Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 2

Oleh : Gan KL

Setelah siuman, Po-ji merasa sekujur badan masih kaku, rasanya seperti dibelenggu. Tapi segera Oh Put-jiu mengurutnya sehingga dalam waktu singkat ia dapat duduk dengan bebas.

Anak itu terbelalak, sampai sekian lama tidak sanggup bersuara.

Pedih dan sayang Oh Put-jiu terhadap anak itu, ucapnya lembut, “Po-ji, apakah kamu ketakutan oleh kejadian tadi?”

Po-ji menggeleng, katanya, “Mati pun aku tidak takut, Cuma kejadian begitu saja masa membuatku takut? Aku Cuma heran, hanya ditutuk begitu saja oleh si nenek dan aku lantas tak bisa berkutik.”

“Itu namanya Tiam-hiat (ilmu menutuk),” tutur Oh Put-jiu. “Jika kamu ingin paham lebih banyak ilmu demikian dan tak ingin ditutuk orang lagi, maka kamu harus tekun belajar ilmu silat.”

Po-ji tersenyum, “Hah, rupanya kesempatan ini kau gunakan untuk menyuruhku belajar silat? Supaya kau tahu, aku lebih suka ditutuk orang seratus kali lagi daripada belajar silat segala.”

Oh Put-jiu melengak, sampai sekian lama ia tidak bicara.

Terdengar Po-ji berkata pula, “Aku heran tentang sesuatu.”

“Urusan apa?” tanya Put-jiu.

“Nenek tadi tidak gentar terhadap apa pun, entah mengapa, begitu melihat ranting kayu kering itu lantas ketakutan setengah mati dan cepat-cepat kabur. Memangnya tokoh macam apakah nakhoda kapal layar pancawarna itu?”

Meski tadi Hiat-to tertutuk, namun daya pendengarannya tidaklah hilang.

“Aku pun tidak tahu,” ujar Put-jiu.

Po-ji menunduk dan berpikir sejenak, katanya kemudian dengan menyesali, “Ai, jika kita sama tidak tahu, marilah kita tidur saja.”

Belum lama berselang anak ini harus mengalami berbagai kejadian yang berbahaya, sekarang semua itu seperti sudah terlupa olehnya begitu ia baringkan diri segera tertidur.

Sebaliknya Oh Put-jiu bergulang-guling tidak dapat pulas.

Entah berapa lama lagi, sekonyong-konyong mereka terjaga bangun oleh suara-suara aneh.

Suara itu seperti alat tiup, juga seperti suara raung binatang buas, hanya berbunyi tiga kali, lalu lenyap.

Sambil kucek-kucek matanya yang masih sepat Po-ji bertanya, “Suara apakah itu?”

Seketika Put-jiu mendekap mulut anak itu sambil berdesis, “Ssst, jangan bersuara, biarlah kita diam-diam mengintainya.”

Saat itu hari belum terang, namun sudah mulai remang-remang, mereka merangkak ke tepi gua karang dan melongok keluar.

Terlihatlah di tanah lereng yang landai itu entah sejak kapan sudah menyala tujuh gunduk api, cahaya api warna kebiruan dan tidak terdapat kayu bakar atau bahan bakar lain, tempat api itu adalah sebuah baskom tembaga, api menyala dari dalam baskom, tujuh gunduk api unggun itu mengelilingi seorang berbaju cokelat dan duduk bersila di situ.

Karena heran, Po-ji berbisik di tepi telinga Oh Put-jiu, “Sungguh aneh, entah apa yang dilakukan orang itu? Umpama takut dingin kan juga tidak perlu menggunakan tujuh gundukan api unggun.”

“Itu bukan orang,” kata Oh Put-jiu.

Po-ji melenggong, dilihatnya “orang” itu memang tidak bergerak.

Setelah diawasi sejenak lagi, akhirnya baru diketahuinya memang bukan orang melainkan cuma sebuah boneka kayu belaka. Cuma lantaran ukiran boneka itu sedemikian hidupnya sehingga dari jauh sukar dibedakan apakah manusia atau patung.

Mau tak mau timbul juga rasa seram Oh Put-jiu, katanya, “Jangan-jangan di balik boneka kayu ini ada sesuatu keanehan lagi? ....”

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar pula suara suitan perlahan, dua sosok bayangan berlari cepat muncul dari sana. Melihat gerak langkah mereka, jelas mereka pun tokoh Bu-lim kelas satu.

Tapi setelah muncul di lereng landai ini, langkah mereka lantas diperlambat, dengan setengah membungkuk, selangkah demi selangkah mereka mendekati patung kayu itu dan serentak bersujud.

Orang yang di sebelah kiri berkata dengan suara berat, “Ting Tiong-hoa dan Ting Pek-hoa, mereka bersama mempersembahkan 71 benda mainan, seluruhnya bernilai tujuh ratus tahil emas, mohon Sin-kun sudi menerimanya!”

Lalu kedua orang meninggalkan ransel yang mereka bawa, isi bungkusan dikeluarkan satu per satu dan ditaruh di depan patung. Ternyata semuanya mestika yang berharga.

Setelah memberi sembah lagi, kedua orang lantas menyurut mundur dan berdiri. Wajah keduanya tampak gembira, setelah mempersembahkan harta benda 700 tahil emas itu rupanya sama sekali tidak merasa sayang, sebaliknya sangat senang dan bangga.

Tentu saja Po-ji terheran-heran, “Apakah kedua orang ini orang dungu, masa begitu hormat terhadap boneka kayu dan bicara pula padanya, betapa pun mereka bicara masa didengar oleh patung?”

Bukan cuma Po-ji saja yang heran, Oh Put-jiu jauh lebih heran daripada dia. Maklumlah, Ting Tiong-hoa dan Ting Pek-hoa itu di dunia Kangouw terkenal sebagai Kim-ci-gin-kau Ting-si-siang-kiat atau kedua jago Ting bersaudara, si panah emas dan si gaetan emas. Mereka adalah bandit budiman terkenal di sekitar provinsi Ciat-kang dan Kangsoh.

Sekarang kedua bandit besar ini jauh-jauh datang ke sini dan mempersembahkan sesajen bernilai sebesar ini, sungguh kejadian yang luar biasa. Ia pikir, “Jangan-jangan patung inilah lambang pemegang Sin-bok-leng itu, dan ketujuh gunduk api adalah Leng-kong-sin-hwe yang disebut-sebut It-tin-hong bertiga itu?”

Dengan kejut dan heran Put-jiu dan Po-ji terus mengintai, hanya dalam waktu tidak terlalu lama, di lereng bukti itu telah datang 17 tokoh dunia persilatan kelas terkemuka yang biasanya jarang terlihat.

Ke-17 orang ini macam-macam bentuknya, ada tua, ada muda, ada lelaki ada perempuan. Ada yang datang berkawan dua atau tiga orang, ada yang muncul sendirian. Namun tujuan mereka sama, yaitu mempersembahkan sesajen kepada patung kayu ini, yang dipersembahkan seluruhnya adalah benda berharga.

Setiba di depan patung, semuanya berlutut dan menyembah serta melaporkan nama sendiri, waktu pergi juga memperlihatkan rasa gembira. Agaknya asalkan mereka dapat mempersembahkan sesajen kepada patung, hal ini sudah merupakan perbuatan yang sangat menggembirakan mereka.

Pengetahuan Oh Put-jiu cukup luas dan daya ingatnya cukup baik, dari nama ke-17 orang itu, diketahuinya mereka adalah jago Lok-lim (kaum bandit) yang biasanya memandang barang orang bagai milik sendiri. Mereka biasa merampas barang milik orang lain, tapi sekarang mereka rela menyerahkan barang sendiri kepada patung ini, sungguh peristiwa aneh yang tidak pernah terjadi.

Hanya dalam satu-dua jam di sekeliling patung itu sudah penuh tertumpuk harta benda mestika yang tak terhitung jumlahnya, karena cahaya kemilau benda mestika itu, makin membuat seram patung kayu yang misterius ini.

Po-ji tidak tahan, kembali ia membisiki Put-jiu, “Pemilik boneka itu tidak hadir, melulu boneka begitu saja masa mampu menjaga harta benda sebanyak itu, memangnya tidak khawatir akan dicuri atau dirampas orang?”

Put-jiu tersenyum dan menjawab lirih, “Aku sendiri tidak mengerti akan kejadian ini, namun ....”

Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar kumandang suara orang berdendang dari lereng sana, seperti paduan suara beberapa orang. Yang dinyanyikan adalah lagu kaum pengemis yang meratapi nasibnya.

Tidak lama kemudian, muncul tiga orang pengemis berbaju penuh tambalan, semuanya berusia 40-an, masing-masing menggembol enam-tujuh buah karung. Ketika melihat patung kayu aneh itu, serentak mereka berhenti nyanyi dan sama merasa kejut dan heran.

Melihat karung goni yang disandang ketiga pengemis itu, segera Oh Put-jiu dapat menerka mereka pasti anak murid Kay-pang (perserikatan kaum jembel) yang tersebar sangat luas di dunia Kangouw, dan dari jumlah karung yang dipanggil mereka dapat diduga mereka mempunyai kedudukan tinggi dalam organisasi pengemis itu.

Melihat gerak-gerik mereka, jelas kedatangan mereka bukan hendak mengantar sesajen kepada patung melainkan tanpa sengaja memergoki keadaan ini, sebab itulah mereka kejut dan heran melihat keadaan ini.

Ketiga orang saling pandang sejenak, lalu seorang di antaranya yang paling kurus mendesis, “Ssst, Losi (keempat) dan Lojit (ketujuh), apakah kalian dapat menerka apa-apaan ini?”

Kedua kawannya menggeleng, salah seorang yang lehernya ada uci-uci berkata, “Jangan-jangan ada upacara sembahyang yang diadakan sesuatu perkumpulan rahasia dunia Kangouw?”

Kawannya yang waktu jalan agak pincang menanggapi, “Kukira bukan. Masa mempersembahkan harta benda begini kepada setan, hm, mereka kalau bukan dungu tentu gila.”

Serentak ketiga orang sama memandang kian kemari, namun tiada sesuatu yang mereka dapatkan.

Oh Put-jiu menahan napas dan tidak berani mengeluarkan suara apa pun. Terdengar pengemis kurus tadi berkata, “Sekitar sini tidak ada manusia ....”

“Wah, alangkah baiknya jika harta mestika ini kita miliki,” tukas si pengemis beruci-uci.

Si pengemis pincang ikut berkata, “Harta mestika ini dimiliki patung kayu seperti ini, apakah patung kayu bisa menikmatinya? Kukira lebih baik kita ambil saja.”

“Betul,” sambung si pengemis beruci-uci. “Toh orang tidak tahu, setan pun tidak melihat ....” Ia pandang si pengemis kurus sekejap, lalu bertanya, “Bagaimana pendapatmu, Jiko?”

Pengemis kurus termenung sejenak, katanya kemudian, “Entah itu patung sungguh atau bukan?”

“Biar kucobanya,” kata pengemis beruci-uci, ia pungut sepotong batu kecil dan disambitkan, dengan cepat dan membawa desir angin batu itu tepat mengenai kepala patung.

“Tokkk”, memang benar suara benturan kayu dan batu.

Si pengemis pincang tertawa cerah, katanya, “Jika bukan patung, kepalanya terkena batu sambitan Lojit, mustahil kepalanya takkan bocor dan keluar kecapnya.”

“Tapi kalau diketahui Pangcu ....” Si pengemis kurus tampak ragu, ia pandang onggokan benda mestika yang tak terhitung jumlahnya itu, lalu menggeleng dan berucap pula dengan gegetun, “Ai, andaikan diketahui Pangcu juga apa boleh buat.”

“Ya, betapa pun Jiko memang orang pintar,” puji si pengemis beruci-uci.

Serentak ketiga orang bergerak cepat menubruk ke arah patung kayu.

Diam-diam Oh Put-jiu membatin, “Sudah lama kudengar disiplin Kay-pang sangat keras, tak terduga ada juga muridnya yang kemaruk harta.”

Baru berpikir demikian, dilihatnya ketiga pengemis sudah memasuki lingkaran api unggun. Gerak si pengemis pincang justru paling cepat, ia mendahului menerjang ke sana, sebelah tangan terus meraih, segenggam batu permata lantas diraupnya.

“Maaf, saudara patung,” katanya dengan tertawa terhadap boneka kayu itu. “Kami bertiga ingin pinjam harta mestikamu yang menganggur ini, nanti kalau ....”

Belum lanjut ucapannya, mendadak tubuh tergetar dan tidak dapat bergerak lagi, batu permata yang diraupnya jatuh berserakan ke tanah, seperti mendadak melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.

Dalam pada itu si pengemis kurus dan beruci-uci sudah menyusul tiba, mereka tanya dengan heran, “Hei, ada apa?”

Waktu mereka menoleh, seketika mereka pun tergetar, mulut melongo tanpa bersuara.

Kiranya sesudah mereka mendekati, terlihat kedua mata patung kayu yang semula terpejam itu mendadak terpentang dan memancarkan sinar mata yang tajam.

“Hahh, kiranya engkau man ... manusia,” seru si pengemis pincang dengan suara agak gemetar.

Nyata, selama dua-tiga jam patung yang sama sekali tidak bergerak itu rupanya manusia hidup.

Tentu saja ketiga pengemis itu terkejut, malahan kejut Oh Put-jiu dan Pui Po-ji juga tidak terkatakan.

Mendadak si pengemis beruci-uci membentak, “Biarpun kamu manusia juga akan kubuat kau jadi setan!”

Rupanya merasa dipermainkan orang, pula untuk menutupi perbuatan tamaknya tadi, seketika timbul nafsunya membunuh, sekali menubruk maju, kedua tangan menghantam sekaligus, secepat kilat ia hantam dada orang berbaju cokelat yang duduk bersila dan semula disangka patung itu.

Pengemis beruci-uci ini bertenaga raksasa pembawaan, latihan fisiknya terhitung paling tangguh, ia termasuk sati di antara ke-17 jago andalan Kay-pang. Ia memukul dengan kedua tangan, tenaganya paling sedikit ada tujuh atau delapan ratus kati, jika cuma tubuh manusia biasa pasti tidak tahan.

Siapa tahu si baju cokelat sama sekali tidak mengelak atau menghindar, keruan si pengemis uci-uci sangat girang, bentaknya, “Kena!”

“Blang”, dengan tepat kedua kepalan si pengemis menghantam pada dada sasarannya.

Namun yang dirasakan pengemis itu, pukulan mahadahsyat itu rasanya seperti mengenai kayu lapuk saja, sama sekali tidak serupa tubuh manusia yang berdarah daging.

Akibatnya jika si baju cokelat masih tetap duduk bersila di tempatnya, tahu-tahu si pengemis sendiri yang tergetar dan terpental jatuh. Darah serasa bergolak dalam rongga dada, kedua pergelangan tangan kesakitan seperti patah, wajah pun pucat ketakutan.

Kedua pengemis yang lain juga terkejut, melongo tanpa bersuara.

Apabila si baju cokelat ini manusia hidup, mengapa tubuhnya serupa kayu lapuk? Dan jika dia bukan manusia hidup, mengapa matanya memancarkan sinar tajam?

Si baju cokelat masih tetap diam saja serupa patung, tiba-tiba dari belang ketiga pengemis berkumandang suara lembut, “O, kasihan ...”

Meski suara itu lemah lembut, namun ketiga pengemis itu serupa burung yang sudah ketakutan oleh pelinteng, serentak mereka membalik tubuh. Maka terlihatlah seorang perempuan tua bertubuh gemuk buntak, tangan kiri menjinjing sebuah bungkusan besar, tangan kanan memegang tongkat, dengan langkah lamban ia muncul dari kegelapan.

Di bawah cahaya api Po-ji dapat melihat jelas perempuan tua ini, desisnya, “Wah, celaka, perempuan siluman ini datang lagi.”

Nenek ini memang benar Ban-lohujin adanya. Semula Po-ji merasa senyum orang sangat welas asih, tapi sekarang wajah yang kelihatan ramah tamah ini membuatnya mual, sungguh ia ingin memejamkan mata dan tidak mau memandangnya.

Namun apa yang terjadi sekarang sungguh terlampau aneh menarik, siapa pun juga pasti ingin tahu dan tidak nanti memejamkan mata, apa lagi Po-ji yang masih kecil dan serbaingin tahu.

Dilihatnya sambil melangkah Ban-lohujin bergumam dengan gegetun, “O, anak kasihan ... kasihan ....”

Dengan napas terengah akhirnya nenek itu sampai di depan api unggun.

Ketiga pengemis sama tercengang dan waswas, si pengemis uci-uci tidak tahan, bentaknya, “Siapa anak kasihan?”

Ban-lohujin memandangnya dengan menghela napas, katanya kemudian sambil menggoyang kepala, “Siapa lagi, ialah dirimu ini.”

Pengemis itu melengak, katanya dengan tertawa, “Sungguh nenek sialan, ada apa aku dikasihani?”

“Kasihan kamu takkan hidup tiga jam lagi,” ucap Ban-lohujin dengan gegetun.

“Huh, ngaco-belo!” bentak si pengemis uci-uci dengan gusar.

“Eh, kau kira nenek dusta padamu?” kata Ban-lohujin perlahan. “Ai, kamu sudah tergetar oleh tenaga sakti Koh-bok-sin-kang kalau bisa hidup tiga jam lagi sudah untung bagimu.”

Heran sekali Po-ji melihat ketakutan mereka itu, “Koh-bok-sin-kang apakah itu? Mengapa membuat mereka ketakutan setengah mati.”

Tiba-tiba dirasakan tangan Oh Put-jiu yang memegang tangannya juga penuh keringat dingin, waktu ia melirik, dilihatnya wajah Oh Put-jiu juga menampilkan rasa ketakutan, tidak sampai Po-ji tanya ia sudah membisiki anak itu, “Koh-bok-sin-kang itu adalah semacam ilmu mukjizat yang sudah lama hilang dari ilmu silat, orang yang berlatih ilmu ini segenap anggota badannya kaku dan pati rasa, gerak-geriknya juga sukar diraba. Tampaknya orang ini sudah cukup sempurna berlatih Koh-bok-sin-kang, seluruh badannya sudah kaku serupa kayu, senjata biasa saja sukar melukainya. Tadi si pengemis uci-uci tergetar luka oleh tenaga saktinya, jelas jiwanya sukar dipertahankan, maka kita harus hati-hati, jangan sampai dilihat olehnya.”

Setelah dia bicara sebanyak itu, ketiga pengemis tadi masih tetap berdiri saja dengan mulut melongo dan mata terbelalak penuh rasa seram, sedikit pun tidak bergerak, dipandang dalam kegelapan malam mereka pun serupa patung.

Mendadak si pengemis uci-uci menjerit, darah segar terus tersembur dari mulutnya, lalu jatuh terjungkal. Habis terluka dan baru sekarang roboh, suatu tanda betapa keji tenaga Koh-bok-sin-kang.

“Ai, ternyata benar hidup tidak lebih dari tiga jam lagi,” ucap Ban-lohujin sambil menggeleng kepala, sikapnya penuh rasa kasihan, seolah-olah seekor semut pun ia merasa sayang untuk menginjaknya.

Jika tidak menyaksikan sendiri dalam sekejap tadi si nenek membunuh tiga orang, tentu Po-ji tidak percaya hati orang tua itu sesungguhnya sangat kejam.

Terlihat si pengemis kurus dan pincang sama berteriak kaget dan berjongkok memeriksa keadaan kawannya, wajah pengemis uci-uci kelihatan biru hangus, dalam sekejap saja jiwa sudah melayang, tanpa terasa kedua pengemis itu mencucurkan air mata.

“Jika kalian sedemikian berduka baginya, apa artinya hidup bagi kalian?” ucap Ban-lohujin. “Biarlah nenek berbuat baik dan mengantar kalian menjadi teman perjalanannya saja.”

Segera ia pegang tongkat dengan tangan kiri, tangan kanan terus merogoh saku.

Keruan Po-ji terkejut, pikirnya, “Wah, celaka, kembali nenek siluman ini hendak membunuh orang lagi dengan manisan cermai!”

Pada saat itulah si baju cokelat yang sejak tadi tidak bergerak dan tidak bersuara serupa patung itu mendadak berkata, “Urusan Bok-long-kun tidak perlu orang lain ikut campur.”

Suaranya kaku ketus, setiap kata seperti diucapkan dengan mengerahkan tenaga seolah-olah lidah pun kaku.

Dengan tersenyum Ban-lohujin mengiakan.

Lalu si baju cokelat alias Bok-long-kun (tuan kayu) berkata pula, “Anak murid Kay-pang maju sini!”

Meski si pengemis kurus dan beruci-uci berduka akan kematian kawannya, tapi melihat kesakitan ilmu silat Bok-long-kun, mana mereka berani mengemukakan niat membalas dendam segala. Dengan menurut mereka lantas mendekat ke sana.

“Mengingat Cukat Tong, jiwa kalian kuampuni,” kata Bok-long-kun.

Kedua pengemis itu kegirangan dan berucap, “Terima kasih, Cianpwe.”

“Dan bolehlah kalian memenggal tangan kanan sendiri yang telah menjamah harta mestika tadi,” kata Bok-long-kun pula.

Tergetar hati kedua pengemis itu, seketika keringat dingin membasahi tubuh mereka.

“Ampun, Cianpwe,” ratap si pengemis kurus sambil menyembah. “Jika Cianpwe ada hubungan baik dengan Pangcu kami, mohon mengingat kepada beliau sudilah mengampuni kami ....”

“Penggal sekalian kedua lengan,” tukas Bok-long-kun dengan dingin.

Keruan kedua pengemis terkejut dan berteriak, “Cianpwe, engkau ....”

“Potong pula kedua telinga kalian!” sambung Bok-long-kun.

Kaki kedua pengemis menjadi lemas dan jatuh terkapar, bibir pun pucat ketakutan.

Po-ji juga gemetar menyaksikan kejadian ini.

Dengan suara lembut Ban-lohujin berkata, “Biarlah kuberi nasihat kepada kalian, lebih baik janganlah banyak omong, jika omong lagi, mungkin tangan kanan dan hidung kalian pun sukar diselamatkan!”

Kedua pengemis tahu ucapan si nenek memang tidak salah, terpaksa mereka berdiri dengan gemetar, masing-masing mengeluarkan belati terus memotong daun telinga sendiri.

Biasanya sangat cepat cara mereka membunuh orang, tapi sekarang mereka diharuskan menyayat daun kuping sendiri, tangan mereka justru gemetar sehingga sebuah daun telinga kecil sukar putus meski sudah diiris beberapa kali.

“O, anak kasihan!” ucap Ban-lohujin dengan gegetun, mendadak tongkat yang dipegangnya menyambar ke atas, ujung tongkat yang lantas menjeplak, sebatang pisau panjang terjulur.

Panjang tongkatnya mencapai sembilan kaki, ditambah lagi pisau sepanjang dua-tiga kaki, panjang seluruhnya menjadi dua belasan kaki, maka tanpa bergeser tubuh ujung tongkat sudah menyambar sampai di depan hidung kedua pengemis.

Terlihat cahaya perak berkelebat beberapa kali disertai jerit ngeri kedua pengemis, secepat terbang mereka terus melarikan diri, sampai jenazah kawan sendiri pun tidak terpikir lagi. Di atas tanah tampak tercecer dan terdapat empat potong daun kuping, dua lengan kutung.

Pisau pada ujung tongkat si nenek sudah lenyap, tongkat telah ditarik kembali, hanya napasnya terengah dan berkata sambil menggeleng, “Ai, sudah tua, tidak berguna lagi ....”

Berbareng ia merogoh saku dan mengambil sebiji manisan cermai serta dimakan dengan nikmatnya.

Semula Oh Put-jiu menyangka kelihaian si nenek hanya karena keanehan senjata rahasianya dan caranya menyerang orang di luar dugaan, sekarang setelah menyaksikan betapa cepat ia menyerang kedua pengemis, baru diketahuinya bahwa Kungfu nenek itu memang sangat lihai, tongkatnya yang panjang itu bahkan sejenis senjata yang amat ampuh dan serbaguna.

Terdengar Bok-long-kun mendengus, “Hm, siapa yang minta kau turun tangan?”

“Eh, jangan marah dulu,” jawab Ban-lohujin dengan tertawa. “Aku kan juga datang menyampaikan hadiah, memangnya Sin-kun juga akan membikin susah padaku?”

Bok-long-kun hanya mendengus saja.

Ban-lohujin lantas membuka bungkusan yang dibawanya, katanya dengan tertawa, “Ini, jika Sin-kun anggap tidak cukup, Lopocu (nenek tua) masih dapat mencarikan tambahan lagi.”

Baru saja ia taruh bungkusan di atas tanah, Bok-long-kun yang duduk bersila itu mendadak berdiri tegak, wajahnya yang kaku timbul selapis hawa hijau.

Air muka Ban-lohujin berubah seketika, tanyanya dengan tertawa, “Sin-kun mau apa?”

“Siapa yang menyuruhmu ke sini? Menyuruhmu berbuat apa?” tanya Bok-long-kun sekata demi sekata.

“Apa? Aku tidak tahu apa-apa?” jawab Ban-lohujin dengan sikap bingung.

“Hm, kamu tidak perlu berlagak pilon,” jengek Bok-long-kun dengan terkekeh, suaranya melengking menusuk telinga, namun wajahnya tetap kaku tanpa emosi dan membuat ngeri orang yang melihatnya.

“Apa maksud Sin-kun, sama sekali Lopocu tidak tahu, masa aku perlu berlagak pilon segala?” kata Ban-lohujin dengan tertawa dan tetap berlagak bingung, namun sikapnya jelas tidak tenteram.

“Apakah perempuan hina she Cui itu yang menyuruhmu ke sini?” tanya Bok-long-kun, “apakah karena dia tahu kugunakan Sin-bok-leng untuk mengumpulkan harta benda dan akan digunakannya untuk memohon bantuan Ngo-sik-bang-cun-cu (nakhoda kapal layar pancawarna), maka kamu disuruh mencari kesempatan di sini untuk membegal?”

Oh Put-jiu terkesiap mendengar ucapan itu, ia heran urusan ini ternyata ada sangkut pautnya dengan nakhoda kapal layar pancawarna.

Terdengar Ban-lohujin bergelak tertawa dan menjawab, “Orang bilang sekujur tubuh Bok-long-kun kaku serupa kayu, hanya hatinya saja yang tidak kaku. Tampaknya sekarang memang bukan omong kosong, buktinya gerak-gerikku dapat kau ketahui juga.”

“Sama sekali tidak ada perintahku padamu, tapi orang semacam dirimu masakah mau mengantar hadiah tanpa sebab?” jengek Bok-long-kun, sekali melangkah tahu-tahu ia sudah keluar dari lingkaran timbunan harta mestika.

Anggota badannya tampak kaku dan tidak bisa membengkok, namun betapa cepat gerak-geriknya sungguh sangat mengejutkan.

“Wah, setelah maksud kedatanganku sudah terbongkar oleh Sin-kun, tiada jalan lain terpaksa harus minta ampun kepada Sin-kun,” kata Ban-lohujin, sambil memegang tongkat ia terus hendak berlutut.

“Ah, nenek siluman ini kembali hendak menyergap orang secara mendadak,” demikian pikir Po-ji.

Benar juga, belum selesai berpikir, tongkat si nenek sudah menonjok langsung ke depan, pisau yang terpasang pada ujung tongkat mendadak menjeplak keluar lagi dan dalam sekejap saja sudah menusuk belasan kali.

Jarak si nenek dari Bok-long-kun ada lebih setombak jauhnya, tongkatnya yang panjang juga lebih setombak, yang digunakan adalah gaya tonjokan, gerakannya lincah dan cepat serupa pagutan ular, betapa cepat cara lawan menghindar, ujung tongkat berpisau itu selalu menutup jalannya sehingga lawan tidak mampu mendekatnya dan dengan sendirinya tidak sanggup balas menyerang.

Menyaksikan itu, diam-diam Oh Put-jiu terkesiap, ia pikir serangan si nenek sungguh sangat lihai, senjatanya juga sesuai pemeo dunia Kangouw “satu inci lebih panjang, satu inci lebih berbahaya”. Nyata dengan serangan senjata panjang begitu, yang jelas si nenek sendiri sudah berada dalam posisi yang takkan kalah.

Terlihat sinar perak berkelebat, Bok-long-kun berubah menjadi sesosok bayangan dan berlompatan di luar sinar tajam itu, namun sejauh itu ia tidak mampu mendesak maju.

Api unggun yang kebiruan juga gemerdep terdampar oleh angin senjata, sekonyong-konyong Bok-long-kun membentak, bayangannya lenyap, tahu-tahu ia berdiri tegak tak bergerak lagi.

Ujung tongkat berpisau Ban-lohujin tampak beberapa senti di depan dada lawan, juga tidak bergerak lagi. Dan hanya sekejap saja gerak tubuh mereka berhenti, entah cara bagaimana, tahu-tahu tangan Bok-long-kun telah meraih ujung tongkat berpisau lawan, dengan tangan kosong mencengkeram senjata tajam dan ternyata tidak terluka sedikit pun.

Ban-lohujin terkejut, cepat ia menarik sekuatnya.

Pada saat itu juga mendadak Bok-long-kun lepas tangan, keruan Ban-lohujin kehilangan imbangan badan dan jatuh terjengkang, serentak Bok-long-kun melangkah maju terus menghantam.

Beberapa gerakan Bok-long-kun itu tampaknya sangat sederhana, tapi sesungguhnya sudah diperhitungkan dengan tepat setiap detik dan setiap kemungkinannya.

Meski Oh Put-jiu anak murid perguruan ternama, tidak urung agak bingung juga menyaksikan beberapa jurus luar biasa itu. dilihatnya Ban-lohujin sudah kehilangan posisi dan jelas akan kalah total.

Hendaknya maklum, pada umumnya senjata panjang memang menguntungkan untuk menyerang dari jarak jauh, tapi bilamana sampai lawan sempat mendesak maju, bila senjata sendiri tidak dibuang, tentu awak sendiri yang akan kerepotan.

Daya getaran tubuh Bok-long-kun sedemikian kejinya, maka betapa lihai pukulannya dapat dibayangkan, begitu tangan terangkat segera terlihat warna hijau pada telapak tangannya.

Ban-lohujin sama sekali tidak menduga gerak tubuh lawan sedemikian anehnya, baru terkejut serangan Bok-long-kun sudah menyambar tiba dan tampaknya sukar lagi mengelak.

Meski tidak mahir ilmu silat juga Pui Po-ji dapat melihat bahaya yang mengancam nenek itu, diam-diam ia bergirang, “Semoga nenek siluman ini hari ini mampus saja di sini sehingga dunia akan kehilangan bibit bencana ....”

Belum habis berpikir, mendadak terlihat tongkat si nenek ditekan ke depan, ujung tongkat amblas ke dalam tanah, sekali melejit, tubuh si nenek melayang ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan cepat ia melintas di atas kepala Bok-long-kun dan berada di belakangnya, dengan sebelah tangan memegang tongkat dan terjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas.

Karena tidak terduga-duga akan kejadian ini, terpaksa Bok-long-kun tarik kembali pukulannya tadi.

Di luar dugaan, mendadak pergelangan tangan Ban-lohujin berputar, tongkat panjang itu tahu-tahu patah menjadi dua, membanjirlah asap hitam dari bagian tongkat patah itu, begitu cepat asap itu bertebaran sehingga bayangan si nenek lantas menghilang, di tengah asap tebal bahkan terseling pula sambaran cahaya perak mengarah dada Bok-long-kun.

Perubahan ini terlebih di luar dugaan orang, betapa pun Pui Po-ji memang masih anak kecil, tanpa terasa ia menjerit khawatir, “Wah, celaka ....”

Dilihatnya Bok-long-kun seperti terkena serangan cahaya perak dan roboh terjungkal.

Waktu ia pandang Ban-lohujin, nenek itu sudah berada belasan tombak jauhnya dan sedang tertawa, “Haha, nenek memiliki kesakitan yang tak terkira, siapa yang mampu melukaiku?”

Belum lenyap suara tertawanya, bayangannya sudah menghilang.

Tanpa terasa Po-ji menghela napas lagi, ucapnya gegetun, “Sayang ....”

Belum lanjut ucapannya tahu-tahu Bok-long-kun telah melompat bangun dengan kaku, sorot matanya yang mencorong terpancar ke atas, menatap tempat sembunyi Po-ji dan Put-jiu, katanya, “Turun!”

Po-ji melenggong, serunya, ”Hah, kiranya dia tidak ... tidak mati!”

Hanya senjata rahasia begitu saja mana dapat mencelakai dia?” ujar Oh Put-jiu.

“Kita tidak turun, coba dia bisa apa?” kata Po-ji.

“Untuk lari pun tidak bisa lagi, lebih baik turun saja,” kata Put-jiu dengan tertawa.

Dia memang pemuda yang baik hati, meski Po-ji banyak omong dan mendatangkan kesulitan, namun sama sekali ia tidak mengomel, sebaliknya tetap tersenyum simpul, anak itu diangkatnya, lalu melompat turun dari gua karang yang tinggi itu.

“Anak itu, coba kemari,” kata Bok-long-kun setelah memandang mereka sekejap.

Belum lagi Oh Put-jiu bersuara segera Po-ji menanggapinya dengan suara keras, “Untuk apa ke situ?”

“Apakah kamu yang bicara di atas tadi?” tanya Bok-long-kun.

“Betul, kau mau apa?” jawab Po-ji sambil meronta turun dari gendongan Put-jiu.

Perlahan Bok-long-kun mendekati Po-ji, pada wajahnya tidak terlihat sesuatu emosi, siapa pun tidak tahu apakah dia bermaksud baik atau buruk. Tapi Po-ji juga tidak gentar, ia berdiri dengan tegak dan membusung dada.

Meski diam-diam Put-jiu merasa khawatir, namun ia tahu ingin lari pun sukar, maka ia pun tidak menghindar.

Dengan tegak bagai tenggak Bok-long-kun berdiri di depan Pui Po-ji, mendadak ia tersenyum.

Meski senyumnya dingin dan kaku, namun membuat air mukanya yang kaku dingin itu timbul sedikit rasa hangat. Po-ji tidak mengira orang akan mengunjuk senyum, tanpa pikir ia tanya, “Apa yang kau tertawakan?”

“Haha, selama hidupku tak terhitung banyaknya orang yang kubunuh, entah berapa banyak orang Kangouw yang berdoa semoga aku lekas mati, tak terduga, haha, ketika kau lihat terancam bahaya tadi, kamu ternyata merasa khawatir bagiku, waktu kuroboh, kau pun merasa sayang, sungguh kejadian yang tidak pernah kualami selama ini, hahaha ....”

Ia bicara diselingi gelak tertawa, seperti kegirangan luar biasa, namun mukanya tetap kaku dingin serupa orang bertopeng.

Bicara sampai di sini, mendadak sorot matanya beralih kepada Oh Put-jiu dan bertanya, “Dan kamu siapa?”

Po-ji mengadang di depan Put-jiu, dengan mendelik ia mendahului menjawab, “Dia paman kepala besar, kau mau apa?”

Walaupun masih kecil dan lemah, namun sekarang ia bersikap seolah-olah seorang pelindung.

“Kamu berani mengintip, seharusnya kamu dihukum mati,” kata Bok-long-kun kepada Oh Put-jiu, “tapi mengingat anak ini, biarlah jiwamu kuampuni. Nah, lekas berbenah dan ikut berangkat bersamaku.”

“Siapa mau ikut padamu?” teriak Po-ji.

Perlahan Bok-long-kun berkata, “Ada maksudku mengambil dirimu sebagai murid, asalkan sepanjang jalan kau turut kepada perkataanku, setelah urusan di sini selesai, segera kuterima dirimu sebagai murid terakhir.”

“Tidak, aku tidak mau belajar silat,” seru Po-ji, “juga tidak mau mengangkat guru padamu ....”

“Hah, entah berapa banyak orang di dunia ini sama berlutut di depanku dan mohon kuterima dia sebagai murid dan selalu kutolak, sekarang aku yang mau menerimamu sebagai murid, tidak nanti kamu boleh menolak.”

“Aku justru meno ....”

Belum lanjut ucapan Po-ji, mendadak Oh Put-jiu menarik bajunya dan menyela, “Ai, anak bodoh, bilamana kamu bukan anak penurut, belum tentu Sin-kun mau menerimamu sebagai murid.”

Ia sudah tahu kepergian Bok-long-kun ini pasti akan mencari nakhoda kapal layar pancawarna, maka ajakan orang agar dirinya ikut berangkat tentu saja sangat kebetulan baginya.

“Ehm, perkataanmu memang tepat,” kata Bok-long-kun.

Terpikir oleh Po-ji, “Sepanjang jalan nanti aku justru tidak mau menurut perkataanmu, segala hal akan kutentang dan kukacau, coba apa yang akan diperbuatnya atas diriku?”

Dia memang anak cerdik dan juga nakal, dalam sekejap itu sudah timbul berpuluh macam akalnya untuk menggoda orang. Terbayang dirinya bakal mengecohkan tokoh semacam Bok-long-kun, ia menjadi sangat senang, katanya dengan tertawa, “Baik, kuikut pergi bersamamu.”

“Hahaha ... haha ....” terbahak-bahak Bok-long-kun, mendadak ia berputar satu kali sambil memukul, seketika angin pukulannya memadamkan ketujuh gunduk api unggun, lalu katanya pula, “Berbenah semua barang itu dan berangkat!”

“Baik,” jawab Oh Put-jiu, diam-diam ia pun bergirang. Cepat ia meringkasi harta benda yang berserakan itu menjadi sepuluh bungkusan besar, semuanya diikat kencang, waktu itu baru diketahui dalam ketujuh baskom itu terisi minyak kental warna hitam.

Ia tidak tahu bahwa itulah minyak mentah yang dihasilkan di wilayah Sekong dan Tibet, namun dapat menduga barang cair itu pasti semacam bahan bakar yang sangat berguna, api yang menyala sukar ditiup padam.

Begitulah ketiga orang lantas memanggul beberapa bungkusan besar itu terus berangkat menuju ke timur menyongsong sang surya yang baru terbit.

Sepanjang jalan benar juga Pui Po-ji selalu mencari alasan untuk mengacau sehingga tidak pernah tenteram barang sebentar pun. Jika Bok-long-kun menyuruh dia menuangkan teh, maka ia sengaja menangkap seekor kecoak dan ditaruh di dalam cangkir.

Bila Bok-long-kun tanya dia berusia berapa maka ia menjawab aku biasa tidur tanpa selimut.

Oh Put-jiu tahu watak anak ini, sekali ada orang membuatnya tidak senang, maka dia pasti akan membalas dengan macam-macam godaan tanpa habis-habisnya. Diam-diam ia cemas bagi anak itu.

Tak tahunya Bok-long-kun itu serupa orang yang sama sekali sudah pati rasa, sedikit pun ia tidak marah, jika di dalam cangkir minum ada kecoak, maka berikut kecoak lantas diminumnya sama sekali. Dan kalau Po-ji menjawab menyimpang dari pertanyaannya, maka ia akan bertanya pula apakah kamu tidur pakai selimut, lalu Po-ji akan menjawab usiaku tahun ini tiga belas.

Sampai akhirnya Po-ji kehabisan akal sendiri.

Put-jiu merasa geli, diam-diam ia pikir sekarang anak ini baru ketanggor atau ketemu batunya.

Mereka terus melanjutkan perjalanan selama tiga hari, sampailah mereka di pesisir, tampaknya di situ semula ada sebuah dusun nelayan, mungkin mendadak mengalami perubahan besar sehingga dusun ini sudah telantar. Hanya terlihat di pantai berserakan kerangka kapal yang sudah rusak dan lapuk, tersisa belasan gubuk yang juga sudah miring dan reyot tidak keruan bentuknya.

Diam-diam Put-jiu merasa heran, “Tempat apakah ini? Masa nakhoda kapal layar pancawarna itu bisa tinggal di tempat semacam ini?”

Walaupun heran, namun ia tidak berani bertanya. Dilihatnya Bok-long-kun mendekati salah satu gubuk yang bobrok dan tampaknya setiap saat bisa runtuh.

“Masa rumah begitu juga dihuni orang?” diam-diam Po-ji merasa heran.

Sementara itu dilihatnya Bok-long-kun sedang mendorong pintu gubuk itu, waktu Po-ji melongok ke dalam, ia menjadi terkejut.

Kiranya dari luar gubuk itu kelihatan reyot dan hampir ambruk, tapi di dalam keadaan sangat mewah, terpajang sangat serasi, dinding sekeliling penuh tergantung kulit binatang berbulu yang beraneka warna segar. Meja kursinya juga sangat bagus dengan berbagai hidangan terpilih.

Terlihat dua lelaki berbaju satin menongkrong di atas kursi dan asyik minum arak.

Mimpi pun Po-ji tidak menyangka keadaan di dalam gubuk bobrok itu bisa semewah ini. Kedua lelaki itu pun terkejut ketika ada orang menerjang ke dalam rumah.

Serentak yang di sebelah kiri berdiri sambil membentak, “Siapa itu?”

Tinggi orang ini mendekati sembilan kaki, bahu lebar dan berjanggut panjang warna kemerahan, gagah perkasa tampaknya, suaranya juga lantang bagai bunyi genta menggetar anak telinga.

Diam-diam Po-ji memuji keperkasaan orang.

Oh Put-jiu juga terperanjat melihat jenggotnya yang aneh itu, pikirnya, “Jangan-jangan orang inilah bajak yang biasa malang melintang di lautan bebas dan terkenal sebagai Ci-si-liong (si naga jenggot merah) Siu Thian-ce adanya?”

Lelaki perkasa berjenggot itu pun melenggong demi melihat Bok-long-kun.

Tanpa bicara lagi Bok-long-kun masuk ke rumah itu, bungkusan dilemparkan ke lantai, lalu duduk bersila dan mendengus, “Tuangkan arak!”

Kembali berubah air muka si jenggot merah, namun sedapatnya ia menahan rasa gusar, dituangnya secawan arak dan disodorkan ke depan Bok-long-kun, katanya, “Baik-baikkah selama ini, Sin-kun?”

Melihat sikap orang sedemikian lunak, sama sekali tidak memperlihatkan kegagahannya, diam-diam Po-ji merasa kecewa, ia pun melemparkan bungkusan yang disungginya, lalu berpaling dan tidak mau memandangnya lagi.

Bok-long-kun minum secawan arak, lalu mendengus, “Siu Thian-ce, tak tersangka kamu masih kenal padaku, tapi kawanmu itu apakah buta matanya?”

Lelaki berbaju satin yang lain sejak tadi duduk membelakangi pintu dan tidak bergerak melainkan makan minum sendiri sehingga wajahnya belum sempat terlihat jelas.

Hanya tertampak dia memakai kopiah berhias mutiara, berjubah sulam, perawakannya tidak tinggi besar, telapak tangan yang memegang cawan arak kelihatan kurus kering dan berwarna kuning gelap.

Mendengar ucapan Bok-long-kun, mendadak ia tertawa terkekeh dan berucap, “Hehe, biarpun Sin-kun tidak kenal diriku, namun kukenal Sin-kun. Mari kuberi selamat secawan arak kepada Sin-kun.”

Suaranya nyaring serupa logam digosok dan membuat orang ngilu dan merinding.

Bahwa orang ini dapat duduk dan minum arak bersama “Ci-si-liong” atau naga berjenggot merah, maka dapat diduga orang ini pasti bukan tokoh sembarangan, semula Oh Put-jiu menjadi ingin melihat wajahnya, ingin tahu sesungguhnya siapa dia.

Tapi dari suaranya yang tajam menusuk telinga itu, wajahnya yang mengejutkan orang pun dapat dibayangkan. Sebab itulah Oh Put-jiu lantas berharap orang jangan menoleh agar tidak mengejutkan bila melihat wajahnya.

Terdengar Bok-long-kun berucap dengan suara berat, “Jika kau kenal aku, mengapa kamu tidak berdiri?”

Orang berkopiah mutiara tetap tertawa mengekek, katanya, “Sin-kun kan tamu yang tak diundang dan menerjang masuk kemari tanpa permisi, sebagai tuan rumah di sini tentu saja aku tidak perlu berdiri dan menyambut.”

Gemerdep sinar mata Bok-long-kun, jengeknya, “Tapi mulai sekarang juga akulah tuan rumah di sini, lekas berdiri dan enyah saja!”

“Hehe, memang sudah lama kutahu Sin-kun bermaksud mengangkangi rumah ini dan aku pun bermaksud menyerahkannya padamu, cuma kukhawatir Sin-kun tidak berani tinggal di sini,” ucap si kopiah mutiara.

“Haha, untuk pertama kalinya selama hidupku mendengar ucapan demikian,” Bok-long-kun tergelak. “Bahwa di dunia ini ada tempat yang tidak berani kudiami, hah, sungguh lucu. Tapi boleh coba jelaskan apa alasanmu berkata demikian?”

Meski dia bergelak tertawa, namun suara tertawanya sangat berbeda ketika bicara dengan Pui Po-ji kemarin, orang lebih suka tuli telinganya daripada mendengar suaranya.

“Soalnya rumah ini sudah kusanggupi dipinjam oleh seseorang,” tutur si kopiah mutiara, “yaitu sebagai pondoknya waktu menanti kedatangan kapal layar pancawarna. Dan orang itu jelas Sin-kun tidak berani merecokinya.”

“Oo, siapa dia?” tanya Bok-long-kun.

Sekata demi sekata si kopiah mutiara menjawab, “Dia bukan lain ialah Cui ....”

Belum lanjut ucapannya, seketika wajah Bok-long-kun yang kaku itu menampilkan perubahan aneh, seakan-akan alis, mata, telinga dan hidung sama bergeser tempat.

“Cui Thian-ki ... kembali Cui Thian-ki!” teriak Bok-long-kun dengan parau. “Jika kepergok olehku, tentu kulit badannya yang halus dan dagingnya yang putih itu akan kusayat secuil demi secuil ....”

“Apa betul!?” mendadak si kopiah mutiara berpaling dengan terkekeh.

Sebenarnya Oh Put-jiu tidak mau melihat wajahnya, tapi tidak tahan oleh rasa ingin tahu sehingga urung ia memandangnya, terlihatlah mukanya kuning pucat dan kurus tiada setitik daging pun sehingga tiada memperlihatkan sesuatu emosi, tampangnya itu lebih mirip tengkorak belaka, sungguh sangat menakutkan.

Selama hidup Pui Po-ji tidak pernah melihat muka seram begini, hampir ia menjerit ketakutan.

Gemertuk gigi Bok-long-kun menahan gusar, jelas tidak kepalang rasa bencinya terhadap Cui Thian-ki, ucapnya gemas, “Jika Cui Thian-ki berani masuk ke rumah ini, boleh kau lihat saja cara bagaimana kumampuskan dia.”

Waktu ia membuka tangan yang menggenggam, cawan arak yang dipegangnya tahu-tahu hancur menjadi bubuk.

Air muka si kopiah mutiara tetap tenang saja, ucapnya dengan tertawa, “Kungfu bagus, cuma sayang, anak buah Cui Thian-ki sendiri?!”

Serentak Bok-long-kun berdiri dan membentak, “Kurang ajar! Sesungguhnya kamu ini siapa? Dari mana kau tahu ....”

“Hehe, siapa aku ini, masa sampai sekarang tidak dapat kau terka?” ucap si kopiah mutiara dengan tertawa.

Tanpa bergerak tahu-tahu tubuhnya mengepung lurus ke atas sehingga atap rumah dijebol menjadi sebuah lubang, hanya sekali berkelebat saja sudah menghilang, sebagai gantinya mendadak beberapa larik sinar perak menyambar masuk dari lubang atap.

Betapa tinggi kepandaian Bok-long-kun ternyata juga sangat jeri terhadap beberapa larik benang perak yang halus itu, sama sekali tidak berani menangkis atau menangkapnya, apa lagi mengejar. Sekali bergerak, tahu-tahu ia menyurut mundur keluar pintu malah.

Terlihat beberapa larik benang perak jatuh di tanah dan lenyap dalam sekejap, kiranya cuma beberapa larik air yang disemprotkan dari bumbung serupa pompa.

Diam-diam Po-ji merasa heran, ia pikir senjata rahasia ini serupa bambu air, mainan anak kecil, mengapa Bok-long-kun sedemikian takut terhadap air begini?

Belum habis pikir, terlihat kulit binatang yang dibuat karpet itu mengeluarkan suara mendesis terkena air tadi, hanya dalam sekejap saja kulit binatang yang lebur itu lantas membusuk dan lenyap tanpa bekas. Bahkan lantai di bawahnya juga membusuk menjadi sebuah lubang, maka dapat dibayangkan betapa keras racun dalam air itu.

Begitu menyurut mundur tadi segera Bok-long-kun melayang balik lagi, ucapnya sambil mengentak kaki, “Dia, memang dia ....”

Mukanya yang kaku bisa juga berkerut-kerut, suatu bukti betapa rasa gemasnya.

Terdengar dari jauh berkumandang suara tertawa mengikik orang dan berkata, “Hihi, aku duduk di depanmu, tapi tidak kau kenal, masih suka omong segala. Tampaknya yang buta bukan aku melainkan kamu sendiri.”

Suara tertawanya nyaring merdu, suaranya juga lembut menarik, sama sekali berbeda daripada suara nyaring mengilukan tadi.

Mendengar suara merdu begini, tanpa terasa Oh Put-jiu ingin lagi melihat wajah aslinya.

Bok-long-kun tahu sukar lagi menyusul orang, dengan melotot ia pandang Ci-si-liong Siu Thian-ce, bentaknya parau, “Kau tahu ... mengapa tidak kau katakan?”

“Kampung ini tadinya tempat berkumpul saudara-saudara kami,” tutur Siu Thian-ce. “Tapi kemudian lantaran sering kapal layar pancawarna itu singgah ke sini, terpaksa kami pindah tempat berkumpul. Beberapa tahun terakhir ini, setiap orang Kangouw bila ada sesuatu permohonan kepada nakhoda kapal layar pancawarna. Pada musim seperti sekarang tentu datang menunggu di sini. Cayhe adalah bekas tuan rumah di sini, mau tak mau ingin memenuhi sekadar kewajiban sebagai tuan rumah terhadap para kesatria yang datang dari berbagai tempat.”

“Sebab itulah isi rumah gubuk ini kuperbaiki agar cocok menjadi tempat memondok para tamu. Soal siapa-siapa yang datang dan apa maksud tujuannya selama ini aku tidak berani bertanya. Makanya kalau tamu tadi ternyata samaran Thian-ki Hujin, hal ini aku pun tidak tahu-menahu, harap Sin-kun jangan marah padaku.”

Orang ini tidak malu menjadi pentolan bajak meski dalam hati merasa jeri, namun cara bicaranya tetap tenang dan lancar, berdirinya juga tegak.

Bok-long-kun mendengus dan duduk jauh di sebelah sana tanpa bersuara lagi, sekian lama kemudian, air mukanya berubah kaku lagi, lalu ia berkata sambil memberi tanda, “Keluar sana!”

Siu Thian-ce memberi hormat dan mengundurkan diri, waktu melewati bekas air tadi, ia berputar ke sebelahnya dan tidak berani menyentuhnya.

“Orang tadi seorang perempuan?” tanya Po-ji heran.

“Hm, dia perempuan hina dina yang paling keji dan cabul di dunia ini,” jengek Bok-long-kun. “Maka lain kali bila kau lihat dia hendaknya menyingkir saja sejauhnya.”

Selang sejenak ia berkata pula, “Perempuan hina ini memang mahir merias muka dan tidak ada tandingannya di dunia, setiap saat ia dapat berubah menjadi pelayan restoran, kusir kereta atau kakek pencari rumput, bisa jadi saudagar bahkan menjadi orang yang paling dekat denganmu tanpa kau curigai, maka setiap saat perlu waspada terhadap kelicikannya, sedikit meleng dan jatuh di tangannya, mungkin ingin mati pun sukar.”

Ucapan ini keluar dari wajahnya yang kaku dingin sehingga menambah rasa seramnya, tanpa terasa Po-ji juga merinding.

Pada saat itulah di luar jendela tiba-tiba bergema suara tertawa nyaring merdu, suara lembut seorang perempuan berkata dengan tertawa, “Anak sayang, jangan kau percaya ocehannya. Ia sendirilah manusia paling keji, paling tidak tahu malu ....”

Belum lanjut ucapannya, Bok-long-kun berteriak murka terus menerjang keluar jendela serupa sebatang tombak ditimpukkan dengan kuat, cepatnya luar biasa.

Siapa tahu baru saja bayangannya menerobos keluar jendela, tahu-tahu bayangan orang-orang menyelinap masuk malah.

Gerak bayangan orang ini sungguh sukar dilukiskan cepatnya sehingga sukar terlihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya.

Kaget juga Oh Put-jiu, bentaknya, "Hai ...."

Namun pendatang ini tidak memberi kesempatan bicara padanya, baru saja ia bersuara begitu, tahu-tahu orang sudah menerjang tiba.

Tentu saja Oh Put-jiu terkejut, namun tidak sempat menghindar lagi. Siapa tahu bayangan orang itu berhenti tepat beberapa senti di depannya, lalu tangan bergerak secepat kilat, sekaligus ia tutuk tiga Hiat-to penting di dada Oh Put-jiu.

Belum lagi tubuh Oh Put-jiu roboh, sekali raih, bayangan orang itu telah merangkul Po-ji, tangan lain bekerja lagi, beberapa Hiat-to anak itu ditutuknya, berbareng kakinya tetap bekerja cepat dan melayang keluar jendela yang lain.

Waktu Put-jiu roboh, bayangan orang itu pun sudah lenyap, betapa cepat sungguh serupa hantu layaknya. Sungguh dengar saja Put-jiu tidak pernah ada Ginkang setinggi ini, begitu saja ia saksikan Po-ji dibawa lari, meski khawatir dan cemas, namun tidak berdaya.

Dan begitu bayangan itu melayang keluar jendela, sebelah tangan lantas terayun dan setitik cahaya perak menyambar cepat ke depan memecah angkasa, ia sendiri segera mendekam di bawah jendela dan tidak bergerak sedikit pun.

Tentu saja Po-ji terheran-heran, "Aneh, mengapa orang ini tidak kabur, sebaliknya malah ...."

Pada saat yang hampir sama didengarnya suara bentakan murka di dalam rumah, lalu Bok-long-kun memburu keluar lagi, "brrr", ia melayang lewat di atas kepala mereka dan mengejar ke arah cahaya perak tadi tanpa memandang ke kaki jendela.

Dan baru saja bayangan Bok-long-kun menghilang di kejauhan sana, bayangan orang ini lantas melompat ke atap rumah dengan membawa Pui Po-ji.

Baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara, agaknya dengan akal yang sama orang ini tadi pun dapat mengingusi Bok-long-kun yang mengejar lurus ke depan, padahal orang ini bersembunyi di bawah jendela dan segera melompat pula masuk ke dalam rumah.

Terdengar orang ini berbisik lirih padanya, "Anak sayang, lihatlah cara bibi mempermainkan patung tolol itu, menarik bukan?"

Suaranya halus merdu laksana kicau burung kenari di lembah sunyi.

Meski kecil usia Po-ji, tidak urung tergiur juga perasaannya oleh suara orang, tapi ketika ia buka mata dan melihat orang ini bukan lain daripada si kopiah mutiara yang bermuka buruk, cepat ia pejamkan mata dan tidak ingin memandangnya lagi.

Terasa sekujur badan sendiri lemas lunglai tanpa bertenaga, sampai bicara pun tidak sanggup, rasanya sangat berbeda daripada waktu Hiat-to tertutuk kemarin.

Tiba-tiba terdengar suara suitan, dalam sekejap saja Bok-long-kun sudah melayang tiba pula di tengah suitannya, ia mendobrak jendela gubuk yang lain dan menerjang ke dalam.

Terdengar jeritan kaget orang perempuan dan Bok-long-kun lantas melompat keluar lagi melalui jendela sisi lain. Dan begitulah ia masuk dari timur dan keluar melalui barat, hanya sebentar saja setiap gubuk itu telah digeledah seluruhnya, pintu dan jendela didobrak dan membuat penghuninya menjerit kaget dan takut. Sama sekali tak terduga olehnya bahwa orang yang dicarinya justru menongkrong di atap rumah.

Setelah mencari kian kemari tidak bertemu, dengan gusar ia kembali ke gubuk tadi tanpa memandang ke atas rumah. Dan begitu ia masuk ke dalam gubuk itu, segera terdengar suara gedubrakan, agaknya saking tidak terlampias rasa gemasnya Bok-long-kun menghancurleburkan berbagai perabot di dalam rumah.

Pada saat itulah si kopiah mutiara telah membawa Po-ji melompat ke bawah rumah, langkahnya berubah sangat lambat, selangkah demi selangkah tanpa mengunjuk rasa terburu-buru sedikit pun.

Kembali Po-ji merasa heran, "Apa maksudnya?"

Setelah dipikir lagi segera ia paham duduknya perkara, "Ah, betul, ia sengaja berjalan dengan lambat supaya tidak menimbulkan suara, dengan begitu takkan diketahui Bok-long-kun karena sama sekali takkan menduga lawan berani berjalan di luar rumahnya."

Dia memang anak pintar dan sangat cerdik, setelah dipikir lagi, ia merasa akal Cui Thian-ki ini memang lain daripada yang lain, apa pun yang diperbuatnya selalu jauh di luar dugaan orang.

Setelah agak jauh, langkah si kopiah mutiara alis Cui Thian-ki makin dipercepat, sampai akhirnya Po-ji merasa angin mendesir di tepi telinga, dirinya serupa melayang-layang di udara.

Setelah berlari sekian lama barulah Cui Thian-ki berhenti, terlihat sekitar hanya batu karang belaka, ombak mendebur di bawah karang, tempat ini entah berjarak berapa jauhnya dengan kampung nelayan tadi.

Cui Thian-ki menepuk badan Po-ji dan membuka Hiat-to yang ditutuknya, katanya dengan tertawa, "Anak sayang, marilah kita mengadakan persetujuan kesatria, asalkan kamu tidak lari, maka Hiat-tomu juga takkan kututuk, setuju?"

"Toh aku tidak bakalan lolos, untuk apa kukabur?" teriak Po-ji.

Cui Thian-ki meraba punggungnya dan berkata lembut, "Anak pintar, apakah kamu sedih setelah kurebut dirimu dari gurumu itu?"

"Hm, kenapa sedih?" jengek Po-ji. "Jika selama hidupku ini takkan melihatnya lagi, bukannya sedih, aku justru sangat gembira ...."

Mendadak teringat olehnya Oh Put-jiu yang masih dalam cengkeraman Bok-long-kun itu, mau tak mau ia merasa khawatir, juga teringat sebabnya perempuan siluman ini merampas dirinya, tentu tidak baik maksudnya dan mungkin dirinya tidak dapat pulang lagi ke rumah. Apa lagi bila teringat ucapan Bok-long-kun tadi yang menyatakan ingin mati pun tidak bisa bila jatuh dalam cengkeraman perempuan ini.

Betapa pun dia masih anak kecil, maka segala macam perasaannya mudah tertampil pada wajahnya.

Dengan tertawa Cui Thian-ki lantas berkata, "Anak sayang, kau bilang tidak sedih, namun dalam hati jelas kamu sedih sekali, betul tidak? Masa kamu dapat mengelabui pandangan bibi?"

Po-ji tidak ingin membantah, ia cuma melengos dan memejamkan mata.

Dirasakan tangan Cui Thian-ki masih terus meraba-raba pada tubuhnya, bagian yang diraba dirasakan enak seakan-akan pada tangan perempuan itu ada kekuatan gaib yang aneh. Apabila Po-ji bukan anak kecil tentu dia takkan tahan oleh belaian maut itu.

Dengan suara lembut Cui Thian-ki berkata pula, "Mestika sayang, jangan takut, juga jangan gelisah, selang satu dua hari lagi tentu bibi akan mengantarmu pulang."

Perlahan ia peluk Po-ji ke dalam pangkuannya, keruan anak itu merasakan tubuhnya yang lunak dan enak, membuat orang merasa berat untuk berpisah. Asalkan ia memejamkan mata, segera terlupa wajah orang yang buruk dan seram, sebaliknya terasa lembut, hangat menyenangkan.

Tiba-tiba Cui Thian-ki menghela napas perlahan, katanya, “Semoga si patung mau menerima syaratku itu, kalau tidak ... ai, anak pintar dan menyenangkan seperti dirimu ini, mana kusampai hati membunuhmu.”

Po-ji lantas melompat bangun dan berteriak, “Memangnya aku hendak kau gunakan sebagai sandera untuk memaksakan sesuatu urusan terhadap Bok-long-kun?”

“Hah, kamu memang pintar, tepat dugaanmu ....”

“Jika demikian, jelas engkau salah besar,” seru Po-ji dengan tertawa. “Sebab biarpun aku kau cencang juga Bok-long-kun takkan sedih sedikit pun.”

“Oo, apa betul?” Cui Thian-ki menegas dengan tertawa.

“Kenapa tidak betul. Aku dan dia bukan sanak kadang, sepanjang jalan malahan banyak kubikin susah padanya, mana dia mau memenuhi syaratmu untuk membela diriku. Jika engkau tidak percaya, boleh saja coba dulu.”

Ia bicara dengan mata tetap terpejam rapat dan tidak mau memandangnya.

“Anak bodoh,” ujar Cui Thian-ki dengan tertawa. “Umpama betul perkataanmu kan tidak perlu kau beri tahukan padaku. Jika kurasakan kamu sudah tidak berguna lagi bagiku, kan bisa segera kubunuhmu?”

Po-ji melenggong, diam-diam ia mengakui kebenaran ucapan orang, padahal pikirannya seharusnya dirahasiakan, mengapa malah dikatakan terus terang padanya, meski merasa jemu padanya, tapi isi hatiku kukatakan begitu saja padanya.

Tanpa terasa ia membuka mata, tapi cuma sekejap terlihat wajahnya yang seram itu, segera ia pejamkan mata lagi.

“Kamu tidak berani memandangku, apakah merasa mukaku terlampau buruk?” tanya Cui Thian-ki dengan tertawa.

“Yaa, lebih buruk daripada setan,” kata Po-ji.

Cui Thian-ki tertawa nyaring merdu, sejenak kemudian ia berkata, “Coba sekarang boleh kau lihat pula.”

“Tidak, tidak mau,” jawab Po-ji. Walaupun begitu ucapnya, tidak urung perlahan ia buka matanya dan mengintip, dan sekali pandang matanya tidak terpejam lagi.

Ternyata yang berada di depan mata sekarang bukan lagi makhluk yang bermuka buruk seperti setan dan menakutkan itu, melainkan seorang perempuan mahacantik dengan kerlingan mata yang menggiurkan, senyumnya yang manis menawan itu dapat membuat orang semaput bila melihatnya.

Selama hidup Po-ji tidak pernah terbayang akan melihat perempuan secantik ini, meski banyak Po-ji membaca, sukar juga baginya untuk menemukan istilah yang tepat untuk melukiskan wajah cantiknya.

Meski usia Po-ji masih muda belia, tidak urung terkesima juga menghadapi wajah secantik ini.

“Anak sayang, cantik bukan bibimu ini?” tanya Cui Thian-ki dengan senyum lembut.

Po-ji menghela napas, katanya, “Sering kubaca istilah-istilah yang melukiskan betapa cantiknya seorang perempuan, kukira semua ungkapan itu cuma khayalan belaka, setelah melihatmu sekarang baru kupercaya memang benar ada perempuan secantik bidadari.”

“Benar kau anggap aku sangat cantik?” Cui Thian-ki menegas.

“Ya, anak kecil serupa diriku saja silau melihatmu, apa lagi lelaki muda, mustahil tidak tergila-gila padamu, sekalipun engkau menyuruhnya membunuh orang tentu takkan mereka tolak,” kata Po-ji. “Maka baru sekarang juga kutahu arti istilah yang pernah kubaca dalam kitab kuno.”

“Istilah apa?” tanya Cui Thian-ki tertawa.

“Yaitu, perempuan diibaratkan sebagai sumber bencana, dan kukira memang tepat,” kata Po-ji.

“Hehe, kamu masih kecil, urusan yang kau pahami ternyata tidak sedikit,” kata Cui Thian-ki dengan tertawa. “Sungguh sangat menyenangkan bicara dengan anak kecil serupa dirimu ini daripada kaum lelaki busuk.”

Bicara sampai di sini, mendadak ia menjerit sambil memegang erat tangan Po-ji, mata pun terbelalak memandang lantai, muka pucat serupa melihat setan.

Tentu saja Po-ji kaget dan heran, waktu ia memandang ke arah sana, terlihat seekor tikus kecil mendekam di lantai seakan-akan juga sedang mengincar perempuan itu.

Saking ngeri dan ketakutan, sehingga Cui Thian-ki tidak sanggup bicara lancar lagi, “Ti ... tikus ....”

Nyata mesti ilmu silatnya sangat tinggi, betapa pun dia tetap orang perempuan.

Pada umumnya sembilan di antara sepuluh orang perempuan pasti takut terhadap tikus.

Po-ji lantas melangkah maju dan mengentak kaki sambil mendesis, “Ssst, tikus sialan, lekas pergi ....”

Namun tikus itu justru tidak bergerak sama sekali, karena tidak ada batu, terpaksa Po-ji mencopot sebelah sepatu dan melompat maju untuk mengusir tikus itu.

Karena itulah tikus putih itu berbunyi kaget dan lari.

Cui Thian-ki menghela napas panjang sambil tepuk-tepuk dadanya, katanya, “Ai, sungguh menakutkan .... Anak sayang, syukur kamu tidak takut tikus.”

Po-ji memakai lagi sepatunya dan berucap, “Sebenarnya aku pun takut.”

“Habis, ken ... kenapa ....” Cui Thian-ki terheran-heran.

Dengan lagak pahlawan Po-ji menukas, “Seorang lelaki kan wajib membela orang perempuan. Kulihat engkau ketakutan, aku jadi lupa pada rasa takut sendiri.”

“Oo, mestikaku sayang ....” Seru Cui Thian-ki dengan tertawa, mendadak ia angkat Po-ji dan “ngok”, diciumnya sekali pipi anak itu.

Seketika muka Po-ji merah jengah, teriaknya, “Hei, lepas ... antara lelaki dan perempuan tidak boleh bersentuhan.”

“Ah, kamu kan masih anak kecil,” kata Cui Thian-ki dengan tertawa terkial-kial bagai tangkai bunga kehujanan.

Dengan sikap serius Po-ji berucap, “Meski kita berbeda usia, namun engkau tetap orang perempuan dan aku orang lelaki. Menurut ajaran nabi, antara lelaki dan perempuan tetap ada perbedaannya, kecuali suami istri, siapa pun tidak boleh melanggar peraturan ini.”

“Oo, kalau begitu, bolehlah kau jadi suami kecilku saja,” ucap Cui Thian-ki dengan tertawa. “Tadi kamu sudah mengusirkan tikus bagiku dan menyelamatkan jiwaku, pantas juga bila kujadi istrimu.”

Po-ji terdekap dalam pelukan Cui Thian-ki, ingin meronta sukar terlepas, mukanya menjadi merah, diam-diam ia pikir, “Jika kamu boleh bercanda padaku, kenapa aku tidak?”

Berpikir begitu, mendadak ia pun merangkul erat Cui Thian-ki, bukan dicium lagi, tapi hidung orang digigitnya sekali.

Karena kesakitan, Cui Thian-ki mengendurkan pelukannya, omelnya sambil meraba hidung, “Hei, kau ... kau berani ....”

“Hihi, itulah hadiah suami cilik terhadap istriku,” kata Po-ji dengan tertawa. “Dan sekarang hendaknya istri ikut pergi bersama suami ....”

“Ke mana?” tanya Cui Thian-ki dengan tertawa geli.

Dengan lagak seorang suami kereng Po-ji berucap, “Kata nabi, menjadi istri ayam harus ikut ayam, menjadi istri anjing harus tunduk kepada anjing. Ke mana pergi sang suami, ke sana pula si istri harus ikut.”

Mendadak Cui Thian-ki berhenti tertawa, dengan serius ia berkata, “Tidak sedikit kamu membaca, masa tidak tahu ada lagi ajaran nabi?”

“Ajaran bagaimana?” tanya Po-ji.

“Menjadi suami ayam harus ikut ayam, menjadi suami anjing harus tunduk pada anjing,” kata Thian-ki.

“Hah, mana ada ajaran begitu?” Po-ji melenggong.

“Ada saja, terbukti dalam berbagai kitab kuno, boleh kau baca ulang.”

Kembali Po-ji melongo, tanyanya pula, “Dalam kitab apa? Karangan siapa?”

“Karangan istri Khonghucu ....”

Belum lanjut ucapannya, ia sudah tertawa terpingkal-pingkal dan menungging.

Po-ji juga tertawa geli dan memegang perut, entah berapa lama mereka tertawa.

“Sudah lama sekali aku tidak pernah segembira ini,” ucap Cui Thian-ki kemudian. “Sayang sekarang aku harus bekerja dan tidak dapat menemanimu di sini.”

“Apakah engkau hendak mencari perkara kepada Bok-long-kun itu?” tanya Po-ji.

“Betul, boleh kau tunggu di sini, jangan kabur ya?” ucap Thian-ki tertawa.

“Entah, sukar kujamin,” kata Po-ji sambil berkedip-kedip.

“Jika begitu, boleh kau tidur saja,” ucap Thian-ki dengan lembut, perlahan ia tutuk Hiat-to tidur anak itu dan menaruhnya di tempat yang teraling dari tiupan angin, kancing bajunya dibetulnya, kelakuannya itu serupa seorang istri yang penuh kasih sayang.

“Suami kecil sayang, tidur yang nyenyak, segera kukembali,” kata Thian-ki dengan lembut.

Melihat wajah Po-ji yang merah serupa apel itu, tanpa terasa ia “ngok” sekali lagi pipi anak itu, lalu ia usap muka sendiri sehingga wajahnya berubah buruk dan seram pula, lalu berlari pergi secepat terbang.

Dan baru saja bayangan Cui Thian-ki menghilang di kejauhan, mendadak dari balik batu karang yang aneh, dari dalam sebuah gua tersembunyi melompat keluar dua anak perempuan.

Kedua gadis ini berbaju merah dan putih, yang seorang ramping, yang lain agak gemuk, namun semuanya berkulit badan putih bersih laksana batu kemala, mata jeli dan jernih, keduanya sama cantik sekali, usia mereka antara 17-18 tahun.

“Kungfu perempuan tadi sungguh tidak lemah, bila kita kepergok olehnya, sungguh sukar menandingi dia,” kata si gadis baju merah.

“Ya, waktu kamu bergerak tadi, sungguh aku sangat khawatir,” ujar si baju putih dengan tertawa. “Tampaknya perempuan tadi sedemikian cerdik, sedikit suara saja tentu jejak kita akan ketahuan.”

Si gadis baju merah tertawa, “Untung kau tangkap tikus putih tadi dan kau lepaskan pada waktunya sehingga kita bebas dari kesukaran.”

Si nona baju putih juga tertawa geli, katanya, “Tak tersangka perempuan tadi sedemikian takut pada tikus. Kalau tidak, pasti jejak kita akan diketahuinya.”

Kedua nona itu selalu belum bicara sudah tertawa lebih dulu, malahan tertawa dengan sangat manis, sikap mereka begitu menarik dan menggiurkan, lincah dan gembira, seperti sama sekali tidak kenal duka nestapa di dunia ini.

Si gadis baju merah berjongkok, perlahan ia membelai rambut Pui Po-ji, katanya dengan tertawa, “Anak ini sangat pintar dan cerdik, sungguh sangat menyenangkan.”

“Eh, jangan-jangan kamu juga ingin mengambil dia sebagai suami kecilmu?” ucap si gadis baju putih dengan tertawa.

“Huh, budak mampus, kau sendiri yang kepingin barangkali ....” omel si baju merah.

“Bicara sesungguhnya, sungguh ingin kubawa pulang anak ini,” ujar si baju putih.

“Nah, apa katamu tadi,” seru si baju merah sambil berkeplok tertawa. “Kan betul, jelas kau sendiri ingin mencari suami kecil, tapi menuduh orang lain.”

Si gadis baju putih mengomel dengan tertawa, “Memangnya aku serupa dirimu, segala apa hanya memikirkan diri sendiri. Kupikir ... karena anak ini sangat pintar, kurasa akan sangat cocok dijadikan teman main Siaukongcu (putri cilik) kita.”

“Aha, gagasan bagus,” seru si baju merah sambil berkeplok. “Kecerdikan anak ini memang benar suatu pasangan dengan Siaukongcu kita.”

“Memang,” tukas si baju putih dengan tertawa. “Sepanjang hari Siaukongcu selalu menggerutu kesepian, tidak punya kawan bermain. Jika anak ini kita bawa pulang, tentu kita kan banyak lebih tenang dan tidak perlu diributi oleh Siaukongcu.”

“Cuma ... bila kita membawa lari suami kecil orang, bukankah kita akan dibenci setengah mati bila orang pulang dan kehilangan suami kecilnya?”

“Peduli amat, tugas kita kan sudah selesai, asal diam-diam kita bawa pulang anak ini, siapa yang tahu?” ujar si baju putih. “Wah, jika kedua anak ini berkumpul, entah betapa banyak kejadian lucu yang akan mereka lakukan. Akhir-akhir ini Loyacu (tuan besar) suka marah-marah, tapi bila melihat anak yang menyenangkan ini kuyakin beliau takkan marah lagi.”

Begitulah kedua gadis itu bicara ceriwis seperti burung berkicau, makin bicara makin senang. Akhirnya si baju merah berkata, “Baik, mari kita kerjakan.”

Tanpa ragu ia terus mengangkat Pui Po-ji yang tertidur nyenyak itu.

“Apakah tidak perlu membuka Hiat-tonya dulu?” tanya si gadis baju putih.

“Tidak perlu,” si baju merah menggoyang kepala dengan tertawa. “Biarkan dia tidur saja, bila ia mendusin dan merasakan dirinya berada di tempat serupa surga, tentu akan terjadi hal-hal yang lucu.”

“Ah, kamu memang suka mempermainkan orang ....” Si baju putih tertawa mengikik. “Ayo berangkat!”

Begitulah dua sosok bayangan merah dan putih lantas melayang turun ke bawah karang secepat burung terbang. Gerak tubuh mereka ringan, gesit dan cepat, tampaknya sama sekali berbeda dengan Ginkang dunia persilatan umumnya.

Di bawah karang sana, di tempat yang sepi dan tersembunyi tertambat sebuah perahu yang terbuat dengan sangat indah dan kukuh, sedang terombang-ambing dibuai ombak ....


*****


Entah berselang berapa lama, waktu Pui Po-ji mendusin, tahu-tahu ia merasakan tempatnya berbaring bukan lagi batu karang keras dan dingin itu, melainkan di tempat tidur dengan kasur yang empuk dan berbau harum.

Terlihat sekeliling tempat tidurnya bergantung kelambu bersulam indah, di sekitar tempat tidur berdiri tujuh atau delapan gadis berbaju sutera secantik bidadari, semuanya tersenyum manis ....

Po-ji menyangka dirinya sedang mimpi, ia coba menggigit bibir sendiri dan terasa sakit, jelas bukan mimpi. Cepat ia melompat turun tempat tidur dan kucek-kucek mata sendiri.

Sungguh ia tidak percaya kepada apa yang dilihatnya adalah keadaan sesungguhnya.

Melihat kelakuan anak itu, kawanan gadis jelita itu sama tertawa geli.

Dengan mata terbelalak lebar Po-ji bertanya, “Tempat ... tempat apakah ini?”

Salah seorang gadis jelita yang berbaju putih tampak paling riang tertawanya, biji matanya berputar dan menjawab, “Coba kau lihat, tempat ini serupa apa?”

Telinga gadis itu memakai anting-anting keleningan emas kecil, maka begitu tertawa lantas menimbulkan suara dering nyaring.

No comments: