Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 12

Oleh : Gan KL

“Haha, bagus sekali!” seru Ciu Hong dengan tertawa. “Cukup ucapanmu yang singkat ini dapatlah menyelamatkan diriku dari kerubutan kaum betina ....”

“Ini namanya pucuk dicinta ulam tiba dan seharusnya Ciu-heng bergembira,” desis Li Beng-sing. “Tapi apa yang kulakukan tentu saja ada maksudnya. Apakah Ciu-heng tahu akhir-akhir ini di dunia persilatan telah terjadi lagi beberapa peristiwa penting. Suasana dunia Kangouw terasa mulai guncang lagi. Inilah saatnya kaum kita harus bertindak. Bilamana Ciu-heng bersedia bekerja sama denganku, kuyakin segala sesuatu pasti akan berjalan lancar.”

Ciu Hong tersenyum sambil mengelus jenggot, katanya, “Coba ceritakan dulu, peristiwa penting apa pula yang terjadi di dunia Kangouw?”

“Peristiwa paling akhir yang paling menggemparkan dunia Kangouw adalah tentang pergantian Pangcu Kay-pang,” tutur Li Beng-sing. “Pangcu lama konon tidak diketahui ke mana perginya, Pangcu yang sekarang tidak dikenal asal usulnya. Sebuah organisasi Kangouw terbesar dan bersejarah lama kini mengalami kekacauan, karena kejadian dalam Kay-pang ini sehingga berbagai kelompok kaum jembel di berbagai daerah juga kena pengaruhnya, bagian dalam berbagai kelompok kaum jembel itu juga terjadi huru-hara dan setiap orang sama merasa tidak aman, konon Pangcu Kay-pang yang baru sangat besar ambisinya dan bermaksud menggabungkan berbagai kelompok kaum jembel itu supaya semuanya berada di bawah pimpinan Kay-pang.”

Meski Po-ji berada di tengah kerumunan nona cantik, namun dia selalu pasang telinga mengikuti pembicaraan Li Beng-sing dan Ciu Hong, sekarang ia tidak tahan dan ikut bicara katanya dengan menyesal, “Ai, tak tersangka Ong-toanio benar menjadi Pangcu Kay-pang dan kini mulai membuat huru-hara .... Lantas bagaimana nasib Ong Poan-hiap dan para sesepuh Kay-pang?”

Li Beng-sing melototinya sekejap, seperti heran mengapa anak kecil ini sedemikian paham akan urusan dunia Kangouw, di mulut ia pun menjawab, “Ong Poan-hiap, Yap Ling dan lain-lain sebenarnya merupakan pendukung Pangcu lama, seharusnya mereka berdiri menghadapi usaha perebutan Pangcu dari pihak Ong-toanio, tapi tindakan Ong-toanio ini selain keji juga dilakukan dengan sangat cermat, sudah lama ia memasang jaringan di sana-sini sehingga pihak lawan sama sekali tidak bisa berkutik.”

Ia menyapu pandang sekejap semua orang, lalu menyambung, “Lebih dulu ia gunakan akal untuk menculik Pangcu lama dan sama sekali tidak mengumumkan mati-hidupnya sehingga setiap anggota Kay-pang lama waswas, kemudian ia gunakan berbagai akal lain untuk menundukkan para pimpinan cabang Kay-pang di berbagai tempat, akhirnya ia mengundang Ong Poan-hiap, Yap Ling dan lain-lain untuk bertemu di tepi pantai agar mengadakan pertandingan untuk menentukan kedudukan Pangcu, dan dalam pertarungan ini, Ong-toanio yang sudah buntung kedua kakinya itu ternyata dapat menjatuhkan Ong Poan-hiap dan membuatnya terluka parah.”

“Hah, terluka parah? ....” Po-ji berseru kaget. “Wah, caranya sungguh sangat lihai. Dengan tindakan begitu, tentu tidak ada yang menyangsikan tipu muslihat mereka.”

“Menyangsikan tipu muslihat apa?” tanya Li Beng-sing heran.

Cepat Ciu Hong menyela, “Tidak ada apa-apa, harap Li-heng teruskan ceritamu.”

Kening Li Beng-sing bekernyit, sambungnya kemudian, “Meski Yap Ling dan lain-lain merasa penasaran, tapi pertama karena sudah ada janji lebih dulu, kedua, bila Ong Poan-hiap saja tidak dapat menandinginya, apalagi mereka sendiri. Ai, Ong Poan-hiap juga seorang lelaki perkasa, meski sudah mandi darah, namun sebelum roboh ia masih sempat memberi pesan kepada Yap Ling dan lain-lain agar menepati janji supaya Kay-pang tidak ditertawai sesama kawan Kangouw sebagai kaum yang tidak dapat dipercaya.”

Diam-diam Po-ji terkesiap, pikirnya, “Lihai amat Ong Poan-hiap ini, setiap perbuatannya yang kotor ternyata selalu menggunakan keluhuran budi sebagai selubung.”

Ia lihat Li Beng-sing juga sedemikian kagum terhadap Ong Poan-hiap, dengan sendirinya tidak enak baginya untuk mengemukakan pikirannya itu.

Terdengar Li Beng-sing menyambung lagi, “Dalam keadaan begitu, biarpun Yap Ling dan kawannya tidak rela, terpaksa juga harus tunduk kepada Ong-toanio. Segera pula Ong-toanio mengangkat Ong Poan-hiap sebagai Hou-hoat Tianglo (sesepuh pelindung), kedudukannya hanya di bawah Pangcu. Ai, Ong-toanio itu sungguh tokoh yang lihai dan licin, ia tahu jika segala sesuatu dilakukan atas nama pribadinya, tentu akan timbul pembangkangan orang banyak. Tapi bila setiap perintah Pangcu diteruskan oleh Hou-hoat Tianglo, terpaksa anggota Kay-pang harus menurut. Kasihan Ong Poan-hiap yang telah dikalahkan itu, akhirnya masih harus melaksanakan segala perintah Ong-toanio. Rasanya lelaki keras hati seperti Ong Poan-hiap kini sudah jarang ada di dunia persilatan.”

Makin mendengarkan makin gemas Po-ji sehingga mukanya merah padam, pikirnya, “Sialan, yang kau puji selalu kebaikan, Ong Poan-hiap saja, padahal semua itu tidak lain adalah sandiwara yang telah diatur oleh mereka suami istri.”

Mestinya hal itu hendak diucapkannya, namun mulutnya keburu disumbat oleh sebiji kuaci yang dijejalkan oleh sebuah tangan yang halus.

Terdengar Li Beng-sing berkata pula, “Jika keadaan begitu terus berlangsung, untuk sementara Kay-pang rasanya akan aman tenteram. Siapa tahu, baru-baru ini dunia Kangouw kembali timbul suatu peristiwa aneh yang berpengaruh besar terhadap Kay-pang.”

Ia sengaja berhenti, ia menduga orang yang asyik mendengarkan ceritanya itu pasti akan bertanya kejadian aneh apa, siapa tahu sampai sekian lama tiada seorang pun yang bersuara.

Terpaksa Li Beng-sing menyambung lagi, “Kejadian aneh itu adalah ditemukannya sebuah botol arak yang terjaring oleh kaum nelayan di dekat pantai.”

“Aha, itu dia ....” seru Po-ji di dalam hati.

Sekali ini Ciu Hong tidak tahan, cepat ia tanya, “Memangnya apa pengaruhnya sebuah botol arak terhadap Kay-pang?”

Li Beng-sing tersenyum, katanya, “Botol arak saja memang tidak ada artinya, yang aneh adalah botol arak yang tertutup rapat itu di dalamnya terdapat secarik kertas dengan tulisan yang berbunyi ‘Ong-toanio adalah Hou-li Go So’.”

Bekernyit kening Ciu Hong, segera ia menoleh dan memandang sekejap ke arah Po-ji.

Cepat Po-ji menunduk dan terbenam di tengah pelukan kawanan nona cantik.

Li Beng-sing menyambung lagi ceritanya, “Mendingan jika kertas tulis itu jatuh di tangan kaum nelayan biasa, siapa duga nelayan yang menemukan pamflet itu bukan lain daripada Ting bersaudara dari Ting-keh-wan.”

“Ting bersaudara itu mempunyai ibu yang sangat mereka takuti, peraturan rumah tangga mereka sangat keras, biasanya tidak boleh ikut campur urusan dunia Kangouw, memangnya apa yang terjadi setelah mereka menemukan kertas tulis itu di dalam botol arak yang masuk jaring mereka?” tanya Ciu Hong.

“Memang betul Ting bersaudara terkenal tidak suka ikut campur urusan tetek bengek di luar,” ujar Li Beng-sing. “Namun segala sesuatu terkadang sangat kebetulan. Waktu itu di rumah keluarga Ting justru bertamu seorang yang biasanya paling suka cari tahu urusan orang lain. Jika kukatakan orang ini, kuyakin Ciu-heng pasti juga kenal namanya.”

Meski tidak ingin tanya, melihat sikap Li Beng-sing yang serbamisterius itu, tidak urung Ciu Hong menegas, “Siapa dia?”

“Siapa lagi kalau bukan Ban-tayhiap yang namanya sejajar dengan Ong Poan-hiap dan akhir-akhir ini namanya cukup termasyhur di dunia Kangouw,” tutur Li Beng-sing.

Po-ji tidak tahan dan coba bertanya lagi, “Ban-tayhiap yang kalian maksudkan apakah putra Ban-lohujin yang suka berbaju penuh saku itu?”

Diam-diam Li Beng-sing merasa heran pula dari mana anak kecil ini kenal nama tokoh Kangouw terkemuka itu, tidak urung ia pun menjawab, “Ya, betul, putra Ban-lohujin itulah.”

“Kabarnya Ban-tayhiap ini berbeda watak dengan ibunya, jika kertas tulis itu ditemukan olehnya, maka harus bersyukurlah kita,” demikian pikir Po-ji.

Meski merasa air muka anak itu agak aneh, namun tidak diperhatikan oleh Li Beng-sing, ia menyambung lagi, “Setelah Ban-tayhiap membaca tulisan itu, meski dia tidak memperlihatkan sesuatu reaksi, namun diam-diam ia mulai mengadakan penyelidikan. Bagaimana hasilnya tidak diketahui, hanya sebulan kemudian Ban-tayhiap telah menyebarkan kartu undangan kepada para kesatria untuk berkumpul di Wi-ho-lau untuk berunding urusan besar, mengenai urusan besar apa yang akan dirundingkan sama sekali tidak dijelaskan dalam kartu undangan, tapi menurut dugaanku, tentu ada sangkut pautnya dengan persoalan Kay-pang.”

“Oo, pantas hari ini Wi-ho-lau sedemikian ramai,” kata Ciu Hong dengan tertawa.

“Keramaian Wi-ho-lau hari ini selain urusan pertemuan yang diadakan Ban-tayhiap, konon juga akan terjadi beberapa hal yang tak terduga .... Kabarnya akan hadir juga Thi-kim-to dan hendak mengadakan perang tanding dengan musuh bebuyutannya.”

“Aha, ternyata benar ada tontonan menarik, kita harus ikut meramaikannya,” ujar Ciu Hong.

Dengan suara tertahan Li Beng-sing berkata pula, “Dengan sendirinya kita harus melihat keramaian ini, bisa jadi kesempatan ini dapat kita gunakan untuk bekerja.”

“Ya, tepat,” tukas Ciu Hong.

“Tapi sekarang peranan utamanya belum muncul, untuk menjaga gengsi, kita pun tidak perlu menunggu di sana, bagaimana kalau kita pesiar dulu di sepanjang sungai ini,” kata Li Beng-sing.

Ciu Hong mengiakan dengan tertawa.

Segera Li Beng-sing tepuk tangan dan berkata kepada kawanan nona, “Ai, baru sekarang kutahu, sangu yang dibawa tuan muda kita itu sudah habis, jika kalian ingin persen, lekas kemari saja.”

Kembali terjadi keributan antara kawanan nona jelita itu, ada yang tertawa dan ada yang mengomel, serentak mereka pun mendekati Li Beng-sing dan berusaha merayunya.

Po-ji menghela napas lega, bilamana kawanan nona itu tidak pergi, sungguh ia tidak tahan lagi. Ia betulkan bajunya, lalu mendekati jendela dan coba melongok keluar. Terlihat kapal layar berlalu-lalang dengan ramainya. Ketiga kota di muara Bu-han ini merupakan pusat perdagangan sepanjang sungai Tiangkang, dengan sendirinya jauh lebih makmur daripada tempat lain.

Angin meniup sejuk, semangat Po-ji terbangkit. Didengarnya kawanan nona tadi sedang menyanyi dan menghibur tetamunya. Li Beng-sing bertepuk tangan dan bergelak tertawa sambil merangkul sini dan mencium sana.

Po-ji merasa mual, sungguh ia ingin menyumbat telinga, sedapatnya ia melongok keluar jendela sebisanya.

Dilihatnya datang lagi sebuah kapal besar menyongsong angin, empat perahu nelayan tampak mengawal di kedua sisi kapal megah itu.

Bentuk keempat perahu nelayan itu sangat aneh, tubuh perahu sempit, kepala runcing, jelas pada waktu meluncur sekencangnya pasti secepat anak panah terlepas dari busurnya. Di atas perahu itu masing-masing berdiri delapan lelaki kekar berseragam baju ungu ketat, pakai ikat kepala warna ungu juga, semuanya membawa kaitan yang tersandang di punggung dihias pita merah yang berkibar tertiup angin. Pada dada baju setiap lelaki itu bersulam sebuah huruf “Ting” yang besar.

Di haluan kapal megah itu terdapat sebuah kursi besar beralaskan kasuran bersulam, seorang nenek beruban duduk di situ asyik udut dengan cangklongnya yang panjang berwarna zamrud.

Empat pelayan cilik, ada yang memegang payung, ada yang membawa kantong tembakau, semuanya berdiri di belakang si nenek. Lalu ada lagi dua pemuda cakap gagah berpedang berdiri di samping dan terkadang menunjuk sesuatu pemandangan indah sambil memberi penjelasan kepada si nenek.

Diam-diam Po-ji membatin, “Entah orang macam apa pula nenek ini? Melihat lagaknya, jelas bukan tokoh sembarangan.”

Terdengar Li Beng-sing sedang berkata kepada Ciu Hong dengan tertawa, “Coba lihat, Ciu-heng, Lohujin (nyonya tua) ini tak-lain-tak-bukan adalah Ting-lohujin yang terkenal dari Ting-keh-wan. Sudah lama sekali nyonya tua ini tidak pernah meninggalkan Ting-keh-wan, tak tersangka sekarang dia juga muncul di sini, maka dapat diperkirakan keramaian hari ini pasti lain daripada yang lain.”

“Konon Ting-lohujin ini selain masih tetap cantik molek serupa sediakala, bahkan tinggi ilmu silatnya juga sukar dibandingi orang,” kata Ciu Hong.

“Ya, wajah secantik bunga, ilmu pedang semolek orangnya, inilah pemeo yang terkenal masa lampau untuk memuji kehebatan Ting-lohujin alias Liu Ih-jin ini,” kata Li Beng-sing dengan tertawa.

“Bunga mekar akhirnya tentu layu, perempuan cantik pun akhirnya akan tua,” tukas Ciu Hong dengan gegetun. “Sebabnya dia jarang lagi muncul di dunia Kangouw, mungkin karena dia tidak suka orang mengetahui wajahnya yang kini sudah mulai layu itu.”

“Namun kisah masa muda Ting-lohujin konon sangat menarik, entah Ciu-heng mau mengisahkannya kembali?”

“Keluarga Ting sebenarnya keluarga persilatan turun-temurun, waktu mudanya Ting Biau terkenal gagah dan tampan, sekian tahun dia tergila-gila kepada Liu Ih-jin, namun Liu Ih-jin sama sekali tidak menggubris padanya. Sampai akhirnya Ting Biau bertemu dengan musuh ketika dia habis mabuk arak, dalam pertarungan di sungai meski musuh dapat dibunuhnya, tidak urung ia pun kena suatu pukulan dahsyat musuh sehingga segenap ilmu silatnya punah, walaupun masih dapat bergerak, namun keadaannya sudah serupa orang cacat. Sejak itu hidup Ting Biau tambah tidak terkontrol, setiap hari hanya tenggelam dalam mabuk, sejak itu pamor Ting-keh-wan pun runtuh dan sukar berbangkit lagi.”

“Ah, sungguh menyedihkan dan harus disesalkan,” ucap Li Beng-sing sambil menenggak arak.

“Keadaan Ting Biau itu sungguh mengenaskan, anak buah sama meninggalkan dia, sanak keluarga pun menjauhi dia, hidupnya miskin dan merana. Siapa tahu pada saat begitulah Liu Ih-jin yang pernah digilainya tahu-tahu datang ke Ting-keh-wan dan hendak menikah dengan dia.”

“Hah, Liu Ih-jin yang bagus!” seru Li Beng-sing sambil menghabiskan secawan arak pula.

Karena tertarik oleh cerita itu, Po-ji telah duduk di samping Li Beng-sing dan tanpa terasa ia pun mengiringinya minum dua cawan arak sehingga mukanya kelihatan merah.

Terdengar Ciu Hong melanjutkan ceritanya, “Ting Biau itu seorang lelaki sejati, dalam keadaan merana begitu mana ia mau menikah dengan perempuan yang sangat dicintainya itu. Ia justru semakin tenggelam dalam dunia mabuknya. Jika perempuan lain, biarpun dahulu pernah dicintai dan sekarang Ting Biau kelihatan rusak sedemikian tentu akan ditinggal pergi. Namun Liu Ih-jin ini memang perempuan aneh, dengan sukarela ia tinggal bersama Ting Biau dan merawatnya siang dan malam, Ting-keh-wan diperbaruinya kembali, sepuluh tahun kemudian, nama Ting-keh-wan berbangkit lagi, namun Liu Ih-jin sendiri pun tambah tua dan mulai layu, sebaliknya Ting Biau yang tenggelam mabuk selama sepuluh tahun akhirnya sadar juga dan terharu terhadap kesungguhan hati Liu Ih-jin, keduanya lantas menikah, cuma waktu sepuluh tahun yang berharga pun terbuang sia-sia ....”

Po-ji sangat terharu oleh cerita itu, ia coba tanya, “Kemudian bagaimana lagi?”

“Kemudian Ting Biau belajar sastra dengan tekun dan jadilah dia seorang sastrawan ternama di daerah Kanglam dengan syairnya yang terkenal.”

“Ah, sungguh menarik kisahnya,” ucap Po-ji dengan gegetun, tanpa terasa secawan arak ditenggaknya lagi.

“Orang Kangouw sama tahu Ting bersaudara terdiri dari seorang mahir ilmu silat dan seorang lagi sastrawan, meski sang adik gagah perkasa, sebaliknya sang kakak lemah tak bertenaga. Hal ini mungkin disebabkan Ting-lohujin ingin mengenangkan mendiang suaminya, maka Ting-toakongcu disuruh belajar ilmu silat.”

Dalam pada itu Ting-lohujin alias Liu Ih-jin bersama kedua anaknya sudah meninggalkan kapal dan mendarat. Li Beng-sing memandang ke daratan melalui jendela kapalnya dan bergumam, “Aha, Congpiauthau Thian-wi-piaukiok dari Han-yang, Siang Hoay-wi akhirnya datang juga .... Itu dia Sin-ci-jiu Poa Ce-sing juga tiba .... Hah, bagus, jago muda Kim Co-lim juga tidak mau ketinggalan ....”

Dengan sendirinya Po-ji tertarik dan ingin tahu tokoh-tokoh yang disebut itu, ia juga mendekati jendela dan memandang ke sana, dilihatnya Siang Hoay-wi itu bertubuh tinggi besar dan berewok, namun kegagahannya tidak kalah dibandingkan anak muda.

Diam-diam Po-ji membatin, “Bila Thi-wah sudah tua, bisa jadi juga segagah ini.”

Dilihatnya pula Poa Ce-sing itu adalah seorang pemuda berbaju perlente dan bermuka pucat, pemuda ini berdiri di haluan kapalnya seperti sedang menikmati pemandangan alam di daratan, tapi yang benar hanya anak perempuan cantik yang diincarnya, kedua matanya tampak sepat, seperti orang yang selalu kurang tidur.

Po-ji merasa geli dan berpikir, “Sin-ci-jiu (si Panah Sakti) ini tampaknya selalu kurang tidur, entah cara bagaimana dia mampu membidik panahnya dengan jitu?”

Ternyata bentuk Kim Co-lim itu paling spesial, bajunya juga paling perlente, lagaknya juga jauh lebih angkuh daripada siapa pun.

Ia menumpang sebuah kapal besar dan megah, ia pun duduk di haluan dengan jubah sulam warna-warni, kancing baju semuanya terbuat dari emas dan tampak gemerdep di bawah sinar matahari. Dua genduk cantik tampak berdiri di belakangnya, yang seorang memegang sebatang tombak panjang, seorang lagi membawa seguci arak.

Usia Kim Co-lim belum terlampau tua, yang besar adalah hidungnya, di bawah hidung yang besar itu bernaung mulut yang kecil dan tiada hentinya menenggak arak sehingga mata pun tambah merah dan berat, tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kotak emas, dari dalam kotak dikeluarkan pula sesuatu benda aneh terus dipasang pada mukanya, sekilas pandang benda itu serupa semacam kerudung mata sehingga kedua matanya tertutup.

“Hei, apa ini?” ucap Po-ji terkejut.

Ia coba mengawasi, akhirnya baru diketahui benda penutup mata itu adalah dua potong kristal hitam yang dibingkai dengan lingkaran emas, kedua sisi diberi benang emas untuk dicantolkan pada kedua daun kuping. Dengan begitu cahaya matahari pun takkan membuatnya silau.

Po-ji tidak tahu itulah yang dinamakan kacamata masa kini, ia tertawa geli dan bergumam, “Pantas dia juga berjuluk si raja mata empat ....”

“Orang ini juga anak murid keluarga persilatan turun-temurun dan kaya raya. Sayang dia gemar minum arak dan tidak pandai berusaha, sehingga harta benda tinggalan orang tua hampir ludes dibuatnya minum,” tutur Li Beng-sing.

“Ya, namun kungfu orang ini juga sangat hebat, apalagi kalau sudah mabuk, keperkasaannya sungguh jarang ada bandingannya,” kata Ciu Hong. “Dahulu Coa Lo yang terkenal lihai dan jarang menemukan tandingan selama hidup, waktu bertarung dengan dia juga tidak lebih unggul. Pula orang ini juga berbudi luhur dan setia kawan, kelak bila kau berkelana di dunia Kangouw bolehlah mengikat persahabatan dengan dia.”

“Tentu saja,” kata Po-ji.

Dilihatnya si gadis yang membawa guci arak sedang menuangkan arak pula, Kim Co-lim tertawa dan memegang tangan si gadis yang putih. Agaknya gadis itu selain takut dan hormat terhadap sang majikan, agaknya juga rela diperlakukan sesukanya, maka dengan malu-malu ia manda saja dipegang.

Tiba-tiba dari dalam anjungan suara seorang perempuan membentak, “Apa itu? Berani main gila?!”

Seketika si gadis menyurut mundur dengan muka pucat, Kim Co-lim juga menyengir rikuh, agaknya juga merasa takut sehingga cawan arak yang dipegangnya jatuh berantakan.

Lalu seorang perempuan cantik bergaun warna ungu lari keluar dari anjungan, telinga Kim Co-lim dijewernya terus diseret masuk ke dalam anjungan.

“Hah, kiranya orang ini takut bini,” ujar Po-ji dengan tertawa.

Ciu Hong juga tertawa, katanya, “Orang yang takut bini justru besar rezekinya.”

Seterusnya banyak pula berdatangan tokoh-tokoh persilatan yang tidak dikenal, semuanya menumpang kapal dan menuju ke Wi-ho-lau.

“Jika kita hadir sekarang kiranya sudah cukup terhormat,” kata Ciu Hong. “Kukira tidak perlu buang-buang waktu lagi.”

“Bagus, bolehlah kita putar kembali ke Wi-ho-lau,” seru Li Beng-sing kepada awak kapalnya.

Wi-ho-lau yang merupakan bangunan bertingkat itu meski cukup luas juga tidak dapat menampung beribu orang kesatria yang datang sekaligus, lantaran itulah di luar Wi-ho-lau masih berjubel pendatang yang berlapis-lapis.

Sesudah mendarat, rombongan Ciu Hong dan Li Beng-sing juga sukar naik ke atas loteng Wi-ho-lau.

Thi-wah berlagak orang kuat, katanya, “Biar kubuka jalan, mari kita mendesak ke depan!”

Segera ia pentang kedua tangannya yang besar terus hendak menerobos ke tengah kerumunan orang banyak.

“Huh, memangnya kau sangka mereka ini orang udik semua dan akan terjungkal sekali kau terjang?” ucap Po-ji.

Belum lenyap suaranya, benar juga Thi-wah telah didorong kembali oleh orang, dengan menyengir ia angkat pundak. Agaknya ia sendiri kesakitan, cuma tidak enak untuk bicara.

Tiba-tiba Ciu Hong mendapat akal, serunya, “Li-heng, racun aneh yang kau derita meski cuma dapat diobati oleh Ban-tayhiap, tapi sekarang tempat ini terkurung seketat ini, hendaknya jangan sembarangan kau main desak-mendesak, sebab kalau tanpa sengaja racun pada tubuhmu juga menyentuh tubuh orang lain, kan bisa bikin susah orang?”

Serentak Li Beng-sing tahu maksud ucapan Ciu Hong, ia pun berseru, “Ya, tapi apa daya jika keadaan berjubel seperti ini. Biarlah kita mendesak maju dengan hati-hati, asalkan tidak menyentuh orang lain kan tidak apa-apa.”

Sembari bicara ia terus melangkah ke depan. Dengan sendirinya pembicaraan mereka didengar orang banyak, maka sebelum dia mendekati orang banyak, beramai-ramai orang di depan sana menyingkir, semuanya merasa khawatir, ada yang mendesis, “Ssst, awas! Tubuh orang ini beracun, jangan sampai tersentuh!”

Hal ini terus diberitahukan orang lain sehingga dalam sekejap saja kerumunan orang banyak itu lantas terbuka sebuah jalan, dengan bebas dapatlah Li Beng-sing maju ke depan dibuntuti oleh Ciu Hong, Po-ji, dan Thi-wah.

Tanpa susah payah dapatlah keempat orang masuk ke Wi-ho-lau. Di bawah tangga loteng berjaga dua lelaki kekar, mereka merintangi kedatangan mereka sambil menegur, “Hanya tamu yang membawa kartu undangan saja diperbolehkan naik ke atas.”

“Tentu saja kami membawa kartu undangan,” kata Ciu Hong dengan tertawa. “Eh, Li-heng, perlihatkan kartu undangan yang berada padamu.”

Mendadak ia berlagak bekernyit kening dan menyambung, “Tapi, ah, mungkin ... mungkin pada kartu undangan juga ketularan racun tubuhmu ....”

“Hanya diperlihatkan saja kukira tidak beralangan,” ujar Li Beng-sing sambil berlagak meraba saku baju seperti hendak mengeluarkan kartu undangan.

Kedua lelaki itu saling pandang sekejap, lalu berkata, “Sudahlah, tidak perlu periksa lagi, silakan kalian naik ke atas.”

Cepat mereka menyingkir agak jauh seperti khawatir ketularan racun.

Tentu saja Po-ji merasa geli, begitu naik ke atas loteng, Li Beng-sing menoleh dan berkata kepada Ciu Hong, “Akal Ciu-heng sungguh sangat bagus.”

“Sst, jangan keras-keras, kalau didengar orang kan bisa runyam,” ujar Ciu Hong dengan tertawa.

Kalau di luar orang berkerumun dengan padat, di dalam Wi-ho-lau ternyata tidak banyak orang yang hadir, hanya puluhan orang duduk mengelilingi ruangan tengah. Diam-diam Ciu Hong berempat mengitar ke sana dan mencari tempat luang di pojok.

Dilihatnya Ting-lohujin duduk di tengah barisan meja sana, kedua Ting bersaudara berdiri dengan sikap prihatin di samping sang ibu. Kelihatan Siang Hoay-wi, Poa Ce-sing dan Kim Co-lim juga sudah hadir. Agaknya belum sempat minum arak, maka Kim Co-lim kelihatan agak lesu. Sebaliknya perempuan cantik berbaju ungu kelihatan berseri-seri, jelas sangat gembira karena diketahuinya perempuan yang hadir di Wi-ho-lau ini tidak ada yang lebih muda dan lebih cantik daripada dia.

Po-ji coba memandang kian kemari, ia berusaha menemukan beberapa wajah yang sekiranya dikenalnya. Sayang yang duduk di depannya adalah seorang lelaki kekar dengan kopiah tinggi sehingga mengalingi pandangan bocah ini. Tentu saja Po-ji mendongkol, kalau bisa ia ingin tanggalkan kopiah orang dan digamparnya tiga kali.

Hanya Thi-wah saja yang dapat memandang seluruh ruangan dengan leluasa, cuma para kesatria dunia persilatan baginya sungguh terlampau asing, boleh dikatakan tiada seorang pun yang dikenalnya.

Terlihat para kesatria yang hadir itu sedang bisik-bisik sendiri dan ramai membicarakan apa yang akan terjadi nanti.

“Dalam pertempuran nanti, mungkin Thi-kim-to akan kalah lagi,” demikian seorang mendesis.

“Belum tentu,” ujar seorang lagi. “Sejak dia berkunjung pada kapal layar pancawarna, konon kungfunya sudah jauh lebih maju. Pertempuran nanti mungkin dapat melampiaskan dendamnya yang sudah tertahan sekian tahun.”

“Ayo kita bertaruh, 500 tahil perak, kutaruh dia pasti kalah!”

“Lima ratus tahil perak? .... Baik, jadi!”

Lalu ada kelompok lain yang lagi bicara dengan suara tertahan.

“Hei, mengapa Ban-tayhiap belum lagi tiba? Jangan-jangan ada ... ada sesuatu kejadian dalam perjalanan?”

“Dengan nama dan kungfu Ban-tayhiap, mustahil bisa mengalami sesuatu kejadian apa, andaikan terjadi sesuatu juga pasti dapat diselesaikannya seketika.”

“Habis kenapa ... kenapa sampai saat ini beliau belum lagi datang?”

“Siapa tahu ....”

Di sudut lain ada juga yang bicara dengan suara agak keras.

“Konon apa yang akan terjadi di tempat ini sangat mungkin di luar dugaan siapa pun, apakah saudara dapat menerka sesungguhnya ada urusan apa?”

“Jika dapat kuterka, tentu kejadian nanti takkan disebut urusan yang tak terduga.”

“Tapi sedikit banyak rasanya dapat kuterka, kabarnya urusan ini ada ....”

“Ssst, kan kau sudah berjanji takkan sembarangan omong, masa lupa?”

Seketika yang duluan tidak jadi meneruskan ucapannya.

Selain itu juga ada yang membicarakan Ban-lohujin dan anaknya.

“Ban-tayhiap dan ibunya sudah cukup lama tidak pernah berkumpul, entah apa sebabnya.”

“Ya, entah hari ini Ban-lohujin akan muncul di sini atau tidak?”

“Pihak Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay tidak akan mengirim utusan ke sini, jelas mereka tidak ingin ikut campur urusan ini, tapi Tiam-jong-pay ....”

“Sst, itu dia, orang Bu-tong-pay sudah datang.”

“Ya, dan yang itu adalah orang Siau-lim-pay, anak murid keluarga swasta ....”

Seketika berjangkit suara berisik di sana-sini serupa pasar.

Sekonyong-konyong suara langkah yang berat timbul dari tangga loteng, dari suara langkah orang itu dapat dibedakan langkah kaki kiri agak ringan dan langkah kaki kanan lebih berat meski selisihnya tidak banyak.

Perlahan Po-ji berkata, “Pendatang ini pasti terluka.”

“Toako belum melihatnya, dari mana tahu....” ujar Thi-wah dengan heran.

Belum habis ucapannya, muncul seorang lelaki kekar di ujung tangga.

Orang ini memakai jubah panjang yang sangat sederhana, mukanya lebar, mulutnya besar, alisnya tebal, mukanya agak kuning, sekujur badan dari atas ke bawah tiada sesuatu pun yang istimewa. Cuma gerak-geriknya sekarang kelihatan agak gelisah, cara melangkahnya juga terincang-incut, nyata dia memang benar terluka.

Orang ini tidak menarik, tapi demi melihat kedatangannya, serentak sebagian besar hadirin sama berdiri, bahkan beberapa orang di antaranya lantas memburu maju untuk memayangnya dan bertanya dengan khawatir, “Apakah Ban-tayhiap terluka?”

“Ah, tidak apa-apa,” sahut lelaki berjubah panjang itu dengan tersenyum.

Senyumannya membuat orang yang sederhana dan wajah yang semula kaku itu berubah menjadi penuh daya tarik, bahkan baju panjang warna biru yang sudah luntur itu pun berubah menjadi menarik.

Bahwa orang inilah “Ban-tayhiap” yang termasyhur, semula Po-ji agak kecewa, tapi demi melihat senyumannya, rasa kecewanya seketika berubah menjadi gembira. Ia pikir, “Cara tertawa Ban-lohujin itu terasa seram, tak tersangka senyuman putranya justru sedemikian menyenangkan.”

Beberapa orang mengiringi Ban-tayhiap mendekati Ting-lohujin dan duduk di sampingnya. Setelah Ban-tayhiap memberi hormat kepada nyonya tua itu, kedua Ting bersaudara juga lantas menegur sapa dengan dia, pertanyaannya serupa orang lain, yaitu, “Kenapa engkau terluka? Apakah bertemu dengan musuh di tengah perjalanan? Siapa yang melukaimu?”

“Mendingan, cuma bertemu dengan beberapa orang dan terjadi sedikit keributan ....” tutur Ban-tayhiap dengan tersenyum.

Ting bersaudara yang muda bernama Ting Yu-hong, ia menimbrung, “Jika cuma beberapa penyamun kecil saja dapat melukai Ban-toako, apakah keterangan ini dapat dipercaya.”

“Ya, tidak mungkin terjadi,” seru orang banyak.

“Sesungguhnya siapa yang melukai Ban-toako, mengapa tidak sudi kau katakan?” tanya Ting Yu-hong.

Ban-tayhiap tersenyum, katanya, “Urusan penting masih harus kita hadapi, untuk apa memikirkan urusan kecil ini? ....” ia merandek, lalu bertanya, “Bagaimana, apakah Ong-locianpwe sudah tiba?”

Belum lenyap suaranya, beberapa orang yang duduk di dekat jendela berseru, “Aha, itu dia, baru disebut segera muncul orangnya.”

Selang sejenak, seorang naik ke atas loteng dengan tergesa-gesa, siapa lagi dia kalau bukan Ong Poan-hiap.

Dia kelihatan lelah dan agak kurus, ternyata benar seperti seorang yang suka bekerja bakti bagi orang lain tanpa pamrih. Gemas sekali hati Po-ji melihat manusia munafik ini, ia sengaja tidak mau memandangnya lagi.

Hadirin di atas loteng menjadi gempar pula, meski di dunia Kangouw sudah tersiar desas-desus yang tidak baik terhadap Ong Poan-hiap, namun orang masih tetap menghormat padanya.

Begitu sampai di atas loteng, dengan cepat Ong Poan-hiap mendekati Ban-tayhiap dan bertanya dengan khawatir, “Apakah engkau terluka, apakah parah? Ai, syukurlah atas bantuanmu dalam pertarungan tadi ....”

“Sesungguhnya apa yang terjadi dalam pertarungan tadi?” sela Ting Yu-hong. “Eh, barangkali Ong-locianpwe sudah tahu apa yang terjadi, sudilah engkau mengisahkan ....”

“Oo, apakah Ban-heng belum bercerita kepada kalian? ....” sahut Ong Poan-hiap dengan menyesal. “Ai, dalam perjalanan tadi kudapat laporan bahwa ada 17 orang lelaki berkedok yang dikenal asal usulnya telah mencegat perjalanan Ban-heng, katanya kungfu ke-17 orang itu sangat aneh dan tinggi.”

“Kungfu aliran mana?” tanya Ting Yu-hong.

“Entah, anak buah kami belum sempat mengenalinya, cuma dapat diduga mereka berasal dari luar perbatasan, setiap jurus serangan mereka berbeda daripada kungfu daerah Tionggoan. Yang luar biasa adalah kungfu setiap orang itu boleh dikatakan tergolong jago kelas satu.”

Semua orang sama melengak, pandangan mereka kembali terpusat ke arah Ban-tayhiap.

“Waktu kuterima laporan itu, sementara itu keadaan Ban-tayhiap sudah terancam bahaya,” tutur Ong Poan-hiap pula. “Meski dua orang pihak lawan dapat dirobohkan, namun Ban-tayhiap sendiri juga sudah terluka dan tidak sanggup tahan lama lagi. Dengan sendirinya laporan itu sangat mengejutkan aku, cepat kususul ke sana, siapa tahu ....”

Ia menghela napas panjang, lalu menyambung dengan rasa lega, “Syukurlah berkat perlindungan Thian, Ban-heng ternyata dapat lolos dari bahaya.”

Tanpa terasa para kesatria juga menghela napas lega. Diam-diam Po-ji memuji, “Ban-tayhiap ini sungguh seorang kesatria sejati, meski mengalami bencana, namun tetap dihadapinya dengan tersenyum tanpa banyak memberi komentar ....”

Dalam pada itu terdengar suara langkah orang banyak disertai suara tertawa nyaring, Ong-toanio tampak muncul di ujung tangga dalam pondongan kawanan gadis jelita, dengan tertawa ia berkata, “Bukan Ong Poan-hiap saja yang khawatir, kami pun ikut khawatir bagi Ban-tayhiap. Cara bagaimana Ban-tayhiap meloloskan diri dari bahaya, sudikah engkau ceritakan pengalamanmu.”

Sudah lama para kesatria mendengar nama tokoh aneh yang baru muncul di dunia Kangouw dan segera akan menjadi pimpinan organisasi terbesar, meski tidak ada yang kenal dia, tapi setelah mendengar ucapannya dan menyaksikan Ong-toanio duduk dalam kasuran yang didukung kawanan gadis serta tertawanya yang merdu, segera mereka dapat menduga siapa dia, tanpa terasa pandangan mereka terpusat kepada nyonya buntung itu. Po-ji juga merasakan Ong-toanio sekarang seperti sudah banyak lebih muda daripada tempo hari.

Ban-tayhiap tersenyum, katanya, “Terima kasih atas perhatian Pangcu. Tentang ke-17 orang itu, mereka memang tokoh yang jarang ada, bilamana tidak ada orang yang membantuku, mungkin saat ini jiwaku sudah melayang dan tidak mungkin dapat bertemu lagi dengan Pangcu dan tentu akan membuatku mati pun penasaran.”

“Hehe, apa benar engkau sedemikian ingin menemuiku?” kata Ong-toanio dengan tertawa. “Wah, sungguh senang hatiku oleh ucapanmu ini. Tampaknya aku kan belum terlampau tua?”

Ban-tayhiap tersenyum, jawabnya, “Sebabnya terburu-buru ingin kutemui Pangcu bukanlah karena ingin melihat wajah Pangcu yang molek melainkan karena ada suatu urusan perlu kuminta bantuanmu.”

“Oo, urusan apa? Apa minta kujadi comblang bagimu?” tanya Ong-toanio.

Sebagian para kesatria bekernyit kening, ada yang tertawa geli. Hanya Ban-tayhiap saja tetap berlaku tenang, katanya perlahan, “Entah Pangcu kenal asal usul ke-17 orang pengerubut diriku itu atau tidak?”

Ong-toanio berkedip-kedip dan mengerling kian kemari, katanya kemudian dengan tertawa, “Gaya ilmu silat aliran luar perbatasan sama sekali tidak kukenal, apalagi aku pun tidak menyaksikan permainan mereka, dari mana kutahu siapa mereka, pertanyaanmu sungguh sulit kujawab.”

“Gaya kungfu luar perbatasan yang dimainkan ke-17 orang itu tidak lain hanya untuk kedok penutup identitas mereka saja,” sela Ban-tayhiap.

“Oo, jika begitu, aku terlebih tidak tahu siapa mereka,” sambung Ong-toanio.

Ban-tayhiap tersenyum, katanya, “Untung beberapa orang di antaranya dapat kukenal, waktu kusingkap kedok mereka yang kurobohkan itu, ternyata mereka adalah anak murid Kay-pang.”

Keterangan ini seketika membuat para kesatria melengak.

Diam-diam Po-ji membatin, “Sungguh perempuan yang mahakeji, sampai Ban-tayhiap juga hendak dibinasakannya agar pertemuan ini gagal sama sekali. Sekarang tipu muslihatnya telah terbongkar, entah cara bagaimana dia akan memberi alasan?”

Siapa duga nyonya buntung itu kelihatan tenang-tenang saja, katanya tetap dengan tersenyum genit, “Setiap ucapan Ban-tayhiap tentu berdasar, apa yang kau katakan tidak mungkin bohong.”

Kembali semua orang melenggong, siapa pun tidak menduga dia mau mengaku begitu saja.

Terdengar Ong-toanio berucap pula dengan menyesal, “Anak murid Kay-pang memang campur aduk dari golongan mana pun, aku sendiri belum lama menjabat Pangcu, biarlah nanti akan kuselidiki hal ini, bilamana terbukti benar, tentu yang menjadi biang keladinya akan kujatuhi hukuman setimpal.”

Nyata, hanya dengan beberapa patah kata saja kembali ia dapat mengelakkan tanggung jawab dengan bersih.

Tentu saja semua orang dibuat tercengang pula. Meski mereka tahu orang perempuan ini sengaja putar lidah, tapi sukar juga untuk membantahnya.

Wajah Ban-tayhiap tampak marah, katanya dengan mendongkol, “Jika demikian, jadi Pangcu sendiri sama sekali tidak tahu-menahu akan urusan ini?”

“Ai, bilamana kutahu akan terjadi demikian tidak nanti kubiarkannya terjadi,” ujar Ong-toanio dengan tertawa. “Memangnya aku sampai hati membiarkan pendekar berbudi serupa Ban-tayhiap menjadi korban kerubutan mereka?”

“Bilamana kumati, kan tidak ada orang lain lagi yang dapat mengusut asal usulmu?!” jengek Ban-tayhiap.

Air muka Ong-toanio berubah merah padam, tapi cepat berubah dingin pula, jawabnya, “Memangnya asal usulku apa yang harus kusembunyikan sehingga takut akan diusut orang? Dengan kedudukan Ban-tayhiap yang terhormat, hendaknya setiap perkataanmu perlu memberi pertanggungjawaban dan memberi buktinya, apabila segala sesuatu cuma berdasarkan desas-desus saja dan sembarangan menuduh, biarpun aku bukan tandinganmu juga akan kuminta keadilan kepada para pahlawan sedunia.”

Saking gusar Ban-tayhiap berbalik tertawa malah, serunya, “Haha, sungguh perempuan yang pintar putar lidah. Biarlah orang she Ban ingin belajar kenal dengan kungfumu apakah sama lihainya serupa lidahmu.”

Berbareng ia lantas berdiri dan siap tempur.

Mendadak terdengar Ting-lohujin membentak, “Nanti dulu! Jika kau tidak dapat memberi buktinya, dengan sendirinya orang banyak akan mencari dan membikin perhitungan denganmu, buat apa orang bergebrak denganmu sekarang?”

Suaranya perlahan tapi mantap, setiap katanya cukup berbobot, diam-diam para kesatria sama memuji bahwa jahe memang lebih pedas jahe yang tua.

Ban-tayhiap melengak, lalu duduk dengan lemas.

Ong-toanio tertawa dan berkata, “Yang ini tentunya Ting-lohujin adanya? Ucapan Lohujin sungguh cocok benar dengan jalan pikiranku.”

Ting-lohujin tersenyum, katanya, “Tapi urusan yang tidak ada bukti ini, jika diharuskan memberi pembuktian terang sangat sulit, sebab orang yang pernah melihat wajah asli Hou-li Go So dahulu memang tidak banyak, kalau ada sebagian sudah mati terbunuh olehnya ada yang hidup merana dan akhirnya juga binasa.”

“Aduh, masakah di dunia ini ada perempuan selihai itu?” kata Ong-toanio dengan tertawa. “Eh, Ting-lohujin, pada waktu mudamu entah lebih lihai tidak daripada dia?”

Ting-lohujin tidak menghiraukannya, ia cuma tersenyum dan berkata, “Tapi meski orang-orang itu hampir seluruhnya sudah mati, untung masih sisa sebelas orang.”

“Oo, di mana?” tanya orang banyak serentak.

“Di antara ke-11 orang itu, kecuali dua orang yang tidak diketahui jejaknya, empat orang lagi jauh tinggal di luar perbatasan, sisa lima yang lain sudah kuundang kemari, sekarang mungkin sudah dalam perjalanan dan hampir tiba di sini.”

Keterangan Ting-lohujin ini dengan sendirinya menimbulkan kegemparan pula, bahkan beramai-ramai sama melongok ke luar jendela untuk melihat barangkali ada kedatangan tamu baru lagi.

Tiba-tiba Ong-toanio mendengus, “Hm, apabila Ting-lohujin sembarangan mendatangkan beberapa orang bajingan tengik untuk menuduh aku inilah Go So, itu kan memfitnah namanya.”

“Kelima orang ini adalah tokoh persilatan setempat, juga terkenal jujur dan setia kawan, mereka adalah Jian-kin-tan Ciok Bing, Thi-ciang Lim Kiang, Sian-jin-kiam Song Ki-kong, Wi-tin-pat-hong Go Lip-tek dan Hwe-leng-koan Ong Beng. Berdasarkan keterangan kelima tokoh terkemuka ini, memangnya siapa yang menyangsikannya?”

Ini memang terbukti, sebab setiap kali ia sebut nama tokoh-tokoh itu, setiap kali pula mendapat sorakan orang banyak.

Ong-toanio tersenyum, katanya, “Jadi kelima orang itulah yang kau maksudkan? Baik, kuyakin, mereka pasti takkan memfitnahku, rasanya aku pun tidak perlu khawatir.”

Melihat sikap Ong-toanio tetap tenang saja, sedikit pun tidak gugup, mau tak mau para kesatria menjadi ragu, “Jangan-jangan dia memang bukan Hou-li Go So, tapi Ban-tayhiap sendiri yang berlebihan membayangkan hal yang tidak berdasar.”

Tiba-tiba terlihat Ting-lohujin berdiri dan berucap dengan suara berat, “Sebelum kelima orang yang kusebut tadi datang, ada suatu urusan juga ingin kukatakan pada kesempatan ini.”

Melihat cara bicara nyonya yang jarang berkecimpung di dunia Kangouw ini sedemikian serius tentu urusan yang akan disinggungnya pasti sesuatu yang penting, maka semua orang sama menahan napas dan siap mendengarkan.

Dengan perlahan Ting-lohujin lantas berkata, “Setelah pertarungan di laut timur dan Ci-ih-hou kehabisan tenaga dan gugur, si tokoh baju putih berjanji akan datang lagi tujuh tahun kemudian. Selama ini memang tidak banyak terdapat tokoh muda di dunia Kangouw, namun setiap jago muda yang ada hampir semuanya bertekad ingin menempur si tokoh baju putih pada tujuh tahun yang akan datang, soalnya bilamana kalah dalam pertarungan ini, paling banter juga terbunuh saja dan habis perkara, dan mengadu jiwa biasanya memang bukan soal bagi orang muda, sebaliknya kalau dia menang, jelas namanya akan tersiar ke seluruh jagat dan beribu jiwa kaum kesatria dunia Kangouw juga akan diselamatkan olehnya.”

Ia bicara dengan penuh semangat dengan sinar mata mencorong terang, kegagahan masa mudanya dapatlah dibayangkan.

Setelah menghela napas, Ting-lohujin melanjutkan lagi, “Cuma kaum muda ini, baik mengenai ilmu silatnya maupun mengenai pengalamannya jelas sangat sukar untuk dapat mengalahkan tokoh baju putih itu. Untuk bisa mengatasi lawan misterius itu, kukira hanya satu-satunya orang yang pernah bergebrak dengan si baju putih dan masih hidup sampai sekarang, kalau dia dapat menguraikan di mana letak rahasia dan ciri ilmu pedang si baju putih untuk dipelajari bersama, kalau tidak, jelas pedang si baju putih pada tujuh tahun kemudian tetap akan menimbulkan banjir darah di dunia persilatan. Tentang siapa orang yang masih hidup itu, tanpa kujelaskan tentu kalian pun tahu.”

Tanpa berjanji para kesatria sama mendesis dan menyebut nama seorang, “Pek Sam-kong .... Cuma sayang, bukan saja dia tidak dapat menceritakan rahasia dan ciri ilmu pedang si tokoh baju putih, bahkan sekarang Pek Sam-kong pun menghilang.”

Tergetar hati Po-ji mendengar keterangan itu.

Terdengar Ting-lohujin berkata pula, “Ya, memang betul Pek Sam-kong tidak diketahui ke mana perginya, tapi di seluruh dunia ini masih ada satu orang yang tahu jejaknya ....”

“Siapa?” tanya orang banyak serentak.

Sorot mata Ting-lohujin yang tajam mendadak beralih ke arah Kim Co-lim. Tampak tubuh Kim Co-lim tergetar dan cepat menunduk.

Pada saat itulah seorang lelaki berlari ke atas loteng sambil berseru dengan cemas, “Wi-tin-pat-hong Go Lip-tek, Go-tayhiap semalam kehilangan buah kepala, siapa pembunuhnya tidak diketahui. Tadi anak buahnya baru saja datang menyampaikan berita duka itu, katanya mohon ... mohon Ban-tayhiap sudi membalaskan dendam bagi Go-tayhiap.”

Keruan suasana menjadi gempar, namun Ting-lohujin tetap tenang saja, ucapnya perlahan, “Ya, sudah tahu. Suruh pesuruh keluarga Go itu menunggu sebentar di bawah.”

Lalu ia menoleh dan menatap Kim Co-lim pula dengan tajam dan bertanya, “Di mana Pek Sam-kong berada?!”

Kim Co-lim menggaruk kepalanya yang tidak gatal, dengan menyengir jawabnya, “Locianpwe tanya padaku kiranya? Tentang di mana beradanya Pek Sam-kong, dari mana ... dari mana kutahu?”

“Kim-toasiauya kita kembali berlagak pilon lagi,” jengek Ting-lohujin. “Seorang lelaki sejati harus berani berbuat berani bertanggung jawab, jika berlagak pilon itu namanya bunglon.”

Mendadak Kim Co-lim membusungkan dada dan berteriak, “Betul, kutahu ke mana perginya Pek-tayhiap, akan tetapi kalau dia memercayai diriku, tidak layak bila kubocorkan rahasianya.”

Kembali terjadi kegemparan antara orang banyak, si nyonya cantik baju ungu diam-diam menggerutu, “Goblok, sok kesatria, hanya dipancing begitu saja lantas bicara ....”

Tiba-tiba seorang lari naik ke atas loteng dan berseru, “Itu dia kereta Ciok-keh-ceng sudah datang ....”

Semua orang merasa senang, siapa tahu orang itu lantas melanjutkan, “Tapi isi keretanya adalah mayat Ciok Bing Ciok-tayhiap, tubuhnya ditembus oleh sebatang pedang panjang.”

Seketika suasana Wi-ho-lau berubah ribut, di tengah berisik orang banyak Ting-lohujin berseru dengan suara lantang, “Ya, sudah tahu. Lekas sampaikan berita kilat ke Ciok-keh-ceng tentang berita duka Ciok-tayhiap, cepat!”

Mendadak suaranya berubah bengis dan menghardik terhadap Kim Co-lim, “Kim Co-lim, apa betul jejak Pek Sam-kong tidak mau kau katakan?”

“Tidak,” jawab Kim Co-lim tegas.

“Tidakkah kau tahu saat ini hanya dia saja yang memegang setitik sinar harapan bagi dunia persilatan kita. Jika tidak kau katakan di mana dia berada, mungkin segenap kesatria akan bertindak padamu,” bentak Ting-lohujin pula.

Mata Kim Co-lim melotot lebar, teriaknya, “Pek-tayhiap tidak sudi menjadi manusia pengecut yang tidak setia, aku Kim Co-lim juga bukan pengecut yang tidak tahu budi, sekali kukatakan tidak tetap tidak dapat kukatakan.”

Ada beberapa orang lantas mencaci maki dan menubruk maju. Kim Co-lim berbangkit dan siap menghadapinya. Tapi si nyonya cantik baju ungu lantas menggebrak meja dan membentak, “Jika dia menyatakan tidak mau bicara, itulah haknya, kalian berani paksa dia? Barang siapa memusuhi Kim Co-lim, boleh dia menghadapiku Hoa Jing-jing dulu.”

Entah siapa menanggapi dengan gusar, “Sungguh perempuan bedebah!”

Belum lenyap suaranya, serentak Hoa Jing-jing menjungkirkan meja di depannya sehingga mangkuk piring berhamburan.

Di tengah jerit kaget orang banyak dan berusaha menghindari benda pecah belah itu, cepat Ting-lohujin berteriak mencegahnya, namun Hoa Jing-jing tetap mencaci maki dan tetap melemparkan segala benda yang dapat diraihnya.

Sekonyong-konyong seorang lari datang lagi sambil berteriak, “Wah, celaka ... celaka ....”

Seketika suara caci maki dan lemparan meja kursi berhenti serentak.

Dengan napas terengah orang itu berteriak pula, “Baru saja datang laporan, katanya Thi-ciang Lim Kiang, Sian-jin-kiam Song Ki-kong, keduanya sebenarnya datang bersama, tapi di tengah jalan sama-sama menemui ajalnya. Pada tubuh kedua pendekar besar itu penuh luka, biarpun malaikat dewata pun tidak mampu menyelamatkannya.”

Belum habis ucapannya, kembali seorang berlari ke atas loteng lagi sambil berteriak keras, “Wah, Hwe ... Hwe-leng-koan Ong Beng ter ... terbakar hangus!”

Suasana ribut di atas loteng mendadak berhenti dan berubah sunyi. Semua orang sama berdiri melongo dan mematung.

Maklumlah, Ciok Bing, Go Lip-tek, Lim Kiang, Song Ki-kong dan Ong Beng berlima bukanlah jago keroco, tapi dalam sehari mereka sama terbunuh begitu saja. Jika dikatakan sebab musabab kematian kelima orang itu bukan akibat suatu urusan yang sama, lalu kematian mereka berlima kan terlampau kebetulan belaka? Dan bila kematian mereka benar akibat suatu perkara yang sama, maka orang yang turun tangan keji itu sungguh terlampau kejam dan menakutkan.

Berbareng pandangan semua orang lantas berganti mengarah kepada Ong-toanio.

Ting-lohujin lantas mendengus, “Hm, setelah kelima orang itu mati, tentu tidak ada lagi yang dapat mengenali siapa dirimu.”

Suaranya dingin dan ketus, namun tetap tidak dapat menutupi rasa duka dan kecewanya.

Tenang saja Ong-toanio menjawab, “Aku sendiri berharap mereka jangan mati, dengan begitu akan dapat membuktikan aku bukan Go So. Tapi sekarang, ai, mengapa kalian tidak melindungi mereka dengan baik. Bilamana tahu lebih dulu, anak murid Kay-pang kukira akan dapat melindungi mereka.”

Setelah menyapu pandang hadirin sekejap, lalu sambungnya, “Jika Kim-toasiauya kita mati pun tidak mau mengatakan jejak Pek Sam-kong, sekarang kelima orang itu terbunuh pula, maka kedua peristiwa ini mungkin sukar lagi dipecahkan, tampaknya terpaksa harus dibiarkan begitu saja. Dan rasanya juga tidak ada artinya tinggal lebih lama di sini, lebih baik kita angkat kaki saja.”

Segera kawanan gadis mengangkat kursi malasnya yang terbuat dari kasuran lunak, para kesatria hanya mampu menyaksikan tanpa berdaya.

Tak terduga mendadak seorang membentak nyaring, “Siapa bilang kedua peristiwa ini sukar dipecahkan?!”

Kiranya Po-ji tidak tahan lagi dan mendadak melompat keluar sambil membentak.

Keruan semua orang melengak, sampai Ciu Hong juga terkesiap.

Ong-toanio bekernyit kening, katanya, “Eh, adik cilik, kau bilang siapa yang dapat memecahkan kedua peristiwa itu?”

“Siapa lagi selain aku!” jawab Po-ji sambil menuding hidung sendiri.

Rasa kejut dan heran orang banyak sampai sekarang jadi tidak tahan dan meledak serentak, ada yang mengejek, ada yang mencaci maki.

Dengan menahan rasa gelinya Ong-toanio berkata, “Jika kedua peristiwa ini pun tidak dapat dipecahkan tokoh seperti Ting-lohujin, Ban-tayhiap dan para kesatria yang hadir di sini, memangnya anak sekecil dirimu malah dapat memecahkannya? .... Haha, kukira kau ini anak yang kurang waras barangkali, ayolah lekas pulang menyusu pada biangmu.”

Dengan sendirinya semua orang sama meragukan kemampuan Po-ji, hanya Ong Poan-hiap saja yang kelihatan prihatin, diam-diam ia mendekati jendela dan memberi isyarat keluar.

Terdengar Po-ji berteriak, “Bilamana tokoh berbaju putih itu datang lagi tujuh tahun kemudian, dengan sendirinya ada orang Kangouw yang sanggup menghadapinya. Jika kalian sama mengaku sebagai kaum pendekar, mengapa kalian memaksa orang berbuat hal-hal yang tidak dapat dipercaya dan tidak berbudi? Biarpun dengan begitu si tokoh baju putih akan dapat dikalahkan, namun kemenangan itu pun diperoleh secara kurang gemilang, masakan dunia persilatan juga akan tercemar dan malu. Apabila dalam dunia persilatan sekarang ada beberapa orang gagah lagi serupa Pek Sam-kong dan Kim Co-lim, tujuh tahun kemudian seumpama tidak dapat mengalahkan si jago baju putih, biarpun kalah juga cukup terhormat.”

Muka Po-ji yang kecil itu tampak merah, sinar matanya gemerdep, cara bicaranya gagah berani, seketika tiada seorang pun berani memandang rendah lagi padanya.

Suasana menjadi hening, perlahan Ting-lohujin berkata, “Anak baik, meski benar juga ucapanmu, tapi bila si baju putih datang lagi tujuh tahun kemudian, siapa pula yang sanggup menandinginya?”

“Ada,” seru Po-ji. “Ialah aku sendiri!”

Ong-toanio tertawa geli, katanya, “Eh, orangnya kecil, mulutnya besar!”

Po-ji mendelik, “Apa yang kau tertawakan? Memangnya kau kira ilmu silatmu sendiri sangat hebat? Hm, permainan tongkatmu hanya tampaknya saja sangat bagus dan ruwet, padahal putar kian kemari, semua gerak perubahannya tidak lebih daripada sekali serangan pokok dan enam kali serangan pura-pura serupa perhitungan bintang tujuh saja. Lawanmu kebanyakan kacau pandangannya oleh putaran tongkatmu. Padahal kalau dia dapat berlaku tenang, hindarkan serangan pura-pura dan hadapi serangan pokok, selalu mencari peluang pada saat seranganmu berganti dengan serangan pura-pura, lalu melancarkan serangan balasan, biarpun lawan yang berkepandaian lebih rendah daripadamu juga dapat mengalahkanmu dalam tiga kali enam atau 18 jurus serangan saja.”

Semua orang tidak menyangka anak kecil ini ternyata dapat menguraikan teori ilmu silat dengan panjang lebar begitu, semuanya sama melongo heran.

Ong-toanio juga kejut dan gusar sehingga sikapnya yang genit tadi berubah beringas, serunya parau, “Betapa hebat gerak serangan ilmu silatku hampir tidak dapat dipatahkan oleh tokoh dunia persilatan mana pun, memangnya siapa yang memberi petunjuk padamu?”

“Thian adalah guruku, asalkan pikiran sudah sejalan dengan teori ilmu pedang, bilamana segala teori perubahan makhluk dan benda di dunia ini sudah kukuasai, kenapa aku tidak paham setiap gerak perubahan ilmu silat?!”

Ong-toanio memandang Po-ji dengan melotot serupa melihat setan iblis. Sebaliknya Ciu Hong tampak tersenyum simpul.

Bola mata Po-ji yang besar itu berputar, sambungnya pula, “Mengenai urusan yang kedua itu, tentang rahasia yang tertulis pada kertas yang tertulis dalam botol, itu justru tulisanku ....”

Keruan keterangan ini membuat gempar lagi semua orang, sebagian bahkan lantas berbangkit dari tempat duduknya.

Po-ji menyambung lagi, “Ini disebabkan meski aku tidak tahu persis apakah Ong-toanio ini Hou-li Go So masa lampau atau bukan, namun ada orang yang pasti kenal dia.”

Ban-tayhiap mengepal kedua bogemnya, teriaknya dengan parau, “Mana dia? Di mana dia?”

Mendadak Po-ji membalik tubuh dan berkata kepada Ciu Hong, “Ciu-loyacu, urusan ini sangat besar hubungannya dengan keselamatan dunia persilatan, bilamana engkau orang tua tidak tampil ke muka tampaknya urusan takkan selesai.”

Wajah Ciu Hong tampak sebentar merah sebentar pucat, setelah terdiam sejenak baru berdiri perlahan.

Beratus pasang mata sama memandang orang tua itu tanpa berkedip. Ruang loteng seluas itu berubah sunyi senyap, sampai suara napas pun terdengar.

Dengan sekata demi sekata Ciu Hong berucap, “Ya, betul, kukenal dia tak-lain-tak-bukan ialah Hou-li Go So.”

Mendadak Ong Poan-hiap mendongak dan terbahak-bahak, serunya sambil menuding Ciu Hong, “Hahahaha! Aku pun kenal orang ini adalah pendusta, penipu yang paling tidak tahu malu dari dunia persilatan. Siapa yang mau percaya kepada ocehannya?!”

Entah siapa segera menukas dengan lantang, “Betul, dia itulah Ciu Hong, salah satu dari dua penipu ulung dunia Kangouw, penipu yang lain bernama Li Beng-sing juga duduk di sebelah sana, tuh!”

Malahan seorang lagi lantas menambahi, “Memang, dahulu aku pernah ditipu tiga guci arak dan setengah ekor kambing panggang. Sekarang penipu ini berani sembarangan mengoceh di sini, ayo bekuk dia dan binasakan saja!”

Begitulah beramai-ramai orang banyak lantas berteriak, “Ya, bunuh dia! Binasakan dia ....”

Entah sejak kapan di ujung tangga sudah berdiri serombongan anak murid Kay-pang, teriakan mereka paling nyaring, sekarang mereka yang mendahului menubruk maju.

Semula Ting-lohujin dan Ban-tayhiap merasa senang karena tampilnya saksi, sekarang mereka jadi sangat kecewa setelah tahu siapa Ciu Hong.

Tiba-tiba terdengar suara bentakan seorang yang menggelegar serupa bunyi geledek, kawanan pengemis yang menubruk maju sama tergetar mundur oleh suara keras itu, malahan ada yang anak telinganya serasa pekak, ada yang mulut mengeluarkan darah, ada lagi yang dada terasa sesak dan kaki tangan sama gemetar.

Padahal orang yang dapat hadir di atas loteng ini biarpun ilmu silatnya bukan jago kelas satu pasti juga orang gagah yang masuk hitungan, namun suara gertakan itu ternyata membuat mereka sama terluka dalam, nyata betapa kuat tenaga dalam orang yang menggertak itu sukar dibayangkan. Anehnya, suara gertakan keras itu justru keluar dari mulut Ciu Hong yang dianggap sebagai penipu itu.

Para kesatria sama terkejut dan sangsi pula, semuanya melongo seperti patung sehingga tidak ada lagi yang berani menubruk maju atau main gila terhadap “penipu” ini.

Setelah membentak sekerasnya, muka Ciu Hong mendadak berubah pucat lesi, dada naik-turun, dengan suara berat ia berkata, “Ong Poan-hiap, sekarang kau kenal padaku?”

“Tentu saja kukenal dirimu,” jawab Poan-hiap. “Kukenal kau ini seorang ... seorang penipu!”

Kata “penipu” diucapkannya dengan lirih dan hampir tak terdengar, sikapnya juga tidak segarang tadi lagi.

Ciu Hong tergelak, “Haha, jadi benar kau kenal aku .... Haha, Go So-ji, Ong Ti-ji, Liu Ih-jin, boleh kalian lihat yang jelas siapa aku ini?!”

Ti-ji atau si Dungu, adalah nama poyokan waktu kecil Ong Poan-hiap, Liu Ih-jin jelas adalah nama perawan Ting-lohujin, berpuluh tahun terakhir hampir tidak ada orang Kangouw yang berani memanggil nama asli mereka itu, malahan sudah jarang yang tahu. Tapi sekarang nama kecil mereka justru terungkap dari mulut seorang “penipu” ini, tentu saja Ting-lohujin terkesiap, Ong Poan-hiap juga pucat seketika.

“Sesungguhnya siapa ... siapa kau ini?” tanya Ong Poan-hiap dengan tergegap.

Pada saat itulah Ciu Hong lantas menarik jenggotnya yang menghias dagunya itu sehingga separuh wajahnya seolah-olah terbeset juga.

Keruan semua orang terkejut dan mengawasi perubahan itu. Terlihat setengah wajah bagian atas Ciu Hong masih tetap seperti semula, dahi lebar dan hidung besar serta alis tebal, sorot matanya tajam, tapi dari pipi ke bawah dan di atas bibir yang semula tumbuh kumis jenggot ubanan kini telah berubah jelek serupa hantu. Selain kulit dagingnya hitam hangus, bahkan sekitarnya penuh bekas luka dengan kulit daging warna merah gelap, dengan setengah wajah bagian atas tertampak sangat kontras bedanya dan sangat mengerikan.

Ci-lan-hoa Hoa Jing-jing, si Anggrek Ungu bini Kim Co-lim, sampai menjerit kaget dan membenamkan kepalanya dalam pangkuan sang suami.

Seketika suasana Wi-ho-lau berubah kacau, siapa pun tidak menduga wajah seorang bisa terdapat perbedaan seaneh itu.

Ting-lohujin juga terkejut, dengan suara agak gemetar ia menegas, “Jadi ... jadi kau dilukai Kim-ho-ong dengan Kim-ho-seng-cui (air sakti sungai emas) sehingga, berubah menjadi begini?”

“Betul ....” jawab Ciu Hong. “Nah, Ong Ti-ji, sekarang kau ingat siapa aku ini, bukan?”

Meski suaranya ramah tamah serupa dahulu, namun ujung mulutnya setengah terbuka sehingga kelihatan barisan giginya yang putih seram membuat orang yang melihatnya mengirik.

Kerongkongan Ong Poan-hiap mengeluarkan suara “krak-krok” dan tidak sanggup berucap sepatah kata pun.

Ong-toanio sendiri juga melenggong menghadapi orang yang tak terduga ini, berulang ia bergumam, “Kiranya kau ... kiranya kau ....”

“Ya, tidak tersangka bukan?” kata Ciu Hong. “Tentu tidak pernah terpikir olehmu bahwa aku ternyata belum mati dan bisa muncul di sini. Kau kira di dunia ini tiada seorang pun dapat membongkar rahasia dan tipu muslihatmu, kau lupa masih ada diriku.”

“Sudah ... sudah sekian tahun kau sembunyikan diri mengapa sekarang kau muncul kembali di sini?” tanya Ong-toanio dengan suara gemetar. “Memangnya kau tidak takut akan dicari Kim-ho-ong? Sutemu Ci-ih-hou sudah mati, siapa lagi di dunia ini yang mampu membelamu?”

Tergetar hati semua orang, baru sekarang mereka tahu orang ini adalah Suheng Ci-ih-hou. Keruan yang terkejut dan kegirangan adalah Po-ji, tanpa terasa air matanya bercucuran, gumamnya dengan terharu, “Ah, ternyata benar dia ....”

Terdengar Ciu Hong mendongak dan tergelak, serunya, “Kau bilang Kim-ho-ong akan mencari aku?”

Sorot mata Ong Poan-hiap memantulkan cahaya buas, katanya sambil menyeringai, “Ilmu silatmu sudah punah, memangnya kau kira aku tidak tahu? Tidak perlu datangnya Kim-ho-ong, sekarang juga dapat kucabut nyawamu.”

“Hehe, kau berani?!” ejek Ciu Hong, mendadak ia melangkah maju, sekali gampar, muka Ong Poan-hiap ditempelengnya sekali sambil mendengus, “Hm, boleh kau coba!”

Padahal zaman ini nama Ong Poan-hiap ibarat sang surya yang sedang memancarkan cahayanya di tengah cakrawala, siapa pula yang berani main gila padanya. Tapi sekarang ia ditempeleng begitu saja, keruan semua orang sama melenggong.

Mendadak Ong Poan-hiap membentak sambil angkat kedua tangannya, tapi sekilas pandang dan terbentrok dengan sinar mata Ciu Hong, tangan yang sudah terangkat diturunkannya kembali dan tidak berani bergerak lagi.

“Mengingat gurumu, biarlah kuampuni jiwamu, sekarang lekas enyah!” jengek Ciu Hong.

Muka Ong Poan-hiap tampak pucat lesi, ia menyurut mundur dan mendadak melompat keluar jendela. Selama hidupnya telah mengelabui orang sehingga berhasil meraih nama gemilang, sejak kini tamatlah riwayatnya.

Menyaksikan bayangan Ong Poan-hiap yang menghilang di balik jendela, mendadak Ong-toanio bergelak tertawa seperti orang gila, “Hahaha, bagus, bagus, kembali kau tinggalkan aku lagi, bagus ... bagus ....”

Sekonyong-konyong ia merampas belati salah seorang gadis pelayannya, belati terus menikam hulu hati sendiri. Keruan kawanan gadis menjerit kaget, tampaknya segera darah segar akan berhamburan.

Tak terduga tongkat Ting-lohujin sempat menyambar tiba, belati yang dipegang Ong-toanio terketuk jatuh.

“Siapa minta pertolonganmu? Aku tidak ingin hidup lagi ....” teriak Ong-toanio dengan suara parau.

Perlahan Ting-lohujin berkata, “Berulang-ulang Ong Poan-hiap tidak pikirkan hubungan suami-istri, setiap kali bila menghadapi bahaya kau terus ditinggal begitu saja, memangnya sakit hati ini masih dapat kau tahan?”

Ong-toanio termenung-menung dengan sorot mata penuh rasa dendam.

“Baiklah, kau pun kuampuni, lekas pergi saja!” kata Ciu Hong sambil memberi tanda.

“Jangan lupa, orang yang membikin susah padamu sehingga cacat demikian bukanlah orang lain, tapi adalah lakimu sendiri!” sambung Ting-lohujin.

Ong-toanio bersuit panjang sambil mendongak, mendadak ia gampar kawanan gadis pelayannya belasan kali sambil membentak bengis, “Ayo berangkat, lekas!”

Muka kawanan gadis yang halus sama merah bengkak oleh gamparan itu, dengan menahan air mata mereka mengangkat Ong-toanio dan dibawa turun ke bawah loteng.

Kawanan pengemis anggota Kay-pang yang berjaga di ujung tangga sama jeri terhadap Ong-toanio yang kelihatan beringas itu, tiada seorang pun berani merintanginya.

Ting-lohujin juga lantas berdiri dan mendekati Ciu Hong, ia memberi hormat dan berkata, “Sudah lama tidak bertemu dengan Cianpwe, tak tersangka Cianpwe masih sehat walafiat!”

“Meski masih hidup tiada ubahnya seperti mati, biarpun mati juga masih hidup, selama ini aku cuma berkeluyuran kian kemari, diriku yang dulu sudah bukan lagi diriku yang sekarang, mengenai diriku masa lalu sebaiknya dilupakan saja,” kata Ciu Hong.

Ban-tayhiap juga mendekat dan menyembahnya, ucapnya dengan hormat, “Sekali ini bila Cianpwe tidak muncul, jelas Wanpwe sama sekali tidak berdaya dan terpaksa harus menyaksikan kesewenang-wenangan kaum durjana tanpa berdaya. Sungguh Wanpwe sangat berterima kasih.”

“Ah, jangan kalian terima kasih padaku, tapi harus terima kasih kepada dia,” ujar Ciu Hong dengan tersenyum sambil menuding Po-ji. “Bilamana aku tidak didesak oleh anak ini, tentu aku pun takkan menampilkan diri.”

Dengan hormat Ban-tayhiap berkata, “Semoga setelah kemunculan Cianpwe ini, seterusnya jangan mengasingkan diri lagi dan gunakan kesaktian Cianpwe untuk menghadapi kawanan iblis perusuh.”

“Ini ....”

Belum lanjut ucapan Ciu Hong, mendadak terdengar suara ribut berkumandang dari bawah loteng, orang yang berdiri di tepi jendela sambil melongok keluar, terlihatlah di bawah sana, di tepi pantai pertarungan sudah terjadi.

Beramai-ramai para kesatria yang semula berkerumun di luar Wi-ho-lau kini sama berduyun-duyun menuju ke pantai, di tengah orang banyak terdengar pembicaraan mereka.

“Wah, antara Thi-kim-to dan Han It-kau memang benar musuh bebuyutan, sekali bertemu tanpa banyak omong lantas saling labrak!”

“Sudah lama tidak terlihat Han It-kau memainkan gaetannya, ternyata senjata andalannya memang sangat lihai. Tapi golok orang Thi-kim-to ternyata juga tidak lemah, bagaimana hasil pertarungan ini memang sukar ditentukan. Cuma Thi-kim-to sudah menyiapkan diri sekian tahun, dari kapal layar pancawarna dapat dipelajari pula beberapa jurus sakti, kuyakin Thi-kim-to sekarang tentu bukan Thi-kim-to yang dulu lagi, maka aku berani pegang dia bilamana kalian berani bertaruh denganku.”

“Tapi harus kau lihat dulu lawannya, Han It-kau kan juga bukan Han It-kau yang dulu lagi,” ujar kawannya.

Para kesatria yang berkumpul di atas loteng semula sama memusatkan perhatian terhadap Ciu Hong. Tapi sekarang mereka sama tertarik oleh pertarungan sengit yang sedang berlangsung, semuanya sama mendekati jendela dan memandang jauh ke tepi pantai sana. Hanya Ting-lohujin dan Ban-tayhiap saja yang masih menunggu di samping Ciu Hong.

“Pertarungan mereka ini sudah disiapkan beberapa tahun sebelumnya, tentu sangat seru, sayang bila kita tidak ikut menyaksikannya,” ujar Ciu Hong dengan tertawa.

Po-ji sendiri ingin mencari berita tentang kakeknya kepada Kim Co-lim, tapi pikiran Kim Co-lim justru tercurah terhadap istrinya, dengan suara lembut ia lagi berkata, “Lan-ji, jangan takut, ayolah siuman ....”

Belasan kali Po-ji memanggil “Kim-tayhiap ... Kim-toako ... Kim-toasiok”, segala sebutan telah dipanggilnya, namun Kim Co-lim tetap tidak mendengarnya.

Po-ji menghela napas, dilihatnya Ciu Hong juga mendekati jendela dan menonton pertarungan itu, terpaksa ia pun ikut ke sana, terlihat di antara cahaya pedang dan sinar golok, dua sosok bayangan, yang satu hitam dan yang lain putih, bergerak kian kemari.

Thi-kim-to tetap berpakaian hitam ketat, sebaliknya baju Han It-kau putih mulus. Jika perawakan Thi-kim-to tinggi besar, perawakan Han It-kau justru kurus kering.

Po-ji merasa geli, dari perawakan kedua orang yang berbeda itu saja seakan-akan keduanya memang dilahirkan untuk menjadi seteru. Ilmu silat mereka juga berlawanan, yang satu lunak dan yang lain keras, pantas keduanya tidak mau hidup bersama.

Dengan cepat kedua orang itu sudah bergebrak ratusan jurus dalam waktu singkat, Po-ji menaruh perhatian penuh terhadap serang-menyerang mereka, nyata setiap jurus serangan mereka menimbulkan minatnya yang besar untuk menyelami intisarinya.

Dahulu bilamana ia lihat orang sedang bertempur meski ia pun ikut berdebar-debar, namun semua itu dirasakan sebagai perbuatan mengadu jiwa cara kejam, tapi sekarang ia sudah dapat menyelami di mana letak kebagusan setiap jurus serangan dengan setiap ragam perubahannya, maka dapatlah dirasakan pula di dalam ilmu silat juga banyak mengandung ilmu pengetahuan yang luas. Selagi Po-ji mengikuti pertarungan itu dengan tekun, tiba-tiba terdengar seorang berteriak, “Han-It-kau, gunakan jurus gaetanmu itu!”

Seruan ini memang merupakan keinginan para penonton yang mulai tidak sabar, mereka tidak peduli siapa yang akan kalah atau menang, bagi mereka asalkan Han It-kau cepat menggunakan jurus gaetannya yang khas, lalu mereka ingin tahu sesungguhnya jurus maut apa yang telah dipelajari Thi-kim-to dari kapal layar pancawarna itu untuk mematahkan serangan gaetan Han It-kau.

Teriakan orang banyak tambah ramai, namun Han It-kau tetap tenang saja dan tidak mengeluarkan jurus serangan gaetan andalannya.

Selagi Po-ji ikut tegang menantikan jurus serangan maut yang diteriakkan itu, tiba-tiba tangannya ditarik seorang dan diajak keluar dari kerumunan orang banyak. Orang lain asyik mengikuti pertarungan di kejauhan itu sehingga tidak memerhatikan gerak-gerik Po-ji.

Ternyata orang yang menarik Po-ji adalah Ciu Hong, dengan suara perlahan orang tua itu mendesis, “Ssst, panggil Thi-wah, marilah kita pergi!”

“Pergi?” Po-ji menegas dengan terbelalak.

No comments: