Thursday 29 January 2009

Pena Wasiat 13

Oleh : Tjan ID

Ngo-tok-giok-li berseru tertahan sesudah mendengar perkataan itu, katanya cepat :

“Baru saja aku bertemu dengan orang Kay-pang, kenapa mereka tidak memberitahukan hal ini kepadaku?”

“Orang yang kau jumpai itu bukankah seorang Tiang-lo dari Kay-pang?”

“Benar! Dia adalah seorang Tiang-lo yang paling tersohor namanya dari Kay-pang, orang itu bernama Tan Tiang-kim.”
“Tepat sekali! Aku pun pernah mendengar orang bilang, salah seorang di antara jago-jago yang hendak membunuhnya terdapat seorang Tiang-lo she Tan yang konon paling susah dihadapi!”

“Nona Kiau mungkin kau keliru, menurut ibuku orang she Tan itu adalah seorang manusia jujur yang bisa dipercaya perkataannya.”

“Di waktu biasa, dia memang demikian, tapi sekarang keadaannya sama sekali berbeda!”

“Bagaimana perbedaannya?”

“Sekarang, Kay-pang sedang bermusuhan dengan Ui Thong, bagaimana mungkin dia akan berbicara jujur kepada dirimu?”

“Oooh, kiranya begitu!”

Dalam pada itu, Gin-kiok telah muncul kembali dari penginapan di atas punggungnya menggembung pula dua buah bungkusan kecil.

Kiau Hui-nio segera tersenyum, katanya,

“Nona, mari kita berangkat sekarang juga.”

“Boleh, tapi ada sepatah dua patah kata terpaksa aku harus menerangkan lebih dulu.”

“Persoalan apa?”

“Jika tempat yang kau tuju nanti tidak terdapat Ui Thong, maka hal ini akan berubah menjadi suatu persoalan yang menyulitkan dirimu.”

Mendengar ucapan tersebut, Kiau Hui-nio segera tertawa terkekeh-kekeh.

“Heeehh........ heeehh...... heeehh...... jadi nona akan turun tangan untuk membuat perhitungan.”

“Itu mah tidak, di antara kita tak punya dendam atau sakit hati, mengapa aku musti mencari balas kepadamu? Tapi, aku pun tak bisa melepaskan dirimu dengan begitu saja.”

“Lantas apa yang hendak kau lakukan atas diriku ini?”

“Aku bermaksud melepaskan sedikit racun yang bersifat lambat ke dalam tubuhmu, setengah tahun kemudian racun itu baru akan mulai bekerja, setengah tahun kemudian kau harus berhasil mengajak Ui Thong datang ke Ngo-tok-bun di Siang-see untuk peroleh obat penawarnya.”

“Baiklah! Emas murni tidak takut terbakar, aku hanya berniat untuk membawamu menjumpai Ui Thong, soal kesulitan yang lain tak akan kupikirkan sekarang.”

Ngo-tok-giok-li manggut-manggut.

“Baiklah! Mari kita segera berangkat.”

“Tunggu sebentar nona!”

“Kau masih ada urusan lainnya?”

“Sepanjang perjalanan nanti kau harus mendengarkan semua perkataanku, paling tidak selama belum bertemu dengan Ui Thong.”

“Baik!”

“Nona,” sela Gin-kiok, “tanya dulu kepadanya, berapa lama yang dia butuhkan, kita toh tak bisa mengikutinya terus sepanjang masa.”

“Benar, kau harus menentukan batas waktu yang dibutuhkan sampai bisa berjumpa dengan Ui Thong,” kata Ngo-tok-giok-li kemudian.

Kiau Hui-nio termenung beberapa saat lamanya, kemudian menjawab.

“Mungkin aku membutuhkan waktu selama dua sampai tiga hari lamanya.”

“Jelaskan yang betul, dua hari atau tiga hari?”

“Paling lama tiga, jadi seharusnya dua hari pun sudah cukup.”

“Baiklah! Aku hanya akan menunggu selama tiga hari, bila dalam tiga hari ini kau gagal untuk menemukan Ui Thong, maka kau musti bertindak lebih hati-hati lagi.”

“Orang-orang Ngo-tok-bun kalian sudah termasyhur dalam dunia persilatan karena susah dihadapi, jika tiada berkepentingan mengapa aku tidak tidur saja di rumah? Buat apa ku sengaja mencari gara-gara dengan Ngo-tok-bun macam dirimu itu?”

Ngo-tok-giok-li tertawa hambar :

“Nama Ngo-tok-bun di dalam dunia persilatan memang kurang begitu baik,” katanya, “maka dari itu aku pun tak ingin memperbaik nama Ngo-tok-bun yang sudah terlanjur rusak itu, maka selewatnya tiga hari aku pasti akan melepaskan sejenis racun yang jahat di dalam tubuhmu, sejenis racun yang lihainya bukan kepalang.”

“Baik, akan kuingat semua perkataanmu.”

“Sekarang, apakah kita boleh segera melakukan perjalanan?”

Kiau Hui-nio manggut-manggut, ia lantas membalikkan badan dan berjalan menelusuri sebuah lorong kecil dan sepi dan sempit.

Melihat itu, Ngo-tok-giok-li segera mengerutkan dahinya rapat-rapat, tegurnya,

“Nona Kiau, kau hendak ke mana?”

“Nona, agaknya kita toh telah berjanji, dalam tiga hari mendatang ini kau harus mendengarkan perkataanku?”

“Benar, cuma tempat itu adalah sebuah lorong buntu!”

“Tak usah kau jelaskan, soal ini aku jauh lebih jelas dari pada dirimu.....”

“Kalau memang jelas, mengapa kau mengajak kami untuk menelusuri lorong buntu tersebut?”

“Nona, dalam kota Siang-yang dewasa ini penuh tersebar pelbagai jago persilatan yang rata-rata berilmu tinggi, jika nona ingin meninggalkan tempat ini dengan selamat, lebih baik gunakanlah sedikit akal.”

“Oooh! Rupanya kau sudah mengadakan persiapan yang rapi?”

Kiau Hui-nio cuma berpaling dan memandang sekejap ke arahnya, kemudian dengan langkah cepat melanjutkan perjalanannya ke depan.

Ngo-tok-giok-li dan Gin-kiok saling berpandangan sekejap, kemudian mereka pun mengikuti di belakang Kiau Hui-nio membawa kedua orang itu menuju ke dalam sebuah gedung yang sangat besar.

Tak lama kemudian dari dalam gedung itu muncul dua buah tandu kecil.

Cu Siau-hong yang bersembunyi di balik kegelapan dapat menyaksikan semua kejadian itu dengan jelas, diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya :

“Benar-benar suatu rencana yang amat sempurna, dua buah tandu tersebut hanya tandu kecil yang amat sederhana, siapa pun tak akan menyangka di dalamnya justru duduk Ngo-tok-giok-li yang telah menggemparkan seluruh kota Siang-yang......... aku harus mengabarkan berita ini secepatnya kepada pihak Kay-pang!”

Berpikir sampai di situ, dia lantas membalikkan badan dan lari menuju ke loteng Wong-kang-lo.

Ia berharap bisa menjumpai seorang anggota Kay-pang dan memberitahukan hal ini kepada Tiang-lonya, sayang di sekitar sana tidak dijumpai seorang anggota Kay-pang pun.

Cu Siau-hong tak berani lari kembali ke dalam gedung tersebut, terpaksa dia mengalihkan sasarannya untuk menyusul keluar kota.

Cara kerja si anak muda ini memang benar-benar hebat, ternyata arah yang dipilih tepat sekali, baru sampai di pintu kota, dari kejauhan sana dijumpainya ada dua buah tandu kecil sedang melakukan perjalanan ke depan.

Sesudah keluar lewat pintu selatan mereka berbelok menuju ke arah bukit Liong-tiong-san.

Cu Siau-hong berharap bisa menemukan dulu tempat bercokol mereka, sesudah itu baru berusaha untuk menghubungi orang-orang Kay-pang.

Tapi kedua buah tandu kecil itu bergerak terus tiada hentinya, dalam waktu singkat belasan li sudah dilewati, bukan saja tidak berhenti malahan gerak langkah mereka kian bertambah cepat.

Ketika Cu Siau-hong mencoba untuk memperhatikan langkah kaki keempat penandu tersebut, ia baru tahu kalau orang-orang itu pun rupanya jauh hari sudah dipersiapkan lebih dulu.

Cu Siau-hong mengintil terus dari jarak puluhan kaki di belakang tandu-tandu itu, bila dihitung waktunya, bagaimanapun juga tak mungkin lagi baginya untuk balik ke kota Siang-yang dan memberitahukan hal ini kepada pihak Kay-pang sebelum menyusul kembali ke situ, sebab waktunya jelas sudah tak sempat lagi.

Sekarang, satu-satunya cara yang bisa di tempuh hanyalah melakukan penguntilan sendiri.

Begitu mengambil keputusan untuk menguntil sendiri, Cu Siau-hong mulai merubah wajah sendiri, ia kotori mukanya dengan lumpur, kemudian mencari rumah petani dan berganti dengan sebuah pakaian petani, sesudah itu dia baru berputar ke dalam hutan kecil dan melanjutkan pengejarannya dengan kencang.

Di tempat itu hanya terdapat sebuah jalan setapak, tapi asal berjalan dua tiga puluh li lagi, maka akan sampailah di dalam bukit.

Cu Siau-hong tidak tahu bagaimana cara mereka hendak menghadapi Ngo-tok-giok-li, tapi ia yakin mereka tak akan berhasil menemukan jejak Ui Thong........

Bila Ui Thong tidak berhasil ditemukan, sudah barang tentu mereka pun tak bisa memberikan pertanggungan jawabnya kepada Ngo-tok-giok-li.

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, Cu Siau-hong melewati sebuah kereta kuda dan kabur berhenti menunggu di tepi jalan setelah menempuh perjalanan beberapa li jauhnya.

Kurang lebih seperminum teh kemudian, dua buah tandu kecil itu baru lewat dengan langkah cepat.

Saat itu Cu Siau-hong telah berganti dengan dandanan seorang petani, jadi ia tampak seperti seorang petani tulen.

Kehadiran Cu Siau-hong di tepi jalan sama sekali tidak memancing perhatian keempat orang penandu tersebut, tapi Siau-hong telah memperhatikan mereka berempat secara seksama, walaupun sudah menempuh perjalanan sejauh ini, ternyata tak setetes keringat pun yang membasahi jidat mereka.

Hal ini membuktikan, bahwa keempat orang tukang tandu tersebut, tak lain adalah orang-orang persilatan yang berilmu tinggi.

Dengan cepatnya tandu kecil itu sudah berjalan lewat.

Cu Siau-hong segera melanjutkan kembali penguntilannya di belakang tandu-tandu itu.

Cuma, ia masih tetap mempertahankan selisih jaraknya sejauh sepuluh kaki lebih.

Akhirnya sesudah melakukan perjalanan sekian waktu, tandu-tandu kecil itu berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terbuat dari batu hijau di muka sebuah tebing bukit.

Orang-orang di dalam tandu pun turun dari tandu dan masuk ke dalam rumah batu itu.

Cu Siau-hong melirik sekejap sekeliling tempat itu kemudian berkelebat dan menyelinap ke balik hutan yang lebat di sekitar bangunan rumah berbatu itu.

----------------------------------------

Dipimpin oleh Kiau Hui-nio, masuklah Ngo-tok-giok-li ke dalam rumah batu itu.

Bangunan rumah batu itu tidak terlalu besar kecuali sebuah ruangan tamu, cuma terdapat tiga buah kamar.

Ruang tamu itu diatur sangat rapi dengan perabot yang indah di atas sebuah kursi kebesaran duduklah seorang pemuda tampan berbaju biru.

Sambil tertawa Kiau Hui-nio segera berkata,

“Nona, mari kuperkenalkan seorang sahabat kepadamu..........”

“Oooh, siapakah dia?” tanya Ngo-tok-giok-li.

“Dia adalah Ti-kongcu, bila nona ingin mencari Ui Thong maka kau harus minta bantuan dari Ti-kongcu ini.”

Pelan-pelan Ti Thian-hua bangkit berdiri setelah mengamati sekejap wajah Ngo-tok-giok-li, tegurnya,

“Nona datang dari Ngo-tok-bun?”

“Benar! Aku bernama Ngo-tok-giok-li.”

“Oooh, bolehkah aku tahu siapa namamu yang sebenarnya?”

“Setiap orang menyebutku sebagai Ngo-tok-giok-li, lebih baik kau sebut pula dengan nama itu.”

“Oooh..........”

“Sekarang, katakan kepadaku, bagaimana caranya untuk bisa berjumpa dengan Ui Thong?”

“Nona,” kata Ti Thian-hua sambil tertawa, “soal mencari Ui Thong, kami telah menyanggupi.......”

“Soal ini aku tahu,” tukas Ngo-tok-giok-li, “kalau kalian belum menyanggupi, masa aku akan datang kemari?”

Ti Thian-hua segera mengerutkan dahinya, lalu berkata :

“Nona paling tidak pada saat ini kau masih memerlukan bantuanku.”

“Kau bukan lagi membantuku, kita sudah membicarakan soal harganya, kalian membantuku mencari Dewa Pincang Ui Thong dan kuberi obat-obatan untuk kalian.”

Kiau Hui-nio yang berada di sampingnya segera tersenyum, tiba-tiba selanya :

“Ti-kongcu bicaralah sendiri dengannya, aku akan pergi menyiapkan sedikit minuman dan makanan.”

Ngo-tok-giok-li berpaling dan melirik sekejap ke arah Kiau Hui-nio, namun ia tidak bermaksud untuk menghalanginya.

“Silakan duduk, nona!” kata Ti Thian-hua kemudian.

Pelan-pelan Ngo-tok-giok-li duduk, sedangkan Gin-kiok berdiri di belakang majikannya.

“Nona, dapatkah kau menjelaskan kepadaku apa maksud nona mencari Ui Thong?” tanya Ti Thian-hua kemudian.

“Aku tidak tahu, sekalipun tahu juga tak akan kukatakan kepadamu.”

“Keras kepala betul nona!”

“Barusan aku telah membicarakan syaratnya dengan kalian, masing-masing pun telah setuju dengan syarat tersebut, aku pikir di antara kita pun tak usah tertanam lagi perasaan terima kasih atau terharu.”

Ti Thian-hua tertawa ewa, sahutnya :

“Nona, Ui Thong pandai sekali ilmu Ngo-heng dan kepandaian aneh lainnya, dalam hal ini aku rasa nona sudah tahu bukan?”

“Tidak tahu, ibuku tak pernah membicarakan soal itu kepadaku.”

Mula-mula Ti Thian-hua agak tertegun, kemudian katanya sambil tertawa lebar :

“Baik! Kalau memang ibumu tak pernah memberitahukan soal ini kepadamu, sekarang aku akan jelaskan dulu secara terperinci.”

“Katakan saja, akan kudengar dengan seksama!”

“Ui Thong pandai ilmu Ngo-heng dan segala macam alat jebakan, oleh karena itu di sekitar tempat tinggalnya juga telah diatur barisan Ngo-heng-tin yang sangat lihay sekali, salah melangkah bisa jadi kau akan terjebak di dalam barisannya yang lihay itu.”

“Apakah di dalam barisan itu terdapat barisan jebakan-jebakan yang mematikan..........” tanya si nona.

“Tentu saja! Malah barisan Ngo-heng-tin itu sendiri pun merupakan sebuah perangkap yang mematikan, barang siapa terperosok ke dalamnya, maka sulit bagi orang itu untuk meloloskan diri.”

“Masa begitu lihay!”

“Itulah sebabnya, kita harus berhati-hati.”

“Aku tak ambil peduli barisan macam apakah itu, aku pun tak mau tahu sampai di mana lihainya alat jebakan yang dimiliki, aku cuma tahu bertemu dengan Ui Thong, titik!”

“Ooo...... tentu saja, tentu saja, setelah kami menyanggupi permintaan nona, bagaimanapun juga pasti akan kuusahakan agar kau bisa berjumpa dengan Ui Thong, cuma saja.......”

“Cuma saja kenapa?”

“Bukan hari ini!”

“Kenapa?”

“Sekarang hari sudah malam, besok pagi-pagi sekali kita berangkat mencari Ui Thong.”

“Pagi-pagi besok?”

“Yaa! Hari ini udara sudah gelap, kita akan menginap semalam dalam ruah batu ini........”

“Tidak!” tukas Ngo-tok-giok-li sambil tiba-tiba bangkit berdiri, jika besok pagi-pagi........”

“Nona, perkataanku belum selesai.”

“Nah, cepat katakan......”

“Malam ini kita masih harus mempersiapkan barang keperluan.....” setelah berhenti sejenak, lanjutnya :

“Bawa kemari peta tersebut!”

-------------------------------

13

Seorang dayang baju hijau segera muncul sambil menyerahkan sebuah gulungan kain putih.

Ti Thian-hua segera merentangkan gulungan kain putih itu, di atas kain tertera sebuah lukisan pemandangan dan peta.

Lukisan itu menggambarkan sebuah rumah batu yang kecil mungil di engah sebuah hutan yang lebat, hutan itu diliputi oleh kabut yang cukup tebal.....

Sambil menunjuk ke lukisan tersebut, Ti Thian-hua berkata,

“Dalam rumah batu itulah Ui Thong berdiam, sekeliling bangunan batu itu merupakan sebuah barisan Ngo-heng-tin yang sangat lihay.”

“Aku tidak menemukan sesuatu yang aneh dengan lukisan ini?” kata Ngo-tok-giok-li cepat.

“Jika nona tidak memahami teori barisan Ngo-heng-khi-bun-tin, sudah barang tentu tak akan kau jumpai sesuatu yang aneh dengan lukisan tersebut.”

“Baiklah! Apa yang perlu kita persiapkan sekarang? Cepat katakan!”

Ti Thian-hua manggut-manggut lirih, katanya,

“Semua barang yang diperlukan sebagian besar telah kusiapkan, tapi masih ada semacam barang paling penting yang baru dihantar kemari sesudah matahari terbenam nanti.”

“Benda apakah itu?”

“Semacam arak obat!”

“Arak obat? Apa gunanya arak obat itu?”

“Di sekitar tempat tinggalnya Ui Thong telah menyebarkan semacam kabut yang amat beracun, untuk mencegah agar jangan sampai keracunan kabut itu kita harus minum arak obat terebut.”

“Aku tidak perlu minum arak tersebut, jangan lupa aku adalah anggota Ngo-tok-bun, setiap anggota Ngo-tok-bun tidak takut terpengaruh oleh racun macam apa pun.”

“Mungkin saja nona tidak takut, tapi kami merasa takut sekali.”

“Jadi, kau sedang menunggu arak obat itu?”

“Betul! Kami harus menunggu arak obat itu, sehabis minum arak obat, kita baru boleh berangkat.”

“Kalau begitu besok pagi kita baru bisa berangkat?”

“Maksud nona?”

“Aku harap bisa secepatnya bertemu dengan orang itu, jika malam ini juga dapat berangkat, aku ingin malam ini juga kita berangkat.”

“Boleh saja, menanti arak obat itu sudah dikirim kemari, dan aku sudah meneguk dua cawan, segera kita berangkat untuk menjumpai Ui Thong.”

“Baiklah!” kata Ngo-tok-giok-li kemudian sambil manggut-manggut, kita akan menunggu sampai datangnya obat itu.”

Dalam pada itu dua orang dayang berbaju hijau telah muncul sambil menghidangkan sayur dan nasi.”

Pelan-pelan Ti Thian-hua bangkit berdiri, lalu katanya :

“Jika malam ini juga kita hendak berangkat mencari Ui Thong, aku musti beristirahat sebentar dulu, silakan kalian berdua mengisi perut!”

“Apakah kau tidak makan dulu?”

Ti Thian-hua menggelengkan kepalanya, ia lantas beranjak dan berlalu meninggalkan ruangan itu.

Sesungguhnya Ngo-tok-giok-li menaruh perasaan waswas terhadap Ti Thian-hua tapi setelah menyaksikan penampilan Ti Thian-hua yang sopan dan halus segera semua kecurigaannya lenyap tak berbekas.

Ia berpaling dan memandang sekejap ke arah Gin-kiok, lalu bisiknya :

“Aku lihat orang ini tidak terlalu jahat.”

“Yaa, sebenarnya aku masih menaruh curiga, tapi sekarang tampaknya ia seperti bukan orang jahat.”

“Gin-kiok, mari kita bersantap.”

Dari balik sanggulnya Gin-kiok mencabut sebatang tusuk konde, setelah memeriksa setiap sayur dan hidangan yang ada, dia berkata,

“Nona semuanya tidak beracun.”

“Bagus sekali, mari kita mengisi perut.”

Sesungguhnya kedua orang itu sudah lapar maka tanpa sungkan-sungkan mereka menyikat hidangan tersebut, sementara itu dua orang dayang berbaju hijau tadi pun telah mengundurkan diri.

Ketika mereka selesai bersantap, pelan-pelan Kiau Hui-nio baru munculkan diri, sapanya :

“Kalian berdua sudah selesai bersantap?”

“Terima kasih banyak atas pelayanan kalian,” sahut Ngo-tok-giok-li.

“Menurut Ti-kongcu, malam ini juga kau hendak pergi menjumpai Ui Thong.......”

“Benar, aku merasa amat gelisah, gelisah sekali.”

“Aaaai....... Ti-kongcu memang orang baik sekali, sekarang ia sudah mulai mengatur pernapasan dan memelihara kondisi, malam nanti dia akan menemani kalian mencari Ui Thong.”

“Sebenarnya siapakah orang ini? Mengapa ia bersedia membantu aku?”

Kiau Hui-nio segera tertawa.

“Ti-kongcu sebetulnya adalah seorang yang sangat baik........”

“Benar, dia memang seorang yang baik sekali,” sahut Ngo-tok-giok-li sambil mengangguk, setelah berjumpa dengan Ui Thong nanti, aku pasti akan memberi imbalan besar untuknya.”

“Itu masih tidak perlu, kita kan sudah membicarakan syarat, tak usah kau memberi balas jasa lainnya.”

Ngo-tok-giok-li tertawa, selanya :

“Syarat yang telah disetujui adalah urusan dinas, sedang soal balas jasa adalah urusan pribadi, tidak sepantasnya bila kita cuma teringat urusan dinas dengan mengesampingkan soal pribadi.”

Kiau Hui-nio menghembuskan napas panjang, katanya kemudian :

“Aku lihat usia nona tidak begitu besar, waktu berkelana dalam dunia persilatan amat pendek, tapi aku lihat kau sangat pandai mengatasi pelbagai persoalan, sungguh membuat orang menjadi kagum.”

“Ah, Locianpwe terlalu memuji.”

Kiau Hui-nio kembali tertawa.

“Aku lebih tua beberapa tahun darimu, kalau tidak keberatan silakan memanggil aku sebagai Toa-cici saja.”

Mendengar perkataan itu Ngo-tok-giok-li segera tersenyum.

“Benar juga perkataan Cici!”

Memukul ular mengikuti tongkat, dengan cepat Kiau Hui-nio mengganti panggilannya pada ketika itu.

“Siau-moay kulihat lebih baik kau juga semedi sebentar untuk menjaga kondisi badan.”

“Duduk semedi........”

“Benar! Bukankah malam nanti kalian hendak mencari Ui Thong? Tak ada salahnya bukan untuk menjaga kondisi badan agar selalu segar, siapa tahu suatu pertarungan seru bakal berlangsung. Nah baik-baiklah mengatur pernapasan di sini.”

“Aku rasa tak perlu, aku toh mencari Ui Thong bukan mengajak berkelahi.”

“Siau-moay-moay pernahkah kau berjumpa dengan Ui Thong?”

Ngo-tok-giok-li termenung sejenak, lalu menjawab :

“Pernah sih pernah, cuma waktu itu usiaku masih kecil, tiada kesan yang terlalu mendalam tentang orang itu, cuma sebelum datang kemari, ibuku telah melukiskan raut wajah Ui Thong, dalam benakku sekarang sudah terdapat suatu bentuk wajah yang lamat-lamat.”

Mendengar itu Kiau Hui-nio menghela napas panjang, ujarnya,

“Siau-moay-moay, terus terang saja Cici belum pernah berjumpa dengan Ui Thong.”

“Oooh!”

“Konon Ui Thong adalah seorang tokoh paling sakti dalam dunia persilatan yang memahami masalah langit maupun bumi, dia seorang manusia genius yang brilian sekali otaknya.......”

Waktu itu Ngo-tok-giok-li sudah tidak menaruh perasaan waswas lagi terhadap Kiau Hui-nio, mendengar itu dia tertawa, katanya :

“Toa-cici, kalau kau sendiri belum pernah bertemu dengan Ui Thong, dari mana kau bisa tahu kalau dia adalah seorang tokoh aneh dalam dunia persilatan?”

Kembali Kiau Hui-nio tertawa,

“Adik kecil, walaupun Cici belum pernah berjumpa dengan Ui Thong, tapi sudah sering kudengar tentang orang ini.”

“Apakah mendengarnya dari cerita Ti-kongcu,” bisik Ngo-tok-giok-li lirih.

“Benar! Jangan kau lihat usia Ti-kongcu masih amat muda, sesungguhnya pengetahuan serta pengalamannya luas sekali, sekarang kau masih belum begitu kenal dengan dirinya, tapi lain waktu bila kalian telah berkenalan, jika mendengar soal dunia persilatan kau akan merasa seakan-akan berada dalam alam impian.”

“Oooh........ di kemudian hari aku pasti akan banyak meminta petunjuk darinya.......”

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang memotong ucapan Ngo-tok-giok-li yang belum selesai.

Ketika mereka berpaling, dilihatnya seorang lelaki berbaju hitam dengan membopong sebuah guci porselen berdiri di depan pintu.

Kiau Hui-nio segera melompat bangun dari bangkunya, kemudian menegur lirih :

“Kau hendak mencari siapa?”

“Apakah Ti-kongcu berada di sini?”

Sebilah pedang tersoren di punggung orang itu, wajahnya kelihatan amat serius.

“Ada urusan apa kau mencari Ti-kongcu?”

“Menghantar semacam barang.”

Pelan-pelan Ti Thian-hua berjalan keluar dari dalam ruangan, segera tegurnya :

“Sudah jadi obatnya?”

“Sudah.....” jawab manusia berbaju hitam itu sambil memberi hormat, “obatnya berada di sini, silakan Kongcu untuk memeriksanya.”

Pelan-pelan ia berjalan menghampiri Ti Thian-hua dan mempersembahkan guci porselen itu ke tangan sang pemuda dengan hormat.

“Silakan Kongcu periksa!” katanya.

Sesudah menerima guci itu, Ti Thian-hua membuka penutupnya dan mengendus sedikit, kemudian manggut-manggut :

“Ehmm, betul!”

“Kongcu, kalau begitu hamba mohon diri lebih dahulu.”

“Baik, maaf kalau tidak kuhantar jauh, bila bertemu dengan gurumu, jangan lupa sampaikan salam dariku.”

“Akan hamba ingat selalu!” dengan langkah lebar laki-laki berbaju hitam itu segera berlalu dari sana.

Sambil membopong guci porselen itu Ti Thian-hua masuk ke dalam ruangan, meletakkannya ke meja kemudian ia balik ke ruang belakang.

Ngo-tok-giok-li memandang sekejap guci porselen di atas meja itu, lalu bisiknya.

“Cici, apakah isi guci porselen itu adalah bahan obat yang sedang dinantikan Ti-kongcu?”

“Agaknya memang, juga aku kurang jelas perlukah kita menengok isinya?”

“Aku ingin sekali menengok apa isi obat tersebut, cuma kita musti minta ijin dulu dari Ti-kongcu.”

“Baik, akan kubicarakan dengannya......”

Sambil mempertinggi suaranya, Kiau Hui-nio segera berseru :

“Ti-kongcu, bolehkah kami melihat isi obat di dalam guci porselen itu?”

“Hati-hati kalau melihat, jangan sampai guci itu pecah!” sahut Ti Thian-hua dari dalam ruangan.

“Aaa, kau ini! Masa guci itu bakal kupecahkan?”

Perempuan itu lantas beranjak dan mengambil guci itu.

Agaknya dia seperti jauh lebih ingin tahu apa isi guci tersebut dari pada Ngo-tok-giok-li sendiri, sambil berjalan dia membuka penutup guci itu dan mengendusnya sebentar kemudian, gumamnya :

“Hmm....... bau aneh apa ini?”

Sementara itu ia sudah semakin mendekati Ngo-tok-giok-li, ketika tiba di hadapannya, guci porselen yang belum ditutup kembali itu diserahkan kepada si nona.

Ngo-tok-giok-li segera memicingkan sebuah matanya untuk mengintip isi guci tersebut, terlihat olehnya kecuali cairan yang kental, tidak nampak sesuatu apa pun.

Karena keheranan dia lantas menempelkan mulut guci itu ke lubang hidung dan mengendusnya kuat-kuat, mendadak terasa ada segulung bau harum yang aneh sekali menerjang ke dalam isi perutnya.

Sebagai seorang ahli di dalam menggunakan racun, begitu mengendus bau aneh yang menyerang ke dalam isi perut, gadis itu segera menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, dengan cepat dia melompat bangun sambil berseru :

“Apakah isi guci ini.....”

Tapi belum habis perkataan itu, tiba-tiba kepalanya menjadi amat pening, tubuhnya sempoyongan dan terjatuhlah guci porselen itu ke atas tanah.

“Praaang.....!” guci itu hancur berkeping-keping sedang cairan kental yang berbau aneh itu tersebar ke mana-mana.

“Nona, kenapa kau.....” seru Gin-kiok cemas, ia segera maju untuk memayang Ngo-tok-giok-li.

Kiau Hui-nio yang sudah bersiap-siap sedari tadi secepat kilat segera melancarkan sentilan maut untuk menotok dua buah jalan darah Gin-kiok......

“Blaam.....!” Gin-kiok menjadi lumpuh dan roboh terkapar di atas tanah.

Tapi Ngo-tok-giok-li sendiri tidak roboh ke tanah, sebab Ti Thian-hua yang sebenarnya sudah masuk ke dalam ruangan itu secepat sambaran kilat telah menerjang keluar dan tepat pada saatnya menyambar tubuh gadis itu.

Walaupun jalan darahnya sudah tertotok mulut Gin-kiok masih bisa dipakai untuk berbicara, sepasang matanya melotot besar, kemudian bentaknya.

“Mau apa kalian?”

“Budak cilik, kau tak usah berkaok-kaok,” seru Kiau Hui-nio, “malam ini juga Ti-kongcu dan nonamu akan menikah besok kau sudah harus memanggilnya sebagai Kohya.”

“Perbuatan kalian ini sama artinya dengan mengikat tali permusuhan dengan Ngo-tok-bun.”

Kiau Hui-nio tertawa.

“Kau masih muda mengerti apa? Malam ini Ngo-tok-li (si perempuan cilik) akan dikawini Ti-kongcu bila beras sudah menjadi nasi besok pagi tanggung mereka akan hidup rukun dan bahagia, sekarang ada baiknya kau pun bersikap sedikit menghormat kepada Lo-nio, siapa tahu kalau aku akan membujuk Ti-kongcu untuk sekalian mengambilmu menjadi bini mudanya....”

“Aku tidak mau!”

Kiau Hui-nio segera tertawa terkekeh-kekeh.

“Baiklah, kalau tak mau, Lo-nio akan mencarikan lelaki lain untuk menjadi suamimu.”

“Buncu kami cuma mempunyai seorang putri,” kata Gin-kiok lagi dingin, bila kau sampai merusak kehormatannya dari Buncu kami mengetahuinya, kalian pasti akan dikejar sampai ke ujung langit pun jangan harap kalian bisa lolos dari pembalasan kami.”

“Kau ini betul-betul masih ingusan dan tak tahu urusan, jelek-jelek sang mertua juga musti memandang sang menantu, siapa tahu makin dipandang makin menarik, apalagi Ti-kongcu juga ganteng dan pintar, dia tak perlu malu mendampingi si bisa kecil itu. Memangnya Lo-nio yang jadi mak comblang bisa salah pilih?”

Mendengar perkataan itu, Gin-kiok segera menghela napas panjang.

“Aaaai...... Seandainya Ti-kongcu benar-benar mencintai Siocia kami, tidak seharusnya ia gunakan cara serendah ini,” katanya.

“Ti-kongcu adalah seorang lelaki perkasa yang ganteng dan pintar, entah berapa banyak nona cantik yang mencintainya sehingga tergila-gila, asal ia bergaul tiap hari dengan si bisa kecil, lama kelamaan toh akan tumbuh juga cintanya, cuma........”

“Kami tak punya waktu lagi untuk menunggu lebih jauh, maka kita akan biarkan mereka menjadi pengantin dulu, kemudian baru bersama-sama sembahyang ke langit.”

Gin-kiok menghela napas sedih, ia lantas membungkam dan tidak berbicara lagi.

Pihak lawan tak mau dibujuk juga sukar digertak, dalam keadaan demikian Gin-kiok sekalipun merasa kehabisan akal.

Padahal jalan darahnya sekarang sudah tertotok, tubuhnya sama sekali tak mampu berkutik ibaratnya ikan dalam jaring, sekalipun besar keinginannya untuk menolong nonanya, hal itu juga tak mungkin bisa dilaksanakan.

Kiau Hui-nio kembali tertawa :

“Hey, budak cilik pikirkanlah sendiri, Lo-nio lagi repot sekarang, tak bisa kulayani dirimu terus menerus.”

Perempuan itu memang amat sibuk, memasang lilin merah, mengatur ruangan, dalam waktu singkat dia telah mendandani ruangan itu hingga tampak amat meriah.

Di dalam kamar terdapat sebuah pembaringan besar untuk dua orang, waktu itu Ti Thian-hua sedang duduk di situ.

Dalam pada itu Ngo-tok-giok-li telah sadarkan pula oleh semburan obat penawar dari Ti Thian-hua, tapi dia pun sudah menotok kembali jalan darah sepasang lengan dan sepasang kaki gadis tersebut.

Menghadapi seorang tokoh sakti dari Ngo-tok-bun yang pandai mempergunakan racun, mau tak mau Ti Thian-hua harus selalu waspada.

Ngo-tok-giok-li berbaring di atas sebuah pembaringan kayu, setelah racunnya dipunahkan, pelan-pelan ia membuka kembali sepasang matanya.

Begitu sadar dari pingsannya, gadis itu segera menjerit keras,

“Hey, apa yang hendak kau lakukan atas diriku?”

Dia hendak bangkit untuk duduk, sayang jalan darahnya tertotok sehingga anggota badannya tak mau menuruti perintahnya.

Melihat tingkah laku gadis itu, Ti Thian-hua segera tersenyum, katanya pelan :

“Kau baik-baik saja, sama sekali tidak mengalami luka atau cedera apa pun....”

“Kau telah menotok jalan darahku?” seru Ngo-tok-giok-li sambil menghembuskan napas panjang.

“Benar!” pemuda itu manggut-manggut.

“Mengapa kau harus mencelakaiku dengan cara seperti ini?”

“Aku hendak meminang nona untuk menjadi istriku, padahal sewaktu kau masih tak sadar tadi, bila aku ingin menggagahi tubuhmu, hal tersebut dapat kulakukan secara mudah sekali.”

Ngo-tok-giok-li mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap tubuh sendiri, setelah mengetahui bahwa pakaiannya masih lengkap dan utuh, dia baru menghela napas panjang.

“Sekalipun kau ingin meminang diriku, bukan dengan cara ini kau meminang seseorang,” katanya, “hayo cepat lepaskan aku, mari kita bicarakan secara baik-baik.”

“Nona, tampaknya kau pun seseorang yang pandai juga mempergunakan akal.....” kata Ti Thian-hua sambil tertawa.

Ngo-tok-giok-li menggigit bibirnya menahan emosi, lalu berkata :

“Mengapa kau berkata demikian?”

“Ilmu melepaskan racun dari Ngo-tok-bun tiada keduanya di kolong langit, konon bisa membunuh dari jarak beberapa kaki tanpa terasa, dalam hal ini aku cukup memahaminya.”

“Jadi kalau begitu, kau merasa sangat takut kepadaku?”

Ti Thian-hua segera tertawa.

“Dari pada dikatakan takut, lebih tepat kalau dikatakan aku amat menyukaimu.........”

“Hmm! Menyukai aku?” dengus si gadis sinis, “kita baru bertemu untuk pertama kalinya, berbicara pun baru tiga empat patah kata, tidakkah kau merasa bahwa ucapanmu itu terlalu cepat diutarakan keluar?”

“Nona, di dunia ini terdapat orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, pernahkah nona mendengar tentang hal ini?”

“Aku mah pernah mendengar tentang soal itu, cuma itu menunjukkan dua orang yang terlibat dalam satu kejadian, tapi di dalam hal-hal ini, aku toh sama sekali tidak tertarik kepadamu.”

“Dalam masalah cinta, kadang kala memang harus disertai dengan sedikit paksaan, nona coba bayangkan sediri setelah aku berhasil mendapatkan dirimu, apalagi yang dapat dilakukan?”

“Tidak, tidak bisa, kau tak boleh bersikap demikian kepadaku.....”

“Mengapa tak boleh?” tukas Ti Thian-hua sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, “nona, bagiku hal ini adalah suatu kesempatan yang sangat baik, coba pikirkan sendiri mana mungkin aku akan melepaskan dirimu dengan begitu saja?”

“Berbicara sesungguhnya, kesanku terhadap dirimu tidak terlalu jelek, bila kau benar-benar ingin mengawini diriku, tidak seharusnya kau lukai aku seperti ini.”

“Aku tidak bermaksud mencelakaimu, aku cuma berharap bisa memperoleh dirimu sekalipun akibat dari perkawinan malam ini kau bakal membenciku sepanjang masa, biarlah kutanggung resiko itu seorang diri.”

“Tidak, tidak boleh,” seru Ngo-tok-giok-li dengan gelisah, “bila kau berani meneruskan niatmu itu, mungkin aku benar-benar akan membencimu sepanjang masa.”

Tiba-tiba Ti Thian-hua tidak berbicara lagi, dipeluknya Ngo-tok-giok-li kencang-kencang, kemudian diciuminya bibir gadis itu dengan penuh rangsangan hawa napsu.

Ngo-tok-giok-li menjadi gelisah sekali, teriaknya keras-keras,

“Jangan, jangan........ jangan..........”

Tapi dengan kekuatan yang besar Ti Thian-hua telah menempelkan bibirnya yang panas di atas bibir Ngo-tok-giok-li, setelah itu menciumnya penuh nafsu.

Dalam keadaan jalan darah tertotok, gadis itu sama sekali tak bertenaga untuk melanjutkan perlawanan, belum habis dia berbicara, bibirnya sudah disumbat oleh bibir orang.

Itulah suatu ciuman hangat yang amat panjang, kontan saja sepasang pipi Ngo-tok-giok-li berubah menjadi merah padam karena jengah.

Ti Thian-hua tertawa lebar, sambil bangkit berdiri, katanya lagi,

“Nona, dapatkah memberitahukan nama kecilmu kepadaku?”

“Tidak!” bentak Ngo-tok-giok-li keras-keras, “hatiku amat membencimu, rasa benciku terhadap dirimu sudah merasuk sampai ke tulang sumsum.”

“Coba pikirkan lagi dengan otak yang dingin!” bujuk Ti Thian-hua sambil tertawa, aku harus mengatur dulu ruang perkawinan kita malam nanti, entah bagaimanapun kesanmu kepadaku, aku tetap akan melaksanakan pekerjaan ini secara serius.”

Tak terlukiskan rasa mendongkol Ngo-tok-giok-li setelah mendengar perkataan itu, dia lantas memejamkan matanya dan tidak menggubris Ti Thian-hua lagi.

Melihat itu, Ti Thian-hua tertawa lebar, ia tepuk pelan sepasang pipi Ngo-tok-giok-li, kemudian bisiknya :

“Aku akan pergi sebentar, sekarang beristirahatlah dulu menjaga kondisi badanmu buat perkawinan kita malam nanti!”

Sehabis berkata dia lantas membalikkan badan dan keluar dari ruangan.

Menanti bayangan punggung dari Ti Thian-hua sudah lenyap dari pandangan, Ngo-tok-giok-li tak kuasa menahan rasa sedihnya lagi, air mata segera jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Tiba-tiba daun jendela dibuka orang, kemudian sesosok bayangan manusia dengan kecepatan luar biasa menerobos masuk ke dalam ruangan.

Orang itu tak lain adalah Cu Siau-hong.

Ngo-tok-giok-li segera membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, dengan ketus dia menegur :

“Mau apa kau datang kemari?”

“Nona, kita pernah bersua muka,” bisik Cu Siau-hong.

Ngo-tok-giok-li manggut-manggut.

“Yaa, aku masih ingat denganmu!”

“Nona, bagaimana caraku untuk menolong kau?”

“Kau benar-benar ingin menyelamatkan diriku?”

“Benar, waktu yang tersedia untuk kita tidak terlalu banyak.”

“Baik! Tolong bebaskan dulu jalan darah di atas tubuhku.”

Cu Siau-hong mengiakan, dia lantas menepuk bebas jalan darah di tubuh gadis tersebut.

Begitu bebas dari pengaruh totokan, Ngo-tok-giok-li membereskan pakaiannya yang kusut, lalu mendekati pintu dan menyanteknya dari dalam.

Setelah itu dia baru mendekati jendela, membukanya lebar-lebar dan melompat keluar.

Selama ini Cu Siau-hong hanya mengawasi terus gerak-geriknya, ia menjumpai gerak-gerik gadis itu masih tetap normal, biasa, dan tenang.

Ini membuktikan kalau kecerdasan dan kondisi badan gadis itu setelah bebas dari totokan telah pulih kembali seperti sedia kala.

Dari langkah tubuhnya itu, Cu Siau-hong juga menemukan bahwa kakinya memang sedikit pincang, cuma pincangnya belum terlalu parah, sehingga bila tidak diperhatikan dengan seksama, memang agak sulit untuk diketahui.

Meskipun otaknya berputar, Cu Siau-hong sama sekali tidak berhenti, tiba-tiba ia melayang keluar dari ruangan itu lewat jendela.

Sementara itu, Ngo-tok-giok-li sudah berada di balik semak belukar lebih kurang tiga kaki jauhnya dari rumah batu itu.

Buru-buru Cu Siau-hong menyusul ke sana, dengan cepat mereka berdua menyembunyikan diri ke balik semak belukar yang tebal.

Sepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap, menanti sudah mencapai beberapa ratus kaki, Ngo-tok-giok-li baru menghentikan langkahnya seraya berkata :

“Katakan, balas jasa apa yang kau butuhkan atas pertolongan ini?”

“Balas jasa......”

“Kalau kau tidak membutuhkan balas jasa, mengapa kau selamatkan diriku....?” tukas Ngo-tok-giok-li.

Dengan cepat Cu Siau-hong menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Aku tidak membutuhkan balas jasa apa-apa, tapi aku memohon kepada nona agar mengabulkan sebuah permintaanku.”

“Apa permintaanmu itu?”

“Aku hanya berharap agar kau melupakan pertolongan yang kuberikan kepadamu hari ini, jangan beri tahukan kejadian ini kepada siapa pun juga. Nah, selamat tinggal!”

Seusai berkata, dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari situ.

“Berhenti!” buru-buru Ngo-tok-giok-li berseru.

Mendengar teriakan itu, Cu Siau-hong merasa amat terkejut, cepat-cepat bisiknya :

“Jangan berteriak nona, kalau caramu sekeras ini, niscaya mereka akan terpancing datang.”

Tiba-tiba Ngo-tok-giok-li tersenyum.

“Aku tidak takut kepada mereka, apakah kau takut sekali?”

“Yaa, aku memang merasa agak takut!” jawab Cu Siau-hong sambil menghela napas panjang.

Tampaknya dia memang merasa rada kuatir jika Ti Thian-hua sampai mengetahui jejaknya.

Sekali lagi Ngo-tok-giok-li menghela napas panjang.

“Aaai......! Kau amat jujur dan suka berterus terang, semula aku mengira kau akan menjawab tidak takut!”

“Kenapa?”

“Sebab sebagian besar kaum pria gemar sekali berlagak gagah dan pemberani di hadapan perempuan.”

“Aku bukan seorang enghiong, juga bukan orang gagah, maka aku tak mampu berlagak gagah seperti mereka.”

“Sambutlah!” seru Ngo-tok-giok-li tiba-tiba tangan kanannya diayunkan ke muka, sebutir pil segera melayang ke depan.

Dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti Cu Siau-hong menyambut pil itu, kemudian tanyanya,

“Buat apa obat ini?”

“Untuk memunahkan racun dalam tubuhmu!”

“Kau..........”

“Maaf, sekali dipagut ular, sepuluh tahun takut dengan tali, aku telah melepaskan racun ke dalam tubuhmu.”

Sekilas perasaan sedih menghiasi wajah Cu Siau-hong, tapi sebentar kemudian telah lenyap tak berbekas, dia lantas manggut-manggut.

“Terima kasih banyak nona.”

“Kau tidak membenci kepadaku itu sudah lebih dari cukup, buat apa musti berterima kasih kepadaku?”

Cu Siau-hong segera menelan pil pemunah itu ke dalam perutnya, kemudian katanya lagi :

“Nona, walaupun kau memiliki pelbagai macam ilmu melepaskan racun yang sangat lihay, tapi jumlah mereka terlalu banyak, lagi pula semuanya merupakan bajingan-bajingan tua yang banyak pengalaman dan lebih licik dari rase, mereka sudah mengetahui kalau kau pandai menggunakan racun, akhirnya toh kau sendiri yang tak akan mampu mengalahkan mereka, bila sampai terjatuh ke tangan mereka untuk kedua kalinya........”

“Bukankah kau masih bisa datang untuk menyelamatkan diriku lagi?” sambung Ngo-tok-giok-li cepat.

“Tidak, sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan tempat ini.”

Ngo-tok-giok-li manggut-manggut.

“Sayang aku tak bisa segera pergi meninggalkan tempat ini,” katanya.

“Kenapa?”

“Demi Gin-kiok, aku dan dayangku itu sudah hidup bersama semenjak kecil, semuanya aku punya dua orang dayang, yang seorang Gin-kiok sedang yang lain bernama Kim Hong, sekalipun hubungan kami adalah majikan dan dayang, tapi hubungan batin kami lebih erat daripada kakak dan adik, bagaimanapun juga aku harus menolongnya dari tempat itu.”

“Oooh.........!”

“Kalau toh kau merasa takut terhadap mereka, aku pun tak akan menahan dirimu terus menerus.”

“Aku minta nona bisa baik-baik menjaga diri, kalau begitu aku akan memohon diri lebih dulu.”

“Hey, aku masih ada satu pertanyaan hendak diajukan kepadamu.”

“Katakanlah nona!”

“Siapa namamu?”

“Maaf, pada saat ini aku tak bisa memberitahukan namaku pada diri nona!”

“Oooh......! Di kemudian hari apakah kita masih sempat berjumpa muka lagi?”

“Entahlah, tapi selama gunung nan hijau, air tetap mengalir, bila ada jodoh kita pasti akan saling bersua kembali.”

Mencorong sinar tajam dari balik mata Ngo-tok-giok-li, ditatapnya wajah Cu Siau-hong lekat-lekat, lalu berkata :

“Aku mempunyai obat mujarab yang bisa memusnahkan pelbagai pengaruh racun jahat!”

“Terima kasih banyak nona, dewasa ini aku masih belum membutuhkan obat tersebut.”

“Kalau begitu, jika kau merasa amat membutuhkannya, silakan datang ke Ngo-tok-bun di wilayah Siang-see untuk mencari aku?” sambung si nona cepat.

Cu Siau-hong segera tersenyum.

“Kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih dulu atas kebaikan hati nona,” katanya.

“Aku bernama Kiat Hi-hoa.”

“Ehmm, sebuah nama yang menarik hati!”

Tiba-tiba pemuda itu membalikkan badannya dan berlalu dari situ dengan langkah lebar.

Kiat Hi-hoa ingin sekali memanggil Cu Siau-hong dan menyuruhnya balik kehadapannya, tapi dia merasa tiada perkataan yang bisa dibicarakan lagi.

Cepat sekali langkah kaki Cu Siau-hong, sementara Kiat Hi-hoa masih ragu-ragu, bayangan tubuh si anak muda itu sudah lenyap dari pandangan mata.

Melihat itu, Kiat Hi-hoa cuma bisa menghembuskan napas panjang, dia lantas membalikkan badannya dan berjalan balik ke arah bangunan rumah berbatu itu.

Tempat yang dilalui adalah sebuah hutan yang cukup lebat, Kiat Hi-hoa berjalan dengan hati-hati sekali.

Lebih kurang lima puluh kaki kemudian, tiba-tiba ia mendengar suara pembicaraan dari Ti Thian-hua berkumandang datang :

“Budak ini cepat amat larinya!”

“Hmm!” Kiau Hui-nio mendengus dingin, “siapa suruh kau tidak menuruti perkataan Lo-nio, itik yang sudah matang tidak dilahap, sekarang ia terbang kembali ke udara. Sudah banyak kejadian aneh pernah kusaksikan, tapi belum pernah kujumpai lelaki bloon seperti kau. Dengan susah payah menggunakan segala akal muslihat menangkap gadis muda, bukan dilihat malah dibiarkan menggeletak dalam kamar hanya untuk mengatur kamar pengantinlah, meja sembahyanglah........ hem! Sekarang kamar pengantinnya sudah siap, tapi ke mana perginya sang pengantin perempuan?”

Mendengar omelan tersebut, Ti Thian-hua menghela napas panjang.

“Aaai.... nyonya muda, sekarang bukan waktunya untuk melepaskan tembakan meriam bertubi-tubi, sepantasnya kalau kita cari dulu sampai ketemu, kemudian baru berbicara lagi.”

“Mencari dia? Kalau sudah ketemu lantas mau apa? Kepandaiannya melepaskan racun tiada tandingannya di dunia ini, apalagi ia sudah mengadakan persiapan, masakah kita sanggup untuk membekuknya lagi?”

“Jadi maksudmu?”

“Lebih baik matikan saja keinginan itu! Tidak mungkin kita bisa menangkapnya hidup-hidup lagi, tapi kita pun tak boleh membiarkan dia kabur dengan begitu saja, kita musti mencari akal untuk melenyapkan jiwanya dari muka bumi.”

“Tidak boleh.......”

“Kenapa tidak boleh?” tukas Kiau Hui-nio lagi, kau adalah seorang lelaki romantis yang sudah tersohor namanya dalam dunia persilatan, seorang jago yang berpengalaman dalam bermain perempuan, masakah kau benar-benar sudah jatuh hati kepada Ngo-tok-giok-li.”

“Benar, aku memang benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya, itulah sebabnya aku tak ingin memperkosa dirinya secara brutal, aku ingin mengatur kamar pengantin dan meja sembahyang tak lain adalah ingin menunjukkan bahwa hatiku benar-benar terpikat kepadanya.”

“Betul-betul aneh! Tidak kusangka kalau manusia seperti kau pun bisa jatuh hati kepada seorang perempuan. Huuh.....! Aku lihat kau bukan betul-betul jatuh hati, agaknya kau cuma merasa penasaran sebelum berhasil mencicipi badannya, bukan begitu?”

“Aaah, aku sendiri juga bisa menerangkan gerangan yang sebenarnya telah terjadi, pokoknya terhadap dia, aku menaruh suatu perhatian yang aneh, suatu perasaan yang tak pernah kualami terhadap perempuan lain........”

“Aduh....... sedari kapan sih, kau si lelaki hidung bangor telah berubah menjadi ahli cinta romantis.”

Ti Thian-hua kembali menghela napas panjang.

“Aaai...... Hui-nio, terus terang saja kukatakan memang tidak sedikit perempuan yang pernah kujumpai, tapi baru untuk pertama kali ini aku betul-betul jatuh cinta kepada seorang gadis.”

Mendadak terdengar Kiau Hui-nio berseru dengan suara dingin :

“Hey, cepat lepaskan nonamu, aku lihat nyalimu makin lama semakin bertambah besar.”

Waktu itu Ngo-tok-giok-li berada di balik semak belukar yang amat tebal, pepohonan yang rimba serta dedaunan yang lebat telah menghalangi pandangannya, ia tak bisa menyaksikan perbuatan kedua orang itu tapi menangkap sebicaraan mereka berdua secara jelas, agaknya waktu itu Ti Thian-hua sedang memegang sesuatu tempat yang berada di tubuh Kiau Hui-nio.

Terdengar Ti Thian-hua tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh........ haaahhh........... haaahhh....... Hui-nio, apakah hubunganmu dengan Ouyang Siong telah meningkat ke taraf yang sungguh-sungguh amat serius...?”

“Lepaskan dulu tanganmu itu, orang lain takut kepadamu, Ouyang Siong tak bakal jeri kepadamu, jika kau berani memegangi tubuhku sehingga ketahuan dirinya, langsung kau bisa diberi kesulitan yang tak sedikit jumlahnya.”

Sesungguhnya Ngo-tok-giok-li yang bersembunyi di balik semak belukar itu berhasrat untuk meracuni kedua orang itu, tapi setelah mendengar pembicaraan yang berlangsung antara Ti Thian-hua dengan Kiau Hui-nio itu, tiba-tiba timbul semacam perasaan aneh yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata, dalam hati kecilnya dia berpikir.

“Walaupun orang ini jahat, agaknya rasa cintanya kepadaku amat serius dan bersungguh-sungguh......”

Terbayang bagaimana tubuhnya yang masih suci bersih telah digerayangi olehnya, bahkan bibirnya yang tak pernah disentuh lelaki lain telah dicium dengan hangat, perasaannya semakin bertambah gundah.

Perasaan gadis memang amat sensitif sekali, biasanya antara benci dan cinta, dendam dan sayang hanya dibedakan oleh suatu titik yang kecil sekali.

Begitulah perasaan Kiat Hi-hoa pada saat ini, dia sendiri pun tak bisa membedakan apakah ia sebetulnya membenci atau mencintai si anak muda itu.

Tapi begitu teringat kembali akan perbuatan Ti Thian-hua terhadap Kiau Hui-nio, dalam hati kecilnya kembali muncul suatu perasaan muak dan kesal yang sangat tebal.

Ia mencoba untuk memperhatikan dengan seksama, dirasakan suara yang ditimbulkan kedua orang itu cukup ribut sekali, entah apa yang sedang mereka lakukan di balik semak belukar itu.

Pelan-pelan Ngo-tok-giok-li bangkit berdiri, sesudah menghembuskan napas panjang ia beranjak menuju ke bangunan rumah batu itu.

Ia mulai menyadari bahwa kepandaian melepaskan racun dari Ngo-tok-bun cukup memiliki kekuatan yang besar untuk menciutkan hati orang lain, ia pun lantas merasa bahwa dari pada menolong rekannya secara sembunyi-sembunyi, jauh lebih baik mendatanginya secara terang-terangan untuk meminta kembali Gin-kiok.

------------------------

Sementara itu, Cu Siau-hong belum pergi terlalu jauh, ia sendiri pun menyembunyikan diri di balik semak belukar sambil mengamati gerak-gerik Ngo-tok-giok-li.

Ia sangat berharap gadis itu mau segera pergi meninggalkan tempat itu, sebab menurut anggapannya, asal Ngo-tok-giok-li sudah pergi meninggalkan tempat itu maka mereka pun tak akan berani mencelakai Gin-kiok.

Dalam dunia persilatan dewasa ini belum ada sesuatu organisasi pun yang suka mengikat tali permusuhan dengan perguruan Ngo-tok-bun yang tersohor karena keganasannya itu.

Sebab siapa saja tahu, bila permusuhan sampai terjadi, mereka akan makan tak enak tidur tak tenang, setiap saat selalu kuatir dirinya diracuni orang.

Tapi Cu Siau-hong merasa sangat kecewa, ia sudah menunggu hampir satu jam lamanya, akan tetapi Kiat Hi-hoa belum juga menampakkan diri, sadarlah pemuda itu bahwa dugaannya keliru, Ngo-tok-giok-li terlalu berkeras kepala, juga terlalu percaya pada kekuatan sendiri, oleh sebab itu ia telah mendatangi kembali musuh-musuhnya itu.

Dalam keadaan demikian, ia tak bisa menduga bagaimana akibatnya? Tapi ia tak dapat menunggu lebih jauh, dia harus berusaha keras untuk menyusup ke dalam organisasi tersebut, ia tak bisa melepaskan kesempatan yang begitu baik untuk menjadi muridnya Ouyang Siong sehingga mempermudah gerak-geriknya untuk melakukan suatu penyelidikan.....

Karena itu setelah mengambil keputusan, pemuda itu pun berangkat meninggalkan hutan dan balik ke kota Siang-yang.

Semua tindak-tanduknya ini dilakukan sangat rahasia dan berhati-hati, kecuali Ngo-tok-giok-li seorang boleh dibilang tiada orang kedua yang tahu kalau peristiwa tersebut mempunyai sangkut pautnya dengan dia.

Setibanya di kota Siang-yang, ia tetap balik kembali ke rumah penginapannya semula.

Waktu itu malam hari sudah menjelang tiba, saat setiap rumah sedang memasang lampu.

Sekembalinya ke dalam kamar, Cu Siau-hong duduk bersemedi sebentar untuk mengembalikan kekuatan badanya, lalu membaringkan diri ke ranjang untuk beristirahat.

Pemuda ini sangat berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya, setelah yakin kalau perbuatannya tidak diketahui orang lain, ia pun tidur semalam dengan nyenyak.

Keesokan harinya, Cu Siau-hong mengunci diri di dalam kamarnya tanpa meninggalkan pintu barang selangkah pun, bahkan santapannya pun ia perintahkan pelayan untuk menghantar sampai di kamar.

Ia berusaha keras untuk mengurangi penampilannya di hadapan umum.

Terhadap persoalan yang menyangkut diri Kiat Hi-hoa, ia telah bertekad untuk cuci tangan dan tidak mencampuri lagi.

Begitulah sehari semalam berikutnya dia lewatkan dalam keadaan demikian, mengurung diri di dalam kamar dan tak pernah keluar dari pintu barang selangkah pun.

Malam itu kembali dilewatkan dengan aman, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cu Siau-hong telah mempersiapkan diri secara baik-baik.

Ia mengenakan sebuah jubah panjang berwarna biru yang telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dengan mengenakan topi berwarna putih yang hampir menutupi sebagian besar wajahnya, kemudian berangkatlah pemuda itu menuju ke jalan raya sebelah selatan langsung ke Liong-siang-pu-ceng.

Usianya belum besar pengalamannya dalam dunia persilatan juga tidak terlalu matang, tapi begitu turun ke dunia persilatan secara beruntun telah menjumpai beberapa orang tokoh aneh dan pelbagai pengalaman yang aneh pula.

Kesemuanya itu sangat bermanfaat dan membantu bagi penambahan pengalamannya membuat pemuda itu belajar berpikir mempertimbangkan dan menganalisa setiap masalah sebelum melakukannya.

Apalagi dia dasarnya memang cerdik dan berbakat bagus, ditambah pula pengetahuannya yang cukup luas hal mana membuat semua keputusannya betul-betul luar biasa sekali.

Ketika fajar baru saja menyingsing, pintu gerbang Liong-siang-pu-ceng masih tertutup rapat-rapat.

Ia tidak mengetuk pintu tapi berjalan mengitari sekeliling Liong-siang-pu-ceng tersebut.

Cukup dilihat dari bentuk luar bangunan yang disebut Liong-siang-pu-ceng ini dapat diduga bahwa toko kain tersebut benar-benar adalah sebuah toko yang besar sekali.

Kedua belah sisinya dibatasi oleh jalan raya dengan satu bagian bersambungan dengan bangunan lain sedang bagian yang lain berhadapan dengan sebuah lorong kecil.

Diam-diam Cu Siau-hong menganalisa letak bangunan tersebut, ia beranggapan bahwa gedung besar ini adalah sebuah gedung dengan tiga bagian yang terbuka lebar.

Setelah mengamati sekeliling bangunan tersebut, Cu Siau-hong berjalan kembali ke depan pintu gerbang toko kain Liong-siang-pu-ceng tersebut.

Waktu itulah pintu gerbang telah dibuka lebar, seorang lelaki setengah umur berbaju biru yang berdandan sebagai pelayan toko muncul dari balik gedung.

Belum sempat orang itu menegur, Cu Siau-hong telah maju menjura sambil menyapa,

“Toako, terimalah salam hormatku.”

Manusia berbaju biru kelihatan agak tertegun, kemudian katanya :

“Kau adalah.......”

“Aku si pengemis kecil bernama Lim Giok, ingin berjumpa dengan Ouyang-cianpwe.”

Orang berbaju biru itu segera mendengus dingin.

“Hmm! Majikan kami she Phoa, di tempat ini tak ada pelayan yang berasal dari marga Ouyang.”

“Aku si pengemis kecil datang dari Kay-pang ada urusan penting yang hendak dilaporkan........”

Orang berbaju biru itu menggelengkan kepalanya melarang Cu Siau-hong berbicara lebih jauh, kemudian bisiknya :

“Adakah seseorang yang menguntil kedatanganmu?”

“Tidak ada yang menguntil, kedatangan aku si pengemis kecil sudah diutarakan secara cermat dan rahasia.”

Orang berbaju biru itu mengamati sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya :

“Cepat masuk!”

Cu Siau-hong mengiakan, dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam gedung besar itu.

Orang berbaju biru itu berdiri di luar pintu setengah harian lamanya, kemudian baru membalikkan badan dan ikut masuk ke dalam rumah.

Waktu itu Cu Siau-hong telah menunggu di balik pintu gerbang.

Setelah menutup pintu depan, orang berbaju biru itu baru bertanya :

“Kau ingin berjumpa dengan Ouyang-cianpwe?”

“Benar! Aku dengan dia orang tua sudah mengadakan janji sebelumnya.”

Orang berbaju biru itu segera manggut-manggut.

“Baiklah! Kalau begitu ikutilah aku masuk ke dalam!”

Cu Siau-hong diajak masuk ke dalam sebuah gedung yang terletak pada lapisan yang ketiga, di tengah sebuah kebun kecil berdiri dua orang manusia.

Kedua orang itu bukan lain adalah Ouyang Siong yang berjubah hijau berjenggot panjang serta Kiau Hui-nio yang genit.

Kedua orang itu berdiri di tengah kebun, sepintas lalu seakan-akan lagi menikmati keindahan bunga, padahal mereka sedang berbicara dengan suara lirih.

Baru saja orang berbaju biru itu mengajak Cu Siau-hong melangkah masuk dari pintu halaman, Ouyang Siong dan Kiau Hui-nio telah memalingkan kepalanya ke arah mereka.

“Menjumpai tuan majikan!” orang berbaju biru itu segera menjura.

Kiranya Ouyang Siong adalah majikan dari toko kain Liong-siang-pu-ceng tersebut.

Setelah mengamati Cu Siau-hong sekejap, Ouyang Siong mengulapkan tangannya seraya berkata kepada orang berbaju biru itu :

“Periksa keadaan di luar, lihatlah adakah seseorang yang menguntil sampai di sini, kalian harus berjaga-jaga dengan waspada dan berhati-hati, bila menjumpai seseorang yang mencurigakan, segera datang kemari memberi laporan kepadaku.........”

Orang berbaju biru itu segera membungkukkan badan memberi hormat, kemudian mengundurkan diri dari situ.

Sedang Cu Siau-hong sendiri langsung maju beberapa langkah ke depan dan jatuhkan diri berlutut :

“Ouyang Siong tidak menegah perbuatannya itu, juga tidak berkata apa-apa, menanti pemuda itu sudah selesai menjalankan penghormatannya, ia baru berkata :

“Bangunlah kau!”

Cu Siau-hong segera mengiakan sambil bangkit berdiri, lalu menyingkir ke samping dengan tangan diluruskan ke bawah.

Dengan sepasang mata yang tajam Kiau Hui-nio mengawasi wajah Cu Siau-hong dari atas sampai ke bawah, seakan-akan dari atas wajahnya itu dia ingin mencari sesuatu.

Tapi Cu Siau-hong hanya berdiri dengan tenang dan kepala tertunduk, karena dua orang itu tidak buka suara, maka dia pun tidak mengucapkan apa-apa.......

Seperminuman teh sudah lewat, tapi suasana masih tetap hening sepi dan tak terdengar suara apa pun.

Keadaan semacam ini benar-benar merupakan sebuah ujian yang sangat berat, tiada suara bentakan tiada juga kilatan senjata, tapi di balik keheningan yang mencekam justru terlintas hawa nafsu membunuh yang amat tebal dan mengerikan.

Sepasang mata Cu Siau-hong selalu tertuju ke ujung kakinya, tak pernah ia mendongakkan kepalanya.

Padahal hawa murninya telah dihimpun ke dalam seluruh badannya guna bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, bila mana Ouyang Siong atau Kiau Hui-nio melakukan suatu tindakan yang mencurigakan, maka dia akan segera melancarkan serangan balasan.

Sekalipun begitu, pemuda itu bersikap amat tenang, sedemikian tenangnya sehingga Ouyang Siong maupun Kiau Hui-nio yang amat berpengalaman pun tidak berhasil menjumpai sesuatu yang mencurigakan.

Akhirnya Ouyang Siong mendehem pelan memecahkan keheningan yang mencekam, tegurnya,

“Lim Giok, mengapa kau tidak berbicara?”

“Boanpwe menyesal sekali.”

“Kenapa?”

“Mungkin Boanpwe sudah tak bisa bercokol lagi di dalam tubuh Kay-pang....”

“Apakah Tan Tiang-kim sudah mulai mencurigai gerak-gerikmu?”

“Apakah Tan-tianglo sudah menaruh curiga kepadaku atau tidak, sampai kini Boanpwe masih belum tahu, tapi yang jelas Yu Lip itu si Toucu dari kantor Siang-yang sudah mencurigai gerak-gerikku.”

“Yu Lip? Bagaimana mungkin dia bisa.....”

“Dia menitahkan diriku untuk melaksanakan suatu tugas,” tutur Cu Siau-hong, “tapi aku tidak melaksanakannya secara baik, rupanya hal ini diketahui anggota Kay-pang lainnya dan segera melaporkan kejadian ini kepadanya.”

“Tugas apa yang ia perintahkan untuk kau laksanakan?” tanya Kiau Hui-nio tiba-tiba.

“Mengawasi gerak-gerik Ngo-tok-giok-li.”

“Oooh..... jadi kau telah kehilangan jejak Ngo-tok-giok-li?”

“Bukan kehilangan jejak melainkan aku telah menunda waktu pengejarannya.”

“Jelaskan lebih terperinci!” perintah Ouyang Siong.

“Baik! Yu-toucu memerintahkan diriku untuk menguntil Ngo-tok-giok-li, tapi aku pergi membeli pakaian lebih dulu, ketika balik kembali ternyata sudah terlambat, Ngo-tok-giok-li sudah meninggalkan loteng Wong-kang-lo dan entah ke mana perginya, yang lebih celaka lagi ketika aku sedang membeli pakaian ini telah ketahuan anggota Kay-pang lainnya.”

“Oooh?”

“Itulah sebabnya ketika Yu-toucu bertanya kepadaku, mula-mula aku berhasil mengelabuinya dengan kata-kata yang bohong, siapa tahu kebohonganku berhasil dibongkar tengah hari kemarin, oleh sebab itulah pagi-pagi sekali Boanpwe sudah berangkat kemari.”

“Bila kau mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri, kenapa semalam tidak langsung kemari?” sela Ouyang Siong.

“Hari ini adalah hari ketiga, meskipun Tecu amat gelisah namun tidak berani bertindak secara gegabah.”

Ouyang Siong lantas manggut-manggut.

“Bagus sekali, bagus sekali! Sekarang, apa rencanamu selanjutnya?”

“Jika Locianpwe hendak membatalkan janji yang dulu, terpaksa Tecu harus berkelana dalam dunia persilatan dan menyelamatkan diri ke ujung dunia sana.”

“Anggota Kay-pang tak terhitung jumlahnya, ketajaman mata dan pendengaran mereka luar biasa, mampukah kau meloloskan diri dari pengejaran mereka?”

“Tecu tidak rela untuk menyerahkan diri dengan begitu saja, yaa apa boleh buat lagi terpaksa aku harus pergi beradu nasib.”

Mendengar itu Ouyang Siong segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh....... haaahhh....... haaahhh........ bangun-bangun, kau telah melakukan penghormatan besar dengan mengangkat diriku sebagai gurumu, mulai detik ini aku sudah terhitung murid perguruanku.”

Sambil tertawa Cu Siau-hong segera bangkit berdiri, katanya :

“Terima kasih banyak atas kesediaan Locianpwe untuk menerima diriku sebagai murid.”

Ouyang Siong berpaling dan memandang sekejap ke arah Kiau Hui-nio, kemudian katanya :

“Dia adalah nona Kiau, cepat memberi hormat kepadanya!”

Setelah memanggil Ouyang Siong dengan sebutan “Suhu”, Cu Siau-hong merasakan hatinya amat murung tak sedap, ia kuatir sekali kalau Ouyang Siong menyuruh dia memanggil Sunio kepada perempuan itu, maka legalah hatinya setelah orang itu menyebutnya sebagai nona Kiau.

Cepat-cepat ia memberi hormat sambil menyapa :

“Menjumpai Kiau-cianpwe!”

“Tak usah banyak adat, mundur ke pinggir sana!” seru Kiau Hui-nio sambil mengulapkan tangannya.

Cu Siau-hong segera mengiakan dan mengundurkan diri ke samping.

Kiau Hui-nio segera berpaling ke arah Ouyang Siong dan menegur dengan suara dingin.

No comments: