Monday 2 February 2009

Pendekar Budiman 9

Karya : Gu Long
Disadur Oleh : Gan KL

Sim-bi Taysu tampak gelisah. "Sekarang bukan waktunya sok gagah, tenagamu belum pulih, engkau pasti bukan tandingan Ngo-tok-tongcu, apabila dia datang, tentu kau ...."

Mendadak terdengar kuda penarik kereta meringkik kaget, si kusir juga menjerit, kereta terus menerjang ke samping dan "blang", menumbuk pohon di tepi jalan.

Sim-bi Taysu juga terbentur dinding kereta, serunya dengan parau, "Mengapa tidak lekas pergi? Apakah hendak kau tolong diriku?"

Sun-hoan tertawa hambar, "Jika kau dapat menolongku, mengapa tidak dapat kutolong dirimu?"

"Namun ... namun aku toh pasti akan mati, cepat atau lambat tetap mati," ujar Sim-bi Taysu.

"Tapi sekarang engkau kan belum mati?" kata Sun-hoan sambil melolos sebilah pisau dari baju Dian Jit.

Sebilah pisau kecil yang enteng dan tipis, itulah pisau terbang si Li.

Tersembul senyuman pada ujung mulut Li Sun-hoan.

Kereta telah ambruk, roda kereta masih terus berputar pada sumbunya dan mengeluarkan serentetan suara keriang-keriut yang tidak enak didengar.

"Sumbu kereta seharusnya diberi minyak ...." gumam Sun-hoan.

Dalam keadaan dan di tempat begini dia bicara tentang sumbu kereta yang perlu diberi minyak segala, Sim-bi Taysu merasa orang ini sungguh sangat aneh dan sukar dimengerti.

Sun-hoan lantas memayang Sim-bi keluar kereta, angin dingin mengusap wajah mereka, rasanya seperti disayat pisau.

"Mestinya tidak perlu kau lakukan hal ini, lekas ... lekas kau pergi saja," ujar Sim-bi dengan terharu.

Tapi Sun-hoan lantas duduk bersandar kabin kereta yang miring itu, udara gelap, tanpa bulan tiada bintang, bumi raya ini sunyi senyap, hanya suara keresek daun kering yang tertiup angin.

Sedapatnya Sim-bi memandang sekelilingnya, namun tidak tampak bayangan seorang pun.

Didengarnya Sun-hoan berseru lantang, "Kek-lok-tongcu, apakah engkau sudah datang?"

Angin mendesir-desir, namun tidak terdengar suara manusia.

"Jika engkau tidak datang, biarlah aku pergi saja," ucap Sun-hoan pula. Segera ia menarik bangun Sim-bi Taysu dengan setengah memayang dan setengah menyeret.

"Hendak … hendak ke mana kau?" tanya Sim-bi.

"Ke mana lagi? Dengan sendirinya Siau-lim-si," jawab Sun-hoan.

"Siau-lim-si?" Sim-bi menegas dengan melengak.

"Kita menempuh perjalanan ini dengan mati-matian, bukankah tujuan kita adalah mencapai Siau-lim-si?" kata Sun-hoan.

"Tapi ... tapi sekarang engkau tidak perlu lagi ke sana," ujar Sim-bi dengan napas tersengal.

"Tidak, sekarang justru aku harus ke sana," kata Sun-hoan.

"Sebab apa?"

"Sebab hanya Siau-lim-si saja mungkin ada obat penawar yang dapat menyelamatkan dirimu?"

"Mengapa ... mengapa engkau menolong diriku? Padahal aku kan musuhmu?"

"Kutolong kau, sebab apa pun juga engkau tetap seorang manusia," jawab Sun-hoan.

Kata Sim-bi kemudian, "Apabila benar dapat mencapai Siau-lim-si, pasti akan kubuktikan bahwa engkau tidak bersalah, sekarang pun sudah dapat kupastikan engkau bukan Bwe-hoa-cat."

Sun-hoan hanya tersenyum saja tanpa bicara.

"Cuma sayang, jika kau bawa diriku, maka selamanya tak dapat mencapai Siau-lim-si, meski sekarang Ngo-tok-tongcu belum muncul, tapi dia pasti tidak tinggal diam."

Sun-hoan hanya batuk perlahan tanpa menjawab.

Sim-bi berkata pula, "Dengan Ginkangmu mungkin masih ada harapan bila kau lari sendirian, untuk apa perlu kubikin susah padamu. Cukup ada maksud baikmu, mati pun aku tidak menyesal lagi."

Mendadak terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Hehehe, Hwesio Siau-lim-si yang alim ternyata berkawan dengan Li-tamhoa yang ahli foya-foya, sungguh berita terbesar dan menarik."

Juara tertawanya seperti sangat jauh, tapi mendadak lantas mendekat dan entah berkumandang dari jurusan mana.

Tubuh Sim-bi lantas mengejang, desisnya, "Ngo-tok-tongcu!"

"Hehehe, pangsit yang kubuat itu cukup sedap bukan?" suara tadi berkata pula.

Sun-hoan tersenyum, "Jika ada maksudmu hendak merenggut jiwaku, mengapa sejauh ini engkau tidak berani perlihatkan dirimu?"

"Tanpa memperlihatkan diri juga dapat kucabut nyawamu," kata Ngo-tok-tongcu dari tempat tak terlihat.

"Oo, apa betul?" ucap Sun-hoan.

"Kau tahu, sampai malam ini, orang yang mati di tanganku sudah ada 392, satu pun tidak pernah melihat diriku, bahkan bayanganku saja tidak pernah dilihatnya."

"Ya, sudah lama kudengar Anda ini seorang kerdil, bermuka buruk seperti setan sehingga malu bertemu dengan orang, tak tersangka berita dalam dunia Kangouw memang tidak salah."

Suara tertawa yang mengambang dan sebentar jauh dan sebentar jauh itu mendadak berhenti.

Sejenak kemudian barulah terdengar suara Ngo-tok-tongcu berkata pula, "Hm, jika kubiarkan kau mati lewat fajar, anggaplah aku berdosa padamu."

"Tapi jelas diriku takkan mati biarpun fajar sudah datang, adapun Anda sendiri sukar untuk diramalkan," jawab Sun-hoan dengan gelak tertawa.

Belum lenyap suaranya, tiba-tiba terdengar bunyi sempritan yang aneh.

Di atas tanah salju mendadak muncul bayangan hitam yang merayap-rayap dalam jumlah yang sukar dihitung, ada besar, ada kecil, ada yang panjang, ada pendek, dalam kegelapan sukar diketahui benda apa, hanya terendus bau amis yang menusuk hidung.

"Hah, sekali Ngo-tok (lima racun) muncul, manusia pun berubah menjadi tulang .... Sekarang engkau tidak lekas pergi, memangnya mau tunggu kapan lagi?" seru Sim-bi dengan khawatir.

Tapi Li Sun-hoan seperti tidak tahu apa yang diucapkannya, dengan suara lantang ia berkata, "Konon makhluk berbisa Kek-lok-tong berjumlah ribuan jenisnya, mengapa sekarang hanya beberapa ekor ulat kecil ini saja yang terlihat, apakah makhluk berbisa yang lain sudah mati ludes?"

Suara sempritan tadi semakin keras, bayangan kecil yang merayap-rayap di tanah salju itu sudah mengepung rapat Sim-bi dan Sun-hoan, ada beberapa ekor di antaranya sudah berada di samping kaki mereka.

Ngeri dan muak Sim-bi sehingga hampir saja tumpah.

Pada saat itulah baru terdengar Ngo-tok-tongcu bersuara dengan tertawa terkekeh, "Ular berbisa ini adalah basil persilangan dari tujuh jenis makhluk berbisa pemakan daging dan darah, apabila kulit daging kalian sudah menjadi isi perut mereka, tentu takkan kau anggap jumlah mereka terlalu sedikit."

Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong sinar pisau berkelebat.

Itulah pisau kilat si Li yang tidak pernah meleset.

Hampir saja Sim-bi Taysu berteriak kaget. Ia tahu pisau yang dipegang Li Sun-hoan merupakan satu-satunya harapan, sekarang Sun-hoan menyambitkan pisaunya begitu saja, padahal bayangan musuh saja belum kelihatan. Dan kalau pisau ini tidak kena sasarannya berarti tubuh mereka akan menjadi isi perut kawanan makhluk berbisa itu.

Pertaruhan ini sungguh sangat berbahaya, kesempatan untuk menang sangat kecil. Tak pernah terpikir oleh Sim-bi bahwa Li Sun-hoan bisa bertindak gegabah begini.

Tapi pada saat itu juga, begitu sinar pisau berkelebat lenyap dalam kegelapan, seketika berjangkit suara jeritan ngeri yang singkat dan menusuk telinga. Menyusul itu seorang lantas berlari keluar dari kegelapan dengan langkah sempoyongan.

Perawakan orang ini pendek kecil seperti anak sepuluh tahun, badan telanjang, hanya mengenakan sepotong kain serupa gaun pendek sehingga kelihatan kakinya yang kecil, di bawah hujan salju begini tampaknya dia tidak kedinginan sedikit pun. Kepalanya juga sangat kecil, namun sorot matanya terang.

Dengan pandangan yang penuh rasa kaget, takut, juga benci dan dendam lagi menatap Li Sun-hoan, tampaknya seperti mau bicara apa-apa, tapi hanya keluar suara "krak-krok" dari kerongkongan tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Baru sekarang Sim-bi melihat pisau tadi menancap di tenggorokan si kerdil, tepat menancap di tenggorokannya. Pisau kilat si Li memang betul tidak pernah meleset.

Mungkin karena saluran napasnya teralang oleh pisau, Ngo-tok-tongcu tidak tahan, ia cabut pisau itu. Tapi begitu pisau tertarik, terembuslah napasnya disertai muncratnya darah segar.

Pada saat itu, kawanan makhluk berbisa tadi sudah ada yang mulai merayap ke atas kaki Li Sun-hoan. Namun Sun-hoan tidak bergerak sama sekali. Sim-bi Taysu juga tidak berani bergerak sedikit pun. Ia merasa tubuh sendiri mulai lemas dan hampir-hampir tidak sanggup berdiri lagi.

Meski pisau terbang si Li tiada bandingannya di dunia ini, agaknya nasib mereka tetap tak terhindar menjadi isi perut kawanan binatang melata itu.

Tak terduga setelah pisau tercabut dari tenggorokannya, segera Ngo-tok-tongcu meraung murka dengan darah berhamburan, serentak kawanan makhluk berbisa itu merayap ke sana dengan cepat, semuanya merambat dan menggigit leher Ngo-tok-tongcu yang memancurkan darah itu.

Terdengar suara "srat-sret" yang ramai, dalam sekejap saja si kerdil sudah berubah menjadi seonggok tulang. Tapi setelah kawanan ular itu kenyang mengganyang darah daging Ngo-tok-tongcu, perut menjadi kembung, lalu menggeletak tak bergerak lagi.

Ngo-tok-tongcu terkenal sebagai ahli racun, akhirnya dia mati akibat racun sendiri. Pemandangan ngeri ini sungguh membuat orang tidak tega melihatnya.

Sim-bi Taysu memejamkan mata dan diam-diam membaca doa. Selang agak lama barulah ia menghela napas dan membuka mata, katanya dengan gegetun, "Li-sicu, bukan cuma pisaumu tidak ada tandingannya di dunia, ketenanganmu juga tiada bandingannya."

Sun-hoan tertawa, jawabnya, "Terima kasih. Aku cuma sudah memperhitungkan bilamana makhluk berbisa ini mencium bau anyir darah tentu segera akan pergi. Padahal dalam hati aku pun sangat takut."

"Masa Li-sicu juga merasa takut!"

"Kecuali orang mati, di dunia ini tidak ada manusia yang tidak kenal takut!" ujar Sun-hoan dengan tertawa.

"Menghadapi bahaya tidak menjadi bingung, meski takut tapi tidak panik, ketenangan Li sicu sungguh kukagumi dengan lahir batin ...." makin lemah suara Sim-bi Taysu dan akhirnya ia pun roboh terkulai.

Sementara itu fajar sudah menyingsing.

Li Sun-hoan berduduk di samping Sim-bi Taysu, yang belum sadar, agaknya tertidur.

Ia kubur tulang belulang Ngo-tok-tongcu bersama kawanan makhluk berbisa itu, lalu meneruskan perjalanan dengan membawa Sim-bi Taysu, tidak jauh ia rampai di suatu kota kecil dan menyewa sebuah kereta keledai.

Keras sekali guncangan kereta itu, namun Sun-hoan dapat tidur dengan nyenyak. Maklumlah, dia benar-benar kehabisan tenaga, sangat letih. Setelah minum dua mangkuk minuman kacang hijau, tidak ada urusan lain di dunia ini yang dapat lagi mencegahnya tidak tidur.

Entah selang berapa lama lagi, mendadak kereta keledai berhenti.

Hampir pada saat yang nama Sun-hoan juga mendusin, cepat ia menyingkap tirai kereta, angin yang mengusap wajahnya seketika membangkitkan semangatnya.

Didengarnya si kusir lagi berseru, "Sudah tiba di Siong-san kereta tidak dapat naik ke atas gunung, terpaksa silakan Toaya (tuan) berjalan kaki saja."

Waktu Sun-hoan menyewa kereta keledai itu, si kusir diseret bangun dari kolong selimutnya oleh sang istri, malahan istrinya mendesak pula agar menerima persewaan ini, dengan sendirinya kusir ini berangkat dengan ogah-ogahan.

Maklumlah, uang sewa langsung disikat oleh istrinya, ia berangkat dengan saku kosong, kalau saja tidak ada penumpang Hwesio dalam keretanya, mungkin keretanya sudah mogok di tengah jalan.

Perlu diketahui, Siau-lim-si adalah biara yang termasyhur, penduduk beberapa wilayah kabupaten di seputar Siong-san biasanya sangat menghormati kaum Hwesio.

Begitulah Li Sun-hoan lantai memondong Sim-bi turun dari kereta keledai itu, mendadak ia beri setahil perak kepada si kusir, katanya dengan tertawa, "Inilah sekadar persen untuk minum arak, kutahu orang yang sudah beristri kalau tidak menyimpan sendiri sedikit uang jajan, biasanya dia pasti akan hidup susah."

Girang si kusir tak terkatakan, tapi sebelum dia sempat mengucapkan terima kasih, tahu-tahu Sun-hoan sudah melangkah pergi dengan cepat.

Salju memenuhi lereng gunung, tidak ada seorang peziarah pun.

Dengan Ginkang atau ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi, Li Sun-hoan terus berlari ke atas gunung.

Dekat kaki gunung ada sebuah biara kecil, di sinilah biasanya peziarah mendapat petunjuk seperlunya sebelum mendak ke atas. Beberapa Hwesio Siau-lim berjubah kelabu dan berkaus kaki putih sedang menghangatkan badan di samping perapian di tengah biara itu. Dua Hwesio lain bersembunyi di balik daun pintu dan sedang mengintai ke luar.

Ketika terlihat ada orang naik ke atas dengan Ginkang yang tinggi, cepat kedua Hwesio pengintai itu memapak keluar dan menegur, "Sicu datang dari mana? Apakah ...."

Salah seorang Hwesio itu melihat Sun-hoan memanggul seorang Hwesio, cepat ia pun bertanya, "Yang dipanggul Sicu itu apakah anak murid Siau-lim?"

Sun-hoan memperlambat larinya, setiba di depan kedua Hwesio ini, mendadak ia meloncat tinggi ke atas dan melayang lewat di atas kepala mereka, dan begitu kaki menyentuh tanah, segera orangnya melayang lagi lebih jauh.

Di jalan pegunungan yang licin tertimbun salju dia dapat menggunakan Ginkang tinggi gaya "capung menyentuh air", biarpun Hwesio Siau-lim-si yang biasanya meremehkan orang lain juga sama terkesiap oleh kehebatan Li Sun-hoan.

Waktu Hwesio yang berada di dalam biara memburu keluar, sementara itu Sun-hoan sudah pergi jauh.

Siong-san bukan tempat asing bagi Li Sun-hoan, dia tidak mengambil jalan depan, tapi mendaki melalui jalan kecil di belakang gunung. Walaupun begitu diperlukan waktu hampir satu jam baru dapat terlihat bangunan biara Siau-lim yang megah itu dari kejauhan.

Siau-lim-si didirikan oleh Budhi Dharma pada zaman kaisar Liang-bu-te (502-557), turun-temurun biara ini dipuja sebagai pimpinan dunia persilatan di daerah Tionggoan (Tiongkok tengah).

Dipandang dari jauh, deretan istana biara yang megah dan tinggi menjulang di tengah aman, entah berjumlah berapa buah, sungguh bangunan besar yang jarang ada bandingannya.

Sun-hoan datang dari belakang gunung, dilihatnya di tanah datar sana penuh berderet candi yang tak terhitung banyaknya, ia tahu inilah tempat pemakaman para pimpinan Siau-lim-si selama beberapa abad. Barang siapa berada di sini tentu akan timbul semacam perasaan hampa, perawan jauh berpisah dengan dunia ramai, apalagi bagi Li Sun-hoan yang sudah bosan dan letih kepada nama dan kedudukan.

Tiba-tiba ia terbatuk-bentuk lagi.

Mendadak seorang menegur dengan suara bengis, "Sicu sembarangan melanggar daerah terlarang Siau-lim-si, sungguh Sicu terlalu meremehkan peraturan di sini."

Dengan suara lantang Sun-hoan menjawab, "Sim-bi Taysu terluka, khusus kuantar beliau pulang ke sini, mohon Hongtiang (ketua) kalian sudi menerima kunjunganku."

Di tengah teriakan kaget, berbondong-bondong Hwesio Siau-lim-si sama menampakkan diri dan memberi hormat, "Terima kasih atas budi kebaikan Sicu, mohon tanya nama Sicu yang mulia."

"Cayhe Li Sun-hoan," jawab Sun-hoan dengan lega.



*****



Di dalam Siau-lim-si, di sebuah ruangan yang resik dan tenang di bawah rimbunnya pohon bambu, dipandang dari luar jendela, terlihat dua orang sedang main catur.

Yang duduk di sebelah kanan adalah seorang Hwesio tua berwajah aneh, sikapnya yang tenang dan pendiam itu seakan-akan gunung ambruk pun takkan membuatnya kaget.

Di sebelah kiri adalah seorang kakek kurus pendek kecil, namun sinar matanya mencorong terang, hidungnya besar bengkok serupa paruh elang sehingga membuat orang melupakan tubuhnya yang pendek kecil itu melainkan cuma merasakan perbawa dan daya pengaruhnya yang kuat.

Di dunia ini yang dapat duduk berhadapan dan main catur dengan Sim-oh Taysu yang menjabat ketua Siau-lim-si ini, kecuali "Pek-hiau-sing" ini mungkin hanya beberapa orang lagi yang dapat dihitung dengan jari.

Dan pada waktu kedua orang asyik main catur, mungkin tidak ada persoalan apa pun yang dapat menghentikan permainan mereka. Tapi ketika diberi lapor tentang kedatangan Li Sun-hoan, serentak mereka berhenti dan berbangkit.

"Di mana dia sekarang?" tanya Sim-oh Taysu.

"Berada di kamar Jisusiok," jawab Hwesio pelapor.

"Dan bagaimana keadaan Jisusiokmu?" tanya Sim-oh pula.

"Luka Jisusiok tampaknya tidak lemah, Sisusiok dan Jitsusiok sedang memeriksa luka beliau."



*****



Saat itu Li Sun-hoan berdiri di serambi dan sedang memandang kemegahan bangunan biara yang agung itu, sayup-sayup terdengar suara kawanan Hwesio yang asyik membaca doa sehingga menambah suasana khidmat dalam biara agung ini.

Dia sudah merasakan ada orang datang, namun dia tidak berpaling, berada di tempat yang keramat ini, dia merasa tiada sesuatu yang perlu merisaukannya.

Sim-oh dan Pek-hiau-sing berhenti belasan kaki jauhnya dari tempat berdiri Li Sun-hoan, meski sudah lama Sim-oh mendengar nama "Li-tamhoa", tapi baru sekarang dapat melihatnya. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa orang yang kelihatan kemalas-malasan, agak kurus dan pendiam serupa seorang seniman rudin ini adalah pendekar dan petualang yang termasyhur di dunia itu.

Dia mengamat-amati Li Sun-hoan dari atas sampai ke bawah, tiada satu tempat pun dilewatkannya, lebih-lebih kedua tangannya yang kurus panjang itu.

Sungguh sukar dimengerti, kedua tangan ini ada kekuatan gaib apa? Mengapa sebilah pisau biasa bila berada di tangan kurus panjang ini akan segera berubah menjadi pisau ajaib dan sakti?

Sepuluh tahun yang lalu Pek-hiau-sing sudah pernah melihat Li Sun-hoan, ia merasa selama ini tiada banyak berubah pada diri petualang ini, tapi juga seperti banyak berubah.

Mungkin orangnya memang tidak banyak berubah, yang berubah cuma hatinya. Sun-hoan seperti berubah lebih pendiam, lebih malas dan juga lebih kesepian. Biarpun berada bersama orang banyak, dia tetap seperti menyendiri.

Akhirnya Pek-hiau-sing menegur dengan tertawa, "Selamat bertemu lagi, Li-tamhoa, baik-baikkah selama berpisah?"

Sun-hoan menjawab dengan tertawa, "Tak tersangka Siansing masih kenal diriku."

Sim-oh memberi hormat dan berucap, "Dan entah Li-tamhoa kenal padri tua tidak?"

Sun-hoan menjura dan menjawab, "Nama Taysu termasyhur dan diagungkan, sudah lama Wanpwe sangat kagum dan menyesal tidak dapat berkenalan. Sungguh beruntung sekali hari ini dapatlah melihat Taysu."

"Li-tamhoa jangan rendah hati," ujar Sim-oh Taysu, "Atas pertolonganmu sehingga Jisute dapat diantar pulang kemari, di sini kusampaikan rasa terima kasihku."

"Ah, tak berani," sahut Sun-hoan.

"Biar kujenguk dulu keadaan Sute, segera kutemani bicara lagi dengan Li-sicu," kata Sim-oh sambil memberi hormat pula.

Setelah Sim-oh masuk ke kamar, tiba-tiba Pek-hiau-sing tertawa dan berkata, "Kesabaran orang beragama memang lain daripada orang biasa, jika aku, mungkin takkan banyak adat begini terhadap Anda."

"Oo?!" Sun-hoan melenggong.

"Coba, jika ada orang mencelakai Sutemu dan dapatkah engkau bersikap seramah ini kepadanya?"

"Masa Anda menganggap akulah yang melukai Sim-bi Taysu?" tanya Sun-hoan.

Pek-hiau-sing menengadah dengan bersedekap, ucapnya dengan perlahan, "Kecuali Li-tamhoa, siapa pula yang mampu melukai dia?"

"Jika kulukai dia, kenapa kuantar dia pulang ke Siau-lim-si?"

"Justru di sinilah letak kecerdikan Anda," kata Pek-hiau-sing. "Sebab barang siapa memusuhi tokoh Siau-lim-si, selanjutnya mungkin tidak dapat lagi hidup tenteram, sekian ribu anak murid Siau-lim-si cabang utara dan selatan pasti takkan tinggal diam, kekuatan ini tidak berani diremehkan oleh siapa pun."

"Memang betul ucapanmu," kata Sun-hoan.

"Tapi setelah kau antar pulang Sim-bi Suheng ke sini, orang lain tentu takkan mencurigai dirimu yang melukai dia, juga tidak ada yang menyangsikan engkau adalah Bwe-hoa-cat. Malahan anak murid Siau-lim akan berterima kasih padamu, caramu ini sungguh sangat pintar, sampai aku pun sangat kagum."

Sun-hoan tertawa, "Haha, Pek-hiau-sing ternyata benar serbatahu dan serbapaham, pantas setiap perguruan besar dan aliran di dunia Kangouw sama ingin berkawan denganmu, sebab manfaat yang dapat dipetik darimu ternyata tidak sedikit."

Sama sekali Pek-hiau-sing tidak memusingkan ejekan Sun-hoan, ia malah berkata, "Yang kukemukakan hanya kebenaran dan keadilan saja."

"Cuma sayang Anda melupakan sesuatu," sambung Sun-hoan, "Sim-bi Taysu belum lagi meninggal, dia sendiri tentu tahu siapa yang melukainya, tatkala mana bukankah Anda terpaksa harus menelan kembali ucapanmu ini?"

Pek-hiau-sing menghela napas, katanya, "Jika tidak meleset dugaanku, kesempatan Sim-bi Suheng untuk bisa bicara mungkin tidak banyak lagi."

Pada saat itulah mendadak terdengar Sim-oh Taysu membentak dengan bengis„ "Memangnya siapa yang melukai Suteku jika bukan dirimu?"

Entah sejak kapan padri agung ini ternyata sudah keluar, mukanya tampak dingin.

"Masa Taysu tidak dapat melihat siapa yang turun tangan keji terhadap Sim-bi Taysu?" jawab Sun-hoan.

Sim-oh tidak menjawab, ia berpaling dan berseru, "Jitsute!"

Jitsute atau adik perguruan ketujuh yang dimaksudkan ialah Sim-kam Taysu.

Setiap orang Kangouw tahu Siau-lim-si adalah perguruan ternama yang tergolong suci, yang diutamakan adalah ilmu pukulan atau kekuatan luar, dengan sendirinya tidak pernah menggunakan Am-gi atau senjata rahasia serta racun segala. Hanya Sim-kam Taysu ini menjadi Hwesio setelah usia setengah tua, dia masuk perguruan Siau-lim dengan membawa dasar ilmu silat yang sudah cukup kuat. Sebelumnya orang kenal dia berjuluk "Jit-giau-susing" atau si pelajar serbapintar, disegani sebagai seorang ahli racun.

Maka muncullah Sim-kam Taysu yang bermuka pucat kuning, serupa orang yang selalu berpenyakitan sepanjang tahun, namun kedua matanya bersinar tajam, seperti kilat ia menyapu pandang sekejap ke arah Li Sun-hoan, lalu berucap, "Racun yang mengenai Jisuheng adalah racun khas Ngo-tok-tongcu dari daerah Miau, racun ini tidak berwarna dan tidak berbau, orang yang keracunan kalau tidak mendapatkan obat penawar tepat pada waktunya, kulit daging seluruh tubuh akan berubah menjadi bening seakan-akan tembus pandang. Dalam keadaan begitu berarti racun sudah menyebar dan tak tertolong lagi."

Sun-hoan tertawa dan berkata, "Taysu sungguh berpengetahuan sangat luas."

Sim-kam Taysu mendengus, "Aku cuma tahu racun yang mengenai Jisuheng, tapi siapa yang meracuni dia tidak kuketahui."

"Keterangan yang baik," tukas Pek-hiau-sing. "Racun bukan makhluk hidup."

Sim-kam Taysu bertutur pula, "Meski tindak tanduk Ngo-tok-tongcu sangat kejam, tapi biasanya dia memegang teguh suatu prinsip, yaitu asalkan orang tidak mengganggu dia, maka dia juga takkan mengganggu orang. Perguruan kita tidak pernah ada sengketa apa pun dengan dia, untuk apa jauh-jauh dia datang ke sini untuk mencelakai Jisuheng?"

"Hal ini disebabkan sasarannya bukanlah Sim-bi Taysu melainkan diriku," ujar Sun-hoan dengan menyesal.

"Keteranganmu terlebih bagus lagi," ujar Pek-hiau-sing. "Bahwa yang hendak dicelakai dia ialah dirimu, tapi sekarang engkau masih berdiri sehat walafiat di sini, Sim-bi Suheng bukan sasarannya, tapi malah kena racunnya."

Ia tatap Sun-hoan tajam-tajam, lalu menyambung sekata demi sekata, "Bilamana dapat kau kemukakan lagi dalih yang tepat, sungguh kukagum padamu."

Sun-hoan termenung hingga lama, tiba-tiba ia tertawa, katanya, "Tak dapat kukatakan apa-apa lagi, sebab apa pun juga yang kukatakan toh belum pasti akan dipercaya oleh kalian."

"Uraian Anda ini sungguh sukar untuk dapat dipercaya," ujar Pek-hiau-sing, tokoh Kangouw yang dianggap sebagai serbatahu serupa ensiklopedia hidup.

"Meski tak dapat kukatakan apa-apa, tapi masih ada orang yang dapat bicara," kata Sun-hoan pula.

"Siapa?" tanya Sim-oh Taysu.

"Sim-bi Taysu, kenapa kalian tidak menanyai dia bilamana sudah siuman nanti."

Sim-oh memandangnya dengan tajam dan tampak ragu.

Angin mendesir dingin, tiba-tiba serombongan burung gagak yang biasa hinggap di wuwungan sama terbang terkejut, menyusul dari belakang sana bergema suara genta yang nyaring dan juga memilukan.

Sampai suara genta pun seolah-olah ikut berdukacita atas wafatnya Sim-bi Taysu.

Untuk pertama kalinya Sun-hoan merasakan dinginnya udara, akhirnya ia tidak tahan dan terbatuk-batuk, sukar dilukiskan perasaannya, entah murka, menyesal atau susah?

Setelah terbatuk-batuk, dilihatnya beberapa puluh Hwesio berjubah kelabu satu per satu masuk dari pintu bulat sana, air muka semuanya kaku dingin, semuanya, bungkam, semuanya menatap tajam ke arah Sun-hoan, namun sama tutup mulut dengan rapat. Suara genta juga sudah berhenti, segala macam suara seakan-akan membeku oleh hawa dingin, hanya suara langkah kaki yang menyaruk salju menimbulkan suara "srak-srek".

Waktu suara orang melangkah itu pun berhenti, sekujur badan Li Sun-hoan seolah-olah beku juga di dalam lapisan es yang tebal.

Biara yang agung dan khidmat ini mendadak penuh diliputi suasana pembunuhan.

"Apa yang hendak kau katakan lagi?" tanya Sim-oh dengan suara serak.

Sun-hoan termenung agak lama, ia menghela napas panjang, lalu berucap, "Tidak ada lagi."

Kalau ucapannya toh tidak ada gunanya, kan lebih baik tidak bicara saja.

"Mestinya jangan kau datang ke sini," ujar Pek-hiau-sing.

Tiba-tiba Sun-hoan tertawa, katanya, "Mungkin aku memang tidak perlu datang, tapi kalau sang waktu dapat diputar balik lagi, aku tetap akan datang kemari."

Setelah menghela napas, dengan tak acuh ia menyambung pula, "Meski selama hidupku tidak sedikit orang yang kubunuh, tapi tidak pernah meninggalkan orang sekarat yang perlu ditolong."

"Sampai di sini, kau masih juga menyangkal?" bentak Sim-oh.

Sun-hoan tertawa, katanya, "Orang beragama tidak boleh sembarangan naik pitam, konon Taysu seorang padri saleh, mengapa juga pemberang seperti diriku."

"Sudah begini, masih juga kau putar lidah, jelas sama sekali tidak ada rasa penyesalanmu, tampaknya hari ini terpaksa aku harus melanggar pantangan membunuh," bentak Sim-kam Taysu dengan gusar.

Sun-hoan tertawa, katanya, "Silakan saja bertindak, toh Hwesio yang suka membunuh juga tidak cuma engkau sendiri."

"Kubunuh orang demi menuntut balas dan juga menumpas kejahatan sekaligus," teriak Sim-kam Taysu.

Baru saja dia hendak bertindak, tiba-tiba terlihat sinar pisau berkelebat, entah sejak kapan tangan Sun-hoan sudah bertambah dengan sebilah pisau. Pisau kilat si Li?

"Kuharap janganlah engkau sembarangan bergerak," demikian Sun-hoan menjengek. "Sebab engkau jelas bukan tandinganku."

Seketika Sim-kam seperti terpaku di tempatnya dan tidak dapat bergerak lagi, sebab ia tahu asalkan bergerak maju sedikit saja, segera pisau kilat itu akan menembus lehernya.

"Masa kau masih berani melawan?" damprat Sim-oh.

"Hidup ini meski susah, sayang ajalku belum waktunya," jawab Sun-hoan.

Pek-hiau-sing ikut bicara, "Meski pisau kilat si Li tidak pernah meleset, tapi ada berapakah pisaumu dan dapat membunuh berapa orang sekaligus?"

Sun-hoan tertawa tanpa menanggapi, sebab ia tahu pada saat demikian tidak bicara akan jauh lebih baik daripada bicara.

Pandangan Sim-oh Taysu tidak pernah terlepas dari tangan Li Sun-hoan, katanya tiba-tiba, "Baik, biarlah kucoba belajar kenal dengan pisau saktimu!"

Dia mengebaskan lengan jubahnya dan melangkah maju.

Tapi Pek-hiau-sing lantai menariknya dan mendesis, "Suheng jangan turun tangan sendiri."

"Sebab apa?" tanya Sim-oh dengan kening bekernyit.

Pek-hiau-sing menghela napas, katanya, "Tiada seorang pun di dunia ini yakin dapat menghindarkan pisaunya."

"Tidak ada yang mampu menghindar?" Sim-oh menegas.

"Ya, tidak ada, seorang pun tidak," ujar Pek-hiau-sing.

Sim-oh menghela napas panjang dan menyitir ucapan Buddha, "Kalau aku tidak masuk neraka, siapa yang mau masuk neraka ...."

Cepat Sim-kam mencegah juga, "Suheng, padamu terletak keselamatan segenap anggota perguruan kita, mana boleh engkau menyerempet bahaya."

"Betul, kalian memang tidak perlu menyerempet bahaya," kata Sun-hoan dengan tertawa, "Toh jumlah murid Siau-lim-si beribu banyaknya, asalkan kalian memberi perintah, yang siap mengantar kematian bagi kalian pasti tidak sedikit jumlahnya."

Air muka Sim-oh berubah, ucapnya dengan beringas, "Dengarkan, tanpa izinku setiap anak murid Siau-lim dilarang sembarangan bertindak, kalau melanggar perintah akan dihukum sesuai tata tertib perguruan ...."

Serentak para murid Siau-lim-si yang hadir sama menunduk.

Dengan tersenyum Sun-hoan berkata pula, "Memang sudah kuduga engkau pasti tidak mau membiarkan murid sendiri mengantar nyawa percuma, betapa pun Siau-lim-si tidak sama dengan perkumpulan atau sindikat dunia Kangouw, kalau tidak, mana tipu pancinganku ini bisa berhasil."

Tiba-tiba Pek-hiau-sing menjengek, "Meski para Suheng Siau-lim tidak perlu mengadu jiwa dengan orang macam dirimu ini, tapi apakah kau pikir dapat angkat kaki begitu saja?"

"Siapa bilang aku hendak angkat kaki?" jawab Sun-hoan dengan tertawa.

"Memangnya engkau tidak ... tidak ingin pergi?" tanya Pek-hiau-sing.

"Sebelum salah dan benar menjadi jelas, mana boleh kupergi begini saja?" ujar Sun-hoan.

"Masakah kau dapat menyuruh Ngo-tok-tongcu datang ke sini untuk mengakui sebagai pembunuh Sim-bi Taysu?"

"Tentu saja tidak dapat, sebab dia sudah mati," kata Sun-hoan.

"Apa katamu? Ngo-tok-tongcu sudah mati? Memangnya engkau yang membunuhnya?" Pek-hiau-sing menegas dengan terkesiap.

"Dia kan juga manusia, maka dia juga tidak dapat mengelakkan pisauku," ucap Sun-hoan dengan hambar.

Tiba-tiba Sim-oh berkata, "Jika engkau dapat memperlihatkan jenazahnya, sedikitnya kan dapat membuktikan kau tidak berdusta seluruhnya."

Diam-diam Sun-hoan mengeluh di dalam hati, katanya dengan gegetun, "Sekalipun ada orang dapat menemukan jenazahnya juga tidak ada yang mengenali dia lagi."

"Hm, jika begitu, siapa pula di dunia ini yang dapat membuktikan engkau tak berdosa?" jengek Pek-hiau-sing.

"Sampai saat ini memang belum kudapatkan seorang pun," ujar Sun-hoan.

"Kalau begitu, lantas apa kehendakmu?" tanya Pek-hiau-sing.

Sun-hoan terdiam sejenak, katanya tiba-tiba dengan tertawa, "Sekarang aku cuma ingin minum arak."



*****



Saat itu A Fei sedang berduduk, gaya berduduknya kurang sedap dipandang, dia tidak pernah berduduk dengan santai sebagaimana halnya Li Sun-hoan, maklumlah, selama hidupnya hampir tidak ada kesempatan baginya untuk berduduk di atas kursi.

Api menyala pada tungku di dalam rumah dan cukup hangat, tapi A Fei malah merasa tidak enak, maklumlah, dia tidak biasa duduk di dalam rumah dengan perapian yang hangat. Lim Sian-ji meringkuk di samping perapian, wajahnya kelihatan kemerah-merahan.

Selama dua hari ini nona itu hampir tidak pernah memejamkan mata, sekarang luka A Fei seperti sembuh secara ajaib, maka dapatlah dia tidur dengan hati lega.

Pada waktu tidur tampaknya dia terlebih cantik daripada waktu sadar, bulu matanya yang panjang menutupi pelupuk matanya, dadanya yang bernas tampak bergerak naik turun, mukanya bersemu merah bagi bunga. A Fei memandangnya dengan terkesima.

Di dalam rumah hanya terdengar suara napas Sian-ji yang teratur dan suara nyala api di tungku, salju di luar sudah mulai cair, bumi raya penuh suasana hangat tenteram.

Namun sorot mata A Fei justru mulai menampilkan rasa tersiksa. Mendadak ia berbangkit. diam-diam ia mengenakan sepatu, perlahan ia menghela napas, ia mendapatkan pedangnya yang tertaruh di atas meja di pojok rumah sana, perlahan ia selipkan pedang pada ikat pinggangnya.

Tiba-tiba terdengar Sian-ji menegur, "Hei, mau ... mau apa kau?"

Nona itu terjaga bangun, dengan pandangan tercengang ia tatap A Fei.

Namun A Fei tidak berani memandangnya, ia menggereget dan menjawab, "Aku mau pergi!"

"Pergi?" teriak Sian-ji, ia berbangkit dan memburu ke depan A Fei, ucapnya dengan suara gemetar, "Kau mau pergi begitu saja tanpa pamit?"

"Jika mau pergi, untuk apa pula bicara," jawab A Fei.

Tubuh Sian-ji menjadi lemas mendadak, ia menyurut mundur dan jatuh di atas kursi, ia pandang A Fei dan menitikkan air mata.

Mendadak A Fei merasa pedih, belum pernah dirasakannya perasaan semacam ini, perasaan yang sukar dijelaskan. Mungkinkah ini perasaan cinta?

"Engkau telah menyelamatkan diriku, cepat atau lambat pasti akan kubalas kebaikanmu ini," kata A Fei.

Tiba-tiba Sian-ji tertawa, "Baik, lekas kau balas kebaikanku, kuselamatkan dirimu memang berharap supaya mendapatkan balas jasa darimu."

Dia tertawa, namun air matanya juga tambah deras bercucuran.

"Kutahu perasaanmu," ucap A Fei dengan sedih. "Tapi tidak boleh tidak harus kupergi mencari Li Sun-hoan ...."

"Dari mana kau tahu aku tidak mau mencari dia? Mengapa tidak kau bawa serta diriku?"

"Aku ... aku tidak ingin membikin susah dirimu."

"Membikin susah diriku?" Sian-ji menegas sambil menangis. "Kau kira setelah kau pergi aku akan sangat berbahagia?"

A Fei ingin bicara lagi, tapi bibirnya menjadi rada gemetar. Tidak pernah terpikir olehnya bawa bibir juga bisa gemetar.

Mendadak Sian-ji menubruk maju dan merangkulnya erat-erat, desisnya, "Bawalah aku, bawalah pergi diriku, jika tidak kau bawa diriku, biarlah kumati di depanmu."

Tidaklah banyak lelaki di dunia ini yang mampu menyatakan "tidak" di depan anak perempuan yang cantik, apalagi kalau anak perempuan itu menyatakan ingin mati, hampir tidak ada seorang lelaki pun yang sanggup menolak permintaannya.

Malam sunyi.

Keluar dari rumah A Fei lantas melihat bunga Bwe yang dihiasi bunga salju.

Kiranya di sinilah paviliun "Leng-hiang-siau-tiok", anehnya, kegemparan yang terjadi di Hin-hun-ceng selama dua hari ini, selama itu tiada seorang pun datang ke paviliun ini.

Jika mereka mau mencari A Fei, mengapa mereka tidak mencari ke sini? Masa mereka begitu memercayai Lim Sian-ji?

Sian-ji memegang tangan A Fei dengan erat, katanya, "Perlu kubicara dulu dengan Ciciku."

"Silakan," kata A Fei.

"Tapi kukhawatir bila kutinggalkan dirimu di sini, engkau ikut pergi saja bersamaku."

"Tapi Cicimu ...."

"Jangan khawatir, dia juga sahabat baik Li Sun-hoan."

Segera Sian-ji menarik A Fei menerobos semak bunga dan melintasi jembatan kecil, di dalam taman sunyi senyap, tidak ada suara apa pun, cahaya lampu juga jarang-jarang, A Fei merasa tidak sanggup melepaskan tangan yang dipegang si dia.

Di atas loteng sana sinar lampu masih berkelip, tabir jendela tampak setengah tertutup sehingga suasana loteng kecil itu terasa semakin sunyi.

Lim Si-im sedang berduduk menghadapi pelita dengan termangu-mangu dan entah apa yang sedang dipikirkan.

Perlahan Sian-ji naik ke atas dengan menarik A Fei, lalu memanggil, "Toaci, meng ... mengapa engkau belum tidur?"

Tapi Si-im tetap termangu-mangu, berpaling pun tidak.

"Toaci, ku ... kudatang untuk mohon diri padamu, aku akan pergi, namun ... namun takkan kulupakan budi kebaikan Toaci kepadaku, selekasnya aku akan datang lagi menjenguk engkau."

Si-im seperti tidak mengerti apa yang diucapkan Sian-ji, sampai lama sekali barulah ia mengangguk dan berucap, "Pergilah engkau, memang paling baik engkau pergi saja, di sini tiada sesuatu lagi yang dapat menahanmu."

"Di manakah Cihu (suami kakak)" tanya Sian-ji tiba-tiba.

Kembali sampai sekian lamanya barulah Si-im dapat menerima ucapan Sian-ji itu, gumamnya, "Cihu? ... Cihu siapa?"

"Dengan sendirinya Cihuku?" jawab Sian-ji.

"Aku ... aku tidak tahu Cihumu, aku tidak ... tidak tahu ...." seru Si-im dengan parau.

Sian-ji melengak, sampai sekian lamanya ia melenggong, lalu berkata, "Sekarang juga kami akan menyusul ke Siau-lim-si ...."

Mendadak Si-im melonjak bangun dan berseru, "Pergilah lekas, lekas ... jangan bicara lagi, lekas berangkat!"

Dia mengusir pergi Sian-ji dan A Fei, lalu berduduk lagi di samping pelita dengan air mata bercucuran.

Dari balik tabir sana tiba-tiba muncul seorang dengan perlahan, ternyata Liong Siau-hun adanya. Ia melototi Si-im, tersembul senyuman dingin pada ujung mulutnya, jengeknya. "Hm, biarpun mereka terbang ke Siau-lim-si juga tidak ada gunanya, di seluruh dunia ini tidak ada seorang pun yang sanggup menyelamatkan Li Sun-hoan ...."



*****



A Fei sedang makan, meski banyak dia makan tapi tidak cepat, sesuap nasi yang masuk mulutnya pasti dikunyahnya dengan cermat baru kemudian ditelannya. Tapi ia pun bukan sedang menikmati rasanya setiap makanan dengan perlahan seperti apa yang dilakukan Li Sun-hoan. Ia cuma ingin menyerap segenap kalori pada makanan itu untuk menambah daya tahan tubuhnya.

Kehidupan nelangsa yang berkepanjangan telah menjadikan semacam kebiasaan baginya dan juga membuatnya tahu betapa berharganya makanan. Di tengah hutan belukar setiap kali makan bisa jadi merupakan santapannya yang terakhir. Setelah makan satu kali, tidak pernah diketahuinya makan berikutnya akan terjadi kapan lagi, sebab itu sesuap makanan apa pun tidak boleh dibuangnya dengan percuma.

Hotel ini tidak besar, sudah sehari penuh mereka menempuh perjalanan tanpa berhenti dan akhirnya berhenti di sini, rumah makan sudah tutup semua, terpaksa mereka makan di dalam kamar.

Sian-ji duduk bertopang dagu dan memandangnya dengan termenung. Belum pernah dilihatnya seorang yang sedemikian menghargai makanan, sebab hanya orang yang pernah merasakan betapa menakutkannya lapar yang dapat menghargai makanan.

Begitulah A. Fei menikmati makanannya dengan perlahan dan penuh cita rasa, setiap bulir nasi secuil daging pun dimakannya hingga bersih, habis itu barulah ia menaruh kembali mangkuk dan sumpit sambil mengembus napas puas.

"Sudah kenyang?" tanya Sian-ji.

"Ehm," A Fei mengangguk.

"Sungguh sangat menarik caramu makan nasi," ujar Sian-ji dengan tertawa. "Kau makan satu kali tidak habis kumakan tiga kali."

"Tapi aku sanggup tidak makan nasi selama tiga hari, apakah kau sanggup?" tanya A Fei dengan tertawa.

Tertawa A Fei juga mempunyai cara khas, tertawanya dimulai dari matanya, lalu terpancar ke bagian lain hingga akhirnya sampai ke mulut.

Memandangi senyuman yang menghiasi wajah A Fei, Sian-ji jadi terkesima.

Sampai sekian lamanya, mendadak ia tanya, "Agaknya kau lupakan sesuatu."

"Oo, sesuatu apa?" tanya A Fei.

"Kim-si-kahmu masih berada padaku," kata Sian-ji.

Ia lantas membuka ranselnya dan mengeluarkan baju kutang benang emas itu, dipandang di bawah sinar lampu, benda mestika yang membuat mengiler setiap orang persilatan itu memang gilang-gemilang dan tidak ada bandingannya.

"Waktu kuperiksa lukamu, terpaksa kulepaskan baju pusaka ini, sebegitu jauh kulupa mengembalikannya padamu," tutur Sian-ji.

Tanpa memandang sekejap pun A Fei berkata, "Boleh kau simpan saja."

Sorot mata Sian-ji menampilkan rasa girang, tapi dia malah menggeleng kepala dan berkata, "Inilah mestika yang kau dapatkan dengan susah payah, selanjutnya mungkin perlu kau gunakan baju ini, mana boleh sembarangan kau berikan kepada orang lain?"

A Fei memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba suaranya berubah lembut, "Aku tidak memberikannya kepada orang lain, juga takkan kuberikan kepada siapa pun, aku cuma memberikannya padamu."

Sian-ji memandangnya dengan termangu-mangu, sinar matanya penuh rasa terima kasih dan gembira. Kedua orang lantas saling pandang tanpa bicara. Entah berapa lamanya, mendadak Sian-ji bersuara lirih dan menubruk ke dalam pangkuan A Fei.

Angin mendesir di luar jendela, pelita di atas meja bergoyang-goyang. Tubuh Sian-ji terasa sedemikian lunak dan halus, begitu hangat dan agak gemetar.

Jantung A Fei juga berdetak dengan keras. Selama hidupnya belum pernah merasakan kehangatan demikian. Betapa pun dia juga lelaki, apalagi muda dan kuat.

Meski tidak pernah belajar, tapi urusan ini selamanya memang tidak perlu belajar, tanpa terasa ia menunduk, bibir beradu dengan bibir.

Panas bibir Sian-ji seperti berapi.

Dalam sekejap itu segala urusan duniawi berubah seakan-akan tidak ada artinya sama sekali, segala benda di dunia ini seolah-olah luluh terbakar semua, waktu juga seperti berhenti berputar.

Gemetar tubuh Sian-ji dan mengeluarkan keluhan perlahan. Tubuhnya yang gemetar menjadi petunjuk bagi tangan A Fei. Kulit tubuhnya yang halus dan licin panas seperti terbakar.

Rambutnya sudah kusut, gaunnya juga tersingkap, sekujur badannya seolah-olah mengalami dipanggang. kedua pahanya yang panjang dan putih terlipat menjadi satu. A Fei sendiri rasanya hampir meledak.

Di bawah cahaya pelita yang guram, paha yang putih licin itu tampak merinding, pahanya merapat, punggung kakinya mengeras lurus.

Mungkin tiada sesuatu lagi di dunia yang lebih memikat daripada pemandangan ini.

Dengan erat Sian-ji merangkul leher A Fei, napasnya yang panas dan memburu menyembur telinga anak muda itu, perlahan ia gigit ujung kuping sehingga meruntuhkan sukmanya.

Butiran keringat tampak menghiasi wajah A Fei, saking tegangnya ia pun menggigil. Inilah untuk pertama kalinya, nafsu berahi yang terpendam selama 20 tahun segera akan meledak dalam sekejap ini.

Entah sejak kapan mereka sudah berbaring di tempat tidur.

Mestinya A Fei adalah seorang yang paling dapat mengatasi perasaan sendiri, tapi sekarang ia tidak tahan lagi.

Dalam keadaan demikian, memangnya pemuda mana yang bisa tahan? Dia mulai membuka pakaian Sian-ji ....

Terasa dada beradu dada, A Fei seperti telah berubah seekor binatang.

Tapi pada saat terakhir itulah mendadak Sian-ji mendorongnya dengan keras, karena tidak terduga-duga, A Fei tertolak jatuh ke bawah tempat tidur.

Keruan A Fei melenggong.

Didengarnya Sian-ji berucap dengan suara gemetar, "Ti ... tidak, tidak boleh kita berbuat begini, tidak boleh ...."

Dia masih meringkuk di tempat tidur memeluk selimut kencang-kencang, ucapnya dengan menitikkan air mata, "Meski aku pun tidak tahan, tapi kalau ... kalau kita tidak dapat bersabar, kelak pasti ... pasti akan menyesal, dalam hatimu selanjutnya pasti akan memandang diriku sebagai perempuan yang hina."

A Fei tidak bicara, selang agak lama barulah ia berdiri perlahan.

Sekarang dia sudah dingin, seperti api habis disiram air, sudah paham.

Sian-ji merosot ke bawah tempat tidur dan merangkul kaki A Fei, ucapnya dengan menangis, "O, kumohon dengan sangat, maafkan diriku. Kulakukan hal ini demi kehidupan kita di kemudian hari. Hari depan kita masih sangat panjang, betul tidak?"

A Fei menggigit bibir, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Ya, tindakanmu memang tepat. Akulah yang salah, mana dapat kusalahkan dirimu."

"Kutahu saat ini engkau pasti sangat kagok dan tentu ingin ... dapat juga kuberikan padamu, cepat atau lambat aku toh akan menjadi milikmu."

Perlahan A Fei membelai rambut Sian-ji, ucapnya dengan lembut, "Jika engkau dapat menunggu, mengapa aku tidak dapat? Hari depan kita memang masih sangat panjang."

Diam-diam tertawalah Sian-ji.

Sebab ia tahu pemuda yang angkuh dan keras kepala ini akhirnya telah ditaklukkan seluruhnya, selanjutnya anak muda ini pasti akan berlutut di bawah kakinya.

A Fei mengangkat Sian-ji dan dibaringkan perlahan di tempat tidur serta menutupnya dengan selimut, dalam pandangannya nona ini adalah jelmaan kecantikan dan kesucian. Si dia sudah menjadi dewi pujaannya.



*****



A Fei sudah pergi.

Sian-ji berbaring di tempat tidur dan diam-diam lagi tertawa.

Dapat menaklukkan seorang lelaki memang sesuatu yang sangat menggembirakan.

Sekonyong-konyong daun jendela terbuka, angin dingin mengembus masuk.

Serentak Sian-ji bangun berduduk dan membentak, "Siapa itu?"

Baru dia bertanya, segera terlihatlah seraut wajah yang menakutkan, wajah yang bersemu hijau, dipandang di tengah malam gelap serupa setan iblis.

Di tengah malam sunyi mendadak muncul sebuah wajah demikian di luar jendela, biarpun orang yang bernyali besar pasti juga akan kaget setengah mati jika tidak jatuh kelengar.

Tapi Sian-ji lantas berbaring pula, tidak menjerit kaget, juga tidak jatuh pingsan. Ia cuma memandang orang ini dengan tenang, bahkan tiada terunjuk setitik rasa takut pun.

Orang aneh ini pun sedang meratap Sian-ji, kedua matanya serupa dua titik api setan.

Sian-ji berbalik tertawa, sapanya, "Jika sudah datang, mengapa tidak masuk saja?"

Baru habis ucapannya, tahu-tahu orang itu sudah berdiri di depan tempat tidurnya.

Sungguh menakutkan perawakannya yang tinggi, mukanya juga lonjong, lehernya panjang, pada lehernya malahan terbebat sepotong kain putih sehingga tubuhnya kaku tegak serupa mayat hidup.

Namun gerak-geriknya ternyata sangat lincah dan sangat cepat, siapa pun tidak tahu cara bagaimana dia melayang masuk melalui jendela.

"Engkau terluka?" tanya Sian-ji sambil memandangi leher orang.

Orang itu hanya mendelik, tapi tutup mulut.

"Li Sun-hoan yang melukai kau?" tanya pula Sian-ji.

Berubah juga air muka orang itu, ucapnya dengan bengis, "Dari mana kau tahu?"

Sian-ji menghela napas, "Semula kukira engkau dapat membunuhnya, siapa tahu engkau berbalik dilukai olehnya."

"Dari mana kau tahu aku ingin membunuh dia?" tampaknya orang itu tambah marah.

"Sebab dia telah membunuh Ku Tok dan Ku Tok adalah anakmu yang tidak resmi," kata Sian-ji.

Dia tersenyum, lalu menyambung pula, "Tentunya kau heran lagi dari mana kutahu hal ini. Padahal urusan ini sangat sederhana, selamanya 'Jing-mo-jiu' In Gok tidak pernah menerima murid, tapi Ku Tok tidak cuma mendapatkan segenap intisari ilmu silatmu, bahkan juga mewarisi sebuah tangan iblis hijau darimu."

Orang itu memang Jing-mo-jiu In Gok. Dia melototi Sian-ji dengan mata merah membara, sampai sekian lama barulah ia berucap pula sekata demi sekata, "Aku juga kenal darimu."

"O, sungguh aku sangat beruntung," Kata Sian-ji dengan tersenyum.

"Sebelum Ku Tok mati, Jing-mo-jiu sudah hilang lebih dulu."

"Ya, memang hilang."

"Tangan maut itu telah diberikannya padamu?"

"Rasanya memang begitu."

"Kalau Jing-mo-jiu tidak diberikannya kepadamu, mana bisa dia mati di tangan Li Sun-hoan," kata In Gok dengan gusar.

Sian-ji tertawa, "Engkau tidak pernah memberikan Jing-mo-jiu padaku, tapi engkau kan juga dilukai oleh Li Sun-hoan, betul tidak?"

Dengan beringas mendadak In Gok menjambak rambut Lim Sian-ji.

Tapi Sian-ji tidak takut, sebaliknya tertawanya tambah manis, ucapnya dengan lembut, "Hm, umpama dia mati demi diriku kan boleh dikatakan mati dengan sukarela, sebab ia yakin matinya itu cukup berharga."

In Gok menyeringai dan mendesis, "Hm, justru ingin kulihat apakah kau memang betul berharga atau tidak?"

Mendadak ia menyingkap selimut yang menutupi tubuh Sian-ji. Tubuh yang telanjang dan melingkar itu serupa seekor domba.

Biji leher In Gok tampak naik turun, kerongkongannya serasa kering.

"Bagaimana, berharga tidak?" tanya Sian-ji dengan tertawa genit.

In Gok memuntir rambutnya terlebih kencang, seakan-akan hendak mencabut seluruh rambut dari kulit kepalanya.

Karena kesakitan, Sian-ji mencucurkan air mata, tapi di antara air mata yang berlinang itu juga menampilkan semacam rasa kehausan yang merangsang, ia pandang In Gok dengan mata terpicing, keluhnya dengan napas terengah, "Mengapa engkau cuma berani menjambak rambutku? Memangnya tubuhku berduri?"

Lelaki mana yang tahan oleh kerlingan mata sayu dan ucapan begitu?

Mendadak tangan In Gok membalik dan tepat menampar muka Sian-ji, habis itu lantas mencengkeram erat-erat bahunya serta setengah diangkat.

Tubuh Sian-ji lantas gemetar mendadak, entah gemetar tersiksa atau gemetar karena bergairah, mukanya berubah merah lagi.

In Gok terus menghantam perutnya sambil membentak dengan parau, "Perempuan hina, kiranya kau suka dipukul."

Kembali tubuh Sian-ji melingkar karena pukulan In Gok, keluhnya, "Oo, pukul, pukul lagi, pukul mati saja diriku ...."

Suaranya ternyata tidak menderita sedikit pun, bahkan penuh rasa harap.

"Kau tidak takut padaku?" tanya In Gok.

"Kenapa kutakut padamu?" ucap Sian-ji dengan gemetar. "Meski mukamu buruk, tapi engkau tetap seorang lelaki."

Serentak In Gok mengangkat tubuh Sian-ji dan dibanting ke lantai, lalu menjambak lagi rambutnya. Namun Sian-ji berbalik merangkulnya erat-erat, ucapnya dengan napas memburu, "Aku tidak takut padamu, aku justru suka padamu, aku justru suka padamu! Sudah terlalu banyak lelaki cakap yang kulihat, sekarang aku justru suka kepada lelaki bermuka buruk. Ap ... apa lagi yang kau tunggu sekarang?"

In Gok tidak menunggu lagi.

Dalam keadaan demikian, lelaki mana pun tidak mau menunggu lagi ....



*****



Di dalam kamar hanya tersisa suara napas yang tersengal.

In Gok berdiri di depan tempat tidur dan sedang memakai baju, dipandangnya Sian-ji yang telentang di tempat tidur dengan wajah yang puas dan bangga sebagai seorang penakluk.

Sampai lama sekali, mendadak Sian-ji tertawa dan berkata, "Sekarang tentunya kau tahu aku berharga atau tidak?"

"Seharusnya kubunuh dirimu, kalau tidak, entah betapa banyak orang yang akan menjadi korbanmu," kata In Gok.

"Sebenarnya kau datang untuk membunuhku?" tanya Sian-ji.

"Hmk," jengek In Gok.

"Kau tega turun tangan?" tanya Sian-ji dengan tersenyum genit.

Kembali In Gok menatapnya hingga lama, tiba-tiba ia tanya, "Siapa anak muda yang ikut kemari bersamamu itu?"

Sian-ji tertawa, "Untuk apa kau tanya dia? Cemburu? Atau takut?"

In Gok mendengus dan tak mau menjawab.

"Dia seorang anak penurut," ucap Sian-ji sambil mengerling genit, "tidak busuk seperti engkau, sejak tadi dia sudah pergi tidur ke rumah lain yang berjauhan dari sini. Jika dia berada di sekitar sini dan mendengar suaramu, mana dia mau tinggal diam dan membiarkan diriku dihina olehmu."

"Hm, untung dia tidak mendengar suaraku," jengek In Gok.

"Oo, apakah kau pun ingin membunuh dia?" tanya Sian-ji.

"Hmk," kembali In Gok mendengus.

Sian-ji tertawa, "Kukira engkau tak dapat membunuhnya, bukan cuma ilmu silatnya sangat tinggi, bahkan dia juga sahabat Li Sun-hoan, aku pun sangat suka padanya."

Seketika air muka In Gok berubah.

Biji mata Sian-ji mengerling pula, katanya dengan tertawa, "Dia tinggal di deretan rumah yang paling belakang sana, berani kau cari dia?"

Belum habis ucapannya, tahu-tahu In Gok sudah melayang pergi.

"Eh, hati-hati sedikit, bisa jadi lehermu terkena tusukan lagi," seru Sian-ji.

Sambil tertawa cekikik dia terus menyusup ke dalam selimut, senangnya tidak kepalang serupa seorang anak kecil habis mencuri permen dan tidak kepergok.

Bila terbayang tangan iblis hijau In Gok akan menghancurkan kepala A Fei, seketika matanya mencorong terang, kalau teringat pedang A Fei juga akan menembus leher In Gok, saking senangnya sampai tubuhnya gemetar.

Pikir dan pikir, akhirnya dia terpulas. Dalam tidurnya ia masih tertawa manis, sebab siapa yang akan terbunuh oleh siapa tetap akan menyenangkan dia. Malam ini dia benar-benar tidur dengan sangat enak.

Akan tetapi pada saat yang sama A Fei justru tidak dapat pulas. Selamanya dia tidak pernah sulit tidur seperti sekarang ini.

Sebelum ini, asal terasa letih, sekalipun berbaring di tanah bersalju juga dapat tidur. Sekarang, meski badan dirasakan penat, tapi bergulang-guling tetap sukar terpulas dan selalu terkenang kepada Lim Sian-ji.

Bila teringat kepada Sian-ji hatinya lantas terasa manis, timbul juga perasaan sesal terhadap dirinya sendiri, ia merasa dirinya telah memperlakukan si nona dengan tidak senonoh.

Ia bersumpah selanjutnya pasti akan lebih menghormatinya, sebab dia tidak saja cantik, juga sangat menyenangkan, tidak cuma menyenangkan, juga suci bersih dan anggun.

Dapat bertemu dengan anak perempuan seperti ini, sungguh ia merasa sangat beruntung.

Entah selang berapa lama lagi, baru melayap-layap hendak pulas, entah mengapa, mendadak ia melonjak bangun.

Kebanyakan binatang liar bilamana mengendus sesuatu bau bisa mendadak terjaga bangun dari tidurnya.

Baru saja A Fei menyelipkan pedang di pinggang, daun jendela lantas terbuka. Terlihat sepasang mata yang lebih seram daripada mata setan sedang melotot padanya.

"Kau ini yang datang bersama Lim Sian-ji?" In Gok.

A Fei mengiakan.

"Baik, keluar sini," kata In Gok pula.

Di luar jendela adalah tembok, antara tembok pagar itu dan kamar ada tempat luang selebar tiga-empat kaki, A Fei dan In Gok lantas berdiri berhadapan di situ.

A Fei tidak bicara, ia tidak suka bicara, selamanya ia tidak mau membuka mulut lebih dulu.

"Akan kubunuh dirimu," ucap In Gok. Ia pun tidak suka banyak bicara, hanya berucap seperlunya saja.

Kembali A Fei termenung hingga lama, akhirnya berkata dengan tak acuh, "Hari ini aku tidak suka membunuh orang, boleh kau pergi saja."

"Hari ini aku pun tidak ingin membunuh orang, hanya ingin membunuhmu."

"Oo!" melengak juga A Fei.

"Tidak seharusnya kau datang bersama Lim Sian-ji," kata In Gok pula.

Mendadak sorot mata A Fei memancarkan sinar tajam, "Jika kau sebut namanya lagi terpaksa akan kubunuh dirimu."

"Sebab apa?" In Gok menyeringai.

"Sebab tidak setimpal kau sebut namanya."

Mendadak In Gok tertawa terkekeh-kekeh, "Bukan namanya saja akan kusebut, bahkan ingin kutidur bersama dia, kau bisa apa?"

Muka A Fei mendadak marah membara. Biasanya dia seorang tenang dan pendiam, hampir tidak pernah semurka ini. Tangan sampai gemetar saking gusarnya.

Tangan yang gemetar dengan sendirinya kurang mantap memegang pedang, tapi dia lupa, rasa murka telah membakar rasionya, dengan kalap pedangnya lantas menusuk.

Pada saat yang sama tangan iblis hijau juga mengebas, "tring", pedang patah menjadi dua.

"Hahahaha!" In Gok tertawa latah. "Begini saja Lim Sian-ji bilang kepandaianmu sangat tinggi."

Di tengah gelak tertawanya In Gok menyerang belasan jurus sekaligus. Senjata berbentuk tangan itu sungguh sangat aneh, tampaknya sangat berat, tapi gerak-geriknya sangat lincah, jurus serangannya juga sangat aneh.

Hampir sama sekali A Fei tidak mau menangkis, yang dipegangnya tertinggal pedang patah, terpaksa ia berusaha menghindar dengan langkah yang gesit.

In Gok menyeringai, "Jika kau mau menjawab pertanyaanku dengan jujur, dapat juga kuampuni jiwamu."

A Fei mengertak giginya erat-erat, butiran keringat tampak menghiasi hidungnya. Dia tetap diam saja.

"Ingin kutanya padamu, apakah Lim Sian-ji sering tidur dengan orang? Pernah dia tidur bersamamu tidak?" tanya In Gok.

Mendadak A Fei meraung murka, pedang buntung yang dipegangnya menusuk pula.

"Tring", kembali terdengar suara nyaring, pedang kutung juga terpukul mencelat oleh tangan iblis hijau, A Fei sendiri juga tergetar roboh.

Secepat kilat Jing-mo-jiu lantas menghantam pula, karena untuk berdiri saja tidak sempat, terpaksa A Fei bergulingan di tanah, setelah menghindar beberapa kali, akhirnya ia merasa kewalahan. Daya tekan Jing-mo-jiu sungguh terlalu kuat, terlalu menakutkan.

"Ayolah bicara, bila kau jawab pertanyaanku tadi segera kuampuni jiwamu!" In Gok menyeringai pula.

"Baik, kukatakan!" desis A Fei.

Baru saja In Gok terbahak-babak lagi, sedikit lengah, mendadak sinar pedang berkelebat. Selama hidup In Gok tidak pernah melihat sinar pedang secepat ini.

Ketika dia tahu apa yang terjadi, tahu-tahu pedang sudah menembus tenggorokannya, dia mengeluarkan suara "krak-krok", wajahnya penuh rasa takut dan sangsi, seperti mati pun tidak mau percaya.

Sampai ajalnya ternyata dia tidak tahu dari mana datangnya tusukan pedang itu? Mati pun dia tidak percaya anak muda itu mampu melancarkan serangan secepat itu.

Ternyata dengan dua jari A Fei menjepit bagian pedang yang patah tadi, perlahan ia cabut ujung pedang yang menembus leher In Gok itu.

Kulit muka In Gok tampak berkejang dan mata mendelik.

Dengan sorot mata dingin A Fei menatapnya dan berucap, "Barang siapa menghinanya harus mati!"

Kerongkongan In Gok masih mengeluarkan suara "krak-krok", sampai mata alisnya juga berkerut-kerut, sebab ia masih ingin tertawa, tertawa yang menakutkan. Dengan tertawa dia ingin memberitahukan kepada A Fei bahwa "cepat atau lambat kau pun akan mati di tangan perempuan itu".

Cuma sayang, perkataan itu tidak dapat lagi diucapkan selamanya.

Waktu Lim Sian-ji mendusin, segera dilihatnya sesosok bayangan sedang mondar-mandir di luar jendela.

Ia tahu orang ini tentu A Fei adanya, ingin masuk kamarnya, tapi khawatir membuatnya terjaga bangun. Jika In Gok, tentu dia takkan menunggu di luar.

Melihat bayangan orang ini, hati Sian-ji terasa sangat senang.

Meski In Gok terhitung seorang lelaki istimewa, juga sangat terkenal, lelaki demikian memang serbabaru dan sangat merangsang. Tapi tidak perlu disangsikan lagi A Fei terlebih menarik baginya.

Dengan gembira Sian-ji berbaring di tempat tidurnya dan membiarkan A Fei menunggu sekian lama pula di luar, kemudian ia memanggilnya perlahan, "Apakah Siau Fei di luar?"

"Siau Fei" atau Fei cilik, sebutan yang hangat dan mesra.

Bayangan A Fei lantas berhenti di balik jendela dan menjawab, "Ya, aku."

"Mengapa engkau tidak masuk saja?" kata Sian-ji.

Perlahan A Fei mendorong, daun pintu lantas terpentang, ia berkerut kening. "Pintu tidak kau palang?"

Lim Sian-ji menggigit bibir dan tertawa, "Ai, kulupa ... semuanya kulupakan."

Mendadak A Fei memburu ke depan tempat tidur dan memandang wajahnya dengan lekat-lekat, muka Sian-ji agak biru dan rada bengkak.

Air muka A Fei berubah, "Ada ... ada apa dengan kau?"

Sian-ji menjawab dengan tersenyum genit, "Jika kurang tidur mukaku lantas bengkak, semalam ... semalam aku tidak dapat tidur ...." mukanya lantas merah, ia bersuara malu dan menutup mukanya dengan selimut, lalu berkata pula dengan tertawa, "Mengapa kau pandang orang cara demikian? Aku ... aku tidak dapat tidur, tentu ... tentu kau pikirkan hal yang tidak-tidak lagi?"

A Fei jadi terkesima, hatinya kembali cair. "Dan engkau bagaimana? Dapat kau tidur dengan baik?" tanya Sian-ji.

"Aku pun tidak dapat tidur dengan nyenyak," tutur A Fei. "Ada seekor anjing gila menggonggong sepanjang malam di luar kamarku."

"Anjing gila?" Sian-ji terbelalak.

"Ehm, sudah kubinasakan anjing gila itu dan kubuang ke sungai," tutur A Fei pula.

Pada saat itulah tiba-tiba di luar ada suara orang mengetuk sesuatu.

A Fei mengintip ke luar, dilihatnya pelayan berdiri di halaman dan sedang memukul tempat air teh sambil berseru, "Dengarkan para tamu, bilamana tuan-tuan ingin mendengarkan berita dunia Kangouw yang menggemparkan dan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan akhir-akhir ini, disilakan datang ke ruangan makan, baru saja datang Sun-siansing dari daerah selatan, beliau akan mulai bercerita tepat pada waktu tengah hari nanti, dijamin pasti mengasyikkan dan menegangkan, pasti berita baru yang belum tuan-tuan ketahui, pada kesempatan itu tuan-tuan sekaligus dapat bersantap dan minum arak."

A Fei menutup kembali daun jendela dan menggeleng kepala.

"Engkau tidak mau mendengarkan?" tanya Sian-ji.

"Tidak," jawab A Fei.

"Tapi aku ingin mendengarkannya, apalagi kita juga harus makan siang," kata Sian-ji pula.

A Fei tertawa, "Tampaknya cara si pelayan meramaikan rumah makannya memang sangat pintar."

Sian-ji lantas menyingkap selimut dan bermaksud bangun, tapi mendadak ia bersuara kaget dan mengkeret lagi ke dalam selimut, dengan muka merah ia berseru, "He, kau jahat, ayolah lekas ... lekas ambilkan pakaianku."

Muka A Fei juga merah, jantung berdebar karena melihat tubuh yang bugil itu.

Sian-ji tertawa mengikik dan berseru pula, "Berpaling ke sana, tidak boleh mengintip."

A Fei menghadap dinding, jantung serasa mau melompat keluar.

Ruangan makan sudah hampir penuh, cerita dunia Kangouw selalu merangsang setiap peminat, siapa pun ingin mendengarkannya.

Pada meja yang berdekatan dengan jendela berduduk seorang tua berbaju panjang warna biru, rambut beruban, asyik udut dengan pipa tembakau panjang dengan mata terpejam.

Di sebelahnya berduduk seorang nona yang masih sangat muda, rambut dikepang menjadi kucir panjang, matanya besar, hitam gilap, kerlingannya bisa menghanyutkan sukma setiap lelaki.

Waktu A Fei dan Sian-ji masuk ke situ, pandangan setiap orang sama terbeliak, si nona berkucir juga lantas menatapnya tanpa berkedip.

Sian-ji meliriknya sekejap, tiba-tiba ia mendesis kepada A Fei, "Coba lihat sinar matanya, hati-hati, jangan sampai engkau kecantol olehnya."

Baru saja mereka minta beberapa macam makanan, terdengar si kakek berdehem beberapa kali, ia mengetuk pipa tembakaunya di atas meja, lalu berkata, "Hong-ji, sudah waktunya, bukan?"

"Ya, sudah," jawab si nona berkucir.

Si kakek lantas membentangkan matanya, meski orangnya kelihatan tua renta, tapi sinar matanya masih tajam, sekali menyapu pandang, para tamu merasa dirinya yang lagi ditatap olehnya.

Sian-ji tertawa dan berbisik, "Sun-losiansing ini tidak mirip seorang pengelana, tampaknya cuma sekadar cari makan saja."

Meski suara ucapannya sangat lirih, namun si kakek she Sun itu seperti dapat mendengarnya, sinar matanya menyapa sekejap ke arah Sian-ji, ujung mulutnya menampilkan secercah senyuman.

Si nona berkucir lantas mendekatkan semangkuk teh kepada si kakek, lebih dulu kakek itu minum dua-tiga ceguk teh mangkuk itu, lalu mulai berkisah, "Bwe-hoa-cat berbuat macam-macam kejahatan, Tamhoalong, mengutamakan setia kawan dan mengorbankan harta."

Rupanya itulah judul ceritanya.

Ia berhenti sejenak dan menyapa pandang para tamu, lalu bertanya, "Apakah hadirin tahu siapa kedua orang yang kumaksudkan ini!"

Dengan sendirinya si nona berkucir tahu pertanyaan si kakek tidak sungguh-sungguh ditujukan kepada para tamu melainkan cuma ingin mencari seorang penanggap saja. Maka dia lantas menggoyangkan kedua kucirnya, ucapnya dengan menggeleng, "Siapakah kedua orang itu? Rasanya tidak perih terdengar cerita tentang mereka."

Sun-losiansing tertawa dan berucap pula, "Ah, jika begitu, jelas kau ini sedikit pengetahuan dan kurang pengalaman. Mengenai kedua orang ini, mereka sungguh sangat ternama. Selama beberapa puluh tahun ini Bwe-hoa-cat hanya muncul dua kali, meski cukup dua kali saja, namun perkara yang dilakukan oleh beratus orang gagah di lembah kedua Sungai Besar kalau dijumlahkan tetap tidak sebanyak perkara yang diperbuatnya."

Si nona berkucir menjulur lidah, ucapnya dengan berlagak kaget, "Wah, lihai amat .... Dan siapa lagi Tamhoalong yang dimaksudkan?"

"Orang ini adalah keturunan keluarga hartawan dan berpangkat, boleh dikatakan sangat terhormat dan disegani. Dari ketiga angkatan tua leluhurnya, tujuh kali mendapat gelar Cinsu, sayangnya cuma tidak pernah lulus ujian Conggoan (gelar tertinggi ilmu kesusastraan). Sampai pada angkatan Li-tamhoa tua, beliau hanya mempunyai dua orang putra. keduanya bahkan jauh lebih cerdas daripada leluhurnya, harapan orang tua benar-benar tertumpu atas diri kedua putra kesayangan ini semoga mereka berhasil lulus ujian Conggoan untuk memenuhi kekurangan keluarga Li selama ini."

"Gelar Tamhoa juga sudah cukup lumayan, kenapa mesti mengharapkan Conggoan segala?" ujar si nona dengan tertawa.

"Mungkin sudah nasib, Li-kongcu besar juga cuma mendapatkan gelar Tamhoa saja, dengan sendirinya ayah dan anak merasa kurang puas, harapan mereka sekarang hanya terletak kepada Li-kongcu kecil saja," tutur kakek Sun lebih lanjut. "Siapa tahu takdir memang tidak dapat dipaksa, Li-kongcu kecil yang sangat cerdas ini akhirnya juga cuma lulus sebagai Tamhoa saja. Keruan Li-tamhoa tua sangat kecewa, tidak sampai dua tahun beliau lantas meninggal. Menyusul Li-kongcu besar juga terkena penyakit yang tak tersembuhkan. Dengan sendirinya Li-kongcu kecil ini juga putus asa dan berduka, ia terus mengundurkan diri dari jabatannya dan tirakat di rumah, harta benda tidak terpandang lagi olehnya, banyak dia mengikat persahabatan, luhur budi dan keterbukaan tangannya sungguh sukar ditandingi sosiawan mana pun baik zaman dahulu maupun masa kini."

Sekaligus dia mencerocos sampai di sini baru berhenti dan menghirup lagi seceguk air teh.

Bergolak darah A Fei mendengarkan cerita itu, ada orang memuji kehebatan Li Sun-hoan, baginya jauh lebih gembira daripada orang memuji dia sendiri.

Didengarnya kakek Sun itu bercerita pula, "Tamhoalong kecil ini memang sangat banyak mendapat ajaran orang kosen dan menguasai Kungfu mahalihai."

Pendekar Budiman 8

Karya : Gu Long
Disadur Oleh : Gan KL

"Tapi kau pun tidak mati sebab kau benar telah mengalah tiga jurus padaku dan tidak ingkar janji," kata A Fei pula. Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung, "Sedikitnya engkau terlebih hebat daripada Sim-bi Hwesio."

Seperti diketahui, Sim-bi menyatakan takkan melukai A Fei asalkan anak muda itu mampu menerjang keluar kepungan Lo-han-tin, tapi akhirnya A Fei toh dilukainya juga. Pelajaran ini takkan dilupakan A Fei untuk selamanya.

Dengan napas tersengal tiba-tiba Thi-tiok Siansing berkata, "Dan masih ada dua jurus lagi."

"Masih ada dua jurus lagi?" A Fei menegas dengan heran.

Sekuatnya Thi-tiok Siansing menahan rasa sakitnya dan menjawab, "Ya, bukankah kuberi tiga jurus serangan padamu dan engkau baru menyerang satu kali."

Sekali lagi A Fei membalik tubuh dan menatapnya lekat-lekat, sampai lama sekali baru dia berkata, "Baik!"

Perlahan tangannya lantas memukul lagi dua kali di dada Thi-tiok Siansing, katanya, "Sekarang sudah genap tiga jurus...."

Pada saat itulah, mendadak terdengar suara "cring" yang ramai, berpuluh bintik perak menyambar keluar dari seruling besi yang dipegang Thi-tiok Siansing.

Sekuatnya A Fei berjumpalitan ke belakang hingga lebih dua tombak jauhnya, waktu turun ke bawah, ia tidak sanggup berdiri tegak lagi, kaki terasa lemas dan terduduk.

Air muka Thi-tiok Siansing yang pucat itu timbul cahaya merah, ucapnya dengan napas terengah, "Hari ini dapat kubelajar sesuatu hal, yakni tidak boleh sok memberi tiga jurus serangan kepada orang. Engkau juga mendapat satu pelajaran, yaitu, bilamana mau menyerang, harus sekali serang membuat roboh lawan, kalau tidak, lebih baik jangan kau serang."

A Fei mengertak gigi sambil memandang bintik perak yang menancap pada kakinya, ucapnya sekata demi sekata, "Ya, kejadian ini pasti takkan kulupakan."

"Baiklah, boleh kau pergi!" ujar Thi-tiok Siansing.

Belum lagi A Fei bicara, terdengar suara orang berlari datang. Suara seorang sedang berseru, "Thi-locianpwe, apakah engkau berhasil?"

"Lekas pergi!" desis Thi-tiok Siansing. "Aku tidak sanggup lagi membunuhmu, tapi juga tidak ingin kau mati dibunuh orang lain."

Segera A Fei menjatuhkan diri dan menggelinding beberapa tombak ke sana. Meski kakinya tidak dapat berjalan, tapi kedua tangannya masih sangat kuat.

Namun ia pun tahu dirinya takkan jauh, tanah bersalju yang putih itulah merupakan maut baginya, betapa pun ia tidak sanggup menghapus jejaknya sendiri yang tertinggal di atas salju.

Cepat atau lambat Dian Jit dan begundalnya pasti akan menyusulnya. Apalagi sekarang dirasakannya darah bergolak dalam rongga dadanya, meski dia bertahan sekuatnya, akhirnya darah pasti juga akan tertumpah ke luar.

Tanpa dikejar musuh juga dia merasa takkan tahan lama, ia hanya berharap dapat bertemu dengan Li Sun-hoan untuk penghabisan kalinya, untuk memberitahukan kepadanya bahwa dia telah berusaha sepenuh tenaganya.

Pada saat itulah sesosok bayangan telah menubruk ke arahnya....



*****



Di dalam rumah itu hanya menyala sebatang lilin.

Cahaya lilin menyinari wajah Li Sun-hoan yang pucat bersemu merah penyakit, dia terbatuk-batuk tiada berhenti, hampir saja tidak dapat bernapas lagi.

Liong Siau-hun memandangnya dengan diam, ditunggunya setelah batuknya mereda barulah disodorkannya secawan arak ke tepi mulutnya dan dituangkan perlahan ke dalam mulutnya.

Habis minum secawan arak, tertawalah Sun-hoan, katanya, "Toako, coba lihat, setetes saja tidak tercecer. Biarpun aku digantung terjungkir, jika ada orang melolohi aku minum arak, pasti juga takkan tercecer setitik pun."

Liong Siau-hun ingin tertawa, tapi urung, ucapnya dengan sedih, "Mengapa tidak kau biarkan kubuka Hiat-tomu yang tertutuk?"

Sun-hoan tertawa, jawabnya, "Aku ini seorang yang tidak tahan godaan, bilamana kau buka Hiat-toku, bisa jadi segera kukabur."

"Sekarang mereka tidak... tidak berada di sini, jika... jika kau mau...."

Cepat Sun-hoan memotong ucapan Siau-hun, "Toako, masa sampai saat ini belum lagi kau paham maksudku?"

"Kupaham," ujar Siau-hun dengan menyesal, "cuma...."

"Ah, kutahu apa yang hendak kau katakan lagi," tukas Sun-hoan dengan tertawa. "Namun sesungguhnya engkau tidak berbuat salah apa pun padaku. Kau pindahkan diriku ke sini dari gudang kayu yang pengap itu, apalagi kau sediakan arak pula bagiku, semua ini kurasakan tidaklah sia-sia persaudaraan kita selama ini."

Siau-hun menunduk dan terdiam sampai lama, ucapnya kemudian dengan rawan, "Dan besok... besok juga engkau akan pergi, aku...."

"Jangan sekali-kali kau antar keberangkatanku," tukas Sun-hoan, "Selamanya aku tidak suka diantar juga tidak suka mengantar. Sebab terasa muak bilamana kulihat orang yang mengantar itu bermuka sedih seperti kematian ibunda sayang."

Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung pula, "Pula kepergianku ini juga takkan lama, bisa jadi cuma beberapa hari saja akan kembali lagi ke sini."

Pada saat itulah mendadak seorang menyambung, "Jelas kalian tahu kepergiannya ini pasti takkan kembali lagi untuk selamanya, mengapa kalian masih juga menipu dirinya sendiri."

Perlahan tampak Lim Si-im melangkah masuk, wajahnya yang cantik kelihatan sudah banyak lebih kurus lagi.

Sorot mata Sun-hoan lantas menampilkan rasa pedih, namun sedapatnya dia tertawa dan berkata, "Kenapa aku takkan kembali lagi? Kalian adalah sahabatku yang paling baik, aku tentu...."

Si-im tidak membiarkan dia menyelesaikan ucapannya, dengan ketus ia memotong, "Siapa sahabat baikmu? Di sini pada hakikatnya tidak ada sahabatmu."

Mendadak ia menuding Liong Siau-hun dan berkata pula, "Memangnya kau kira dia sahabatmu? Jika dia sahabatmu, tentu dia melepaskan kau pergi dengan segera."

Cepat Siau-hun menjelaskan, "Namun dia tidak...."

"Dia tidak mau pergi, sebab dia takut membikin susah padamu," tukas Si-im. "Tapi mengapa tidak kau lepaskan dia? Pergi atau tidak adalah urusannya, melepaskan dia atau tidak adalah urusanmu."

Tanpa menunggu jawaban Siau-hun, segera ia berlari pergi tanpa menoleh.

Serentak Siau-hun berdiri dan berseru dengan suara parau, "Ucapannya memang betul, apakah kau mau pergi atau tidak harus kubebaskan dirimu."

Mendadak Sun-hoan bergelak tertawa.

Siau-hun melengak, tanyanya kemudian, "Apa... apa yang kau tertawakan?"

"Bilakah kau tunduk kepada perintah orang perempuan?" seru Sun-hoan. "Liong Siau-hun yang menjadi sahabatku adalah seorang lelaki sejati, seorang jantan, bukan pengecut yang takut bini."

Siau-hun mengepal tinjunya erat-erat, air mata pun bercucuran, katanya dengan terputus-putus, "Saudaraku, engkau... engkau teramat baik padaku, sungguh... sungguh aku tidak tahu cara bagaimana membalas kebaikanmu."

"Justru ada suatu urusan ingin kuminta pertolonganmu," kata Sun-hoan tiba-tiba.

Serentak Siau-hun memegang pundak Sun-hoan dan berseru, "Urusan apa? Katakan saja, lekas katakan!"

"A Fei, pemuda yang datang kemarin itu, tentunya Toako masih ingat padanya?"

"Tentu saja ingat," sahut Siau-hun.

"Bila dia mengalami sesuatu bahaya, kumohon Toako suka membantunya."

Perlahan Siau-hun mengendurkan pegangannya, lalu menghela napas panjang, ucapnya, "Dalam keadaan demikian masih juga kau pikirkan dia, masa tidak pernah kau pikirkan dirimu sendiri?"

"Aku cuma ingin jawabanmu, menyanggupi tidak permintaanku?" tanya Sun-hoan.

"Tentu saja kuterima permintaanmu," jawab Siau-hun. "Cuma, mungkin takkan kutemui dia lagi."

Sun-hoan melengak, "Sebab apa? Masakah dia...."

"Kan kau lihat sendiri dia telah pergi kemarin, mana bisa dia datang lagi?" ujar Siau-hun dengan tertawa.

Sun-hoan menghela napas, katanya, "Aku pun berharap dia jangan datang lagi. Cuma, dia pasti akan datang pula."

"Jika dia akan datang menolongmu, mengapa sampai saat ini belum tampak muncul?" ujar Siau-hun, ia menghela napas gegetun, lalu menyambung, "Saudaraku, engkau selalu berbudi luhur kepada orang lain. Tapi, orang lain belum tentu berbuat sama terhadapmu."

Sun-hoan tertawa, "Cara bagaimana dia terhadapku adalah urusannya, namun tetap kuminta kepada Toako, selanjutnya bilamana kau lihat dia di mana pun, janganlah kau lupa bahwa dia adalah sahabatku."

"Baik, sahabatmu juga sama dengan sahabatku," jawab Siau-hun.

Pada saat itu tiba-tiba ada orang memanggil di luar sana, "Liong-siya... Liong-siya!"

Siau-hun berbangkit, tapi lantas berduduk pula dan berkata, "Saudaraku, engkau...."

Sun-hoan tertawa, "Arak pun sudah cukup kuminum, silakan kau pergi saja. Cuma harus selalu kau ingat, janganlah esok pagi kau ikut mengantar kepergianku."

Perlahan Siau-hun melangkah pergi, tapi begitu keluar pintu, seketika langkahnya dipercepat. Dilihatnya Dian Jit berdiri di bawah bayang-bayang pohon sana dan sedang menggapai padanya.

Dengan langkah cepat ia mendekat ke sana, tanyanya dengan suara tertahan, "Bagaimana, berhasil?"

"Tidak," jawab Dian Jit.

Berubah air muka Liong Siau-hun, "Tidak berhasil? Kalian belasan orang, ditambah Sim-bi Taysu dan Thi-tiok Siansing, masa tidak mampu menghadapi seorang anak muda?"

"Tapi anak muda ini benar-benar teramat lihai," ujar Dian Jit sambil menyengir. "Bahkan boleh dikatakan rada menakutkan. Mendingan cuma Tio-lotoa saja yang dilukainya, sekarang Thi-tiok Siansing juga terluka oleh pedangnya."

Berulang-ulang Liong Siau-hun mengentak kaki, katanya, "Memang sudah kuduga bocah itu tidak dapat dipandang enteng, kalian justru bilang Thi-tiok Siansing pasti dapat mengatasi dia."

"Meski dia dapat lolos, tapi tetap terkena suatu pukulan Sim-bi Taysu." tutur Dian Jit.

"Jika demikian, tentu dia tak bisa kabur, mengapa tidak kalian kejar?"

"Orang Siau-lim-si sudah mengejarnya," sahut Dian Jit. "Aku sengaja kemari untuk memberitahukan padamu."

"Baik, coba kulihat ke sana. Perintahkan orang berjaga di sini," kata Siau-hun.



*****



Di sebelah sana ada sebuah gunung-gunungan.

Baru saja mereka pergi, dari balik gunung lantas muncul sesosok bayangan orang serupa badan halus. Matanya yang jeli itu memancarkan rasa kejut dan curiga, juga penuh rasa duka dan murka.

Gemetar sekujur badannya dengan air mata bercucuran. Sungguh tak disangkanya suami sendiri adalah seorang khianat penjual sahabat.

Remuk redam hati Si-im. Dia menangis perlahan, lalu seperti mengambil sesuatu keputusan dengan tekad penuh, segera ia melangkah ke rumah tempat Sun-hoan ditahan.

Pada saat yang sama, didengarnya suara langkah orang berlari datang, cepat Si-im menyelinap lagi ke balik bayang-bayang gunung buatan itu.

Dian Jit berlari tiba dengan membawa tujuh atau delapan lelaki kekar berpakaian ringkas, dengan suara tertahan ia memberi perintah, "Jaga pintu ini, siapa pun dilarang masuk. Yang melanggar boleh dibunuh saja tanpa perkara."

Agaknya Dian Jit sendiri terburu-buru ingin ikut mengejar A Fei, maka cepat ia melayang pergi lagi.

Segera para penjaga itu memasang panah dan menarik busur, siap berjaga di luar pintu dan jendela.

Si-im menggigit bibir dengan erat sehingga berdarah. Ia menyesal pada dirinya sendiri mengapa meremehkan ilmu silat, tidak mau giat berlatih Kungfu, sebab dia menganggap banyak urusan di dunia ini tidak dapat diselesaikan dengan kekerasan.

Baru sekarang dia menyadari banyak persoalan yang mau tidak mau harus diselesaikan dengan kekerasan. Seketika ia pun tidak mendapat akal untuk masuk ke dalam rumah itu.

Tiba-tiba didengarnya suara orang bernapas agak terengah, sesosok bayangan muncul dari depan sana, langkah orang ini tampak kurang mantap, namun cukup cepat.

Segera Si-im mengenalnya sebagai Thi-tiok Siansing yang baru tiba siang tadi.

Didengarnya Thi-tiok Siansing sedang menegur para penjaga, "Apakah orang she Li itu dikurung di dalam?"

Para penjaga itu saling pandang, lalu seorang menjawab, "Entah, kami pun tidak jelas."

"Baik, minggir, biar kumasuk dan melihatnya sendiri," kata Thi-tiok Siansing.

"Menurut perintah Dian-jitya, siapa pun dilarang masuk," kata orang itu.

"Dian Jit maksudmu?" Thi-tiok Siansing menegas dengan gusar. "Huh, Dian Jit itu orang macam apa? Apakah kalian kenal siapa diriku?"

Penjaga itu memandang tubuh Thi-tiok Siansing yang berlepotan darah, lalu menjawab, "Tapi siapa pun dilarang masuk."

"Baik," kata Thi-tiok Siansing, mendadak ia angkat tangannya, "tring", setitik sinar perak menyambar ke depan dan ....



*****



Saat itu Li Sun-hoan sedang memejamkan mata seperti tertidur.

Sekonyong-konyong didengarnya suara jeritan ngeri, suaranya tidak keras, bahkan sangat singkat.

Ia tahu hanya pada saat tenggorokan seorang tertembak oleh semacam Am-gi atau senjata rahasia yang kecil barulah tidak sempat mengeluarkan suara jeritan keras. Kejadian ini sudah terlalu banyak dilihatnya.

Ia berkerut kening, pikirnya, "Masakah ada orang datang hendak menolongku?"

Sejenak kemudian lantas dilihatnya seorang berjubah hijau dengan tangan memegang seruling besi melangkah masuk ke situ, mukanya tampak pucat, tapi beringas penuh nafsu membunuh.

Sorot mata Sun-hoan berhenti pada seruling yang dipegang orang, ucapnya, "Thi-tiok Siansing?"

Thi-tiok Siansing tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya, "Hiat-tomu tertutuk?"

Sun-hoan tertawa, "Dari arak yang terletak di depanku dan tidak kuminum, tentu dapat kau duga aku pasti tidak dapat bergerak."

"Jika sama sekali tidak ada tenagamu untuk melawan, mestinya tidak dapat kubunuh dirimu, tapi mau tidak mau harus kubunuh kau," kata Thi-tiok Siansing.

"Oo?" Sun-hoan bersuara singkat.

"Tidak kau tanya sebab apa hendak kubunuh dirimu?" ucap Thi-tiok Siansing dengan melotot.

Kembali Sun-hoan tertawa, katanya, "Jika kutanya, mungkin kau akan murah, lalu hendak kuberi penjelasan padamu, dan kau pasti juga tidak percaya dan tetap akan membunuhku. Nah, untuk apa aku banyak omong?"

Thi-tiok Siansing melengak, mendadak ia berseru, "Betul, tak peduli apa keteranganmu tetap akan kubunuh dirimu...."

Tiba-tiba tersembul perasaan menderita pada wajahnya, keluhnya dengan suara parau, "O, Ju-hi sayang, betapa mengenaskan kematianmu, akhirnya dapatlah kubalaskan sakit hatimu."

Perlahan seruling besinya diangkat lagi.

Sun-hoan menghela napas, gumamnya, "O, Ju-ih, bilamana kau lihat diriku tentu engkau akan kaget sekali, sebab engkau tidak kenal padaku dan aku pun tidak kenal padamu...."

Pada saat itulah mendadak Lim Si-im menerobos masuk sambil berseru, "Nanti dulu, aku ingin bicara."

Dengan terkejut Thi-tiok Siansing berpaling, serunya, "Hujin, kiranya kau? Hendaknya jangan kau rintangiku, siapa pun tidak boleh merintangiku."

Kelam wajah Si-im, katanya, "Aku tidak ingin merintangimu, tapi ini kan rumahku, ingin membunuh kan harus juga kuturun tangan lebih dulu."

"Kau pun hendak membunuh dia? Sebab apa?" tanya Thi-tiok Siansing sambil berkerut kening.

"Alasanku untuk membunuhnya jauh lebih kuat daripada alasanmu," kata Si-im. "Kau cuma hendak membalas dendam bagi gundikmu, tapi aku ingin menuntut balas bagi putraku, sebab... sebab aku hanya mempunyai seorang anak."

Di balik ucapannya itu dia seakan-akan hendak bilang, "Dan gundikmu kan tidak cuma satu."

Thi-tiok Siansing termenung agak lama, katanya kemudian, "Baik, setelah kau turun tangan baru aku akan bertindak."

Ia percaya kepada kelihaian seruling sendiri, biarpun menyerang lebih belakangan juga pasti akan mencapai sasaran lebih dulu.

Siapa tahu, ketika Si-im berlalu di depannya, mendadak tangannya membalik dan tepat menghantam dadanya.

Meski ilmu silat Lim Si-im tidak tinggi, tapi ia pun bukan perempuan yang lemah, apalagi pukulan ini menggunakan segenap tenaganya, Thi-tiok siansing sendiri tidak berjaga-jaga, keruan ia terpukul hingga terpental dan menumbuk dinding.

Maklumlah, luka Thi-tiok memang cukup parah, jika dia masih mau menuntut balas pada Li Sun-hoan, yang diandalkan cuma senjata rahasia di dalam serulingnya. Sekarang dadanya kena digenjot Si-im, luka lama kambuh kembali, segera darah tertumpah, orangnya juga lantas jatuh kelengar.

Hati Si-im berguncang hebat, hampir saja ia pun roboh pingsan.

Sun-hoan tahu selama hidup Si-im sangat lemah lembut, ibaratnya seekor semut saja tidak pernah diinjaknya. Sekarang perempuan yang berhati lembut ini ternyata dapat menyerang orang, sungguh tidak keruan perasaan Sun-hoan, entah pilu entah girang.

Tapi dengan keraskan hati ia lantas menjengek, "Hm, untuk apa lagi kau kembali ke sini?"

Si-im menarik napas dalam-dalam untuk menghentikan gemetar badannya, lalu menjawab, "Kudatang lagi untuk melepaskan dirimu."

Sun-hoan menghela napas, "Masa belum kau dengar jelas ucapanku tadi? Sekali kubilang tidak mau pergi, betapa pun tetap tidak mau pergi."

"Kutahu, demi Siau-hun engkau tidak mau pergi," seru Si-im. "Tapi apakah kau tahu dia... dia...."

Mendadak ia bergemetar lagi terlebih hebat daripada tadi, sekuatnya ia berseru pula, "Dia... dia telah mengkhianatimu, dia berkomplot dengan mereka."

Habis berucap demikian, ia kehabisan tenaga dan jatuh terkulai. Ia mengira Li Sun-hoan pasti akan terkejut demi mendengar keterangan ini.

Siapa pun tidak menduga Sun-hoan tetap tenang saja tanpa memberi reaksi apa pun, sebaliknya ia malah tertawa, ucapnya dengan tawar, "Mungkin kau salah paham, mana bisa dia menjual diriku?"

Sekuatnya Si-im memegang meja sehingga cangkir di atas meja sama berdenting, serunya dengan suara parau, "Tapi aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, kudengar dengan telingaku sendiri!"

"Mungkin kau salah lihat, juga salah dengar," kata Sun-hoan.

"Masa... masa sampai sekarang engkau tetap tidak percaya?"

"Kukira engkau terlalu letih sehingga banyak bekerja salah," kata Sun-hoan dengan suara halus. "Pergilah tidur, besok tentu akan kau ketahui suamimu adalah seorang lelaki yang dapat dipercaya sepenuhnya."

Si-im memandangnya dengan sorot mata yang guram, sampai sama sekali ia pandang Sun-hoan, mendadak ia mendekap di atas meja dan menangis tergerung-gerung.

Sun-hoan memejamkan mata, seakan-akan tidak tega memandangnya, ucapnya dengan parau, "Untuk apa kau...." belum lanjut ucapannya darah segar lantas tersembur dari mulutnya.

Si-im tidak sanggup menahan dirinya lagi, perasaan yang tertekan selama sepuluh tahun ini serupa gunung api yang meletus. Dengan terhuyung-huyung ia menubruk ke arah Sun-hoan ambil berteriak, "Jika engkau tidak pergi, biarlah kumati di depanmu."

Sun-hoan menggereget dan berucap sekata demi sekata, "Engkau mau mati atau akan hidup, sangkut paut apa denganku?"

Sekonyong-konyong Si-im menatapnya dengar mata terbelalak, teriaknya dengan terputus-putus, "Kau... kau...."

Setiap kali mengucap "kau", setiap kali pula menyurut mundur selangkah. Mendadak ia merasa dirinya terjatuh dalam pangkuan seorang.

Ternyata Liong Siau-hun sudah berdiri di situ dengan wajah kelam. Ia rangkul pundak Si-im dengan erat, seakan-akan khawatir bilamana pegangannya mengendur, segera Si-im akan memberosot dan lenyap dari pegangannya dan takkan kembali lagi untuk selamanya.

Si-im dapat melihat tangan Siau-hun, mendadak ia dapat menenangkan diri, ucapnya dengan dingin, "Singkirkan tanganmu, selanjutnya jangan kau sentuh diriku lagi!"

Muka Siau-hun mendadak berkerut-kerut, seperti kena dicambuk orang satu kali.

Akhirnya ia melepaskan pegangannya dengan perlahan, ia pandang Si-im dengan tajam, katanya, "Jadi semuanya telah kau ketahui?"

"Di dunia ini tidak ada sesuatu yang mutlak dapat mengelabui orang selamanya," sahut Si-im dengan dingin.

"Telah... telah kau beri tahukan padanya semuanya?" tanya Siau-hun.

Mendadak Sun-hoan tertawa, katanya, "Padahal tidak perlu dia memberitahukan padaku juga sudah lama kuketahui."

Sejak tadi Siau-hun seperti tidak berani beradu pandang dengan Sun-hoan, baru sekarang mendadak ia mengangkat kepala dan menegas, "Sudah lama kau tahu?"

"Ehm," Sun-hoan mengangguk.

"Bilakah engkau tahu?" tanya Siau-hun pula.

Sun-hoan menghela napas, "Pada saat kau pegang tanganku sehingga Dian Jit sempat merobohkan diriku. Cuma... cuma, meski kutahu tetap tidak kusalahkan kau."

Siau-hun mengepal kedua tinjunya sehingga urat hijau sama menonjol di punggung tangannya.

"Jika... jika kau tahu, mengapa... mengapa tidak kau katakan?" seru Si-im dengan suara gemetar.

Sun-hoan tersenyum hambar, "Mengapa harus kukatakan?"

Si-im menatapnya lekat-lekat, kembali tubuhnya bergemetar pula, serunya, "Sengaja tidak kau katakan, apakah... apakah demi diriku?"

"Demi dirimu?" tukas Sun-hoan dengan kening bekernyit.

"Kau khawatir aku akan berduka bila mengetahui hal ini, engkau tidak mau membikin berantakannya rumah tanggaku, sebab... sebab rumah ini sebenarnya memang milikmu, engkau...." ia tidak sanggup melanjutkan, sebab air matanya lantas berderai sebagai hujan.

Mendadak Sun-hoan bergelak tertawa, "Hahahaha! Mengapa orang perempuan suka menghibur dirinya sendiri secara demikian? Bahwa aku tidak bicara adalah karena tidak ada gunanya meski kukatakan. Bahwa aku tidak mau pergi adalah karena kutahu dia pasti takkan membiarkan kupergi."

Ia masih terus tertawa dan juga terbatuk-batuk, mendadak air matanya bercucuran, entah mengucurkan air mata karena tertawa atau karena batuknya?

Dengan pedih Si-im berucap, "Dan sekarang apa yang kau katakan toh tidak ada persoalan lagi, sebab aku kan sudah tahu...."

Mendadak Sun-hoan berhenti tertawa dan berteriak dengan bengis, "Kau tahu? Kau tahu apa? Apakah kau tahu perbuatan Liong Siau-hun ini demi siapa? Apakah kau tahu yang ditakuti dia justru adalah karena khawatir kubikin rumah tangga kalian pecah berantakan, makanya dia berbuat demikian? Soalnya dia memandang rumah tangganya jauh lebih penting daripada segalanya, juga memandang dirimu jauh lebih penting daripada apa pun...."

Si-im menatapnya dengan terbelalak, mendadak ia pun terbahak-bahak dengan parau, "Hahaha, dia telah membikin susah padamu, tapi engkau malah membelanya. Haha, bagus, bagus! Engkau memang seorang kawan sejati. Tapi apakah kau tahu aku juga manusia.... Apa anggapanmu terhadapku?"

Bicara sampai di sini, suaranya menjadi parau dan terputus-putus, entah masih tertawa atau sedang menangis?

Kembali Sun-hoan terbatuk-batuk dengan hebat, darah pun merembes keluar dari ujung mulutnya.

Siau-hun menatapnya dengan tajam, ucapnya kemudian dengan serak, "Perkataanmu memang tidak salah, memang betul demi rumah tanggaku ini, demi putraku, kehidupan kami semula baik-baik, tenang dan bahagia, tapi kedatanganmu telah... telah mengubah segalanya...." mendadak ia meraung kalap, "Mestinya aku majikan rumah ini, tapi dengan kedatanganmu, segera kurasakan diriku ini cuma bertamu saja di sini. Mestinya aku mempunyai seorang putra kesayangan, lantaran kedatanganmu dia menjadi cacat selama hidup."

Dengan menyesal Sun-hoan menjawab, "Ucapanmu memang betul, aku memang... memang seharusnya tidak perlu datang kemari!"

Mendadak Siau-hun merangkul lagi Si-im erat-erat dan berteriak dengan parau, "Akan tetapi yang lebih penting, demi dirimu, aku tak dapat kehilangan dirimu...."

Belum habis ucapannya, bercucurlah air matanya.

Si-im memejamkan matanya, air matanya menitik dari ujung matanya serupa butiran mutiara, ucapnya. "Bilamana ada setitik saja kau pikirkan diriku, tentu tidak perlu engkau bertindak demikian."

"Aku pun tahu tidak pantas bertindak demikian, tapi aku... sungguh aku takut," ratap Siau-hun.

"Kau takut apa?"

"Kutakut kehilangan dirimu, kutakut ditinggal dikau!" seru Siau-hun dengan suara parau. "Sebab biarpun tidak kau katakan juga kutahu engkau tidak... tidak pernah melupakan dia, maka kutakut engkau akan kembali lagi kepadanya."

Mendadak Si-im berjingkrak dan berteriak, "Singkirkan tanganmu! Bukan saja tanganmu kotor, hatimu juga kotor! Memangnya kau anggap aku ini orang macam apa? Dan kau pandang dia orang macam apa?"

Ia terus menjatuhkan diri ke lantai sambil meratap, "O, masa engkau sudah melupakan diriku... betapa pun aku adalah istrimu!"

Siau-hun berdiri kaku seperti patung, hanya air matanya yang masih terus mengalir.

Sun-hoan memandang mereka dengan rawan, gumamnya, "Salah siapakah ini?... Sesungguhnya siapa yang bersalah?...."



*****



Di tempat lain, A Fei merasa seperti berbaring di dalam gumpalan awan, tubuh terasa lemas dan melayang-layang di tengah semacam bau harum yang sedap.

Ia sudah mendusin, tapi rasanya seperti dalam mimpi.

Dalam mimpinya juga selalu ditemui salju, ladang belukar, binatang buas dan serentetan bencana dan penderitaan yang tak habis-habis....

"Engkau sudah mendusin?" demikian terdengar seorang menegurnya.

Suaranya begitu halus, begitu lembut dan penuh perhatian.

Waktu A Fei membentang matanya, dilihatnya raut wajah yang sangat cantik dengan senyuman yang lembut dan menarik, kerlingan matanya membawa perasaan cinta kasih yang amat mendalam.

Wajah yang cantik ini hampir serupa wajah ibunya.

Dia masih ingat waktu kecilnya, ketika dia sakit, sang ibu juga duduk di sampingnya dan menjaganya dengan lembut seperti wajah yang cantik ini. Cuma hal ini sudah terjadi lama sekali sehingga hampir dilupakan olehnya.

Segera ia meronta-ronta hendak turun dari tempat tidur sambil berseru, "He, tempat apakah ini?"

Tapi baru saja ia berduduk, segera ia rebah lagi.

Dengan lembut Lim Sian-ji membetulkan selimutnya dan berucap, "Jangan kau tanya tempat apakah ini, anggaplah sebagai rumahmu sendiri."

"Rumahku?" A Fei menegas. Selamanya ia tidak paham apa artinya "rumah". Sebab dia tidak pernah punya rumah.

Lim Sian-ji tersenyum manis, katanya, "Kukira rumahmu pasti sangat hangat dan bahagia, engkau pasti mempunyai seorang ibu yang baik, beliau tentu sangat lembut, sangat cantik, dan juga sangat sayang padamu."

A Fei termenung, entah selang berapa lama barulah ia berucap dengan perlahan, "Tapi aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu."

Sian-ji tercengang, katanya, "Namun... namun waktu engkau tidak sadar, berulang kali engkau menyebut namanya."

"Pada waktu berumur tujuh, beliau sudah meninggal," ucap A Fei tanpa memperlihatkan sesuatu perasaan, namun begitu matanya tertampak sudah basah.

Sian-ji menunduk, "Maaf, tidak... tidak seharusnya kusinggung hal yang dapat menyedihkan hatimu."

Setelah terdiam sejenak, tiba-tiba A Fei bertanya, "Engkau yang menolong diriku?"

"Waktu itu engkau jatuh pingsan, maka untuk sementara kubawa dirimu ke sini, hendaknya engkau merawat lukamu dengan tenteram, pasti takkan ada orang berani menerobos ke sini."

Wajah A Fei yang dingin itu tiba-tiba dirangsang emosi, ucapnya dengan tersendat, "Sekarang aku telah utang jiwa padamu!"

"Tidak, engkau tidak utang apa-apa kepadaku," ucap Sian-ji dengan lembut. "Jangan lupa, jiwaku ini juga kau selamatkan tempo hari."

A Fei menghela napas panjang, ucapnya, "Mengapa engkau menolong diriku? Mengapa...."

Sian-ji memandangnya dengan termangu, tanpa terasa tangannya terjulur dan meraba wajahnya, katanya dengan lembut, "Sekarang jangan kau pikirkan apa pun, kelak... kelak akan kau ketahui apa sebab apa kuselamatkan engkau dan mengapa kuberbuat begini padamu."

Tangannya begitu halus dan lunak seperti tak bertulang, terasa hangat pula. Wajahnya yang cantik bersemu merah.

A Fei tidak berani memandangnya, ia memejamkan mata.

Hatinya sebenarnya sekeras baja, tapi sekarang entah mengapa, sampai lubuk hatinya yang paling dalam juga berguncang, laksana air telaga yang tenang mendadak bergelombang.

Belum pernah terpikir olehnya bahwa hatinya juga mempunyai perasaan demikian. Tapi dia tetap memejamkan mata dan berkata, "Sudah waktu apa sekarang?"

"Belum lewat tengah malam," jawab Sian-ji.

A Fei meronta bangun berduduk.

"Hen... hendak ke mana kau?" tanya Sian-ji.

"Tidak boleh kubiarkan Li Sun-hoan dibawa pergi mereka," seru A Fei.

"Tapi dia sudah dibawa pergi," tutur Sian-ji.

"Bluk", A Fei menjatuhkan diri ke ranjang dengan air keringat bercucuran, ucapnya, "Kau bilang saat ini belum lagi lewat tengah malam?"

"Sekarang memang belum lewat tengah malam, namun Li Sun-hoan sudah dibawa pergi pagi kemarin."

"Pagi kemarin?" A Fei menegas. "Masa sudah sehari semalam aku tidak sadar?"

Perlahan Sian-ji mengusap keringat di dahinya dengan sepotong saputangan berwarna jambon, katanya, "Lukamu sangat parah, selain dirimu mungkin tidak ada yang tahan. Maka engkau harus menurut perkataanku, istirahatlah baik-baik di sini."

"Tapi Li...."

Segera Sian-ji mendekap mulut A Fei dan mendesis, "Ssst, jangan kau sebut dia lagi, kutahu keadaannya tidak terlalu berbahaya. Umpama hendak kau tolong dia juga harus menunggu sampai lukamu sembuh."

Ia mengungkatnya berbaring di atas bantal, lalu berkata pula, "Jangan khawatir, jika Sim-bi Taysu bilang hendak membawanya ke Siau-lim-si, maka sepanjang jalan pasti takkan mengalami sesuatu bahaya."



*****



Saat itu Li Sun-hoan sedang duduk bersandar di dalam kabin kereta dan memandangi Sim-bi Taysu dan Dian Jit yang berduduk di depannya, tiba-tiba ia tertawa.

Dian Jit melotot, "Ada apa? Kau rasa kami sangat lucu?"

"Aku cuma merasa sangat geli," jawab Sun-hoan dengan tenang.

"Geli?" Dian Jit menegas.

Sun-hoan menguap dan memejamkan mata, seperti ingin tidur.

Dian Jit menjambret dada bajunya dan bertanya, "Dalam hal apa aku menggelikan, katakan!"

"O, maaf, yang kumaksudkan bukan dirimu," jawab Sun-hoan acuh tak acuh. "Meski di dunia ini banyak orang yang menggelikan, tapi engkau harus dikecualikan, sesungguhnya dirimu sama sekali tidak menarik."

Air muka Dian Jit berubah, sampai sekian lamanya ia mendelik, tapi akhirnya ia lepaskan Sun-hoan.

Sejuk tadi Sim-bi Taysu tidak menghiraukan apa yang dibicarakan mereka, sekarang ia tidak tahan dan ikut bertanya, "Apakah kau rasa diriku menggelikan?"

Selama hidupnya belum pernah bertemu dengan seorang yang mengatakan dia menggelikan.

Kembali Sun-hoan menguap, jawabnya dengan kemalas-malasan, "Kurasakan engkau menggelikan, sebab belum pernah kulihat Hwesio menumpang kereta. Kuanggap seorang saleh sebagai dirimu tidak pantas menunggang kuda, juga tidak boleh menumpang kereta."

Sim-bi malah tertawa, katanya, "Hwesio jaga manusia, selain boleh menumpang kereta, juga harus makan nasi."

"Jika engkau sudah duduk di dalam kereta, mengapa tidak berduduk dengan santai," kata Sun-hoan. "Kulihat caramu berduduk ini lebih mirip orang yang sakit wasir."

Seketika muka Sim-bi Taysu berubah masam, katanya, "Apakah kau ingin kusumbat mulutmu?"

"Jika hendak kau sumbat mulutku, kuharap kau gunakan botol arak, paling baik botol arak yang penuh berisi arak," kata Sun-hoan.

Sim-bi memandang Dian Jit sekejap, perlahan tangan Dian Jit lantas terjulur pada Hiat-to bisu Li Sun-hoan, katanya tiba-tiba dengan tertawa, "Bilamana tanganku menekan, tentu kau tahu bagaimana akibatnya?"

Sun-hoan tertawa, "Kutahu, bilamana tanganmu menekan, tentu takkan kau dengar lagi kata-kata yang menarik."

"Jika begitu, biarlah...."

Baru bicara sampai di sini, belum lagi tangannya bekerja, mendadak terdengar suara ringkik kuda yang keras disusul suara bentakan gusar si kusir, serentak kereta pun berhenti.

Padahal kereta itu sedang berlari dengan kencang, sekarang berhenti secara mendadak, tentu saja para penumpangnya sama tersuruk dari tempat duduknya, kepala hampir saja membentur dinding kereta.

"Ada apa?" teriak Dian Jit dengan gusar, "Masa kalian...."

Baru saja kepalanya melongok ke luar jendela, seketika dia bungkam, air mukanya juga berubah pucat.

Kiranya di tepi jalan yang penuh timbunan salju itu berdiri tegak seorang dengan tangan menahan tali kendali kuda sehingga kuda penarik kereta itu berjingkrak dan meringkik, namun tangan orang itu tetap lurus tak bergerak seperti tonggak besi.

Dia memakai jubah hijau dengan lengan baju yang longgar, jubah ini dipakai oleh siapa pun pasti akan terlalu besar, tapi berada pada tubuhnya justru belum lagi melampaui dengkul.

Jika tinggi badannya sangat mengejutkan, di atas kepalanya justru ditambahi pula sebuah kopiah tinggi berbentuk aneh, sehingga dipandang sepintas lalu dia serupa sebatang pohon kering.

Hanya dengan sebuah tangan saja dapat menahan kuda yang sedang berlari kencang, betapa hebat tenaganya sungguh sangat mengejutkan. Yang lebih menakutkan lagi adalah matanya yang pada hakikatnya tidak menyerupai mata manusia itu.

Matanya ternyata berwarna hijau siwer, berkelip-kelip, serupa api setan.

Baru saja Dian Jit melongok, segera ia menarik kembali kepalanya, selain mukanya pucat, bibirnya juga rada gemetar.

"Di luar ada orang?" tanya Sim-bi Taysu.

"Ehm," Dian Jit mengangguk.

Alis putih Sim-bi Taysu berkerut-kerut, katanya pula, "Siapa dia?"

"In Gok!" tutur Dian Jit.

Mendadak Sun-hoan tertawa, katanya, "Aha kiranya mencari diriku!"

"Jing-mo-jiu In Gok juga sahabatmu?" tanya Sim-bi Taysu.

"Sayang, sahabat ini juga serupa sahabatku yang lain, sama-sama menghendaki nyawaku," ucap Sun-hoan dengan tertawa.

Air muka Sim-bi Taysu berubah prihatin, perlahan ia membuka pintu kereta dan melangkah keluar, sapanya sambil memberi hormat, "Apakah In-sicu adanya?"

Jing-mo-jiu In Gok, si tangan iblis hijau, memandang sekejap dengan dingin, lalu mendengus, "Sim-oh atau Sim-bi?"

"Hwesio tua adalah Sim-bi."

Siapa yang berada di atas kereta?" tanya In Gok.

"Orang beragama tidak berdusta, penumpang kereta ini selain Dian-jitya, ada lagi seorang Li-sicu," tutur Sim-bi Taysu.

"Baik, serahkan Li Sun-hoan dan segera kulepaskan kalian pergi," kata In Gok.

"Maksud tujuan kubawa Li-sicu ke Siau-lim-si juga hendak memberi hukuman padanya, bilamana kita mempunyai maksud yang sama, tidak perlu lagi In-sicu mengalangi perjalanan kami."

"Serahkan Li Sun-hoan dan segera kulepaskan kalian pergi," kata In Gok pula.

Berulang-ulang hanya kata-kata itu saja yang diucapkan In Gok, apa pun yang dikatakan orang lain tetap tidak digubrisnya, wajahnya yang pucat dingin itu serupa muka orang mati, tidak kelihatan sesuatu perasaan apa pun.

"Jika kutolak, lantas bagaimana?" kata Sim-bi Taysu.

"Jika begitu, lebih dulu akan kubunuh dirimu lalu membinasakan Li Sun-hoan," ujar In Gok.

Sejak mula tangan kirinya melambai ke bawah dan tertutup oleh lengan bajunya yang longgar.

Sekarang mendadak tangan kirinya terjulur keluar, terlihat cahaya hijau berkelebat, serentak dia mencakar ke arah Sim-bi Taysu. Inilah Jing-mo-jiu, tangan iblis hijau yang merontokkan nyali orang Kangouw.

Sim-bi Taysu meraung gusar, serentak dari belakangnya empat bayangan kelabu menubruk maju, Sim-bi mengegos ke samping, empat Hwesio berjubah kelabu sudah mengepung In Gok di tengah.

"Haha, bagus!" seru In Gok dengan terbahak. "Memang sudah lama ingin kubelajar kenal dengan Lo-han-tin Siau-lim-si."

Di tengah gelak tertawanya, dari tangan hijau mendadak tersembur keluar asap hijau, "pluk", terdengar letusan perlahan, asap hijau lantas bertaburan memenuhi udara.

"Cepat tahan napas!" teriak Sim-bi Taysu.

Dia hanya memperingatkan anak muridnya sehingga lupa akan diri sendiri, baru habis ucapannya, segera dirasakan hawa amis terisap ke dalam mulutnya.

Melihat wajah Sim-bi Taysu berubah pucat, para Hwesio Siau-lim-si sama terkejut.

Mendadak Sim-bi melompat jauh ke sana, cepat ia duduk bersemadi, dengan Lwekang yang terlatih berpuluh tahun ia mengerahkan tenaga dalam untuk mendesak keluar hawa berbisa yang terisap tadi.

Para Hwesio Siau-lim-si juga lantas menyusul ke sana, mereka berdiri mengadang di depan Sim-bi, dalam keadaan demikian terpaksa mereka harus menjaga keselamatan Sim-bi lebih dulu dan mengesampingkan Li Sun-hoan.

Tapi In Gok tidak lagi memandang mereka, sekali lompat ia mendekati pintu kereta.

Dilihatnya Li Sun-hoan masih duduk bersandar di situ, sedangkan Dian Jit sudah menghilang.

In Gok melototi Sun-hoan dan bertanya sekata demi sekata, "Khu Tok dibunuh olehmu?"

"Ehm," Sun-hoan mengangguk.

"Baik, jiwa Khu Tok ditukar dengan jiwa Li Sun-hoan, satu bayar satu, matinya tidak penasaran."

Habis bicara, Jing-mo-jiu lantas terangkat lagi, tapi tidak lantas dihantamkan....



*****



Saat itu A Fei sedang memandangi langit-langit, sampai lama sekali tidak bicara.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Sian-ji dengan suara lembut.

"Kau bilang dia takkan menemui bahaya dalam perjalanan?" tanya A Fei.

"Pasti tidak," ujar Sian-ji dengan tertawa. "Dia dikawal Sim-bi Taysu dan Dian Jit, siapa yang berani mengganggu seujung jarinya?"

Perlahan ia membelai rambut A Fei, lalu berkata pula, "Jika kau percaya padaku, tidurlah dengan nyenyak. Aku akan berjaga di sini, pasti takkan kutinggal pergi."

A Fei memandangnya lekat-lekat, kerlingan mata si nona sedemikian menggiurkan, tulus dan hangat.

Kelopak mata A Fei lambat laun terkatup....



*****



"Apa lagi yang hendak kau katakan?" demikian In Gok lagi bertanya sambil menyeringai terhadap Li Sun-hoan.

Memandangi Jing-mo-jiu orang yang keji itu, Sun-hoan berucap perlahan, "Cuma satu kalimat saja ingin kukatakan."

"Apa itu? Cepat katakan!"

"Untuk apa kau antar kematian ke sini?" kata Sun-hoan sambil menghela napas.

Berbareng tangannya juga bergerak, sinar pisau berkelebat, kontan In Gok berjumpalitan ke sana. Di atas tanah salju telah bertambah genangan darah segar.

Sementara itu bayangan In Gok sudah melayang lagi beberapa tombak jauhnya, terdengar suaranya yang serak bergema di kejauhan, "Li Sun-hoan, ingatlah, kelak pasti ku...."

Sampai di sini mendadak suaranya terputus.

Angin dingin menyayat, suasana hening bagai kuburan.

Mendadak terdengar orang berkeplok tertawa, Dian Jit menerobos keluar dari belakang kereta sambil bersorak, "Bagus, bagus! Pisau kilat si Li memang benar tidak pernah meleset. Sungguh tidak bernama kosong!"

Sun-hoan termenung sejenak, katanya kemudian dengan hambar, "Apabila kau buka seluruh Hiat-toku yang tertutuk, tentu dia takkan lolos."

"Jika kubuka seluruh Hiat-tomu, engkaulah yang akan lolos," tukas Dian Jit dengan tertawa.

Ia tepuk-tepuk pundak Li Sun-hoan, lalu berkata pula dengan tertawa, "Engkau hanya bisa menggerakkan kedua tanganmu, hanya dapat menyambitkan sebilah pisau, toh tetap dapat melukai In Gok sehingga kabur. Orang semacam dirimu ini, mau tak mau aku harus terlebih hati-hati dan waspada."

Dalam pada itu para Hwesio Siau-lim sudah memayang Sim-bi Taysu ke sini. Wajah Sim-bi kelihatan pucat dengan napas terengah, begitu naik ke atas kereta segera ia berkata, "Lekas berangkat, lekas!"

Setelah kereta mulai jalan barulah ia menghela napas lega, ucapnya, "Sungguh Jing-mo-jiu yang keji."

"Tapi ada senjata lain yang lebih keji, yaitu pisau terbang si Li," tukas Dian Jit dengan tertawa.

Sim-bi memandang Sun-hoan, ucapnya, "Anda ternyata sudi turun tangan membantu, sungguh di luar dugaanku."

Sun-hoan tertawa, "Yang kutolong bukan dirimu, bukan kalian melainkan diriku sendiri. Tidak perlu di luar dugaan, juga tidak perlu berterima kasih padaku."

"Tadi kutanya padanya lebih suka pergi ke Siau-lim-si bersama kita atau lebih baik jatuh dalam cengkeraman In-Gok," tutur Dian Jit. "Sesudah dia pilih satu di antaranya, lalu kubuka Hiat-to kedua tangannya, kuberi pula sebilah pisau."

Ia tersenyum, lalu menambahkan pula, "Dan kukira dengan demikian sudah cukup."

Sim-bi termangu-mangu, gumamnya kemudian, "Pisau terbang si Li .... Sungguh pisau kilat!"

Tenaga dalam Sim-bi Taysu memang sangat hebat, menjelang magrib, hawa racun yang terisap sudah ditolak keluar semua, air mukanya telah kembali cerah.

Kemudian mereka mencari sebuah hotel yang tenang untuk beristirahat, waktu makan malam juga sudah tiba. Hwesio juga manusia, selain perlu makan nasi juga harus tidur.

Dian Jit mengangkat Sun-hoan dan didudukkan pada sebuah kursi, katanya dengan tersenyum, "Jika kubuka Hiat-to sebelah tanganmu, maksudnya supaya kau dapat memegang sumpit dan bukan menyuruhmu sembarangan omong. Nah, jelas bukan?"

Sun-hoan menghela napas menyesal, "Makan nasi tanpa arak sama halnya sayur tanpa garam, cemplang, tidak ada rasanya, sungguh tidak enak."

"Diberi makan nasi pun sudah enak, kukira seadanya saja," jengek Dian Jit.

Peraturan Siau-lim-si memang sangat keras, pada waktu makan, para Hwesio Siau-lim-si tidak ada yang bicara, bahkan tak berani bersuara sedikit pun. Meski di atas meja hanya tersedia beberapa macam sayuran saja, tapi mereka sudah terbiasa makan sederhana, ditambah lagi perjalanan berhari-hari, perut lapar, makan pun banyak.

Hanya Sim-bi Taysu saja baru sembuh dari sakitnya, ia cuma minum bubur dengan kecap dan tidak makan lain.

Dian Jit sendiri sudah pesan beberapa macam santapan lezat dan siap hendak dinikmatinya sendiri, maka sekarang dengan perut kosong sedang menunggu.

Di sebelah sana Sun-hoan telah menyumpit sepotong tahu, tapi baru sampai di tepi mulut mendadak ia taruh kembali makanan itu dan berseru, "Sayuran ini tidak boleh dimakan."

"Kalau tuan besar Li tidak biasa makan sayuran begini, tampaknya kau harus menderita lapar," kata Dian Jit.

"Di dalam sayur ada racun!" desis Sun-hoan dengan suara tertawa tertahan.

"Haha, tidak mendapatkan arak, segera timbul macam-macam permainanmu," seru Dian Jit dengan tertawa. "Memang kutahu ada ...."

Mendadak suara tertawanya terputus, serupa leher tercekik secara mendadak.

Rupanya pada saat itu juga dilihatnya air muka keempat Hwesio Siau-lim-si telah berubah menjadi pucat kelabu, tapi para Hwesio itu tidak merasakan apa pun dan tetap asyik makan.

Mendadak Sim-bi Taysu juga kaget, serunya, "Cepat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk mencegah menjalarnya racun."

Keempat Hwesio itu belum lagi mengetahui apa yang terjadi, jawab mereka dengan tertawa, "Masa Susiok ...."

"Kalian keracunan, masa sama sekali tidak tahu," seru Sim-bi pula dengan khawatir.

"Keracunan?" kata salah seorang Hwesio itu. "Keracunan oleh siapa?...."

Tapi setelah keempat Hwesio itu saling pandang sekejap, serentak mereka berteriak, "Hei, wajahmu ...."

Belum lanjut ucapan mereka, kontan semuanya roboh terkulai.

Waktu Sim-bi memandang mereka lagi, wajah keempat orang sudah berubah bentuk, mata melotot, hidung berkerut dan muka beringas.

Racun dalam sayur ternyata tak berwarna dan tak berbau sehingga orang yang keracunan tidak merasakan apa pun. Ketika mereka mengetahui dirinya keracunan, semuanya sudah terlambat.

Mau tak mau Dian Jit merasa ngeri, desisnya, "Racun apakah ini? Mengapa sedemikian lihai?"

Meski biasanya Sim-bi Taysu sangat sabar, tidak urung sekarang ia naik darah, ia melompat ke sana, pelayan dicengkeramnya seperti elang mencengkeram anak ayam, bentaknya dengan bengis, "Racun apa yang kau taruh di dalam sayur?"

Melihat empat orang telah menggeletak tak bernyawa, pelayan itu ketakutan setengah mati, gigi sampai gemertuk dan tidak sanggup bicara.

Sun-hoan menghela napas, gumamnya, "Tolol, bila aku yang menaruh racun, tentu sejak tadi aku sudah lari, untuk apa menonton lagi di sini?"

Pukulan Sim-bi Taysu sudah hampir dijatuhkan, karena ucapan Sun-hoan itu, mendadak ia urung menghantam, segera ia melompat ke luar.

Dian Jit juga ikut menerobos keluar, tapi segera memutar balik dan mengempit Li Sun-hoan, jengeknya, "Seumpama kami mati keracunan seluruhnya, kau sendiri juga tak bisa kabur. Apa pun juga kau harus mengiringi diriku, aku hidup kau hidup, aku mati kau pun mati."

Sun-hoan tertawa, katanya, "Tak tersangka aku akan mendapatkan pelayanan istimewa darimu. Cuma sayang, engkau bukan wanita cantik, sedangkan terhadap lelaki aku justru tidak berminat."



*****



Waktu itu sudah lewat jam makan, bagian dapur restoran itu sudah menganggur, koki besar telah membuat dua macam sayur, koki kedua mengambil sepoci arak, keduanya sedang menongkrong di situ untuk menikmati saat yang paling menyenangkan selama sehari ini.

Pada saat itulah mendadak Sim-bi Taysu menerobos masuk dengan gusar, tapi segera ia melenggong begitu melihat kedua koki itu. Ternyata air muka kedua orang itu pun sudah berubah hitam.

Mungkin si koki besar sudah setengah mabuk, dengan tertawa ia menyapa, "Apakah Taysu juga mau minum barang satu dua cawan? Silakan, mari."

Belum lanjut ucapannya, mendadak koki itu jatuh terjungkal di atas tungku, wajan ambruk membentur botol minyak, maka tumpahlah minyak ke dalam wajan dan memantulkan cahaya minyak yang mengilat.

Ternyata di dalam minyak yang mengilat itu terdapat seekor kelabang.

Baru sekarang jelas duduknya perkara. Ternyata racun berasal dari minyak goreng.

Dengan minyak goreng ini si koki membuatkan sayuran bagi para Hwesio Siau-lim-si, lalu dengan minyak goreng itu ia membuat sayur untuk dirinya sendiri, maka jiwanya melayang tanpa mengetahui apa sebabnya.

Jadi racun sudah dapat ditemukan. Namun siapakah gerangan orang yang menaruh racun ini?

Sambil memandang kelabang di dalam minyak, Sun-hoan berucap dengan gegetun, "Memang sudah kuduga cepat atau lambat dia pasti akan datang."

"Siapa yang kau maksudkan? Kau tahu siapa yang menaruh racun?" tanya Dian Jit.

"Secara umum, racun di dunia ini terbagi menjadi dua jenis," tutur Sun-hoan. "Yang semacam adalah racun binatang. Racun dari tumbuh-tumbuhan lebih banyak digunakan orang, sedangkan orang yang menggunakan racun dari binatang lebih sedikit. Orang yang mampu meracuni orang secara lihai di luar tahu korbannya, di dunia ini paling-paling juga cuma satu-dua orang saja."

"Apakah kau maksudkan Ngo ... Ngo-tok-tongcu dari Kek-lok-tong di daerah Miau?" seru Dian Jit.

"Kuharap bukan dia," ujar Sun-hoan.

"Masakah dia juga datang ke daerah Tionggoan sini? Untuk apa dia kemari?" kata Dian Jit pula.

"Dia datang mencari diriku," tutur Sun-hoan.

"Cari dirimu? Apakah dia ...." Dian Jit tahu tidak mungkin Li Sun-hoan bersahabat dengan manusia berbisa itu, maka belum lanjut bicaranya segera ia berganti ucapan, "Tampaknya sahabatmu tidak banyak, sebaliknya musuhmu tidaklah sedikit."

"Betapa banyak musuh akan lebih baik, tapi sahabat cukup satu-dua orang saja," ujar Sun-hoan. "Sebab sahabat terkadang jauh lebih menakutkan daripada musuh."

"Bahwa di dalam sayur ada racun, cara bagaimana dapat kau lihat?" tanya Sim-bi Taysu tiba-tiba.

"Aku sendiri tidak tahu mengapa dapat kulihat, yang jelas sudah dapat kulihat," ujar Sun-hoan dengan tertawa tak acuh. "Hal ini serupa waktu kumain Pay-kiu, apabila kutaksir kartu pertama akan menang, maka di situlah kutaruh dan tentu menang. Jika orang bertanya padaku cara bagaimana mengetahuinya, maka aku pun tak dapat menjawabnya."

Sim-bi menatapnya sejenak, katanya kemudian kepada kawannya, "Sepanjang jalan kita gunakan dia sebagai pedoman, kalau dia makan baru kita makan juga."

Padahal dua hari lagi dapatlah mereka sampai di Siong-san, di gunung itulah letak Siau-lim-si. Tapi waktu dua hari ini dirasakan terlebih panjang daripada hari-hari yang lain, sebab setiap orang Kangouw tahu, jika Ngo-tok-tongcu sudah bertekad akan membunuh seorang, maka orang itu harus dibunuhnya, tidak ada persoalan lain di dunia ini yang dapat menyuruhnya batal setengah jalan.

Sim-bi telah menyerahkan jenazah keempat murid keponakannya kepada sebuah biara yang berdekatan, lalu berangkat lagi dengan tergesa-gesa, sepanjang jalan tidak ada lagi yang mau menyinggung tentang makan-minum.

Mereka boleh tidak makan dan minum, tapi si pengemudi kereta tidak mau ikut kelaparan bersama mereka. Pada waktu tengah hari, di suatu kota kecil ia lantas masuk sebuah warung dan makan-minum sepuasnya.

Sim-bi Taysu dan Dian Jit terpaksa menunggu di dalam kereta, mereka tetap tidak berani bersantap. Jika hanya untuk makan semangkuk mi babat dan beberapa potong penganan harus menyerempet bahaya keracunan, jelas mereka lebih suka menahan lapar saja.

Tidak lama kemudian, si kusir telah kembali dengan membawa beberapa potong kue kukus, sembari berjalan ia masih terus menggerogoti kue kukus dengan nikmatnya.

Dian Jit mengawasi air muka si kusir, diperhatikannya sampai lama sekali, tiba-tiba ia bertanya, "Kue ini berapa duit sebiji?"

"Ah, sangat murah," jawab si kusir dengan tertawa, "cuma tiga duit sebiji, rasanya juga lumayan. Apakah Toaya mau mencicipinya?"

"Baik, kau bagi beberapa biji kepada kami, malam nanti kutraktir dirimu minum arak," kata Dian Jit.

Segera si kusir memberikan seluruh kue yang dibawanya itu melalui jendela kereta, selang sekian lama lagi, kereta pun sudah dijalankan dan si kusir tetap tidak ada sesuatu tanda kelainan.

Biru sekarang Dian Jit merasa lega, ucapnya dengan tertawa, "Kue kukus ini tentunya tidak beracun, silakan Taysu makan."

Tapi Sim-bi Taysu masih sangsi, setelah berpikir sejenak, lalu katanya, "Silakan Li-sicu makan."

Sun-hoan tertawa, jawabnya, "Tak terduga kalian menjadi sungkan padaku seperti terhadap tamu saja."

Dengan tangan kirinya ia pegang sepotong kue itu, sebab hanya tangan kirinya saja yang dapat bergerak. Tapi mendadak kue itu ditaruhnya kembali, katanya dengan menyesal, "Kue ini juga tidak boleh dimakan."

"Tapi si kusir sudah makan dan tidak terjadi apa-apa," ujar Dian Jit.

"Dia boleh makan, kita tidak boleh," kata Sun-hoan.

"Sebab apa?" tanya Dian Jit dengan penasaran.

"Sebab yang hendak diracun oleh Ngo-tok-tongcu dari Kek-lok-tong bukan dia," jengek Sun-hoan.

"Apakah sengaja hendak kau bikin kami kelaparan?" damprat Dian Jit.

"Jika tidak percaya, kenapa tidak kau coba?" ujar Sun-hoan.

Dian Jit melototinya sampai sekian lama, mendadak ia berteriak agar kereta berhenti, si kusir dipanggilnya turun, lalu diberinya setengah potong kue kukus itu dan menyaksikannya kue itu dimakan olehnya.

Setengah potong kue itu sekaligus dijejalkan ke mulut oleh si kusir dan segera berpindah ke dalam perut, namun tidak ada tanda sedikit pun dia keracunan.

Dian Jit melirik Sun-hoan sambil tersenyum dingin, tanyanya, "Sekarang berani lagi kau bilang kue ini tidak boleh dimakan?"

"Tetap kukatakan tidak boleh," jawab Sun-hoan, ia menguap dan ingin tidur.

Dengan gemas Dian Jit berkata, "Aku justru akan makan, boleh kau lihat."

Walaupun begitu katanya, betapa pun ia tetap tidak berani menyerempet bahaya. Kebetulan dilihatnya ada seekor anjing sedang menggonggong di belakang kereta, anjing itu kurus kering, mungkin juga anjing kelaparan.

Tiba-tiba Dian Jit mendapat akal, dilemparkannya setengah potong kue itu kepada anjing. Biarpun kurus, anjing itu seperti tidak berminat terhadap kue kukus, hanya digigit sekali, lalu ditinggalkan.

Siapa tahu, baru beberapa langkah anjing itu berlari, mendadak terdengar suara mengaing, anjing itu melonjak ke atas dan jatuh terjungkal ke tanah, setelah berkelojotan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi.

Baru sekarang Dian Jit dan Sim-bi Taysu terperanjat benar-benar.

"Nah, betul tidak," kata Sun-hoan dengan menyesal. "Cuma sayang, yang mati keracunan adalah anjing dan bukan dirimu."

Biasanya Dian Jit suka berbangga menghadapi segala sesuatu selalu tenang, sedikit pun tidak pernah memperlihatkan rasa panik. Tapi sekarang tidak urung air mukanya berubah pucat. Mendadak ia mendelik dan membentak si kusir, "Mengapa bisa terjadi begini?"

Dengan gemetar si kusir menjawab, "Hamba tidak tahu, kue itu hamba beli dari warung mi babat tadi."

"Anjing saja mati keracunan, mengapa tidak dapat meracun mati dirimu? Jangan-jangan kau sendiri yang menaruh racun?" Dian Jit menyeringai sambil menjambret leher maju si kusir.

Gemertuk gigi si kusir karena ketakutan sehingga tidak sanggup bicara lagi.

"Tidak ada gunanya kau paksa dia bicara, sebab dia memang tidak tahu-menahu," ujar Sun-hoan acuh tak acuh.

"Dia tidak tahu? Habis siapa yang tahu?" teriak Dian Jit.

"Aku tahu," kata Sun-hoan.

"Kau tahu?" Dian Jit melengak. "Coba katakan, apa-apaan ini?"

"Kue tadi beracun, tapi dalam kuah mi babat terdapat obat penawar racun," tutur Sun-hoan.

Sampai sekian lama Dian Jit melenggong, ucapnya kemudian dengan mendongkol, "Tahu begini, mengapa tadi kita tidak makan mi babat saja."

"Jika kau makan mi, racun juga terdapat di dalam mi," kata Sun-hoan.

Cara menaruh racun Ngo-tok-tongcu ternyata sangat ajaib dan sukar dijaga, menghadapi lawan begini, rasanya tidak ada jalan lain kecuali tutup mulut serapatnya, dan hal ini berarti harus kelaparan dan kehausan.

Mia-tak-mau Dian Jit merasa sedih. Sim-bi juga kelihatan murung.

"Syukur satu-dua hari lagi sudah dapat sampai tempat tujuan, kalau cuma puasa sehari dua hari kukira tidak menjadi soal," kata Sim-bi kemudian.

"Biarpun tidak makan dan minum juga tiada gunanya," tukas Dian Jit.

"Oo, maksudmu?" Sim-bi tidak mengerti.

"Mungkin dia sengaja menunggu kita kehabisan tenaga karena kelaparan, lalu dia akan turun tangan," tutur Dian Jit.

Seketika Sim-bi tidak dapat bicara lagi.

Tiba-tiba gemerdep sinar mata Dian Jit, serunya, "Aku mempunyai akal."

"Akal apa?" tanya Sim-bi Taysu.

Dian Jit mendesis dengan suara tertahan, "Orang yang hendak diracunnya jelas bukan Taysu, juga bukan diriku ...."

Ia melirik Sun-hoan sekejap dan tidak melanjutkan.

Sim-bi tahu maksud Dian Jit, katanya dengan kurang senang, "Tapi sudah kusanggupi akan membawa orang ini pulang ke Siau-lim-si, betapa pun tidak boleh kubiarkan dia mati di tengah jalan."

Dian Jit juga tidak ngotot lagi, tapi bilamana dia pandang Li Sun-hoan, seketika sorot matanya menampilkan nafsu membunuh. Agaknya diam-diam ia sudah ambil keputusan, ia pikir, "Hwesio selain harus makan dan tidur, sekali tempo kan juga harus pergi ke kakus."

Tak terduga, Sim-bi seperti dapat menyelami jalan pikirannya, ke mana pun dan berbuat apa pun tidak pernah ia tinggalkan Li Sun-hoan di luar pengawasannya sendiri.

Karena itulah Dian Jit jadi mati kutu, meski gelisah dan mendongkol, tapi tidak berdaya.

Cepat juga perjalanan kereta, menjelang magrib mereka tiba pula di situ kota kecil.

Sekali ini si kusir tidak berani lagi bicara tentang makan dan minum segala. Pada waktu kereta mereka melalui jalan raya, tiba-tiba terendus bau sedap Yu-ca-kue yang digoreng oleh penjualnya di tepi jalan.

Bagi seorang yang sudah kelaparan hampir sehari suntuk, betapa tergiurnya bau sedap ini sungguh sukar dilukiskan.

Seketika Dian Jit celingukan ke kanan ke kiri, benarlah dilihatnya di tepi jalan sana ada seorang penjual Yu-ca-kue (sejenis kue untir yang digoreng), tampaknya sangat laris, hal ini terbukti di depan berkerumun belasan pembeli, ada yang minta dibungkus dan dibawa pulang, ada yang beli kontan di situ dan kontan dimakan, dan yang makan di situ ternyata tiada seorang pun yang mati keracunan.

Dian Jit tidak tahan, katanya, "Masakah Yu-ca-kue ini juga tidak boleh dimakan!"

"Orang lain boleh makan, hanya kita yang tidak boleh," kata Sun-hoan. "Biarpun, seribu orang makan kue ini tetap tidak beralangan, tapi sekali kita makan segera akan mati keracunan."

Jika kata-kata ini diucapkan dua hari yang lalu, Dian Jit pasti tidak percaya. Tapi sekarang bilamana dia teringat kepada betapa keji dan banyak macam ragamnya cara Ngo-tok-tongcu menaruh racun, tanpa terasa ia merinding dan tidak berani coba-coba makan Yu-ca-kue segala.

Papa saat itu mendadak didengarnya seorang anak kecil berteriak dan menangis, "Minta kue ... ibu, belikan kue, Yu-ca-kue!"

Terlihat dua anak kecil berumur tujuh atau delapan tahun berdiri di samping penjual Yu-ca-kue dan sedang berjingkrak dan merengek. Lalu dari toko kelontong di sebelah sana muncul seorang perempuan gemuk, kontan kedua bocah itu ditampar seorang satu kali, lalu kuping mereka dijewer terus diseret masuk ke dalam toko sambil mengomel, "Setan alas, diberi pangsit mi tidak mau, malahan minta Yu-ca-kue. Nanti kalau setan tua tukang kibul itu mendapat lotre, tentu setiap hari akan kubawa kalian masuk restoran."

Sambil menangis salah seorang anak itu berteriak, "Kalau dapat lotre, kuminta makan-nasi goreng."

Diam-diam Sun-hoan menggeleng kepala dan menyesali ketidakadilan sosial di dunia ini, bagi pandangan anak kecil ini, mungkin makan nasi goreng sudah dianggapnya kenikmatan yang luar biasa.

Jalan raya tidak lebar, ditambah lagi orang berkerumun di depan penjual Yu-ca-kue ini cukup banyak, maka kereta mereka menjadi agak teralang dan belum dapat lewat ke sana.

Tiba-tiba kedua anak tadi berlari keluar lagi, masing-masing membawa semangkuk pangsit mi dan duduk di tepi jalan sambil memandangi Yu-ca-kue yang dipegang orang lain, tampaknya mereka hampir mengiler.

Melihat pangsit mi dalam mangkuk kedua anak itu, mendadak Dian Jit melompat turun dari keretanya, ia lemparkan sepotong uang perak kepada penjual Yu-ca-kue, segera belasan potong kue yang baru dikeluarkan dari wajan diserobotnya semua.

Meski marah pembeli lain yang telah menunggu cukup lama, tapi melihat lagak Dian Jit yang tidak boleh diremehkan itu, mereka tidak berani banyak omong, hanya dalam hati saja mencaci maki.

Balasan potong Yu-ca-kue itu dibawa Dian Jit ke depan kedua bocah itu, sapanya dengan tertawa, "Eh, adik cilik, kuberi makan Yu-ca-kue kepada kalian dan kau beri pangsit mi padaku, mau?"

Kedua anak itu terbelalak bingung.

Segera Dian Jit menambahkan, "Nanti kuberi lagi uang untuk membeli permen!"

Setelah melenggong lagi sejenak, mendadak kedua anak itu menyodorkan mangkuknya kepada Dian Jit, yang satu menerima Yu-ca-kue, yang lain mengambil uangnya, lalu berlari pergi dengan gembira.

Tertampil juga senyuman geli pada sinar mata Sim-bi Taysu, ketika melihat Dian Jit datang kembali dengan membawa dua mangkuk pangsit mi, ia tertawa dan berkata, "Dian-sicu memang banyak tipu akal, sungguh aku sangat kagum."

"Bukan aku rakus dan suka makan," kata Dian Jit, "soalnya malam ini kita masih harus melanjutkan perjalanan, untuk itu kita perlu mengisi perut sekenyangnya supaya bertenaga, kalau tidak, bilamana terjadi sesuatu lagi di tengah jalan, sedangkan badan lemas, lalu cara bagaimana kita mampu menghadapinya?"

"Ya, betul," kata Sim-bi.

Dian Jit lantas menyodorkan semangkuk pangsit mi itu, katanya, "Silakan makan!"

"Terima kasih," ucap Sim-bi sambil menerima pangsit mi.

Meski pangsit mi cuma makanan biasa, tapi bagi mereka sekarang tiada ubahnya seperti makanan paling mahal dan sukar dicari. Sebab siapa pun dapat memastikan di dalam pangsit mi ini tentu tidak beracun.

Dian Jit melirik Li Sun-hoan, ucapnya dengan tertawa, "Coba katakan lagi, apakah pangsit mi ini juga tidak boleh dimakan?"

Belum menjawab Sun-hoan sudah terbatuk-batuk lagi.

Dian Jit bergelak tertawa, katanya, "Apabila Ngo tok-tongcu dapat memperhitungkan lebih dulu di dalam mi, maka biarpun aku mati keracunan juga rela."

Sembari tertawa semangkuk pangsit mi itu lantas dimakannya hingga habis.

Sim-bi Taysu juga sependapat dengan Dian Jit, betapa lihai Ngo-tok-tongcu juga bukan dewa yang dapat meramal apa yang belum terjadi. Maka ia pun makan pangsit mi itu dengan perasaan aman. Cuma cara makan orang beragama biasanya memang lebih sopan, lebih halus, disumpit dan dikunyah dengan perlahan, jika semangkuk pangsit mi dengan cepat telah masuk perut Dian Jit, maka Sim-bi sendiri baru makan dua-tiga sumpit.

Sementara itu kereta sudah berada di luar kota, si kusir berharap selekasnya dapat mengantar penumpangnya sampai di tempat tujuan, lalu dia sendiri dapat makan-minum sepuasnya, maka doa melarikan keretanya dengan sangat cepat.

"Jika lari kereta secepat ini, tidak sampai fajar tiba kita pasti dapat sampai di Siong-san," ujar Dian Jit dengan tertawa.

Wajah Sim-bi Taysu juga menampilkan perasaan lega, katanya, "Dalam dua hari ini tentu ada anak murid perguruan kami akan memapak, asalkan dapat ...."

Mendadak ucapannya terhenti dengan tubuh gemetar, mangkuk yang dipegangnya juga hampir terlepas, kuah pangsit mi sampai tumpah dan mengotori jubahnya.

"He, Taysu, apakah engkau ...." seru Dian Jit dengan kaget.

"Prak", tahu-tahu mangkuk teremas hancur oleh Sim-bi Taysu.

"Masa pangsit mi ini pun beracun!" seru Dian Jit.

Sim-bi menghela napas panjang sambil menggeleng.

Dian Jit menarik leher baju Li Sun-hoan sambil berteriak dengan suara serak, "Coba kau pandang wajahku, apakah mukaku juga ...."

Dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab dia tidak perlu tanya lagi.

Sun-hoan menarik napas, katanya, "Meski selama ini aku sangat benci padamu, tepi tidak ingin kusaksikan kau mati."

Muka Dian Jit pucat seperti mayat, badan gemetar, ia melototi Sun-hoan dengan gemas, selang sejenak ia berucap dengan menyeringai, "Huh, kau tidak ingin melihat kumati, aku justru ingin melihat kau mati. Seharusnya sudah lama kubunuh kau!"

"Apakah tidak terlambat jika sekarang kau bunuh diriku?" kata Sun-hoan.

"Ya, jika sekarang kubunuh dirimu memang agak terlambat, tapi juga tidak terlalu terlambat," ucap Dian Jit dengan geregetan, segera ia mencekik leher Li Sun-hoan.



*****



A Fei telah berdiri, meski air mukanya kelihatan pucat, namun dia dapat berdiri dengan tegak.

Lim Sian-ji memandangnya dengan mesra penuh kasih sayang, ucapnya, "Engkau sungguh orang baja, semula kukira paling sedikit tiga-empat hari lagi baru engkau dapat sembuh, siapa tahu belum ada setengah hari engkau sudah dapat turun dari tempat tidur."

A Fei berjalan dua lingkaran di dalam rumah, tiba-tiba ia bertanya, "Menurut pandanganmu, dapatkah dia sampai di Siau-lim-si dengan selamat?"

Sian-ji tampak kurang senang, omelnya, "Mengapa yang selalu kau bicarakan hanya dia dan dia saja, mengapa tidak kau bicara tentang diriku, atau mengenai dirimu sendiri?"

"Dapatkah dia sampai di Siau-lim-si dengan selamat?" kembali A Fei bertanya sambil menatap Lim Sian-ji, apa pun yang dikatakan nona itu yang ditanyakannya juga tetap mengenai diri Li Sun-hoan.

"Ai, kau ini, sungguh aku tak berdaya," omel Sian-ji dengan tertawa. Dengan halus ia tarik A Fei berduduk, lalu ucapnya dengan lembut, "Namun jangan kau khawatir, bukan mustahil saat ini dia sudah berada di ruang tamu Siau-lim-si dan sedang minum teh, harus kau ketahui, teh Siau-lim-si selama ini sangat terkenal."

Rasa gelisah A Fei tampak mereda, katanya dengan tertawa, "Setahuku, biarpun orang mencekik lehernya juga dia pasti tidak mau minum teh."



*****



Leher Li Sun-hoan memang tercekik dan hampir saja tidak dapat bernapas.

Wajah Dian Jit tampak semakin beringas, napas juga hampir putus, namun tangannya yang penuh urat hijau masih juga mencekik dengan erat.

Sun-hoan merasa pandangannya mulai gelap, wajah Dian Jit dirasakannya semakin samar dan jauh, jauh sekali. Ia tahu "kematian" sudah mendekat.

Pada detik antara hidup dan mati itu dia mengira akan dapat mengenangkan banyak persoalan, sebab menurut cerita orang, konon sebelum ajal seorang bisa mendadak teringat kepada macam-macam hal.

Namun Sun-hoan tidak dapat memikirkan apa-apa, tidak merasakan duka, juga tidak merasa takut, ia malah merasa geli dan hampir saja tertawa. Sebab tak pernah terpikir olehnya dirinya bisa sama-sama mengembuskan napas terakhir bersama Dian Jit, biarpun sama-sama menuju ke akhirat, ia merasa Dian Jit pasti bukan teman seperjalanan yang baik.

Didengarnya Dian Jit lagi berteriak dengan suara parau, "Li Sun-hoan, betapa panjang napasmu, mengapa engkau belum lagi mati?"

Mestinya Sun-hoan hendak menjawab, "Sedang kutunggu kematianmu lebih dulu."

Akan tetapi ia tidak dapat bicara, malahan ganti napas saja tidak dapat. Dirasakan suara Dian Jit juga berubah semakin jauh, seperti berkumandang dari neraka.

Ia tidak kuat meronta lagi, perlahan ia mulai pingsan.

Pada saat demikian itulah, sekonyong-konyong didengarnya jeritan kaget seorang, suara jeritan itu terdengar sayup-sayup dan juga sangat jauh, kedengaran juga suara Dian Jit.

Habis itu dada terasa longgar, napas menjadi lancar, pandangannya mulai terang. Ia dapat lagi melihat Dian Jit. Cuma sekarang Dian Jit sudah roboh di jok depan, kepalanya terkulai miring ke bawah, hanya matanya saja yang masih mendelik padanya.

Waktu ia berpaling, dilihatnya Sim-bi Taysu lagi tersengal-sengal, jelas baru saja terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

Sun-hoan memandangnya sekian lama, akhirnya bertanya, "Engkau yang menolong diriku?"

Sim-bi tidak menjawab, tapi lantas membuka Hiat-to kelumpuhan Sun-hoan dan berkata dengan parau, "Mumpung Ngo-tok-tongcu belum muncul, lekas kau lari saja!"

Tapi sama sekali Li Sun-hoan tidak angkat kaki, bahkan bergerak saja tidak, ucapnya dengan suara tertahan, "Sebab apa kau lepaskan diriku? Apakah sudah kau ketahui aku bukan Bwe-hoa-cat?"

"Orang beragama tak mau menambah dosa mendekati ajalnya," ucap Sim-bi dengan menyesal, "maka baik engkau Bwe-hoa-cat atau bukan, yang penting lekas kau pergi secepatnya, bilamana Ngo-tok-tongcu muncul, maka terlambatlah biarpun kau ingin lari."

Sun-hoan memandangi wajah Hwesio tua yang mulai hitam hangus itu, katanya, "Terima kasih atas maksud baikmu. Cuma sayang, aku serbabisa, hanya kabur saja aku tidak bisa."