuai dalam pemikirannya, semalam suntuk ia berada dalam keadaan demikian hingga akhirnya fajar pun menyingsing.

Ketika Tang Cuan mulai berteriak dari luar, Cu Siau-hong baru melompat bangun dan buru-buru mencuci muka.

Tiba di halaman depan, Tiong Ling-kang telah hadir lebih dulu di situ, Tiong It-ki sambil menuntun tiga ekor kuda menanti di sisinya.

Buru-buru Cu Siau-hong maju memberi hormat, katanya :

“Tecu terbangun kesiangan, harap Suhu suka memaafkan!”

“Bangunlah kau!” kata Tiong Ling-kang sambil ulapkan tangan.

“Terima kasih atas kemurahan hati Suhu.”

Tiong Ling-kang tersenyum.

“Sebagai keturunan bangsawan, aku tahu kau gemar membaca, aku pun tahu sering kali kau membaca sampai tengah malam, apakah semalam kau membaca buku sampai larut malam?”

“Tecu membaca sebentar saja, tapi lantaran membayangkan kalau hari ini akan pergi berburu, saking senang dan tegangnya, semalaman suntuk tak bisa tidur nyenyak.”

Tiong Ling-kang manggut-manggut.

“Aku dapat melihatnya, di antara kerutan alismu memang membawa kelelahan, itulah pertanda semalam suntuk pikirannya gundah.”

Cu Siau-hong diam-diam merasa malu, sebab kali ini harus berbohong di hadapan gurunya, tapi bagaimana pun juga terpaksa ia harus berbuat demikian, karena janjinya dengan Lo-liok tak dapat diingkari dengan begitu saja.

Tiong Ling-kang mendongakkan kepalanya memeriksa cuaca, lalu katanya, “Hayo berangkat, hari sudah siang.”

Berangkatlah guru dan murid empat orang meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Beberapa orang itu sudah empat lima tahun tak pernah meninggalkan perkampungan, memandang langit nan biru, terpaan angin pagi yang sejuk, semua orang merasa hatinya segar dan nyaman.

Tak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka di belakang perkampungan Ing-gwat-san-ceng, belum pernah Tang Cuan bertiga tiba di sana sebelumnya.

Di situlah mereka semua turun dari kudanya, tempat itu merupakan sebuah tanah berumput yang luas di tengah bukit, di sebelah depan merupakan sebuah hutan lebar sedang di bagian belakang merupakan dinding tebing yang menjulang ke angkasa.

Sambil tertawa Tiong Ling-kang berkata :

“Tempat ini merupakan tempat berburu yang paling bagus, lebih ke atas sulit buat kita untuk menunggang kuda, mari kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.”

Setelah menambatkan ketiga ekor kuda itu, Tiong It-ki bertanya dengan suara lirih :

“Ayah, kita akan berburu apa?”

“Di belakang hutan sana banyak kedapatan tawon-tawon besar yang panjangnya mencapai setengah inci, ekornya mempunyai sebatang jarum yang amat beracun, akan kugunakan tawon-tawon besar itu sebagai sasaran untuk mewariskan senjata rahasia kepada kalian.”

“Oh, kiranya begitu, tadinya kukira kita akan diajak berburu kelinci dan burung sambil melepaskan otot dan sekalian membawa hidangan untuk makan malam nanti.

Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang, katanya :

“Sekalipun bunga teratai baja bukan termasuk senjata rahasia beracun, tapi aku telah berhasil menciptakan suatu kepandaian Hwe-sian-jiu (gerakan berputar dan membalik). Dua belas batang bunga berantai baja dapat berputar secara beruntun seperti gerakan gangsingan, bukan saja untuk menghadapi senjata rahasia lawan bisa juga dipakai untuk mengatasi kerubutan orang banyak, tapi kepandaian ini tidak mudah untuk digunakan, dalam hal penggunaan tenaga mengincar sasaran musti memiliki kecerdasan yang tinggi terutama tenaga pemutaran tersebut harus tetap dan kuat sehingga jangan sampai gagal melukis harimau munculnya seekor anjing. Sekalipun indah gerakannya, bila kurang sempurna mempelajarinya, bukan cuma akan ditertawakan lawan bisa jadi sendiri pun ikut dilukai.......”

Setelah berhenti sejenak terusnya :

“Jika kalian bertiga dapat bekerja sama, aku percaya ini lebih bagus lagi. Nanti aku akan memperlihatkan cara penggunaannya dalam menghadapi tawon-tawon raksasa, setelah itu baru kuwariskan cara penggunaannya serta bagaimana cara mengerahkan tenaganya.”

Sekalipun keterangan tidak diberikan terlalu jelas, namun maksudnya dapat dipahami oleh Tang Cuan serta Cu Siau-hong sekalian.

Di antara dua belas orang murid Bu-khek-bun, hanya mereka bertiga saja yang memiliki kecerdasan serta dasar tenaga dalam yang cukup untuk mempelajari kepandaian itu.

Tapi Tiong Ling-kang tak dapat mewariskan kepandaian itu dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Setelah menembusi hutan, tiba-tiba pemandangannya berubah, tampak di sebuah lapang yang berbatu cadas, tumbuh aneka macam bunga gunung yang indah dan harum baunya.

Bunyi amat gaduh berkumandang pula di sekitar tanah lapang, sungguh besar tawon di situ, besarnya mencapai setengah inci lebih.

Waktu itu beratus-ratus ekor tawon raksasa sedang beterbangan di antara aneka macam bunga-bungaan.

“Kalian musti berhati-hati,” kata Tiong Ling-kang, tawon-tawon raksasa itu mengandung sari racun yang jahat, lagi pula amat buas, asal kalian menghindari mereka, tak nanti mereka akan melukaimu. Bila kulepaskan Thiat-lian-hoa nanti mereka pasti menjadi marah, janganlah kalian menjadi teledor, bila sebagian besar mengejarku, gunakan ilmu pedang hasil belajar kalian selama banyak tahun untuk menghadapinya, latihlah diri untuk menghadapi tawon-tawon itu sebelum sungguh-sungguh bertarung melawan orang.....”

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah botol porselen dan mengambil enam biji obat, lanjutnya :

“Di sini ada enam biji pil pelenyap racun, makanlah seorang sebiji, bila ada yang terluak harus bicara terus terang, jangan dirahasiakan, kita lindungi yang terluka keluar dari hutan.”

“Jika kita mundur ke dalam hutan ruang gerak kita menjadi terbatas, bila tawon itu menyusul kita, bukankah semakin besar kerugian yang bakal kita derita?” kata Tang Cuan.

“Kubawa kalian ke sini justru lantaran tempat ini terlalu aneh, tampaknya tawon-tawon itu bersarang di atas dinding tebing sebelah depan, yang aneh lagi tawon-tawon itu hanya bergerak di sekitar tanah lapang tersebut, tidak pernah mereka terbang ke arah hutan.”

Cu Siau-hong mengerutkan dahinya, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan.

Ia merasa gurunya lebih berpengalaman, apa yang dinilainya sudah barang tentu lebih tepat dari penglihatannya sendiri, maka bila mereka dibawa kemari pasti tak salah lagi, sebab segala macam makhluk alam mempunyai kebiasaan sendiri, siapa tahu kalau perkataan gurunya memang benar?

Karena berpendapat demikian, Cu Siau-hong pun cuma menyimpan kecurigaan tersebut di dalam hati.

Tang Cuan menyaksikan sikap Cu Siau-hong yang aneh, dia lantas bertanya dengan lirih :

“Siau-hong, apa yang kau pikirkan?”

Sementara itu Tiong Ling-kang telah memasuki tanah lapang yang penuh dengan aneka bunga itu.

“Toa-suheng, sesungguhnya Siaute merasa agak heran,” bisik Cu Siau-hong, “tapi mengingat pengetahuan Suhu lebih luas dari kita maka Siaute rasa selama mengikuti Suhu tentu saja tak perlu kita musti banyak memikirkan hal-hal yang lain.”

“Coba katakan Siau-hong, bagaimana jalan pemikiranmu itu?”

“Haruskah Siaute mengatakannya?”

“Kau banyak membaca dan banyak belajar, pengetahuanmu tentu sangat luas, aku ingin mengetahui jalan pemikiranmu sehingga pemikiranku ikut terbuka.”

“Toa-suheng, apakah kau tidak merasa bahwa tempat ini aneh sekali?”

Tang Cuan memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian jawabnya pelan :

“Bunga yang tumbuh di sini beraneka warna serta menyiarkan semacam bau khas, memang berbeda sekali dengan bebungaan di tempat lain, tapi kecuali itu aku tidak melihat apa-apa lagi.”

“Justru lantaran bunga-bunga itu terlalu beraneka macam, warnanya terlalu mencolok dengan bau yang khas, maka Siaute lantas berpendapat bahwa bunga-bunga aneh itu bukan tumbuh secara alami.”

Tang Cuan agak tertegun, tapi dengan cepat dia dapat memahami jalan pemikiran Cu Siau-hong, bisiknya :

“Maksudmu, ada orang yang sengaja menanamnya?”

“Yaa! Seandainya jalan pikiranku benar, itu berarti tawon-tawon raksasa itu pun binatang peliharaan orang.”

Sekali lagi Tang Cuan tertegun, kemudian manggut-manggut, ia tidak mengucapkan apa-apa.

“Jika dugaan Siaute benar, maka timbul dua persoalan yang tidak kita pahami,” kata Cu Siau-hong lebih jauh.

“Oh, persoalan apakah itu? Coba Kau katakan!”

“Siapakah orang yang menanam bunga aneh serta memelihara tawon-tawon raksasa itu?”

“Yang kedua?”

“Orang itu menanam bunga untuk memelihara tawan, ataukah memelihara tawon untuk menanam bunga? Apa maksud sebenarnya?”

“Siau-hong, orang bilang kalau siucay tidak keluar rumah mana tahu urusan dunia, tampaknya perkataan itu keliru besar!”

“Toa-suheng terlalu memuji!”

Tiong It-ki yang berdiri di sisi Tang Cuan dapat mendengar pula pembicaraan kedua orang itu, buru-buru katanya :

“”Toa-suheng, betul juga jalan pemikiran Jit-suheng bagaimana kalau kita beri tahukan pada suhu?”

“Yaa, kita memang harus memberitahukan kepada suhu.....”

Sementara itu Tiong Ling-kang telah berada dua kaki jauhnya, kedengaran ia sedang berseru dengan lantang.

“Perhatikanlah baik-baik, inilah ilmu Hwe-sian-thiat-lian-hoa!”

Di tengah bentakan keras mendadak tubuhnya maju ke depan, serentetan cahaya tajam segera berhamburan dari tangan kanannya.

Bunga-bunga teratai baja itu terbang dengan selisih jarak satu depa, terciptalah sebuah lingkaran cahaya yang amat menyilaukan mata.

Di mana bunga-bunga teratai baja menyambar lewat, tawon-tawon raksasa yang sedang beterbangan itu kalau bukan terbelah tubuhnya tentu terhajar sampai hancur dan rontok ke tanah.

Peristiwa ini segera memancing reaksi dari tawon-tawon tersebut, serentak binatang-binatang itu beterbangan di angkasa dan menyambar ke tubuh Tiong Ling-kang.

Bayangkan saja bagaimana ngerinya bila beratus-ratus ekor tawon secara tiba-tiba menyerang bersama.

Mungkin agar Tang Cuan sekalian dapat melihat dengan jelas cara melepaskan senjata rahasia, maka Tiong Ling-kang melepaskan Thiat-lian-hoa dengan gerakan lambat.

Kepandaian tersebut sungguh hebat sekali, setelah berputar satu lingkaran di udara, bunga berantai baja itu terbang kebali semua ke tangannya.

Gerombolan tawon itu segera menerobos masuk lewat celah-celah senjata rahasia dan menubruk tubuh Tiong Ling-kang.

Menghadapi keadaan demikian, terpaksa Tiong Ling-kang harus mengayunkan tangan kirinya untuk melancarkan pukulan.

Sungguh dahsyat tenaga pukulannya itu, deruan angin tajam memekikkan telinga, gerombolan tawon itu segera terhajar hingga buyar.

Untuk kedua kalinya senjata rahasia Thiat-lian-hoa kembali disambit ke udara.

Kali ini serangan tersebut dilakukan dengan gerakan cepat, tampak sekilas cahaya tajam menyambar lewat di antara gerombolan tawon-tawon tadi.

..............

Di mana cahaya tajam menyambar lewat, bangkai tawon berhamburan ke atas tanah.

Desingan angin tajam yang kuat dan hebat memaksa tawon-tawon yang dekat dengan teratai-teratai baja itu terpental jauh ke belakang.

Perputaran Hwe-sian-thiat-lian-hoa makin lama semakin cepat, desingan angin tajam yang membelah udara pun makin kuat, akhirnya terciptalah sebuah lingkaran cahaya emas yang melindungi Tiong Ling-kang di tengah kurungan.

Seganas-ganas gerombolan tawon itu, di bawah desakan lingkaran cahaya emas yang menyilaukan mata, sulit bagi binatang-binatang itu untuk menerjang maju lebih ke depan, terpaksa mereka hanya berputar di luar lingkaran tersebut.

Di luar dugaan, gerombolan tawon itu berbeda dengan jenis kumbang lainnya, sekali pun kaget mereka tidak membuyar atau menyengat orang lain, semuanya terhimpun menjadi satu dan mengepung Tiong Ling-kang seorang........

Tang Cuan serta Tiong It-ki hampir dibuat kesemsem oleh gerakan aneh dari gurunya, mereka berdiri terbelalak dengan mulut melongo.

Hanya Cu Siau-hong seorang yang merasakan keheranan, pikirnya :

“Dalam keadaan terserang hebat dan banyak korban telah berjatuhan, kumbang-kumbang itu sama sekali tidak gugup, kalut atau kaget, tak mungkin merupakan gerombolan kumbang liar, tak bisa diragukan lagi binatang-binatang itu pasti sudah memperoleh pendidikan serta latihan yang cukup lama.

Jangan-jangan kumbang-kumbang itu memang peliharaan orang?

Sementara ia masih termenung, mendadak kubang yang makin lama berkumpul makin banyak itu, membuyarkan kepungan dan berlalu dari sana.

Rupanya Tiong Ling-kang sendiri pun telah menyadari akan sesuatu, ia menyimpan kembali senjata rahasianya sambil bangkit berdiri.

Buru-buru Tang Cuan dan Tiong It-ki memburu ke depan, serunya :

“Suhu, mungkin itulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang paling lihay di kolong langit?”

Tiong Ling-kang tidak segera menjawab, dengan termangu-mangu diawasinya arah di mana tawon-tawon itu berlalu tanpa mengedip.

Cu Siau-hong segera menghampiri pula, bisiknya :

“Suhu aku rasa tawon-tawon itu sedikit agak aneh.”

“Yaa, memang aneh sekali, tidak mirip kumbang liar....” Tiong Ling-kang manggut-manggut.

Mendadak dari belakang berkumandang jawaban seseorang yang merdu dan lembut :

“Mereka adalah kumbang biasa, cuma kumbang-kumbang itu telah memperoleh latihan yang lama.”

Ketika semua orang berpaling terlihatlah seorang nona cilik berbaju hijau yang berusia empat lima belas tahun dan mempunyai dua buah kepang rambut, berdiri kurang lebih dua kaki di tengah gerombolan bunga.

Nona cilik itu amat cantik terutama sepasang matanya yang bulat besar dan jeli bagaikan air.

“Siapakah yang memelihara kumbang-kumbang tersebut?” tanya Tiong Ling-kang kemudian.

Nona itu membetulkan kepang rambutnya, lalu menjawab :

“Seorang manusia yang amat sukar dihadapi, kau telah melakukan suatu perbuatan salah yang bisa mengundang datangnya bencana besar .....”

“Bencana besar apa?”

“Kumbang-kumbang itu merupakan kumbang pilihan dari jenis yang paling istimewa, untuk memelihara dari jenis yang langka, dari tempat yang amat jauh didatangkan bunga-bunga aneh itu untuk ditanam di sini, tapi sekarang kau telah mempergunakan kumbang-kumbang yang dipelihara orang dengan susah payah sebagai sasaran untuk berlatih senjata rahasia, lagi pula banyak kumbang yang telah kau bunuh, bayangkan saja, dia mana mau mengampuni dirimu dengan begitu saja?”

“Jadi kalau begitu kesalahan berada di pihakku?”

Nona kecil berbaju hijau itu tertawa ewa.

“Untung ia tidak berada di sini, coba kalau ada di tempat dan menyaksikan begitu banyak kumbangnya kau bunuh, mungkin jiwamu telah direnggutnya sejak tadi.”

“Oh, sekarang itukah dia?”

“Yaa, dia memang seorang yang berangasan, kumbang-kumbang itu pun merupakan hasil jerih payahnya selama sepuluh tahun, kini hampir seperlima dari kumbang peliharaannya kau bunuh. Ai! baginya kejadian ini merupakan suatu pukulan yang cukup berat.”

“Tampaknya kumbang-kumbang itu bukan berasal dari daerah Tionggoan......” kata Tiong Ling-kang.

“Siapa bilang berasal dari Tionggoan? Kalau kumbang itu ada di tempat ini, tak akan menyayanginya seperti menyayangi intan mestika?”

“Nona, kumbang-kumbang itu amat buas, racunnya juga jahat, sekalipun telah kubunuh jumlah yang banyak, kejadian ini tidak terhitung suatu kejadian besar, bila pemelihara kumbang itu ingin minta ganti aku pasti akan menurutinya.”

Meskipun dia adalah seorang jago yang terhormat dalam dunia persilatan, ternyata sikapnya kepada orang lain tetap ramah tamah dan lemah lembut.

Nona berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang kali.

“Kau tak akan mampu untuk menggantinya.......”

Tiba-tiba paras mukanya berubah, pembicaraannya terpotong sampai di tengah jalan.

Tiong Ling-kang cukup waspada, dengan cepat dia pun berpaling.

Terlihat seorang kakek berjubah abu-abu sedang berjalan keluar dari balik hutan.

Waktu itu dia masih berada enam tujuh kaki jauhnya, tapi hanya sekejap mata tahu-tahu sudah tiba dihadapkan Tiong Ling-kang.

“Cepat benar gerakan tubuh orang ini,” pikir Tiong Ling-kang dengan perasaan tertegun.

Pengalamannya cukup luas, banyak jago lihay yang pernah dijumpai selama ini, namun belum pernah ia jumpai orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian sempurnanya.

Pada hakikatnya ia tak sempat melihat jelas dengan gerakan apakah orang itu menghampiri ke hadapannya.

Dengan sinar mata yang tajam kakek berjubah abu-abu itu memeriksa sekejap bangkai kumbang di tanah, tiba-tiba paras mukanya berubah menjadi dingin menyeramkan.

Sesungguhnya tampang kakek itu tidak terlampau jelek, tapi entah mengapa dari atas sampai bawah tubuhnya seakan-akan memancarkan selapis hawa pembunuhan yang dingin mengerikan, apalagi keadaannya pada saat ini, sedemikian seramnya hingga menimbulkan perasaan bergidik bagi siapa pun yang melihatnya.

Tiong Ling-kang berkerut kening, ia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan.

Bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perguruan besar, sebagai seorang yang mempunyai kedudukan ia kelihatan serius dan berwibawa.

Kakek berbaju abu-abu itu memeriksa bangkai kumbangnya dengan amat teliti, rupanya secara diam-diam sedang menghitung jumlahnya.

Untuk sesaat suasana menjadi hening tapi diliputi ketegangan, tak seorang pun yang bersuara, tapi hawa pembunuhan seakan-akan telah menyelimuti sekeliling tempat itu membuat Tiong Ling-kang mau tak mau musti mengerahkan tenaga dalamnya untuk bersiap sedia.

Pelan-pelan kakek berbaju abu-abu itu berpaling ke arah nona baju hijau itu, kemudian tegurnya :

“Siapakah yang telah membunuh kumbang-kumbangku?”

Tiong Ling-kang tak dapat membungkam terus, sebelum gadis itu menjawab, ia telah berkata :

“Aku yang membunuhnya, tapi kejadian tersebut bukan suatu kesengajaan!”

Sekilas senyuman pedih melintas di wajah kakek itu, tapi sejenak kemudian hawa pembunuhan yang amat tebal telah menyelimuti seluruh wajahnya, ia menegur :

“Kenapa? Kenapa kau bunuh mereka? Kumbang-kumbangku tak pernah melukai orang mereka pun tak pernah meninggalkan daerah seluas seratus kaki dari hutan ini, kenapa kau datang kemari dan membunuh mereka?”

Agak tersipu Tiong Ling-kang menghadapi kejadian itu, kembali ia menarik nafas panjang.

“Belum pernah kujumpai ada orang memelihara kumbang, maka aku pun tidak menyangka kalau kumbang-kumbang tersebut ada pemiliknya, setelah kulakukan kesalahan ini tentu saja aku pula yang akan menanggungnya, nah, apa permintaanmu? Katakan saja!”

“Kau tak akan sanggup mengganti kumbang-kumbang itu,” kata kakek berbaju abu-abu itu. Bukankah kau adalah ciangbunjin dari Bu-khek-bun?”

“Benar, aku adalah Tiong Ling-kang!”

“Demi kumbang-kumbang dan bunga racun itu, tujuh delapan tahun harus kubuang dengan percuma, kini kau telah membunuh separuh di antaranya dalam sekejap mata, memangnya kau anggap hanya kata-kata maaf sudah dapat menyelesaikan persoalan ini?”

“Begini saja, beri tahu kepadaku kumbang-kumbang itu kau dapatkan di mana, akan kuutus orang untuk mendapatkannya kembali.”

Dengan kedudukannya yang terhormat sekarang, menahan sabar dan merendahkan diri bukan suatu perbuatan yang gampang.

Akan tetapi kakek berbaju abu-abu itu masih juga menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Tidak bisa.........” katanya dingin.

“Lantas apa yang harus kulakukan agar menjadikan kau puas?”

“Hanya ada satu cara, yakni menghidupkan kembali kumbang-kumbangku yang telah mati!”

“oh, kalau itu permintaanmu lebih baik aku menyerah saja, sebab aku takkan mampu untuk melakukannya.”

“Maka dari itu hanya ada satu jalan saja yang dapat kau tempuh.”

“Coba kau katakan!”

“Mati! Membayar kematian untuk kumbang-kumbangku.”

Ucapan tersebut amat datar dan tenang, sedemikian tenangnya sehingga akan mendatangkan suatu kesan bagi yang mendengarnya, bahwa kejadian tersebut sesungguhnya bukan suatu kejadian aneh.

“Ah, hanya lantaran beberapa ekor kumbang kaul lantas menghendaki nyawa manusia apakah kau tidak merasa bahwa permintaanmu itu terlampau berlebihan.”

“Tang Cuan menjadi tak tahan, tiba-tiba ia menyela :

“Locianpwee, mana bisa kau bandingkan nyawa beberapa ekor kumbang dengan nyawa manusia?”

“Itu menurut jalan pemikiranmu, tapi bagi pandangan Lohu, justru kumbang-kumbang itu lebih menyenangkan dari pada manusia.”

Tang Cuan masih ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi setelah dilihatnya liong Ling-kang memandangnya dengan wajah dingin seperti menegur kelancangannya, terpaksa ia telan kembali kata-kata berikutnya.

Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang, pelan-pelan ujarnya :

“Saudara, selain membayar kematian kumbang-kumbang itu dengan kematian pula, masih adakah cara lain yang bisa kuterima?”

Kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Kau tak bisa menghidupkan mereka kembali, tak dapat pula mengganti kumbang sebanyak ini kepadaku, bicara pulang pergi satu jalan ini saja yang tersedia bagimu.”

Tiong Ling-kang tertawa.

“Aku tidak mengerti soal kumbang, tapi aku pikir kumbang itu bukan suatu jenis binatang yang aneh atau mahal harganya, asal kuminta bantuan beberapa orang temanku, mungkin saja mereka dapat menolongku.”

“Oya?”

“Kuakui bahwa kata-katamu ada betulnya juga, kumbang-kumbang itu pun bernyawa, mereka tidak terbang melukai orang tapi akulah yang telah melukai mereka, akulah yang bersalah dalam hal ini maka aku pun berharap agar kau bisa memberi batas waktu tiga bulan kepadaku, sampai waktunya kumbang-kumbangmu yang telah mati pasti akan kuganti dengan kumbang-kumbang hidup.”

“Tiga bulan?”

“Yaa, tiga bulan, aku percaya pasti dapat mengganti segerombolan kumbang baru.”

Si nona berbaju hijau yang selama ini membungkam, tiba-tiba ikut menyela dari samping :

“Ouyang pekhu, kalau memang dia yakin dalam tiga bulan bisa mengganti kumbang-kumbang itu, apa salahnya jika kita beri kesempatan tiga bulan kepadanya?”

“Dia tak akan mampu untuk menggantinya!” kata kakek itu tegas.

“Empek Ouyang, kabulkan permintaan mereka! Orang ini adalah seorang ketua perguruan, tak nanti dia akan kabur.”

Kakek berbaju abu-abu itu termenung sebentar, kemudian katanya :

“Baiklah! Memandang di atas wajahmu kukabulkan permintaanmu, tapi kau musti bantu dirimu untuk membicarakan syarat dengannya.”

Menanti bayangan punggung kakek berbaju abu-abu itu sudah jauh dari pandangan, nona berbaju hijau itu baru menghembuskan nafas panjang, katanya :

“Aneh sekali, rupanya kau adalah seorang jago yang kenaman dalam dunia persilatan.”

“Ah cuma nama kosong belaka, tak dapat dipercaya!”

“Belum pernah kutemui dia bersikap sesungkan ini terhadap seorang yang telah mencelakainya.”

“Mencelakainya? Aku.....”

“Kau telah membunuh kumbang-kumbangnya, sama pula artinya telah mencelakai dirinya.”

“Nona, pentingkah kumbang-kumbang itu baginya.?”

“Penting sekali, dia harus menggantungkan kumbang-kumbang itu untuk diambil madu racunnya ......”

Tiba-tiba gadis itu merasa telah salah bicara, tiba-tiba ia menghentikan pembicaraannya di tengah jalan.

“Nona, siapakah nama orang tua tadi? Dapatkah kau memberitahukan kepadaku?”

Nona berbaju hijau itu menggelengkan kepalanya.

“Orang lain hanya menyebutnya sebagai Ouyang sianseng!”

“Ouyang sianseng...........” gumam Tiong Ling-kang lirih.

“Eeh, kau adalah orang Bu-khek-bun?”

“Aku adalah ciangbunjin dari Bu-khek-bun, tinggal di perkampungan Ing-gwat-san-ceng yang tak jauh letaknya dari sini, dalam tiga bulan mendatang aku pasti akan mengirim sendiri kumbang-kumbang tersebut, nah, sampai jumpa......”

“Eeh.....eeeh......... tunggu dulu, mau ke mana kau cari kumbang-kumbang tersebut?” bisik si nona.

“Kumbang-kumbang itu bukan sejenis binatang yang berharga, aku rasa tidak susah untuk menemukannya bukan?”

“Keliru besar kalau kau beranggapan demikian, kumbang itu bukan binatang yang bisa dijumpai di dataran Tionggoan, bila ingin mendapatkan kumbang dari jenis tersebut, kau musti pergi jauh ke wilayah See-ih, pulang pergi paling tidak membutuhkan waktu sepuluh bulan atau setengah tahun, aju jadi heran ketika kau memberi janji waktu selama tiga bulan untuk mengganti kumbang-kumbang tersebut.”

Tiong Ling-kang mengernyitkan alis matanya.

“Nona, sekalipun kumbang semacam itu jarang ditemui di dataran Tionggoan, tapi aku percaya di atas bukit yang terpencil dan jauh dari keramaian masyarakat pasti dapat ditemukan kumbang semacam ini.”

Si nona baju hijau itu kembali menggelengkan kepalanya.

“Tentu saja berbeda sekali, sebab kumbang yang ini adalah kumbang dari jenis yang istimewa dan langka sekali, mereka mempunyai tingkat kecerdasan yang luar biasa.”

“Oya?”

“Sikap Ouyang sianseng terhadapmu boleh dibilang sudah cukup sungkan, seingatku belum pernah ia sesungkan ini terhadap orang lain.”

“Kalau begitu, ia telah menaruh sikap yang menguntungkan bagiku?”

“Benar! Tapi jika kau melanggar janjimu dan dalam tiga bulan mendatang kumbang-kumbang itu tidak kau ganti, maka soal ini sukar dibicarakan lagi, sebab selama hidupnya ia paling benci terhadap orang yang tidak memegang janji.”

Tiong Ling-kang termenung kembali sesaat, lalu katanya :

“Nona, kumbang-kumbang itu tidak mencari madu, mana buas lagi, Ouyang sianseng memelihara mereka pun atas dasar suatu kegemaran, seandainya kumbang-kumbang itu tak mampu kuganti, pasti akan kusiapkan hadiah yang tak ternilai harganya untuk minta maaf kepadanya, apakah Nona bersedia membantuku dengan mengucapkan sepatah dua patah kata indah kepadanya.”

Nona berbaju hijau itu pun termenung sejenak sebelum menyahut :

“Sebenarnya aku mengira dia pasti akan marah besar setelah menyaksikan kau membinasakan begitu banyak kumbangnya, di luar dugaan ia tidak marah, cuma kau musti mengerti hubungan antara dia dengan kumbang-kumbang peliharaannya itu besar sekali, bukan suatu kegemaran atau hobi saja seperti apa yang kau katakan barusan.”

Jangan dilihat nona itu masih kecil, ternyata pandai sekali ia berbicara maupun memberi keterangan.

Tanpa sadar Tiong Ling-kang lantas berpikir :

“Antara perkampungan Ing-gwat-san-ceng dengan bukit Liong-tiong-san cuma selisih belasan li, kenapa aku tidak tahu kalau ada seorang jago lihay.”

Berpikir demikian, dia pun berkata :

“Nona, dapatkah kau memberi tahu kepadaku apa hubungan penting antara kakek itu dengan kumbang-kumbang peliharaannya?”

“Ia memelihara kumbang-kumbang itu lantaran ingin menolong orang.”

“Menolong orang? Siapa yang ditolong?” seru Tiong Ling-kang agak tertegun.

Nona berbaju hijau itu menghela napas panjang.

“Aaaai....... aku tak dapat berbicara lagi, terlalu banyak sudah yang kubicarakan denganmu.”

“Aaai...... kalau begitu perbuatanku ini adalah suatu perbuatan yang amat berdosa.”

“Aku lihat, kau pastilah seorang yang dihormati dan disegani dalam dunia persilatan?”

“Tidak berani, itu semua berkat kesediaan teman-teman persilatan untuk mempercayai diriku.”

“Semoga saja kau pun tak akan mengingkari janji yang telah kau ucapkan tadi.”

Tiong Ling-kang manggut-manggut.

“Nona, seandainya apa yang kau ucapkan benar, bila aku gagal mendapatkan kumbang-kumbang itu dalam hutan terpencil di wilayah Tionggoan, tiga bulan kemudian aku pasti akan datang untuk menebus dosa.”

“Tiga bulan terlalu lama, lebih baik datang saja setengah bulan kemudian, aku bisa membicarakan persoalan ini dengannya dalam setengah bulan ini di saat ia sedang amat gembira.”

“Baiklah, kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih atas bantuan Nona.”

“Semoga kau bisa pegang janji dan sekali lagi kemari dalam setengah bulan mendatang.”

“Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata itu, apa pun yang terjadi pokoknya setengah bulan kemudian kau pasti datang kemari lagi.”

“Eeeh....... kalian tinggal di perkampungan apa?”

“Perkampungan Ing-gwat-san-ceng.”

“Baiklah! Bila dalam sepuluh hari mendatang sudah ada kabar, aku pasti dapat mencari kalian.”

Sesungguhnya terdapat banyak sekali persoalan yang mencurigakan mencengkam perasaan Tiong Ling-kang, tapi semua persoalan hanya disimpan dalam hatinya, ia berusaha untuk menahan diri.

“Dapatkah kau memberitahukan kepadaku siapa namamu?” kedengaran nona berbaju hijau itu berkata sambil tertawa.

“Tiong Ling-kang!”

“Dan dia?” tanya nona berbaju hijau itu sambil menunjuk ke arah Cu Siau-hong.

Tiong Ling-kang melirik muridnya sekejap lalu tersenyum.

“Dia bernama Cu Siau-hong, seorang muridku,” katanya.

“Bila kau datang memenuhi janji nanti, dapatkah kau membawa serta muridmu itu?”

“Baik!” jawab Tiong Ling-kang setelah termenung sebentar, “aku akan mengajaknya datang bersama, soal Ouyang sianseng tolong bantulah aku!”

“Aku dapat membantu dengan segala kemampuan!”

Sebenarnya Tiong Ling-kang amat gembira dan bersemangat, akan tetapi setelah mengalami kejadian tersebut, kegembiraannya menjadi hilang, dengan membawa Tang Cuan sekalian mereka keluar dari hutan.

Sikapnya yang keren dan serius membuat Tang Cuan, Cu Siau-hong dan Tiong It-ki tak berani banyak berbicara meski banyak persoalan yang sebenarnya ingin mereka tanyakan.

Keempat ekor kuda pun dilarikan ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng........

Ternyata Tiong Ling-kang tidak membawa mereka pulang ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng, mereka telah menghentikan perjalanan.

Tempat itu letaknya di tepi sungai kecil, rumput yang hijau dan air yang jernih membuat suasana di situ terasa nyaman.

Ketika Tiong Ling-kang menghentikan kudanya, Tang Cuan bertiga pun ikut berhenti, namun mereka bertiga masih saja tidak berbicara.

Tiong Ling-kang menghembuskan nafas panjang katanya :

Ilmu Hwe-sian-thiat-lian-hoa yang kugunakan tadi dari lambat menjadi cepat dan bertahan dalam suatu jangka waktu yang tidak pendek, apakah kalian telah melihatnya semua?”

“Melihat sih sudah,” jawab Tiong It-ki, “Tapi tidak kuketahui bagaimana cara penggunaannya.”

“Dan kau?” tanya Tiong Ling-kang sambil mengalihkan sinar matanya ke wajah Tang Cuan.

“Tecu sangat bodoh, hanya memahami sepertiga sampai seperempat belaka....”

“Itu sudah termasuk bagus!” kata Tiong Ling-kang.

“Tecu hanya berhasil menebak sedikit jalanya gerakan.”

Tiong Ling-kang manggut-manggut.

“Ehmm, semuanya memang sangat baik.”

Setelah termenung sebentar, dia melanjutkan :

“Thiat-lian-hoa merupakan ilmu perguruan yang diketahui setiap orang, aku tak dapat hanya mewariskannya kepada kalian bertiga saja, mulai besok secara umum akan kupelajarkan kepada semua murid Bu-khek-bun, cuma ilmu Hwe-sian-jiu-hoat ini merupakan citaanku sendiri, kepandaian itu bukan bisa dipelajari hanya berdasarkan ketekunan, tenaga dalam yang sempurna serta ilmu silat yang sempurna, jika kecerdasan seseorang tak dapat mencapai dalam suatu tingkatan tertentu, maka selamanya jangan harap bisa mempelajari kepandaian ini, ibaratnya melukis harimau tak jadi malah jadi anjing, bukan inti sari kepandaian itu bisa diketahui, rahasia malah ketahuan orang, itu baru repot. Makanya, setelah kuperhatikan kecerdasan dari dua belas orang, dapat kuketahui bahwa cuma kalian bertiga saja yang bisa mempelajari kepandaian ini, maka kuputuskan untuk mewariskan kepada kalian bertiga......”

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan.

“Tang Cuan, menurut pendapatmu apakah perbuatanku ini termasuk suatu perbuatan pilih kasih?”

Dengan hormat Tang Cuan menjura, sahutnya :

“Untuk menjaga nama baik Bu-khek-bun, ilmu silat kita harus lebih maju dan lebih hebat, sebagai pimpinan perguruan tentu saja Suhu berhak untuk mengambil keputusan demikian, aku percaya mereka pun dapat memaklumi tindakan Suhu ini.”

Tiong Ling-kang mendongakkan kepalanya dan menghembuskan napas panjang.

“Sesungguhnya aku memang tidak bermaksud lain dengan perbuatanku ini, tapi dalam perguruan kita masih ada dua orang yang kecerdasannya di bawah kalian bertiga, bila mereka mengetahui kejadian ini, pastilah akan timbul perasaan dengki dan kurang senang terhadap keadilan ini.”

“Suhu maksudkan Ji-sute dan Kiu-sute?” tanya Tang Cuan.

“Benar, dua orang itulah yang kumaksudkan!”

“Jangan kuatir Suhu, bila ada waktu Tecu pasti akan menjelaskan persoalan ini kepada mereka.”

“Sesungguhnya bakat mereka tidak selisih banyak bila dibandingkan kalian, cuma sayang lo-ji tidak jujur dan licik, lo-kiu berbau sesat dan tindak tanduknya kurang mencerminkan sikap seorang ksatria, itulah sebabnya aku tak berani mewariskan kepandaianku kepada mereka.”

“Oooh........ rupanya Suhu telah mengetahui kejadian ini, kenapa tidak ......”

Tiong Ling-kang gelengkan kepalanya sambil menukas :

“Sebentar lagi kalian akan tamat belajar, lo-ji itu amat cerdas, dia ingin menggunakan kau sebagai contoh, rupanya pilih kasihku ini telah meningkatkan kewaspadaan mereka, aai! Nama besar Bu-khek-bun yang mulai dikenal dalam dunia persilatan bukan didapatkan secara gampang, aku berharap kalianlah yang akan mengangkat serta lebih mencemerlangkan nama baik perguruan kita, aku tak ingin sebelum tamat belajar telah mengusir mereka dari perguruan.”

“Semoga saja cinta kasih serta kebijaksanaan Suhu dapat diresapi oleh mereka,” tiba-tiba Cu Siau-hong menyambung.

No comments: