Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 14

Oleh : Gan KL

“Aha, bagus!” seru Kim Put-we sambil berkeplok tertawa. “Sungguh anak baik! Memang di dunia Kangouw zaman ini, kecuali Po-ji kita, siapa pula yang berani bertindak demikian? Hehe, coba pikir, hanya dalam dua bulan harus bertempur menghadapi 40 orang secara bergilir. Haha, Kim Put-we mempunyai keponakan segagah ini, sungguh aku merasa bangga dan bahagia.”

Bok Put-kut juga tertawa, katanya, “Jika benar Po-ji dapat mengalahkan ke-40 orang itu, kuyakin mereka pasti akan patah semangat dan tidak bergairah untuk saling gebrak lagi.”

“Betul, tujuan mereka hanya ingin menjadi juara untuk menghadapi tokoh berbaju putih itu, yang diributkan mereka hanya soal nama dan kehormatan saja,” ujar Ban Cu-liang. “Sekarang dengan munculnya Pui-siauhiap, apa pula yang perlu mereka persoalkan?”

“Tindakan Po-ji ini selain dapat meredakan pertengkaran mereka, sekaligus juga dapat menggembleng kungfunya untuk menambah pengalaman tempur, sampai waktunya nanti dapat dijadikan modal untuk menempur si tokoh baju putih,” ujar Gui Put-tam.

“Haha, bagus, bagus,” seru Kim Co-lim dengan tertawa. “Untuk itu kita harus minum 3 cawan!”

Nyata setiap kesempatan minum arak tidak pernah disia-siakan olehnya.

Seketika semua orang sama riang gembira, hanya Kongsun Put-ti saja tampak prihatin dan diam saja.

“Apa barangkali Jite mempunyai sesuatu persoalan?” tanya Bok Put-kut.

Semua orang sama tahu Kongsun Put-ti sangat cerdik dan banyak tipu akalnya, cara berpikirnya pun cermat, sekarang dia kelihatan prihatin, tentu ada sebabnya. Seketika semua orang sama diam mendengarkan apa komentarnya.

Perlahan Kongsun Put-ti berkata, “Kungfu Po-ji sekarang boleh dikatakan jarang ada tandingannya di dunia Kangouw, tapi bertempur terus-menerus menghadapi 40 tokoh tentu berbeda daripada menghadapi seorang lawan saja. Biarpun kungfunya jauh lebih tinggi daripada ke-40 orang itu, tapi dia harus mondar-mandir kian kemari ke tempat ke-40 orang itu, kekuatan fisiknya tentu akan banyak berkurang, apalagi setiap orang pun tidak berani menjamin kungfu sendiri takkan terjadi sesuatu yang luar biasa selama dua bulan itu, misalnya pengaruh cuaca, terganggunya pikiran, kehidupan sehari-hari yang berubah-ubah, semua ini dapat memengaruhi kungfunya.”

Semua orang saling pandang dengan diam, mau tak mau perasaan mereka ikut tertekan.

Dengan suara berat Kongsun Put-ti berkata pula, “Tapi bila Po-ji bertekad bertindak demikian, hal ini pasti akan menimbulkan sirikan orang. Pertarungan 40 kali ini tidak boleh terjadi kekalahan, sebab kalau dia kalah satu kali saja, selain namanya akan tersapu runtuh, jiwa pun mungkin akan melayang. Jadi yang kita khawatirkan adalah bagaimana nanti bila dia mengalami kekalahan dalam salah satu pertempuran itu.”

“Ya, bagaimana baiknya?” tukas Kim Co-lim sambil menaruh cawan araknya.

Kongsun Put-ti berkata pula, “Hendaknya maklum, siapa pun bila dalam dua bulan harus bertempur kian kemari menghadapi 40 jago pilihan, biarpun setinggi langit kepandaiannya juga mengkhawatirkan. Sebab untuk itu harus mempunyai tekad yang bulat, iman yang teguh, dan semangat juang yang berkobar. Tentang kungfu Po-ji memang dapat diandalkan, tapi dalam dua bulan ini selain rasa kagum dan pujian yang akan diberikan padanya, tentu juga dia akan dicemooh, dicaci maki, dan dihina orang, bahkan bisa jadi akan dijebak dan dicelakai orang. Mengingat usianya yang masih muda belia dan pengalaman yang cetek, kukhawatir dia takkan tahan ....”

Kening In-bong-tayhiap Ban Cu-liang tampak bekernyit, ucapnya, “Tidak memikirkan menang, tapi mengkhawatirkan kalah lebih dulu. Pandangan jauh Kongsun-jihiap sungguh harus dipuji ....”

Mendadak Poi Po-ji memotong, “Tapi bila Ban-tayhiap yang menjadi diriku dan menghadapi persoalan seperti sekarang, entah bagaimana tindakan Paman Ban?”

Tanpa pikir Ban Cu-liang menjawab, “Semangat kaum persilatan kita harus mempunyai keberanian untuk tidak gentar akan kalah. Bilamana pertarungan harus dilakukan, apa artinya bilamana mengalami kekalahan?”

Po-ji berpaling dan tanya ketujuh paman, “Dan jika para Paman yang menjadi diriku, bagaimana pula sikap kalian, bertempur atau tidak?”

Meski ketujuh paman itu tadi bermaksud mencegah tindakan Po-ji itu, hal ini timbul karena rasa perhatian mereka terhadap anak muda itu. Padahal bila mereka sendiri yang menghadapi ini, tidak nanti ada pilihan lain bagi mereka kecuali bertempur.

Maka berbareng Bok Put-kut, Ciok Put-wi, Nyo Put-loh, dan Sebun Put-jiok menjawab, “Bertempur!”

“Ya, jual-beli yang merugikan terkadang juga perlu dilakukan,” sambung Gui Put-tam.

Mendadak Kim Put-we berdiri sambil melemparkan cawan araknya, teriaknya, “Betul, harus bertempur! Yang takut adalah pengecut!”

Pandangan Po-ji beralih ke arah Kongsun Put-ti, tanyanya, “Dan entah Kongsun-jicek juga ....”

“Tentu saja aku pun setuju!” tukas Kongsun Put-ti dengan tersenyum. “Maksudku hanya minta kau bertindak hati-hati, masakah kusuruhmu mengkeret dan menjadi kaum penakut?”

“Ya, jika kau ingin menang, maka kemenangan itu harus diperoleh dengan gilang-gemilang,” seru Kim Put-we.

“Dan bila kalah juga harus secara terhormat, agar setiap kesatria di dunia ini kenal betapa gagah perwira keponakan kita yang bernama Pui Po-ji.”

“Sungguh Pui Po-ji yang hebat!” kata Kim Co-lim sambil menenggak arak. “Biarlah kuminum dulu 300 cawan .... Haha, marilah semua orang ikut minum 300 cawan!”

Begitulah mereka sama angkat cawan bagi keselamatan dan kejayaan Pui Po-ji!

*****

Belasan penunggang kuda berbondong-bondong menuju ke Tong-ting-oh.

Di lembah danau Tong-ting itu, di dekat kota Gak-yang, dari perkampungan Tin-oh-ceng tampak juga lima penunggang kuda dilarikan secepat terbang menuju ke Tong-ting-oh.

Pemimpin rombongan itu menunggang kuda hitam mulus dan membawa tombak, baju hitam ringkas dan memakai ikat rambut warna hitam juga, alis tebal dan muka cakap, sungguh gagah perkasa di atas kudanya.

Belasan penunggang kuda yang sudah menunggu di tepi danau dapat mendengar derap lari kuda pendatang ini, seorang bergumam, “Secepat ini lari kudanya, tentu pendatang ini jago nomor satu wilayah Bu-han, Po-ma-sin-jiang Lu In adanya.”

Belum lenyap suaranya penunggang kuda itu sudah muncul dari balik kabut, begitu mendekat segera pemuda gagah penunggang kuda hitam ini berteriak, “Lu In dari Gak-yang datang memenuhi janji, entah yang mana Pui-siauhiap adanya?!”

Seorang menyelinap maju dan menjawab dengan hormat, “Pui Po-giok sudah sejak tadi menanti kedatangan Anda!”

Po-ma-sin-jiang Lu In, si Kuda Mestika dan Tombak Sakti, melompat turun dari kudanya, lebih dulu ia memberi hormat kepada hadirin, lalu berseru, “Ban-tayhiap, Kim-toako dan saudara yang lain, maaf kubawa senjata dan kurang leluasa memberi hormat.”

Ban Cu-liang, Kim Co-lim, dan lain-lain sama menanggapi dengan ucapan terima kasih.

Lalu pandangan Lu In beralih kepada anak muda berbaju ungu yang berdiri di depan dengan tersenyum itu.

Di bawah remang kabut pagi terlihat perawakan anak muda itu tidak terlalu tinggi benar, namun dari kepala sampai ke kaki terasa tumbuh dengan sangat serasi serupa patung pahlawan buatan ahli pahat yang paling mahir.

Diam-diam Lu In memuji, dengan lantang ia berkata pula, “Hari ini dapat kugebrak dengan tokoh muda seperti Pui-siauhiap, biarpun kalah juga merasa bahagia.”

“Ah, tujuanku hari ini cuma minta belajar saja dan tiada maksud mencari kemenangan,” sahut Po-giok dengan tertawa. “Untuk itu mohon Ban-tayhiap menjadi saksi, begitu kalah diketahui, segera kita berhenti.”

“Setuju!” seru Lu In. Sekali ia putar tombaknya, seketika menimbulkan bayangan warna-warni yang indah.

Po-giok menyurut mundur dua langkah, ia lolos pedangnya. Panjang pedang cuma tiga kaki tujuh inci, batang pedang kelabu gelap, sekilas pandang tidak menarik dan entah terbuat dari apa, bila diamati baru ketahuan sebatang pedang kayu.

Lu In kurang senang, tegurnya, “Apakah Pui-siauhiap memandang rendah diriku? Mengapa kau gunakan pedang kayu?”

“Pedang ini adalah pemberian guruku, namanya Sim-kiam (pedang hati), meski tidak tajam, tapi membawa hikmah yang ajaib, asalkan didukung dengan perasaan sepenuhnya, maka tiada ubahnya serupa pedang baja gemblengan.”

Uraian Pui Po-giok ini penuh falsafah yang sukar dimengerti, meski Lu In juga kurang paham, namun dia tidak menyatakan kurang puas lagi, katanya segera, “Jika begitu, ayo silakan mulai!”

Begitu kata “mulai” terucap, serentak ia pun bergerak dan tombak berputar.

Tombak disebut sebagai rajanya senjata, sejenis senjata yang biasa digunakan di medan perang, untuk menyerbu musuh dan menerjang pasukan lawan. Biasanya tidak berani sembarangan dipakai oleh jago silat umumnya.

Tapi sekarang Lu In menggunakan tombak sebagai senjata andalan, gerak serangannya memang lain daripada yang lain, tombak sepanjang delapan kaki diputar sedemikian kencangnya dan dapat dimainkan sesuka hati, angin tombak mendesir, kain merah hiasan ujung tombak pun berkelebat menyilaukan mata.

Orang persilatan mengenal istilah “satu inci lebih panjang, satu inci lebih kuat”, sekarang tombak sepanjang delapan kaki ini telah memperlihatkan daya tempur yang hebat, dalam radius sejauh setombak itu lawan sukar mendekat.

Po-ji hanya bertahan saja dan tidak banyak menyerang, sudah belasan jurus ia tetap tidak melancarkan gempuran yang berarti.

Diam-diam Bok Put-kut berkerut kening, desisnya kepada kawannya, “Bertarung dengan lawan bersenjata panjang begini harus berani mendesak maju, dengan begitu baru ada harapan akan menang, kalau cuma berputar dari jarak jauh akhirnya mungkin ....”

“Ya, meski kungfu Po-ji diperoleh dari penemuan ajaib, namun pengalaman tempurnya sangat kurang,” ujar Kongsun Put-ti. “Seharusnya dia melancarkan jurus serang dan tidak perlu ragu.”

“Jangan khawatir,” kata Ciok Put-wi mendadak. “Nah, memang harus begitu!”

Sebagai anak murid Siau-lim-pay, Ciok Put-wi dapat menyelami maksud Pui Po-ji yang berlaku tenang dan pada saat terakhir akan mengatasi lawan, itulah saripati ilmu silat yang paling tinggi.

Terlihat air muka Po-ji sangat tenang dan tersenyum bukan senyum, seperti menaruh sepenuh perhatian terhadap serangan musuh, tapi juga serupa tidak mengacuhkan. Sebaliknya serangan tombak Lu In bertambah gencar sehingga menerbitkan deru angin yang keras.

Tiba-tiba Po-ji tersenyum, pedang menebas lurus ke depan. Serangan ini dilontarkan begitu saja tanpa gerak tambahan.

Jurus serangan ini mungkin tidak efektif digunakan di tempat lain, tapi dilontarkan pada saat ini justru teramat tepat dan bagus. Ternyata serangan tombak Lu In yang gencar dapat dipatahkan begitu saja oleh tebasan pedang yang lugas ini.

Namun dia memang jago muda terkemuka, segera ia hendak ganti jurus dan menyerang lagi.

Pedang kayu Po-giok perlahan menahan ujung tombak, dia tidak mengeluarkan tenaga, tapi Lu In sukar melepaskan daya lengket pedang lawan, beberapa kali ia menarik dan memuntir tetap tidak dapat lagi memainkan tombaknya lagi.

Po-giok tetap tersenyum dengan tenang, sebaliknya Lu In kehabisan akal dan juga patah semangat.

Ban Cu-liang dan lain-lain sama melengak. Tiba-tiba Lu In membuang tombaknya sambil melompat mundur, lalu mendongak dan menghela napas panjang tanpa bicara.

Perlahan Po-giok menyimpan pedang kayunya, tombak orang dijemputnya dan disodorkan kepada Lu In, ia tidak mengucapkan sesuatu kata menghibur, namun senyumnya yang simpatik sudah cukup berbicara dan jauh melebihi segala kata-kata, sebab senyum itu tidak ada sedikit pun rasa congkak sebagai pemenang, tidak ada lagak palsu yang dibuat-buat.

Di bawah senyum Po-giok yang simpatik itu, Lu In merasa kekalahan sendiri tidaklah memalukan, juga tidak perlu dibuat duka. Tiba-tiba ia tertawa dan berseru lantang, “Sudah belasan tahun kulatih silat dan kuyakin tidaklah mengecewakan kepandaian yang kumiliki, siapa tahu di dunia ini ada kungfu sehebat Pui-siauhiap dengan jurus serangan sebagus itu.”

Ia menghela napas panjang pula, lalu menyambung, “Yang paling hebat adalah jurus Pui-siauhiap yang dilontarkan mendadak itu, bilamana sedetik lebih dulu atau lebih lambat, maka kuyakin dapat kupatahkan tebasan pedang Pui-siauhiap itu. Namun datangnya tebasan justru sedemikian tepat sehingga tombakku sama sekali tidak dapat bergerak lagi.”

“Haha, hari ini orang she Kim benar-benar baru melek setelah menyaksikan ilmu pedang Pui-siauhiap yang hebat itu,” seru Kim Co-lim. “Sayang di sini tidak ada arak, kalau ada, tanggung ingin kuhormatimu tiga cawan.”

“Bilamana Saudara tidak menolak, bagaimana kalau mampir ke tempatku untuk minum sekadarnya?” kata Lu In.

“Kelak pasti akan kupenuhi undangan Lu-heng,” kata Po-giok dengan tersenyum. “Tapi sekarang ....”

“Apakah sekarang Pui-siauhiap masih ada urusan lain?” tukas Lu In.

Mendadak Thi-wah memotong, “Toakoku harus menempur 40 tempat dalam dua bulan ini, dengan sendirinya dia belum sempat minum arak bersamamu.”

*****

Kah-hi-sia, sebuah kota di tepi pantai Tiangkang. Siang-hi-piaukiok, sebuah perusahaan pengawalan barang di kota tersebut cukup terkenal di utara dan selatan Tiangkang. Ke mana Siang-hi-piaukiok mengawal barang, kawan dari kalangan putih maupun golongan hitam tentu suka membantunya.

Kedua Hi bersaudara pendiri piaukiok itu, si adik Hi Gin-kah sudah lama meninggal dunia, si kakak Hi Kim-kah juga sudah pensiun tiga tahun yang lalu dan hidup aman tenteram di rumah.

Namun selama ini usaha Siang-hi-piaukiok sama sekali tidak mundur, bahkan tambah maju. Semua ini berkat pemimpinnya sekarang, yaitu putra Hi Gin-kah, yang mewarisi keluarga Hi itu, ilmu silatnya tinggi, cerdik dan cekatan, namanya Hi Toan-kah.

Pagi hari ini cuaca terang tanpa kabut.

Di pinggir kota, di tepi sungai, rombongan Ban Cu-liang bersama Pui Po-giok yang berbaju ungu sudah menanti di situ.

Air sungai mengalir dengan derasnya, sang surya memancarkan cahayanya yang gilang-gemilang, hari sudah cukup siang.

Kening Kim Co-lim bekernyit, omelnya, “Besar amat lagak Hi Toan-kah, sudah siang begini belum lagi muncul.”

“Hi Toan-kah berjuluk Kang-siang-hui-hoa (Bunga Terbang di Atas Sungai), selain goloknya yang dimainkan dengan bergelindingan di tanah, kepandaian andalan yang khas, dia juga selalu menggunakan am-gi (senjata gelap, rahasia) Hui-hi-ji yang ampuh ....”

“Ya, kabarnya sambil bergelindingan di tanah dengan memainkan golok dan tongkat andalannya, sekaligus ia pun dapat menyambitkan am-gi,” tukas Kongsun Put-ti.

“Setelah Hi Kim-kah mengasingkan diri, pernah seorang bajak Tiangkang yang terkenal sebagai Hing-kang-tiong bermaksud mengganggu kereta barang kawalan Siang-hi-piaukiok, tapi tidak sampai 20 jurus bajak itu telah dihabisi oleh Hi Toan-kah dengan golok, tongkat, dan senjata rahasianya. Maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya, hendaknya Po-ji waspada terhadap dia.”

Po-giok tersenyum, belum lagi ia menanggapi mendadak Thi-wah berseru, “Itu dia datang!”

Selain tajam penglihatannya, tingginya juga satu kepala melebihi orang lain, dengan sendirinya tempat yang dapat dipandangnya lebih jauh daripada orang lain.

Benar juga, terlihat serombongan orang berduyun-duyun menuju ke tepi sungai sini. Terlihat seorang yang menjadi kepalanya berjalan di depan, perawakannya pendek kecil, berbaju perlente, langkahnya gesit.

“Orang inilah Kang-siang-hui-hoa Hi Toan-kah,” ucap Ban Cu-liang.

“Waktu Lu In memenuhi tantangan dia cuma membawa empat pengikut,” ujar Kim Co-lim dengan kening bekernyit. “Tapi orang ini membawa anak buah sebanyak ini, memangnya dia sengaja hendak pamer kekuatan terhadap kita atau ingin menang dengan jumlah banyak?”

Ban Cu-liang menanggapi, “Orang ini terkenal cerdik, tapi bukanlah manusia licik, yang ikut datang ini mungkin orang yang ingin menonton keramaian.”

Dia memang tokoh Kangouw kawakan, dugaannya memang betul. Di tengah rombongan pengikut itu kecuali dua orang jago pengawal Siang-hi-piaukiok dan seorang pesuruh, 30 orang selebihnya memang betul kaum penonton belaka yang ingin melihat betapa hebat jago muda yang sekali gebrak dapat mengalahkan Po-ma-sin-jiang itu.

Baju Hi Toan-kah yang perlente itu memantulkan cahaya gemilapan tertimpa sinar matahari. Dengan perawakannya yang pendek kecil itu, dia kelihatan agak angkuh. Sesudah agak dekat, ia ambil golok dan tongkat dari pengikutnya, lalu melangkah ke depan mendahului rombongannya.

Po-giok memapaknya dan menyapa sambil menghormat, “Pui Po-giok sudah menantikan kedatangan Anda!”

Meski masih muda usia Hi Toan-kah, namun tingkahnya sabar dan mantap, tidak sembarang bicara dan tidak sembarang bertindak. Ia pandang Po-giok sekejap, mau tak mau wajahnya menampilkan rasa memuji.

Tetap In-bong-tayhiap Ban Cu-liang yang menjadi saksi, setelah kedua pihak berbasa-basi sekadarnya, lalu mereka siap tempur. Para penonton serentak ramai membicarakan pertarungan yang akan terjadi.

“Manusia dikenal dari namanya, pohon besar dengan bayangannya, Ban-tayhiap ini memang seorang kesatria hebat. Dan entah kesatria muda she Pui ada sangkut paut apa dengan beliau?”

“Beberapa orang di belakangnya itu adalah Jit-tay-tecu (ketujuh murid besar) yang menonjol akhir-akhir ini. Tampaknya mereka memang hebat, agaknya ada hubungan erat juga dengan Pui-siauhiap.”

“Wah, gagah benar yang tinggi besar itu, siapa pula dia?”

Begitulah beramai-ramai mereka membicarakan rombongan Pui Po-giok itu, sejauh ini orang Kangouw belum lagi mengetahui asal usul Po-giok dan Thi-wah, hanya diketahui ilmu silatnya sangat lihai, selebihnya hanya main raba saja.

Perlahan Hi Toan-kah mulai bicara, “Telah kuterima berita kilat Lu-heng bahwa ilmu silat Pui-siauhiap mahasakti dan merupakan bintang kejora dunia persilatan, sungguh orang she Hi ikut bersyukur dan gembira.”

“Terima kasih,” kata Po-ji.

“Waktu kecil pernah kudengar cerita paman bahwa di dunia Kangouw ada seorang anak ajaib yang telah menerima amanat Ci-ih-hou pada waktu beliau menghadapi maut dan diberi tugas kewajiban untuk menempur si tokoh baju putih kelak, pernah pula anak ajaib tersebut menyelamatkan anak murid dan kerabat Ci-ih-hou, ikut menghancurkan Thian-hong-pang dan perang lidah dengan kawanan orang gagah di Wi-ho-lau serta membongkar muslihat keji Ong Poan-hiap, ternyata hari ini dapat berjumpa sendiri dengan Pui-heng yang memang luar biasa, kuyakin Pui-heng sendirilah anak ....”

“Betul,” sela Po-giok dengan tersenyum, “memang akulah Pui Po-giok yang merupakan anak nakal yang dimaksudkan itu.”

Serentak terdengar suara mendesis orang banyak, di antaranya ada suara orang perempuan pula.

Wajah Hi Toan-kah yang prihatin itu tampak menampilkan senyuman juga, katanya pula, “Ternyata dugaan adik perempuanku memang tidak salah. Tampaknya hari ini Pui-heng harus menghadapi beberapa urusan sulit pula.”

“Oo, apa maksud Hi-heng?” tanya Po-giok.

“Soalnya adik perempuanku sejak kecil sudah sangat kagum terhadap anak ajaib yang diceritakan itu, maka sekarang dia minta kutanya kepada Pui-heng, bilamana Pui-heng memang betul anak ajaib dunia persilatan yang dimaksudkan itu, maka adik perempuanku ingin ....”

Belum habis ucapannya, mendadak dari kerumunan orang banyak melompat keluar dua sosok bayangan. Meski berdandan serupa orang lelaki, namun dari mata-alisnya dan wajahnya segera orang akan tahu mereka adalah samaran orang perempuan.

Warna baju keduanya tidak sama, yang satu berbaju hijau, yang lain berwarna merah, mereka melompat ke depan Pui Po-giok, lalu memandang anak muda itu dengan muka merah dan tersenyum kikuk tanpa bicara.

Hi Toan-kah menunjuk si gadis baju hijau dan berkata pula, “Inilah adik perempuanku Hong-kah, dan yang itu adalah nona Pang, putra kesayangan keluarga Pang yang terkenal Kanglam-thi-ciang (Telapak Tangan Besi dari Kanglam), namanya Soh-bun. Kedua nona ini selain ingin bertemu dengan Pui-heng, mereka juga ingin minta sesuatu kepadamu untuk sekadar tanda mata.”

Bahwa di tengah pertarungan sengit yang akan terjadi tiba-tiba diseling oleh adegan demikian, semua orang sama bersorak geli. Muka Pui Po-giok menjadi merah juga. Ia gelagapan dan tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Hi Hong-kah dan Pang Soh-bun memandangi muka Po-giok yang putih bersemu merah, muka yang cakap agak malu-malu itu sungguh membuat hati setiap gadis tergiur. Kedua nona ini pun lebih genit daripada gadis lain, tanpa sungkan mereka terus memburu maju, yang satu menarik lengan baju Po-giok, yang lain meraih dada bajunya.

Sama sekali Po-ji tidak menyangka kedua nona ini sedemikian berani, keruan ia sendiri melongo kikuk.

Ia tidak tahu bahwa putra-putri keluarga persilatan ternama umumnya sok menggunakan pengaruh orang tua atau saudara dan sudah terbiasa manja serta melakukan sesuatu semau sendiri, dan kaum gadisnya juga bukan gadis pingitan yang malu-malu bertemu dengan orang luar.

Karena hidupnya terlampau iseng, sering mereka memeras otak mencari sesuatu permainan baru untuk mengisi kekosongan hidup mereka, tidak jarang mereka mencari macam-macam kesenangan untuk mengadu keunggulan masing-masing maka bila mereka ingin mengerjakan sesuatu, apa pun berani dilakukan mereka. Apalagi cuma meraba dan memegang baju Po-giok.

Di tengah keplok tertawa orang banyak, Hi Toan-kah berkata dengan menyengir, “Wah, adik perempuanku kurang adat, harap Pui-siauhiap jangan marah dan sekarang mohon Pui-siauhiap memberi petunjuk.”

Po-giok menenangkan pikiran, lalu menjawab dengan hormat, “Silakan!”

Dilihatnya tangan Hi Toan-kah sudah bertambah sepasang senjata luar biasa, tangan kanan memegang golok pendek sepanjang dua kaki dan tangan kiri memegang tongkat besi biasa, namun bobot dan ukurannya juga jauh lebih kecil daripada tongkat umumnya.

Kedua macam senjata Hi Toan-kah ini tampaknya kecil serupa mainan anak kecil, namun dalam pandangan Po-giok justru cukup membuatnya prihatin. Sebab ia tahu, semakin pendek sesuatu senjata, semakin berbahaya pula serangannya.

Terdengar Hi Toan-kah membentak perlahan, dengan setengah berjongkok ia terus berputar kian kemari. Mendadak ia membentak perlahan pula, tongkat kiri menohok ke depan, golok kanan lantas menikam dari bawah tongkat, sinar perak menyambar pinggang Po-giok.

Jurus serangan ini tidak istimewa, hanya kecepatannya yang luar biasa.

Po-giok mengegos perlahan, senjata Hi Toan-kah berputar pula dengan cepat, tongkat menyabet dan golok menusuk. Setelah tiga jurus berlangsung, mendadak golok dan tongkat berubah menjadi segulung cahaya perak terus menggelinding ke arah Po-giok.

Terlihat gulungan sinar itu terus berputar mengelilingi Po-giok, tiada seorang pun mampu membedakan lagi bayangan tubuh Hi Toan-kah.

Baru sekarang semua orang tahu baju warna-warni yang dipakai Hi Toan-kah itu ternyata juga ada gunanya, yaitu untuk membuat silau lawan pada waktu bertempur. Nyata setiap gerak-gerik Hi Toan-kah itu sudah terpikir dengan baik dan mengandung maksud tertentu.

Sudah belasan jurus Pui Po-giok terancam bahaya, beberapa kali bayangan tongkat dan golok seakan-akan menembus bajunya, namun dia tetap tidak balas menyerang.

Semua orang mulai tidak sabar, banyak yang menggerundel.

Tiba-tiba seorang berseru nyaring, “Pui Po-giok, ayolah turun tangan!”

Ternyata yang bersuara adalah Hi Hong-kah, adik perempuan Hi Toan-kah sendiri, dia tidak membantu kakak sendiri, sebaliknya malah memihak Pui Po-giok.

Kim Co-lim menggeleng kepala dan berucap dengan tertawa, “Tampaknya selanjutnya rezeki Po-ji dalam hal orang perempuan pasti sangat beruntung, akan tetapi pasti juga akan menimbulkan banyak kesulitan baginya.”

Bok Put-kut ikut berkata, “Ya, asal saja dia tidak ... aduuh!”

Kiranya selagi mereka bicara, mendadak golok Hi Toan-kah menikam perut Pui Po-ji dan tampaknya perut anak muda itu segera akan tembus, sebab itulah Bok Put-kut menjerit khawatir.

Tak terduga, entah bagaimana caranya, tahu-tahu Po-giok dapat menghindarkan serangan yang tampaknya tidak mungkin dielak itu. Dan pada saat itulah pedang kayu yang dipegangnya menebas perlahan ke depan.

Pedang menembus bayangan tongkat dan golok, terdengar serentetan suara senjata beradu, mendadak bayangan golok dan tongkat menyurut dan lenyap, tahu-tahu Hi Toan-kah telah berdiri dan senjata yang dipegangnya terkulai ke bawah.

Ternyata berpuluh pasang penonton yang hadir di situ tiada seorang pun yang tahu cara bagaimana Hi Toan-kah dikalahkan.

Terlihat Po-giok mengangkat pedang kayu ke atas, batang pedang kayu memantulkan cahaya mengilat, waktu tangan Po-giok bergetar, serentak cahaya mengilat itu sama rontok dan jatuh ke tangan Po-giok, kiranya belasan buah Hui-hi-ji atau senjata rahasia cundrik kecil berbentuk ikan.

Bok Put-kut menghela napas dan berkata, “Tiga kepandaian khas Hi Toan-kah memang tidak bernama kosong, cara bagaimana dia menghamburkan Hui-hi-ji ternyata tidak kulihat sama sekali.”

Ban Cu-liang tersenyum, ucapnya, “Meski hebat cara Hi Toan-kah menyambitkan senjata rahasia, namun kungfu Po-ji sekarang pun sukar dibayangkan, dia ternyata sudah dapat menduga dari mana senjata rahasia Hi Toan-kah akan dihamburkan, maka begitu pedangnya menembus bayangan senjata lawan, pada tempat itu juga dia menyambut datangnya senjata rahasia Hi Toan-kah. Dan pada waktu menghamburkan senjata rahasia dengan sendirinya Hi Toan-kah juga memperlihatkan bagian luang sehingga kesempatan itu digunakan pedang Po-ji untuk menutuk Hiat-to lawan.”

Karena analisis pendekar ini barulah orang mengerti duduknya perkara, sebelumnya mereka tidak menyangka ilmu pedang Po-ji akan begitu hebat, tidak ada yang membayangkan di dunia ini ada orang dapat memainkan ilmu pedang dengan perhitungan waktu dan tempat yang begitu tepat.

Maka terdengarlah sorak puji orang banyak, di antaranya terdapat pula suara anak perempuan. Sebaliknya Hi Hong-kah ternyata tidak bersuara, rupanya ia sendiri melongo heran, sambil masih memegang ujung baju Po-ji ia bergumam, “Pui Po-giok ... Pui Po-giok ....”

*****

Jalan raya di tengah kota Hap-pui-sia membentang dari arah barat ke timur, cukup panjang sehingga sepintas pandang sukar melihat ujung jalan sana. Lebar jalan raya cukup dibuat lewat dua kereta, toko berderet di kedua tepi jalan, orang berlalu-lalang dengan ramainya.

Selain merupakan jalan raya yang paling ramai, di sini juga berkumpul rumah perguruan silat.

Di ujung jalan menjulang tinggi bangunan berloteng Thian-kiau-tay-ciu-lau yang biasa menjadi tempat berkumpulnya orang Kangouw. Menjelang petang, hampir tidak ada tempat kosong lagi di restoran itu. Pengunjungnya kebanyakan adalah orang Kangouw, yang dibicarakan dengan sendirinya juga peristiwa topik dunia Kangouw.

“Pui Po-giok ... Pui Po-giok ....”

Entah siapa yang mendahului menyebut nama itu. Hanya tiga kata yang sederhana ternyata memiliki daya tarik yang aneh. Begitu nama itu disebut, seketika menarik perhatian setiap orang yang hadir di situ.

Seorang jago tua beruban agaknya sangat luas pengalamannya, ia berseru, “Sudah berpuluh tahun aku berkelana di dunia Kangouw, tapi sejauh ini belum ada seorang kesatria Kangouw yang dapat terkenal seperti Pui Po-giok ini.”

“Ya, padahal terkenalnya Pui Po-giok hanya terjadi dalam belasan hari yang lalu saja,” demikian seorang kawannya menanggapi. “Tapi sekarang namanya hampir tersiar ke seluruh pelosok dunia. Bilamana ada orang Kangouw yang tidak tahu Pui Po-giok, maka orang itu kalau bukan orang tuli tentulah orang dungu. Ai, hanya dalam belasan hari belasan tokoh telah ditaklukkan pula, pantas namanya menjulang tinggi ke langit.”

Begitulah, sekali ada orang buka suara lebih dulu, serentak memancing pembicaraan orang banyak. Maka ketahuanlah bahwa selama belasan hari ini, tokoh-tokoh yang telah dikalahkan oleh Po-ji selain Hi Toan-kah dan Lu In ada lagi Kong Sin-sing dari Bujiang, Tan Ek-sia dari Kiukang, Ko Koan-ing dari Lamjiang, Tio Kiam-beng dari Hekmui, malahan seorang lelaki gagah dari selatan menambahkan bahwa dia sendiri menyaksikan Pui Po-giok mengalahkan Him Hiong di lereng Siau-koh-san.

“Hah, jadi To-pi-him (si Beruang Berlengan Banyak) juga dikalahkan olehnya?” seorang menegas dengan terkejut.

“Betul,” jawab orang itu. “Padahal To-pi-him terkenal sekaligus dapat menggunakan berbagai senjata rahasia, makanya dia mendapat julukan beruang berlengan banyak, akan tetapi hujan senjata rahasia yang dihamburkannya ternyata tidak dapat menyentuh ujung baju Pui Po-giok, dan hanya tiga jurus saja pedang kayu Pui Po-giok bergerak, lalu Him-tayhiap tunduk dan mengaku kalah.”

“Wah, di dunia masakah adalah ilmu pedang sehebat itu? Sungguh sukar untuk dipercaya!”

“Jika tidak kusaksikan sendiri, memang aku juga tidak percaya. Waktu itu, selain diriku juga masih disaksikan banyak kawan Kangouw yang berjumlah ratusan orang, semuanya sama terkesiap melihat ilmu pedang sehebat itu. Ketika perasaan orang mulai tenang kembali dan bermaksud memuji pendekar muda itu, ternyata Pui-siauhiap itu sudah pergi.”

“Mengapa dia mengeluyur pergi begitu saja, jangan-jangan ada yang ditakutinya?” tanya seorang.

“Saudara tidak tahu,” ujar lelaki kekar itu dengan tersenyum penuh rahasia, “biarpun Pui-siauhiap itu gagah perkasa ternyata juga tidak terhindar dari godaan orang perempuan?”

“Oo, dia juga tergoda oleh orang perempuan? Bagaimana ceritanya?” tanya orang itu.

“Urusan ini diawali oleh kedua nona Hi Hong-kah dan Pang Soh-bun, karena rasa kagum mereka kepada sang pahlawan muda, mereka telah merobek dua potong kain baju Pui-siauhiap sebagai tanda mata. Sejak itu, sepanjang jalan tidak sedikit anak gadis keluarga pendekar sama menguntit perjalanan Pui-siauhiap dan sama berdaya ingin memperoleh satu-dua macam benda tanda mata dari pendekar muda kita. Setiap kali usia bertanding, serentak kawanan gadis itu berkerumun maju dan membuat Pui-siauhiap ketakutan dan memaksa mengacir sejauhnya.”

“Aku hidup setua ini, belum pernah kudengar kejadian aneh begini,” ujar seorang tua.

“Ya, peristiwa demikian memang belum pernah terjadi di dunia Kangouw. Sungguh lucu juga melihat sebanyak itu anak gadis tergila-gila terhadap Pui Po-giok itu. Akan tetapi bila dipikir lagi, bilamana Pui Po-giok itu tidak muda dan gagah, tidak memiliki kungfu sehebat itu, tentunya takkan membuat kawanan gadis tergila-gila padanya.”

“Jika demikian, pendekar muda itu tentulah kesatria muda yang jarang ada di dunia persilatan, sayang sejauh ini aku tidak sempat melihat wajahnya.”

“Sebenarnya Pui-siauhiap itu juga tidak terlampau cakap,” tutur seorang. “Cuma dia memang ganteng dan mempunyai daya tarik yang sukar dilukiskan, terlebih senyumnya yang acuh tak acuh itu .... Ai, seumpama aku menjadi anak gadis pasti juga akan tergila-gila padanya.”

“Pantas setiap kali pertandingan usai segera ia mengeluyur pergi di luar tahu orang.”

“Setelah pertandingan di Siau-koh-san, setiap orang Kangouw bertambah kagum dan memuja Pui Po-giok itu. Anehnya, beberapa lawannya yang terkenal licik dan culas seperti Tan Ek-sing dari Kiukang dan Sun Giok-liong dari Moa-sia, sama sekali mereka tidak berani menggunakan muslihat keji untuk menjebak Pui-siauhiap.”

“Seharusnya saudara maklum, selain perkasa, Pui Po-giok itu juga didampingi oleh Ban Cu-liang dan ketujuh murid utama perguruan terkemuka, siapa pula di dunia ini yang berani membikin celaka pendekar muda itu dengan cara keji?”

“Betul, Ban-tayhiap sudah jelas, konon kecerdasan jago muda dari Bu-tong-pay Kongsun Put-ti juga tidak ada bandingannya, biarpun orang bermaksud keji juga sukar mengelabui mata telinganya.”

“Dan entah pertandingan selanjutnya siapa yang akan dihadapi Pui-siauhiap?”

“Kabarnya untuk menghindari kerumunan penonton yang terlampau banyak dan mungkin akan banyak menimbulkan urusan tidak perlu, maka sedapatnya Pui-siauhiap merahasiakan jejaknya, siapa pun tidak tahu tempat tujuan selanjutnya. Tapi menurut dugaanku, lawan yang akan dihadapinya besok tentulah Siau-tiocu di kota ini, makanya malam ini juga kudatang kemari untuk melihat tontonan menarik besok.”

“Tujuanmu memang cocok dengan maksud kedatangan kami, tapi sampai sekarang setahuku Siau-tiocu sendiri belum lagi menerima surat tantangan Pui-siauhiap itu, mungkin besok tidak ....”

Belum selesai ucapannya, tiba-tiba seorang pemuda berlari ke atas loteng dengan penuh semangat, teriaknya dengan megap-megap, “Sudah ... sudah datang ....”

Pemuda itu dikenal orang sebagai murid perguruan Siau-tiocu, namanya Li Eng-jing, maka orang banyak sama tanya, “Sudah datang apa?”

“Ternyata tidak sia-sia kalian menunggu di sini,” tutur Li Eng-jing. “Surat Pui-siauhiap ini belum lama ini sudah diterima oleh guruku.”

“Hah, jika surat tantangan sudah datang orangnya tentu juga sudah berada di tempat ini, bagaimana kalau kita coba melihat dulu orang macam apakah pendekar muda itu?”

“Kota sebesar ini, ke mana akan kita cari dia?” tanya seorang.

“Kukira tidak sukar. Menghadapi pertarungan besok, betapa pun Pui Po-giok itu pasti akan istirahat dengan baik dan takkan tinggal di tempat terbuka. Jika dia tidak suka tinggal di rumah kawan persilatan, bila kita mencari setiap rumah penginapan di kota ini, mustahil takkan menemukan dia?”

Semua orang menyatakan benar, beramai-ramai mereka lantas meninggalkan restoran itu. Dasar anak muda dan suka ramai-ramai, Li Eng-jing yang kenal baik kota tempat tinggalnya ini secara sukarela menjadi penunjuk jalan bagi orang banyak.

Akan tetapi meski berpuluh hotel yang terdapat di kota Hap-pui ini telah mereka datangi, tetap tidak menemukan bayangan Pui Po-giok, malahan banyak bertambah lagi penonton yang baru datang sehingga rombongan pencari Pui Po-giok ini bertambah besar.

Akhirnya ada orang mengusul, “Jika hotel di dalam kota tidak kita temukan dia, di luar kota masih ada tiga buah hotel, marilah kita mencari ke sana ....”

Beramai-ramai orang banyak menyatakan setuju pula dan berbondong-bondong mereka lantas keluar kota ....

Pada saat itu juga ada dua buah kereta penumpang besar beriring masuk ke kota dan berhenti di depan sebuah hotel yang kurang laku di pinggir kota.

Penumpang kereta itu adalah Ban Cu-liang, Kim Co-lim, Gu Thi-wah, ketujuh murid utama dan Pui Po-giok. Kesebelas orang turun dari kereta dan masuk ke hotel tanpa dipergoki siapa pun.

Dengan tersenyum Ban Cu-liang berkata, “Gagasan Kongsun-jihiap memang betul, setelah hotel ini didatangi mereka baru kita memondok di sini, tentu mereka takkan dapat menemukan jejak kita.”

Nyata kecerdasan Kongsun Put-ti sekarang benar-benar sangat dikagumi jago kawakan seperti Ban Cu-liang dan lain-lain, sebab itulah sepanjang jalan meski resminya Ban Cu-liang yang mengatur segalanya, diam-diam Kongsun Put-ti juga ikut memberi saran yang tepat dan sepanjang jalan ternyata banyak terhindar dari kesulitan penguntitan orang banyak.

Kondisi Pui Po-giok sekarang juga lebih memuaskan, fisik dan mentalnya sudah mencapai puncaknya.

Semua orang cepat membersihkan badan, lalu akan makan malam, untuk menjaga kondisi Pui Po-giok, arak sama sekali dilarang minum. Keruan yang runyam ialah Kim Co-lim, mendingan ia tahan sekuatnya.

Selagi semua orang masuk ke ruangan makan dan hendak pesan santapan, tahu-tahu di ruang makan sudah siap dua meja penuh makanan, arak pun kelihatan tersedia, mangkuk piring sudah siap, di bawah cahaya lampu yang terang namun tiada terlihat seorang pun.

Kim Co-lim menahan air liur melihat santapan dan arak yang mengepul hangat itu, sedangkan Kongsun Put-ti berkerut kening, ia panggil pelayan dan bertanya, “Jika di sini ada orang tamu, boleh kau antar santapan kami ke kamar.”

“Di sini selain rombongan tuan-tuan tidak ada tetamu lain lagi,” tutur si pelayan.

“Lantas siapa pula yang memesan santapan ini?” tanya Kongsun Put-ti melengak.

“Santapan ini dipesan oleh Auyang-hujin dari perguruan Auyang di kota ini dan khusus disiapkan untuk tuan-tuan, masa tuan tidak tahu malah?” ujar si pelayan.

Berubah air muka Kongsun Put-ti, ia menegas, “Auyang-hujin? Dari mana ia tahu kami tinggal di sini?”

Ia coba memandang kawan-kawannya, semua orang sama menggeleng tanda heran.

Si pelayan juga merasa heran, gumamnya, “Selain menyuruh menyiapkan santapan ini, sampai kamar tuan-tuan juga dipesan sebelumnya oleh Auyang-hujin, masakah ... masakah semua ini bisa salah?”

“Tidak, tidak salah,” ucap Kongsun Put-ti. “Sudahlah, boleh kau pergi saja, bila perlu baru kupanggil.”

Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri dengan hormat dan tetap diliputi rasa sangsi.

“Orang macam apakah Auyang-hujin itu, apakah kalian kenal dia?” tanya Ban Cu-liang dengan heran.

“Jika Ban-tayhiap saja tidak kenal dia, apalagi kami,” ujar Bok Put-kut.

“Tapi dari mana ia tahu kita tinggal di sini?” ucap Kongsun Put-ti dengan kening bekernyit. “Dan mengapa pula ia sediakan perjamuan ini? .... Jangan-jangan ada sesuatu tipu muslihat di balik urusan ini?”

“Ah, peduli amat, paling perlu sabet saja santapan ini,” teriak Thi-wah.

“Betul!” tukas Kim Put-we dengan tertawa.

“Ya, takut apa,” ujar Kim Co-lim. “Betapa pun Auyang Thian-kiau juga seorang tokoh terkemuka, masakah sampai menggunakan racun segala?”

“Meski Auyang Thian-kiau seorang tokoh terhormat, tapi bagaimana dengan istrinya, siapa yang tahu?” kata Kongsun Put-ti.

Kim Put-we melengak dan tidak dapat menjawab.

Tiba-tiba terlihat pelayan tadi berlari masuk sambil membawa sehelai kartu merah, serunya, “Di luar ada seorang Auyang-hujin minta bertemu dengan tuan-tuan.”

Dengan prihatin Ban Cu-liang menerima kartu merah itu, terlihat nama yang tertulis pada kartu itu adalah “Auyang Cu” dan tidak ada nama Auyang Thian-kiau.

Dengan kening bekernyit Kongsun Put-ti berkata, “Auyang Thian-kiau belum lagi muncul, ternyata Auyang-hujin sudah datang lebih dulu. Memangnya apa maksudnya sedemikian memerhatikan jejak kita?”

Semua orang saling pandang dan sama menganggap tindak tanduk Auyang-hujin ini agak misterius. Biarpun Kongsun Put-ti yang biasanya cerdik dan banyak akal juga sukar meraba maksud tujuan orang.

“Terima dia atau tidak?” tanya Ban Cu-liang sambil menatap Kongsun Put-ti.

Belum lenyap suaranya terdengarlah suara gemerencing perhiasan orang perempuan waktu berjalan disertai mengikik tawa genit berkumandang dari luar pintu.

“Biarpun tidak mau menemuinya juga tidak bisa mengelak lagi,” ujar Bok Put-kut dengan menyesal, segera ia mendahului berbangkit. Maka tertampaklah seorang perempuan cantik berdandan putri istana dengan penuh hiasan batu permata melangkah masuk dengan gemulai.

Ban Cu-liang memberi hormat dan menyapa, “Entah ada keperluan apa atas kunjungan Hujin?”

Si cantik mengerling para hadirin sekejap, tiba-tiba pandangannya berhenti pada diri Pui Po-giok, katanya dengan tertawa, “Kudatang untuk melihat dia ini!”

Kening Ban Cu-liang bekernyit, ia tahu kedatangannya sengaja hendak merecoki Pui Po-giok. Siapa tahu, begitu melihat si cantik, keadaan Po-giok juga serupa orang linglung.

“Po-ji,” ucap si cantik perlahan, “apakah masih kenal padaku?”

Mendadak Po-giok berseru dan melompat ke depan si cantik, sambil memegang pundak orang ia berteriak, “Hah, kau Cu-ji!”

“Betul, aku inilah Cu-ji ....” ucap si cantik dengan suara agak gemetar. “Oo, Po-ji sayang, tak tersangka engkau masih ... masih kenal diriku ....”

Belum habis ucapannya berderailah air matanya.

Semua orang tidak menyangka Auyang-hujin ini ternyata kenalan Po-giok, malahan antara keduanya kelihatan sangat akrab.

Kiranya si cantik berdandan putri istana dan bernama Auyang Cu ini ternyata bukan lain daripada Cu-ji, si pelayan cantik di kapal layar pancawarna dahulu itu. Pelayan masa lampau kini ternyata sudah menjadi anggota keluarga guru silat ternama.

Selama sekian tahun, dengan sendirinya Cu-ji juga mempunyai pengalaman yang pahit, namun pengalaman Po-giok terlebih lain daripada yang lain, dengan sendirinya keduanya ingin menceritakan suka-duka masing-masing selama berpisah.

Melihat Cu-ji dengan sendirinya semakin menimbulkan rasa rindu Po-giok terhadap Oh Put-jiu, Cui Thian-ki dan Siaukongcu, seketika ia tidak tahu bagaimana harus mulai bicara.

Meski Kongsun Put-ti dan lain-lain khawatir pikiran Po-giok akan terpengaruh selagi menghadapi pertandingan seru nanti, tapi dalam keadaan demikian, siapa pula yang dapat merintangi anak muda itu.

Dengan air mata berlinang, Cu-ji alias Auyang Cu berkata dengan tertawa, “Ketika kudengar di dunia Kangouw sekarang muncul seorang kesatria muda, segera dapat kuduga selain Po-ji tidak ada orang lain, dan ... dan dugaanku ternyata tidak salah. Cuma tidak tersangka olehku bahwa anak yang nakal dahulu itu kini bisa berubah segagah dan setampan ini. Pantas ... pantas kawanan gadis Kangouw sama tergila-gila padamu.”

Muka Po-giok menjadi merah.

Auyang Cu memandang sekeliling sekejap, lalu berkata, “Sekian lama berkat perhatian kalian terhadap Po-ji, biarlah di sini kusuguh kalian satu cawan.”

Kerongkongan Kim Co-lim sejak tadi sudah getol minum arak, serentak ia menjawab, “Ya, terima kasih!”

Auyang Cu mendahului menghabiskan isi cawan disusul oleh Kim Co-lim, mau tak mau orang lain juga ikut minum. Dan begitu arak masuk kerongkongan, terasalah hawa hangat mengalir ke perut.

“Arak bagus, arak enak!” berulang Kim Co-lim memuji. “Sudah sekian lama kuminum arak, namun Li-ji-ang selezat ini baru pertama kali ini kurasakan.”

“Inilah arak Li-ji-ang yang kubeli dari daerah Kanglam dengan harga mahal,” tutur Auyang Cu. “Ayolah silakan minum beberapa cawan lagi .... Eh, Po-ji menurut pendapatmu, bagaimana kita harus minum sepuasnya?”

Rasa girang Po-giok sukar dilukiskan karena dapat bertemu kembali dengan kenalan lama, serentak ia pun minum tiga cawan. Sebaliknya Kongsun Put-ti berkerut kening menyaksikan cara mereka minum arak.

Kecuali Kongsun Put-ti, semua orang ikut gembira bagi Po-ji, sampai Bok Put-kut, Ciok Put-wi dan lain-lain juga ikut minum beberapa cawan.

“Eh, Po-ji, apakah engkau masih ingat dahulu Siaukongcu sengaja menyiksa dirimu, sebentar-sebentar ia sengaja menyuruhmu merangkak kian kemari, lain saat mendadak ia minta engkau berjumpalitan ....”

“Mana aku bisa lupa,” ujar Po-giok dengan tertawa. “Yang paling konyol adalah ketika ia minta aku menangis, sungguh runyam, mana aku dapat menangis begitu saja, terpaksa kupoles air ludah pada pipiku.”

Bicara kejadian masa lampau, terbayang olehnya ketika ia dipermainkan oleh putri cilik itu, tanpa terasa ia tergelak geli.

Begitulah kedua orang sembari minum sambil tertawa riang.

“Tapi waktu Siaukongcu melihat nona Cui itu, dia jadi mati kutu dan sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa,” ujar Auyang Cu dengan geli.

“Akan tetapi nona Cui itu justru takut tikus, tentu kau masih ingat ....”

Dengan sendirinya orang lain tidak dapat ikut campur bercakap kejadian masa lampau, tapi melihat kedua orang itu tertawa gembira, tanpa terasa mereka pun ikut senang.

Tiba-tiba Auyang Cu menghela napas panjang, katanya, “Cuma sayang, sang waktu yang sudah lalu tidak dapat kembali lagi. Nona Cui dan Siaukongcu entah ... entah ke mana perginya ....”

Sampai di sini wajahnya yang riang tadi berubah murung dan air mata pun mulai meleleh pula.

Dengan sendirinya hati Po-giok juga ikut pedih bila terkenang kepada Cui Thian-ki dan Siaukongcu, ia pun bergumam, “Ya, di mana kalian sekarang ... di mana ....”

Barang siapa bila pikiran sedang resah, waktu minum arak tentu jauh lebih banyak daripada biasanya. Maka berulang-ulang Po-giok menenggak isi cawannya, orang lain pun tidak dapat mencegahnya.

Meski Kongsun Put-ti hanya minum ala kadarnya, kini telah dirasakan juga bekerjanya arak itu ternyata luar biasa, waktu masuk mulut tidak terasa keras, namun setelah masuk perut, kekuatan arak lantas bergerak dengan kuat.

Waktu ia berpaling, terlihat kawan-kawannya juga banyak yang terpengaruh minuman keras itu.

Kongsun Put-ti terkesiap, pikirnya, “Jangan-jangan malam ini Auyang-hujin ini sengaja hendak mencekoki Po-ji hingga mabuk agar besok Po-ji tidak sanggup melawan suaminya?”

Timbulnya pikiran ini membuatnya waspada.

Siapa tahu pada saat itulah tampak Auyang Cu berdiri perlahan, katanya dengan tertawa, “Meski ingin kuminum lagi bersamamu, namun esok pagi engkau harus bertanding, tidak boleh kau minum sampai mabuk, maka lebih baik engkau istirahat saja. Hendaknya besok dapat kau hajar lakiku itu hingga tunduk benar-benar sekadar untuk melampiaskan gemasku kepadanya.”

Ia datang dengan suara tertawa nyaring dan sekarang pergi dengan tertawa genit pula, memandangi bayangannya yang menghilang di luar, perasaan semua orang terasa agak bimbang.

Diam-diam Kongsun Put-ti membatin, “Agaknya aku salah sangka buruk padanya, mengingat hubungan baiknya dengan Po-ji, rasanya tidak mungkin ia membikin susah Po-ji.”

Esok paginya Kongsun Put-ti terjaga bangun oleh suara berisik. Dilihatnya hari sudah terang benderang di luar, padahal biasanya, ia bangun cukup pagi, sedikitnya satu jam lebih dini daripada sekarang.

Diam-diam ia mengomeli diri sendiri, di samping itu ia pun heran, sebab selama bertahun-tahun digembleng di Bu-tong-san, betapa pun dia tidak pernah bangun terlambat seperti ini.

Siapa tahu orang lain malahan sama sekali belum ada yang bangun, jadi dia orang pertama yang bangun tidur pagi ini. Habis itu Bok Put-kut dan lain-lain baru ikut terjaga bangun. Malahan Kim Co-lim masih bergumam, “Arak hebat ... arak bagus ....”

Tergerak hati Kongsun Put-ti, serunya, “Hei, mabukmu belum hilang?”

“Wah, arak sebagus ini sungguh belum pernah kuminum, sejak semalam sampai sekarang, bukan saja mabuknya tidak hilang, bahkan terasa mau tidur lagi, coba kau ....” mendadak Kim Co-lim berhenti bicara, sebab dilihatnya wajah semua orang pucat pasi, dari wajah pucat orang ditemukan pula sesuatu yang menakutkan, yaitu bila Po-ji juga mabuk arak, lalu cara bagaimana akan sanggup bertanding dengan orang?

Semua orang saling pandang, mereka merasakan di dalam arak yang mereka minum tentu ada sesuatu yang tidak beres, tanpa diminta serentak mereka lari ke kamar Po-giok, terlihat anak muda itu lagi berdiri berpegangan dinding, agaknya berdiri pun tidak sanggup.

Pada saat itu suara berisik di luar tambah ramai, tiba-tiba serombongan orang membanjir masuk ke halaman dalam, menyusul ada orang melompat ke atas pagar tembok, sebagian melompat ke atas rumah.

Rombongan orang ini terdiri dari lelaki-perempuan dan tua-muda, hanya sekejap saja rumah hotel ini sudah berjubel-jubel oleh kehadiran mereka, setiap orang sama penuh semangat dan gembira ria, jelas mereka sama ingin melihat kesatria muda Pui Po-giok yang merupakan jago muda pertama dunia persilatan yang selama ratusan tahun tidak pernah ada ini. Akan tetapi kesatria muda yang akan dilihat mereka saat ini justru lagi lemas lunglai dan kepala sakit seakan-akan mau pecah.

Seorang lelaki tegap dengan pakaian ketat membungkus tubuh, meski tidak terlalu tinggi besar, namun sikapnya sangat gagah, dengan sinar mata tajam itu berseru di tengah halaman, “Sudah cukup lama kutunggu di lapangan pertandingan dan belum lagi melihat kehadiran Pui-siauhiap, kabarnya Pui-siauhiap bermalam di sini, maka terpaksa kami berkunjung kemari untuk minta belajar kenal.”

Nyata dia inilah jago terkemuka kota Hap-pui yang siap bertanding dengan Pui Po-giok, yaitu Auyang Thian-kiau.

Ban Cu-liang dan lain-lain sama melengak, buru-buru Kongsun Put-ti merapatkan daun jendela. Dengan gemas Nyo Put-loh memaki, “Sungguh perempuan keji!”

Kongsun Put-ti mendengus, “Semua ini salah kita sendiri yang terlampau ceroboh, maka jangan menyalahkan orang lain. Jika hal ini kita kemukakan berbalik akan ditertawai lawan.”

“Tapi ... tapi bila hal ini tidak ... tidak kita kemukakan, lalu keadaan Po-ji yang begini mana ... mana sanggup bergebrak dengan orang?” ujar Bok Put-kut.

Berulang Kim Put-we mengentak kaki. Nyo Put-loh juga mengertak gigi dan mengepal dengan gemas.

“Sungguh tidak kusangka dia akan ....” ucap Po-giok, sungguh ia menyesal Cu-ji bisa menjebaknya cara begini sehingga ia tidak dapat banyak bicara lagi.

Terdengar Auyang Thian-kiau berseru pula di luar, “Mengapa Pui-siauhiap belum lagi memperlihatkan diri? Jangan-jangan Pui-siauhiap telah berubah pendirian, padahal surat tantangan jelas dikirim oleh Pui-siauhiap ....”

Belum habis ucapannya mendadak suaranya tertutup oleh suara orang banyak, rupanya beribu orang hadir itu sama berteriak, “Ayo Pui Po-giok, tarung! ....”

Suara teriakan itu makin lama makin keras seakan-akan menggetar bumi, namun yang diucapkan bolak-balik tetap kata-kata, “Ayo Pui Po-giok, tarung ....”

Dalam keadaan demikian, selain bertarung memang tiada pilihan lain bagi Pui Po-giok. Akan tetapi bila dia maju pada saat ini, jelas dia pasti akan kalah.

Po-giok menarik napas panjang-panjang, lalu berdiri tegak dan melangkah perlahan keluar.

“Po-ji,” kata Kim Put-we, “biarlah Jicek mewakilkan dirimu menghadapi pertarungan ini.”

“Terima kasih atas maksud baik Jicek,” sahut Po-giok. “Namun pertarungan ini jelas tak dapat diwakili oleh siapa pun ....”

“Tapi dalam keadaan demikian tiada ubahnya seperti kau sengaja mengantar nyawa?” ujar Put-we cemas.

“Biarpun harus antar nyawa, ya, apa boleh buat,” kata Po-giok, ia membuka daun pintu dan melangkah keluar.

Belum lagi ia muncul, serentak bergemuruhlah sorak-sorai orang banyak menyebut nama, “Pui Po-giok ... Pui Po-giok ....”

Po-giok memandang sekeliling dengan terharu, ia memberi salam dan berseru, “Ini Pui Po-giok berada di sini!”

Selangkah demi selangkah ia pun menuju ke halaman tengah.

Bok Put-kut dan lain-lain sama tahu setiap kali anak muda itu melangkah berarti selangkah lebih dekat dengan elmaut.

Mendadak orang banyak menjerit kaget, suasana menjadi kacau, kiranya langkah Po-giok itu mendadak sempoyongan dan hampir saja jatuh terjungkal.

Auyang Thian-kiau juga melengak, ucapnya, “Kenapa Pui-siauhiap?”

“Ah, tidak apa-apa,” sahut Po-giok dengan menyengir.

Auyang Thian-kiau memandang anak muda itu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas lagi katanya pula, “Melihat keadaan Pui-siauhiap sekarang, jangan-jangan ada sesuatu ....”

Belum lagi Po-giok menjawab, tiba-tiba Thi-wah mencaci maki, “Keparat, sudah jelas tahu, tapi pura-pura tanya?!”

“Apa maksudmu?” tanya Auyang Thian-kiau dengan kurang senang.

“Huh, semalam binimu telah mencekoki Toakoku hingga mabuk, dengan begitu sekarang dapat bertarung dengan dia ....”

Uraian Thi-wah ini agak menyinggung kehormatan Auyang Thian-kiau, keruan semua orang lantas ribut, ada yang tertawa, ada yang berolok-olok, ada yang bertanya, “Mengapa Auyang-hujin bisa mendatangi Pui Po-giok ini dan mencekoki arak padanya, sebab apa pula Pui Po-giok mau minum?”

Air muka Auyang Thian-kiau berubah hebat, tanyanya dengan suara bengis, “Apa betul ucapanmu?”

Waktu bertanya, sinar matanya yang tajam juga menatap Ban Cu-liang dan lain-lain, maklumlah setiap orang Kangouw sama tahu In-bong-tayhiap tidak nanti berdusta, maka Auyang Thian-kiau ingin komentarnya.

“Memang betul,” kata Ban Cu-liang tegas. “Bahkan dalam arak diberi obat bius.”

Mendadak Auyang Thian-kiau mengentak kaki terus membalik tubuh dan hendak pergi.

Melihat sikap orang seakan-akan sama sekali tidak tahu-menahu kejadian semalam, Bok Put-kut dan lain-lain sama merasa heran.

Pada saat itulah dari kerumunan orang banyak tiba-tiba muncul seorang perempuan berbaju hitam, wajah pucat lesi serupa mayat.

Melihat perempuan ini seketika Auyang Thian-kiau berubah beringas, dampratnya, “Perempuan hina, nama baikku selama hidup hanyut sama sekali karena perbuatanmu!”

Akan tetapi perempuan berbaju hitam itu tidak memandangnya melainkan menatap tajam Ban Cu-liang dengan penuh rasa benci, teriaknya mendadak, “Memfitnah orang secara semena-mena, sungguh kotor dan rendah .... Aku istri Auyang Thian-kiau, siapa bilang semalam kucekoki Pui Po-giok dengan arak hingga mabuk?”

Bok Put-kut, Ban Cu-liang, Pui Po-giok dan lain-lain sangat terperanjat, semuanya melongo serupa bunyi geledek di siang bolong.

Ternyata “Auyang Cu” yang datang semalam bukanlah istri Auyang Thian-kiau. Dan nyonya Auyang yang berdiri di depan mereka sekarang ternyata tidak pernah mereka lihat selama ini.

“Apakah ... apakah Auyang-tiocu cuma mempunyai istri ini?” tanya Kim Put-we dengan tergegap.

“Dengan sendirinya aku cuma mempunyai seorang istri saja?” sahut Auyang Thian-kiau dengan gusar.

Seketika Kim Put-we merasa lemas dan tidak sanggup bicara lagi.

Jika Cu-ji itu benar istri Auyang Thian-kiau, ini masih dapat dimengerti jika diam-diam ia mengerjai Po-ji karena khawatir suaminya akan kalah dalam bertanding pagi ini.

Tapi kalau Cu-ji itu bukan istri Auyang Thian-kiau, sedangkan Po-ji pernah menolong anak dara itu, sekarang dia malah membikin susah Po-ji, lalu apa tujuannya? Jika Po-ji kalah bertanding, memangnya apa keuntungannya?

Po-giok, Kongsun Put-ti dan lain-lain sama heran dan terkejut, biarpun mereka memeras otak juga sukar mendapatkan jawaban. Apalagi dalam keadaan demikian juga tidak mengizinkan mereka banyak berpikir.

Sementara itu hadirin di sekeliling sudah gempar, ada yang berteriak marah, ada yang tertawa mengejek, “Haha, kukira kesatria macam apa Pui Po-giok itu, rupanya cuma seorang penipu besar!”

“Wahai Pui Po-giok, jika kau tidak berani bertanding dengan Auyang-tiocu, ayolah lekas lari mencawat ekor saja, buat apa sengaja merusak nama baik Auyang-hujin?”

Meski ada yang menyaksikan sendiri Pui Po-giok dicekoki arak oleh Auyang-hujin dan bermaksud membelanya, namun suara gemuruh orang murka seketika bergema sehingga suara mereka tidak terdengar.

Apalagi urusan sekarang memang sukar untuk dimengerti, di bawah kemarahan orang banyak, betapa pun susah bagi Po-giok untuk memberi penjelasan.

Auyang Thian-kiau tampak beringas dan kalap, ia melompat ke depan Pui Po-giok dan membentak, “Apa ... apa yang dapat kau katakan lagi? Ayo mulai, lekas!”

Po-giok berdiri serupa patung tanpa bergerak.

Sekali membentak, langsung sebelah tangan Auyang Thian-kiau menggampar. Akan tetapi keburu dipegang Auyang-hujin.

Dengan gusar dan menghina Auyang-hujin mendengus, “Huh, untuk apa bergebrak dengan orang begini, kan merendahkan harga dirimu. Ayo, kita pergi saja!”

Auyang Thian-kiau melototi Pui Po-giok, mendadak ia meludah di depan anak muda itu dan mengentak kaki, lalu tinggal pergi.

Penghinaan yang lebih memalukan daripada mati ini sungguh sukar ditahan oleh siapa pun, akan tetapi Pui Po-giok sekuatnya bersabar dengan mengertak gigi.

Di bawah cemooh dan ejekan orang banyak, Nyo Put-loh dan Kim Put-we bermaksud memburu ke sana, akan tetapi keburu ditahan oleh Po-giok.

“Lepaskan!” teriak Nyo Put-loh murka. “Penghinaan hari ini harus dicuci dengan darah. Biarlah kita mati di medan laga ini, apa yang kau tunggu lagi?”

“Sekalipun mati perang tanding, salah paham ini tetap sukar dijelaskan,” ujar Po-giok. “Dan selama penghinaan ini tidak bisa dicuci bersih, tentu nama kita akan ternoda sepanjang masa.”

Seketika Nyo Put-loh tidak bisa berbuat apa-apa dan cuma mengentak kaki belaka.

Terdengar suara caci maki orang banyak di sana-sini, “Haha, kalau tidak becus, janganlah berlagak sebagai pahlawan!”

“Ayolah Pui Po-giok, lekas pulang saja untuk menyusu pada makmu!”

Dan entah siapa yang mulai dahulu ketika sepotong genting dilemparkan ke bawah, menyusul lantas terjadi hujan lempar macam-macam benda, sampai topi dan sepatu juga digunakan untuk melempar.

Po-giok tetap berdiri tegak di tempatnya dan membiarkan tubuhnya tertimpa berbagai benda itu, dalam keadaan demikian tertampaklah keteguhan imannya.

Bagai bunyi geledek Thi-wah membentak sambil memburu maju dan mengadang di depan Po-giok, teriaknya murka, “Ayolah, jika berani melempar lagi, segera ku ....”

Mendadak sebelah tangannya menghantam ke depan, sebatang pohon tanggung yang tumbuh di samping terhantam hingga tumbang.

Keruan semua orang terkesiap oleh tenaga raksasa Thi-wah, kebanyakan juga sudah puas mencaci maki dan melempar, maka beramai-ramai bubarlah orang banyak. Hanya tersisa beberapa anak gadis yang tampak melongo kesima, sebab pahlawan pujaan membuat mereka kecewa dan menyesal.

Suasana berubah sunyi, halaman berserakan macam-macam barang.

Po-giok berdiri termenung, sampai lama tanpa bergerak dikelilingi Ban Cu-liang, Kim Co-lim dan lain-lain, sampai Gu Thi-wah juga terkesima tanpa bersuara.

Entah selang berapa lama, mendadak Kim Co-lim berteriak, “Arak ... mabuk arak pelipur lara ....”

Ia terus lari ke dalam rumah, suaranya penuh rasa pedih dan penasaran, mau tak mau Sebun Put-jiok ikut terharu.

Kongsun Put-ti mendekati Ban Cu-liang dan berucap, “Maafkan Ban-tayhiap, kejadian hari ini harus membuat nama baik Ban-tayhiap ikut tercemar, sungguh kami sangat menyesal.”

“Ah, urusan ini mana dapat menyalahkan kalian,” ujar Ban Cu-liang. “Memangnya siapa yang menduga sekeji ini tipu muslihat musuh. Kukira sebelumnya musuh sudah memperhitungkan dengan baik segala kemungkinan yang akan terjadi, tapi sebenarnya apa tujuannya mereka merancang tipu keji seperti ini untuk membikin susah Po-giok?”

“Sudahlah, biarpun urusan ini dapat kita raba sini dan raba sana juga tidak ada gunanya,” kata Bok Put-kut. “Yang penting sekarang, bagaimana tindak selanjutnya.”

Pandangannya beralih kepada Po-ji, suaranya juga prihatin. Ia meragukan Po-ji yang masih muda belia itu apakah sanggup menahan pukulan batin ini. Apakah semangatnya takkan patah, apakah cita-citanya takkan runtuh? Apakah dia akan tenggelam seterusnya?

Terlihat Po-giok memandang jauh ke depan, memandang sinar sang surya yang gilang-gemilang, ia menarik napas panjang, lalu berucap tegas, “Biarpun perjalanan selanjutnya mahasulit juga takkan mematahkan tekad langkahku?”

“Jadi kau masih akan terus melanjutkan jalanmu?” tanya Bok Put-kut dan lain-lain berbareng.

“Ya, maju terus pantang mundur!” seru Po-giok tegas.

Meski wajahnya agak pucat dan suaranya rada serak, namun beberapa kata-katanya itu serupa bunyi guntur yang memecah angkasa sunyi.

Semangat Ban Cu-liang dan lain-lain seketika pula tergugah sampai Ciok Put-wi yang berhati dingin dan keras itu pun ikut memperlihatkan rasa girang.

“Baik, anak bagus!” gumam Ban Cu-liang. “Tak tersangka pukulan berat itu tidak dapat mematahkan semangatmu, sungguh seorang kesatria sejati.”

“Dihina orang, disalahpahami orang, semua ini memang hal yang menyakitkan,” kata Kongsun Put-ti. “Po-ji, kau memang seorang anak luar biasa, jika cuma kungfunya saja yang merajai dunia belumlah membuat pamanmu ini takluk padamu, tapi pengalaman tadi tidak membuatmu runtuh, sungguh aku harus kagum dan takluk padamu.”

“Terima kasih atas pujian paman,” kata Po-giok. “Tapi Siautit sudah bertekad akan melanjutkan urusan ini, kecuali Siautit benar-benar dirobohkan orang, kalau tidak, siapa pun tidak dapat membuatku menyurut mundur.”

“Baik, sekarang juga kita pergi mencari Auyang Thian-kiau,” teriak Kim Put-we mendadak.

“Tidak, sekarang tidak boleh pergi,” ujar Po-giok.

“Kenapa ... memangnya mau tunggu sampai kapan lagi?” tanya Put-we.

“Awan mendung akhirnya akan buyar, salah paham akhirnya pasti juga akan lenyap,” kata Po-giok. “Pada hari itulah nanti akan kuhadapi Auyang Thian-kiau untuk menentukan kalah menang.”

Ia bicara dengan tegas dan penuh tekad, keteguhan hati dan kepercayaan akan diri sendiri membuatnya tidak gentar menghadapi urusan apa pun.

“Bagus, anak baik!” seru Kim Put-we. “Semoga segalanya dapat kau laksanakan dengan baik.”

*****

Jago Kim-leng-sia, Hong-uh-sin-eng Eng Thi-ih, si Elang Sakti Hujan Badai, yang bercokol di Ciong-san, namanya mengguncangkan dunia, terutama senjata andalannya, yaitu dua buah Kun-goan-pay, perisai baja yang jarang digunakan orang ini, selama ini hampir tidak pernah ketemukan tandingan.

Eng Thi-ih sendiri berperawakan jangkung tegak, gerak-gerik gesit serupa elang. Dia luhur budi dan suka berkawan, di ruang Hui-eng-tong sering dipenuhi tetamunya dan selalu tersedia santapan dan arak.

Pagi-pagi Eng Thi-ih sudah berdiri di depan rumah dengan baju cokelat ringkas dan kelihatan gesit, belasan orang gagah mengiring di sampingnya, tiba-tiba seorang bertanya, “Apakah Eng-heng benar-benar hendak pergi ke sana?”

“Jika aku tidak pergi, kan berarti takut padanya?” jawab Eng Thi-ih dengan tersenyum.

Dengan sikap menghina orang itu berkata, “Waktu ini siapa yang tidak tahu bocah she Pui itu tidak lebih hanya seorang penipu belaka, masakah dia ada harganya untuk bertanding dengan Eng-heng?”

“Tapi apa salahnya jika penipu itu disuruh mencicipi rasanya kedua perisaiku?” ujar Eng Thi-ih dengan tersenyum.

Maka tergelaklah semua orang, beramai mereka lantas berangkat.

Dan baru saja mereka muncul dari kejauhan, rombongan Ban Cu-liang yang berdiri di tepi danau Hian-bu-oh sudah mengetahui kedatangan mereka.

Wajah Po-ji masih pucat pasi. Dengan khawatir, Bok Put-kut coba tanya anak muda itu, “Po-ji, apakah hari ini kau sanggup bertarung?”

Po-giok hanya tersenyum saja sebagai gantinya jawaban.

Sementara itu, di bawah semilir angin sejuk berkumandanglah suara ejekan dan tertawa orang banyak.

Ban Cu-liang dan lain-lain sama cemas, diam-diam mereka bertanya-tanya dalam hati, “Apakah hari ini Po-ji benar sanggup bertarung?”

Terlihat Eng Thi-ih sedang melangkah tiba, dengan enteng dan gesit, sekujur badan penuh tenaga, penuh semangat, penuh rasa keyakinan akan menang.

Dibandingkan Po-giok yang pucat sungguh sangat mencolok bedanya.

Po-giok membetulkan pedang kayu yang disandangnya, perlahan ia memapak ke depan.

Eng Thi-ih hanya memberi hormat sekadarnya kepada Ban Cu-liang, sebab orang lain pada hakikatnya dipandang sebelah mata olehnya. Bahkan Po-giok juga tidak dipandang olehnya, dengan suara lantang ia menegur, “Kau inikah Pui Po-giok?”

Dengan menahan perasaan Po-giok menjawab, “Ya.”

“Baik,” Eng Thi-ih menengadah dan tertawa. Ia memberi tanda dan membalik tubuh ke sana sambil berseru, “Lihat perisaiku!”

Segera seorang lelaki kekar berlari membawakan senjata andalannya, yaitu dua buah perisai baja yang antap dan mengilat di bawah sinar matahari.

Begitu perisai berada di tangan, “creng”, bergema suara nyaring benturan kedua perisai, ketika kedua tangan Eng Thi-ih terbentang, segera menimbulkan sinar kemilau. Bersoraklah orang banyak melihat ketangkasannya.

“Nah, majulah Pui Po-giok!” bentak Eng Thi-ih perlahan dengan tatapan tajam.

Po-giok menarik napas panjang-panjang, dan belum lagi ia melangkah, serentak terdengar suara ejekan di sana-sini, “Hei, Pui Po-giok, apakah hari ini kau pun mabuk?!”

Di tengah olok-olok orang banyak itulah Po-giok mengayun langkahnya yang limbung untuk menghadapi Eng Thi-ih yang gagah tangkas.

Diam-diam Kongsun Put-ti mengisiki Ban Cu-liang, “Pertarungan ini jelas orang she Eng itu takkan bertindak sungkan lagi, jika sudah kelihatan tanda Po-ji akan kalah, mohon Ban-tayhiap suka berusaha mencegah tindakan Eng Thi-ih itu.”

Ban Cu-liang mengangguk perlahan dengan muram.

Terlihat air muka Po-giok tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, tidak tampak lesu, juga tidak mengunjuk duka atau gusar, perlahan ia melolos pedang kayu dan berucap, “Silakan!”

“Bagus, ayolah maju!” sambut Eng Thi-ih, kembali kedua perisai bergetar terus menghantam ke depan.

No comments: