Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 3

Oleh : Tjan ID

Selama beberapa tahun ini aku sudah terlalu teledor, misalnya kematian Lo-liok si penjaga istal kuda yang secara mendadak, munculnya jago-jago persilatan yang menetap tak jauh dari perkampungan Ing-gwat-san-ceng tanpa sepengetahuanku, coba bayangkan saja, betapa cerobohnya aku selama ini.”

“Ling-kang, bukankah kau mengatakan hendak latihan malam? Apakah kau sengaja membohongi aku?”

“Aku benar-benar latihan, cuma ada satu hal tidak kujelaskan kepadamu, yakni sejak tiga hari berselang latihan telah selesai. Waktu itu kentongan keempat belum lewat sebetulnya aku ingin memberitahukan kejadian ini kepadamu, ternyata kau telah lenyap tak berbekas.”

“Mengapa tidak kau tanyakan kepadaku?”

“Aku pergi mencarimu tapi tidak kutemukan, sebaliknya kujumpai Tiong-gak sedang berdiri termangu seorang diri sambil melamun, baru saja aku hendak menyapanya, ternyata kau telah kembali dan Tiong-gak pun menyembunyikan diri, aku merasa tak enak untuk menyapamu, sedang kau mungkin lantaran terpengaruh oleh pergolakan emosi ternyata tidak kau sadari bahwa aku menguntil di belakangmu. Aku pun mendengar kau bergumam seorang diri bahwa persoalan itu tak boleh kuketahui, kau hendak menanggungnya sendiri, maka aku pun terpaksa kembali lagi ke kamar latihan. Selama dua hari ini aku selalu berharap kau bisa memberitahukan kepadaku, tapi setiap kali kau berjumpa denganku sikapmu selalu menunjukkan seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu apa pun, karena kau tak bicara aku pun enggan bertanya, dan terpaksa aku lakukan penyelidikan sendiri secara diam-diam ...........”

“Kau telah berjumpa dengan Liong Thian-siang?”

“Kemarin malam aku berangkat dua kentongan lebih duluan dan bersembunyi di belakang sebuah batu cadas di atas tebing, aku dapat mendengarkan semua pembicaraan kalian, Hujin aku merasa sangat terharu........”

“Aku telah menyaksikan ilmu silatnya, aku tak ingin membiarkan kau berduel dengannya,” sambung Pek Hong.

“Aku dapat memahami kesulitanmu, tapi apa yang dikatakan Sute tak salah, bukan kau atau aku yang hendak ia hadapi, tapi seluruh Bu-khek-bun yang hendak dihadapinya. Aku bisa bersabar tapi tak dapat membiarkan perguruan Bu-khek-bun terancam, aku pun tak rela menyaksikan ayah mertuaku terancam.”

“Oh, sungguh kebetulan!” pikir Seng Tiong-gak, “Cu Siau-hong pun bersembunyi di balik batu besar di atas tebing, hanya bedanya mereka selisih semalam.”

Terdengar Pek Hong menghela napas sedih, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia berkata :

“Ling-kang, aku merasa amat sedih karena perbuatanku selama ini telah melanggar tata kesopanan seorang perempuan yang telah bersuami.”

“Kalau tidak salah, Pek Hong sebagai seorang putri persilatan yang penting adalah tidak berbohong pada Thian dan tidak menipu diri sendiri, kau tetap masih merupakan istriku.....”

“Terima kasih banyak Ling-kang, bisa mendengar perkataanmu itu hatiku sudah lega, semua kemasgulanku ikut pula tersapu lenyap.”

Sambil tertawa Tiong Ling-kang menepuk bahu istrinya, lalu berkata lagi :

“Hujin, kau tidak melakukan kesalahan apa pun, justru aku yang menyesal karena telah membuat susah Gak-hu, bagaimanapun juga, besok kita harus berusaha mencari akal untuk menyelamatkan Gak-hu dari cengkeraman musuh.

Pek Hong tertawa getir.

“Sulit untuk menolongnya, Liong Thian-siang telah berhasrat untuk menimbulkan badai darah di sini, sekalipun aku telah bersilat lidah dengannya, dengan harapan pikirannya bisa berubah, sayang ia tak mau menyanggupinya.”

“Aku tahu, kita memang tak bisa melunakkan hatinya, terpaksa hanya pertarungan yang bisa menyelesaikan persoalan ini.”

“Ia sendiri telah bilang, kali ini ia mengajak banyak pembatu, tapi dalam pertemuan besok malam, hanya kita berdua yang diijinkan ke sana.

“Cukup, kau dan aku .............”

“Tidak bisa Toa-suheng,” tukas Seng Tiong-gak, “kau telah mengakui sendiri bahwa persoalan ini adalah persoalan Bu-khek-bun kita, tak perlu harus menuruti perkataannya, kita boleh mengerahkan segenap kekuatan inti Bu-khek-bun untuk bertarung melawannya.”

Tiong Ling-kang manggut-manggut.

“Perkataanmu memang benar, cuma, ayah Ensomu masih di tangan mereka, sekalipun kita dapat bertarung mati-matian melawan mereka, tapi tak dapat menjamin bahwa mereka tak akan mencelakai jiwa dia orang tua.......”

“Lantas maksud Toako?”

“Maksudku biar aku dan Ensomu saja berdua yang menghadapinya, aku pikir kekuatan kami masih sanggup untuk menghadapinya,” katanya.

“Toa-suheng!” ujar Seng Tiong-gak dengan cepat, “aku percaya kau sanggup menghadapi Liong Thian-siang, betul Liong Thian-siang telah melatih diri dua puluh tahun, tapi Suheng sanggup menghabisinya. Namun kita harus berpikir juga betapa banyak jumlah anak buah yang dibawa olehnya, padahal kalian hanya berdua, bagaimana mungkin empat tangan bisa menghadapi puluhan pasang tangan?”

“Sute, bagaimanapun kita harus menempuh bahaya ini.”

“Toa-suheng, sebelumnya Siaute ingin minta maaf dulu kepadamu,” tiba-tiba Seng Tiong-gak berkata.

“Ada apa?”

Seng Tiong-gak tidak menjawab, tapi beranjak dan memberi hormat kepada Pek Hong, lalu katanya :

“Enso, aku pun minta maaf lebih dulu kepadamu.”

Sehabis berkata ia lantas berlutut di hadapan suami istri berdua.

Tentu saja perbuatannya itu mengejutkan Pek Hong, buru-buru ia membangunkannya seraya berkata :

“Hey Sute, apa-apaan ini? Hayo cepat bangun!”

“Enso, jika kau tidak bersedia memaafkan Siaute, maka selamanya Siaute tak akan bangkit berdiri lagi.”

“Aku mengerti Siau-sute,” ucap Pek Hong sambil tersenyum, “Hayolah cepat bangun aku dapat memahami maksud baikmu itu, justru dapat semakin membuktikan kebersihan serta kesucian Ensomu selama ini.”

Seng Tiong-gak bangkit berdiri, kemudian membeberkan rencana yang telah diaturnya itu, akhirnya ia menambahkan :

“Toako, kau jangan menghukum Tang Cuan serta Siau-hong, sebab segala sesuatunya timbul dari ideku, mereka tak lebih hanya melaksanakan perintah!”

“Jangan kuatir Sute, aku tak akan menghukum mereka, lagi pula aku pun berterima kasih kepadamu, karena kau telah membantuku untuk mengetes kemampuan mereka.”

“Oya! Masih ada satu hal yang tidak Siaute pahami, bersediakah Suheng memberi petunjuk?”

“Kali ini kau memilih Tang Cuan dan Siau-hong sebagai pembantumu, hal ini membuktikan bahwa Sute pun memiliki kemampuan mengenal orang yang cakap dalam penampilan. Siau-hong yang cerdik dan cekatan dalam peristiwa kali ini serta penampilan Tang Cuan yang mantap dan tegas, ditambah lagi penampilan bakat memimpin yang diperlihatkan Sute, membuktikan bahwa perguruan Bu-khek-bun kita memiliki kemampuan yang cukup hebat, hal mana sungguh membuat hatiku lega dan terhibur.”

“Ling-kang!” tiba-tiba Pek Hong menyela, “rencana apa yang telah kau siapkan? Kini waktu kita tinggal sehari saja, sedikit banyak kita musti mengadakan persiapan lebih dulu.”

Tiong Ling-kang termenung sebentar, lalu dengan serius katanya :

“Hujin, setelah aku pikir dengan lebih mendalam, kurasakan bahwa bagaimanapun juga tidak seharusnya kalau kita libatkan angkatan yang lebih muda dalam persoalan ini..........”

Pek Hong manggut-manggut menyetujui.

Tapi Seng Tiong-gak segera berkata sambil gelengkan kepalanya berulang kali.

“Suheng, aku pikir tidak gampang!”

“Maksudmu?”

“Tang Cuan dan Siau-hong telah mengetahui persoalan ini, lagi pula mereka telah melibatkan diri di dalamnya, bila tidak mengijinkan mereka turut serta, aku pikir hal ini tak mungkin bisa terelakkan.”

“Tapi Sute......... persoalan ini merupakan urusan pribadi Ensomu dan aku, aku mana boleh membawa seluruh perguruan Bu-khek-bun hingga terlibat di dalamnya?”

“Suheng, jangan lupa bahwa yang mereka hadapi adalah segenap perguruan Bu-khek-bun kita, cukup berdasarkan alasan ini, kita anak murid perguruan Bu-khek-bun sudah sepantasnya jika turut serta dalam peristiwa ini............”

“Sute, ada satu persoalan apakah telah kau pikirkan? Nyawa dari ayah Ensomu masih berada dalam cengkeraman mereka........”

“Siaute tahu,” sambung Seng Tiong-gak cepat, “justru dari sini semakin terbukti kalau Liong Thian-siang memang berniat jahat kepada kita.”

“Tapi dia pernah berkata kepada Ensomu agar jangan membawa orang yang terlalu banyak, dia hanya mengijinkan aku dan Ensomu berdua yang boleh menghadiri pertemuan itu.”

“Ciangbun-suheng,” kata Seng Tiong-gak kembali, “sudah jelas terbukti Liong Thian-siang adalah seorang manusia yang berhati busuk dan licik, untuk menghadapi manusia semacam ini kita pun tak usah membicarakan soal peraturan dunia persilatan lagi.

Tiong Ling-kang termenung sejenak, kemudian bisiknya :

“Jadi maksud Sute........”

“Maksud, Siaute, untuk berperang kita jangan lupa menggunakan taktik peperangan, sudah sepantasnya kalau kita pun gunakan sedikit kepandaian.”

“Kepandaian apakah itu?”

Seng Tiong-gak segera membeberkan rencananya.

Mendengar rencana tersebut, Tiong Ling-kang segera tersenyum, ucapannya :

“Sute, rupanya kau datang kemari dengan rencana yang telah tersusun rapi.”

“Bila Siaute telah mendahului Suheng, harap Ciangbun-suheng sudi memaafkan!”

Tiong Ling-kang lantas berpaling ke arah Pek Hong sambil bertanya :

“Bagaimana pendapatmu Hujin?”

“Apa yang telah disusun Tiong-gak-sute memang cukup bagus, bila dilihat dari kedatangan Liong Thian-siang dengan persiapan sempurna, memang bisa diduga kalau ia mempunyai rencana busuk, untuk menghadapi manusia semacam ini, rasanya kita pun tak usah terlampau jujur pula”

Lama sekali Ling-kang termenung sambil memutar otak, akhirnya dia baru berkata :

“Sute, Hujin, selama beberapa hari belakangan ini aku selalu mempunyai suatu perasaan yang sangat aneh, aku selalu merasa bahwa perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita bakal tertimpa suatu musibah.........”

“Toa-suheng!” tukas Seng Tiong-gak cepat, “kini Liong Thian-siang telah menculik Pek-locianpwe, ayah Enso, itu berarti sudah ada musibah yang telah terjadi, aku rasa pastilah musibah inilah yang kau maksudkan itu........”

Tiong Ling-kang menghela napas panjang.

“Sute agaknya persoalan tersebut tak sampai di sini saja, aku memang tidak melihat sendiri jenazah Lo-liok si penjaga istal kuda, tapi aku tahu kalau ia gagah perkasa, tidak semestinya ia mati secara tiba-tiba tanpa alasan yang tepat.”

Bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perguruan, tentu saja caranya untuk menilai segala persoalan jauh melebihi siapa pun.

“Suheng, usia Lo-liok sudah tua, konon ia pun gemar minum arak, siapa tahu kalau diam-diam ia sudah mengidap penyakit parah dan kali ini kambuh secara tiba-tiba hingga mengakibatkan kematiannya.”

“Aaaai……!” Tiong Ling-kang menghela napas panjang, “seandainya ia memang betul mengidap penyakit parah, selama banyak tahun ini, paling tidak pernah kambuh satu dua kali, tapi ia belum pernah mengalami serangan penyakit apa pun.”

“Lalu apa yang telah mencurigakan hati Suheng......?”

“Keracunan! Mungkinlah ada seorang yang diam-diam meracuninya hingga mati?”

“Aneh, tidak mungkin! Aku telah memeriksa jenazahnya, jelas gejalanya bukan gejala keracunan, lagi pula siapakah anggota perkampungan Ing-gwat-san-ceng kira-kira yang tega meracuninya sampai mati?”

“Bagaimanapun juga, aku selalu merasa bahwa hal ini merupakan suatu peringatan buat kita, sebetulnya aku hendak melakukan penyelidikan atas peristiwa tersebut, sungguh tak disangka Liong Thian-siang keburu datang, aai! Mungkinkah aku terlalu banyak curiga? Atau terlalu banyak pikiran?”

“Suheng, kau telah membawa perguruan Bu-khek-bun kita ke puncak kemasyhuran, kesuksesan kita pasti akan memancing kedengkian dan rasa iri di sementara orang, apalagi selama banyak tahun belakangan ini Suheng sangat jarang berkelana dalam dunia persilatan, seluruh semangat dan perhatianmu kau curahkan untuk mendidik anak murid, sudah pasti hal mana telah membangkitkan kedengkian banyak orang, dan sudah barang tentu banyak orang ingin merusak keberhasilan kita.”

“Mendirikan suatu usaha tidak gampang, menjaga keutuhannya lebih sukar lagi! Jika kita ingin mempertahankan nama baik Bu-khek-bun, mungkin besar sekali pengorbanan yang harus kita bayar.”

“Selama lima tahun belakangan ini, kita semua dapat melewatkan kehidupan kita dengan tenang dan penuh kedamaian,” kata Pek Hong, “apalagi selama masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, kau sudah beratus-ratus kali menghadapi pelbagai pertarungan yang sengit, aku berharap agar kali ini pun kau bisa menghadapinya dengan pikiran serta perasaan yang tenang pula.”

Tiong Ling-kang tertawa terelak mendengar perkataan itu, ujarnya :

“Ooh Hujin, kau memang benar, cuma yang kukuatirkan adalah suatu kekuatan tersembunyi rupanya sudah mulai bergerak dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita.”

“Toa-suheng!” Seng Tiong-gak ikut berbicara, “yang paling mengancam keutuhan kita sekarang adalah sepak terjang dari Liong Thian-siang. Kita harus secepatnya mencari akal untuk menghancurkan ancamannya, kemudian baru pikirkan soal-soal lainnya.”

“Betul!” Tiong Ling-kang manggut-manggut, “dewasa ini kita memang musti bekerja sama untuk mencari akal guna menghadapi ancaman dari Liong Thian-siang, Sute! Apakah yang kita bicarakan sekarang lebih baik jangan dibocorkan dulu, paling tidak jangan sampai membiarkan mereka sampai bertindak membarengi kita.”

“Ling-kang!” tiba-tiba Pek Hong bertanya, “kau mengatakan ada suatu kekuatan sedang bergerak dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita, sesungguhnya kekuatan apakah itu?”

“Aku sendiri pun tak dapat mengatakannya keluar, padahal seandainya aku telah mendapatkan suatu bukti, tak nanti aku akan berpeluk tangan belaka!”

“Suheng, di dalam persoalan menghadapi Liong Thian-siang nanti, apakah kita perlu membawa serta Tang Cuan serta Siau-hong.”

“Seandainya kedatangan Liong Thian-siang kali ini hanya untuk menghadapi aku serta Ensomu, aku pikir tidak sepantasnya bila kita kerahkan segenap kekuatan Bu-khek-bun untuk menghadapinya..........”

“Tapi bukankah dia datang dengan membawa maksud lain? Bukankah yang hendak dia hadapi adalah segenap perguruan Bu-khek-bun kita?”

“Itulah sebabnya aku ingin pula menggunakan kekuatan Bu-khek-bun untuk menghadapinya.........”

Setelah berhenti sebentar ia melanjutkan.

“Aku ingin membetulkan sedikit rencanamu itu, bawa saja empat orang murid Bu-khek-bun untuk menghadapi Liong Thian-siang.”

“Empat orang yang mana saja?”

“Murid pertama, kedua, ketujuh dan kesembilan, cuma kecuali Tang Cuan serta Siau-hong, dua orang lainnya lebih baik jangan diberitahukan dulu!”

“Siaute mengerti!”

Tiong It-ki tetap tinggal di perkampungan Ing-gwat-san-ceng untuk membantu Sam-suhengnya menjaga rumah.

“Baik!”

“Beri tahukan perintah ini setelah menjelang kentongan kedua malam nanti, nah sekarang pergilah mempersiapkan diri!”

Seng Tiong-gak segera berpamitan dan mengundurkan diri dari situ.

----------------------------------

3

Mendekati kentongan ketiga malam itu, Tiong Ling-kang dan Pek Hong telah berangkat ke tebing curam itu untuk memenuhi janji.

Pek Hong mengenakan seperangkat pakaian ringkas berwarna perak, sepasang pedangnya tersoren di punggung dan sebuah kantong senjata rahasia tergantung di sisi pinggangnya.

Tiong Ling-kang mengenakan juga seperangkat pakaian ringkas dengan sebilah pedang tersoren di pinggangnya, ia membawa serta pul kedua puluh empat batang senjata rahasia Thiat-lian-hoa miliknya.

Pakaian tersebut sebetulnya merupakan pakaian yang mereka berdua kenakan di kala masih berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, sudah lima tahun mereka simpan pakaian tersebut tanpa mengenakannya kembali, tapi hari ini mereka harus memakainya kembali.

Kentongan ketiga tepat, dari tikungan bukit sebelah depan sana tiba-tiba muncul serombongan bayangan manusia.

Dalam waktu singkat mereka telah berada di hadapan kedua orang itu.

Rombongan tersebut terdiri dari sebuah tandu besar warna hitam, empat orang laki-laki baju hitam bergolok yang melindungi tandu serta dua orang tukang tandu.

Tandu itu berhenti kurang lebih beberapa kaki di hadapan Tiong Ling-kang berdua, menyusul kemudian tirai pun digulung ke atas.

Seorang manusia berbaju hitam pelan-pelan berjalan keluar dari balik tandu itu.

“Saudara Liong baik-baikkah kau selama dua puluh tahun ini?” sapa Tiong Ling-kang sambil memberi hormat.

Liong Thian-siang adalah seorang laki-laki berusia pertengahan yang berdandan seorang sastrawan, tubuhnya sedang dengan wajah yang bersih, cuma sayang kulitnya terlalu putih hingga kepucat-pucatan, di bawah rembulan ia kelihatan seperti sesosok mayat saja.

Di atas wajahnya yang pucat dan dingin, tiba-tiba terlintas rasa dendam yang amat tebal, sambil mengelapkan tangannya ia menjawab :

“Untung saja aku orang she Liong ini belum mampus, panjangnya usiaku ini tentunya di luar dugaan Tiong-ciangbunjin bukan?”

Begitu bersuara, ucapannya langsung ketus dan tak bersahabat, dari sini cepat diketahui bahwa ia memang menaruh dendam sakit hati yang tak terukur dalamnya kepada ketua Bu-khek-bun ini.

“Aku dengar saudara Liong sudah beberapa kali berjumpa dengan istriku...” kata Ling-kang.

“Hmm, tapi dengan perbuatannya itu Pek Hong justru akan kehilangan kesempatan untuk menolong dirimu, juga kehilangan kesempatannya untuk menolong ayahnya.”

“Bagaimana dengan ayahku?” tanya Pek Hong cemas.

“Ia masih hidup segar bugar.”

“Kami suami istri telah datang sesuai dengan apa yang kau minta, aku harap seperti yang telah kau janjikan aku pun dapat berjumpa muka dengan ayahku,” pinta Pek Hong.

“Boleh saja!” jawab Liong Thian-siang dingin, “cuma tidak sekarang!”

Tiong Ling-kang segera tertawa.

“Lantas apa yang harus kami lakukan sehingga dapat bersua dengannya?” ia bertanya.

“Asal persoalan ini di antara kita telah terselesaikan, dengan cepat kalian dapat bersua dengannya.”

“Oh apa pula yang hendak kita rundingkan lagi?”

“Selama banyak tahun belakangan ini, kau berhasil tampilkan diri sebagai seorang jago yang punya kedudukan dan nama dalam dunia persilatan, perkampungan Ing-gwat-san-ceng yang tak ternama pun, kini mulai dikenal oleh setiap umat persilatan.”

“Oya? Lantas?”

“Dengan cara yang sangat mudah aku berhasil menemukan dirimu, dan aku pun mempunyai banyak cara untuk melenyapkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng dalam waktu sekejap.”

“Wah, kalau begitu perkampungan Ing-gwat-san-ceng bisa berdiri tegak sampai sekarang hal ini adalah berkat kebijaksanaan serta kebaikan hati saudara Liong!” sindir Tiong Ling-kang.

“Aku tak akan berbuat bijaksana, apalagi terhadapmu, sampai sekarang aku belum juga turun tangan hal ini dikarenakan aku mempunyai tujuan lain, yakni pertemuan kita pada malam ini. Aku telah memberitahukan kesemuanya itu kepada Pek Hong, aku rasa Pek Hong tentu sudah menyampaikan kepadamu.”

“Baik! Sekarang semua sudah menjadi jelas, apa yang kau inginkan?”

“Pek Hong telah melahirkan anak bagimu, sudah banyak tahun mengikutimu, maka sekarang........”

Tiba-tiba ia tutup mulut dan tidak berbicara lagi.

Tiong Ling-kang masih tetap mempertahankan ketenangannya, ia bertanya :

“Sekarang, apa pula yang musti kulakukan?”

“Sekarang, kau harus serahkan dirinya kepadaku, mulai saat ini dia akan menjadi istriku!”

“Pek Hong dapat menjaga batas-batas kewanitaannya, banyak pula bantuannya bagiku, keberhasilanku hari ini sebagian besar adalah hasil pemberiannya, aku merasa sayang dan hormat kepadanya.”

“Maksudmu, kalian tak akan dapat berpisah lagi untuk selamanya?”

“Saudara Liong, apakah kau tidak merasa bahwa permintaanmu itu terlalu kelewat batas?”

Liong Thian-siang tertawa dingin.

“Tiong Ling-kang!” ia berseru, “aku tak akan merampas istrimu dengan begitu saja, aku hendak membuatmu untuk menyerahkannya secara sukarela dan hati yang pasrah.”

Bagaimana baiknya iman Tiong Ling-kang, lama kelamaan habis juga kesabarannya, dengan mata melotot ia membentak :

“Liong Thian-siang, bagaimana pun juga kau telah mendekati setengah abad, kalau berbicara aku harap sedikitlah tahu diri, apakah kau tak takut ditertawakan orang dengan ucapan-ucapanmu itu?”

Pek Hong sendiri pun naik pitam, bentaknya dengan gusar :

“Wahai orang she Liong, mulutmu kotor dan tak tahu aturan, lebih baik tutup saja bacot anjingmu itu!”

“Aku orang she Liong datang dengan membawa perisapan yang matang, setiap ucapanku segera akan berubah menjadi kenyataan. Tiong Ling-kang! Bagaimanapun juga kau harus menyanggupi syaratku ini!”

Sepasang tangan Pek Hong telah mulai meraba gagang pedangnya, hawa nafsu membunuh menyelimuti wajahnya, dari sikapnya yang menahan geram dapat diketahui bahwa ia telah bersiap untuk melancarkan serangan.

“Pek Hong!” Liong Thian-siang segera membentak keras, “jika kau berani sembarangan berkutik lagi, aku akan segera membuat ayahmu tewas dalam keadaan mengerikan.”

Pek Hong menjadi tertegun, pelan-pelan ia menurunkan kembali sepasang tangannya yang telah meraba gagang pedangnya itu.

“Baiklah! Katakan syaratmu itu!”

“Suruh ayah mertuamu dan istrimu duduk di pinggir gelanggang untuk menyaksikan kita berdua berduel sampai mati!”

Tiong Ling-kang manggut-manggut.

“Ada satu hal yang lebih penting lagi,” lanjut Liong Thian-siang, “yakni sebelum pertarungan dimulai, kita harus membuat surat perjanjian lebih dulu, seandainya kau berhasil kubunuh maka Pek Hong akan menjadi milikku.”

“Orang gila, kau tak usah ngaco belo tak karuan!” bentak Pek Hong dengan gusarnya.

Sedangkan Tiong Ling-kang masih tetap tenang.

“Masih ada yang lain?” ia bertanya.

“Aku menghendaki ayah mertuamu sebagai saksi, jika sampai waktunya kau orang she Tiong ingkar janji, maka aku hendak membasmi seluruh perguruan Bu-khek-bun kalian dan meratakan perkampungan Ing-gwat-san-ceng dengan tanah, bukan cuma manusia saja yang kubunuh anjing ayam pun tak akan kubiarkan lewat sampai tengah malam!”

Tiong Ling-kang tertawa ewa, katanya,

“Saudara Liong, apakah perselisihan antara kita berdua tak dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik?”

“Asal kau bersedia menyerahkan Pek Hong untuk dijadikan istriku, bukan saja ayahnya bisa diselamatkan, kedudukanmu sebagai ciangbunjin dalam perguruan Bu-khek-bun pun bisa dipertahankan, malah siapa tahu bila perguruan Bu-khek-bun mengalami ancaman bahaya dikemudikan hari aku pun bersedia untuk membantumu?”

“Liong Thian-siang!” kata Tiong Ling-kang kemudian dengan serius, “memang aku menaruh sedikit rasa sesal dalam hati kecilku, tapi sesal itu kini sudah lenyap tak berbekas oleh kata-katamu yang gila dan tak tahu diri itu......”

“Heeehh....... heeehh.......... heeehh......” Liong Thian-siang tertawa dingin, “ketahuilah kau Tiong Ling-kang, untuk melampiaskan rasa benci dan dendamku ini, sudah dua puluh tahun lamanya aku hidup sengsara dan penuh penderitaan, kecuali kau serahkan kembali Pek Hong kepadaku, di antara kita tak akan ada syarat kedua yang bisa dibicarakan lagi.”

“Liong Thian-siang agaknya di antara kita berdua memang harus ada satu yang mampus dalam duel ini.”

“Sebelum pertarungan dimulai, aku hendak memberitahukan satu persoalan lebih dulu kepadamu!”

“Syarat apa pula yang kau punyai? Hayo katakan saja terus terang, aku orang she Tiong pasti akan menghadapinya sekaligus.”

“Lebih baik kita jelaskan lebih dulu bahwa semua dendam dan sakit hati kita terselesaikan semua dalam pertarungan berikut ini!”

“Akan kudengar semua perkataanmu itu!”

Liong Thian-siang tarik napas panjang-panjang, kemudian ujarnya :

“Aku datang kemari dengan membawa jumlah orang yang cukup banyak, kekuatan tersebut sudah cukup bagi kami untuk melenyapkan perguruan Bu-khek-bun dari muka bumi!”

“Ooh?!”

“Tapi jangan kuatir, mereka tak akan turun tangan sebelum memperoleh tanda rahasia dari ku!”

“Ooh.......!”

“Jika kau mati di ujung golokku, Pek Hong tak boleh ikut mati, aku hendak membawanya pergi meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup.”

“Masih ada lagi?” hawa kemarahan sudah mulai menyelimuti seluruh wajah Tiong Ling-kang.

“Jika ia sampai mati, baik itu bunuh diri atau dibunuh oleh anggota perguruan Bu-khek-bun, maka seluruh perguruan Bu-khek-bun akan mengalami bencana yang paling besar, aku akan membunuh habis setiap orang yang ada sangkut pautnya dengan perguruanmu itu.”

“Suatu jalan pemikiran yang amat keji! Masih ada yang lain?”

“Cukup, sekarang kau boleh meloloskan pedangmu!”

Sepasang mata Tiong Ling-kang berputar-putar memperhatikan wajah Liong Thian-siang serta sekitar tubuhnya, kemudian ia bertanya :

“Mana golokmu?”

“Golok itu berada di tubuhku, bila sampai waktunya untuk dipergunakan, aku akan mencabutnya sendiri.”

Sikapnya amat tenang dan santai, seakan-akan ia sudah mempunyai rencana matang untuk menghadapi pertarungan itu.

Ketenangan ini segera meningkatkan kewaspadaan dalam hati Tiong Ling-kang, pelan-pelan tangan kanannya menggenggam gagang pedangnya, lalu menarik napas dan menghimpun tenaganya, di dalam pusar, setelah itu katanya kembali :

“Saudara Liong, sudah setengah harian kau bicara, tapi semuanya hanya membicarakan soal bila kau yang menang, bagaimana jika hasilnya nanti menunjukkan kalau kau orang she Liong yang kalah?”

“Kau yang menang? Tak mungkin, kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk meraih kemenangan.”

“Gunung nan tinggi air akan lebih panjang, Liong-heng jangan terlalu takabur.”

“Jika kau dapat menangkan aku, Liong Thian-siang tak akan meninggalkan tempat ini dengan selamat.”

Itu berarti ia sudah menganggap pertarungan tersebut sebagai suatu pertarungan yang menentukan mati hidupnya.

Tiong Ling-kang lantas menekan tombol rahasianya dan........ “Cring!” pedang Cing-peng-kiam segera melolos dari sarungnya.

“Hati-hati!” ejek Liong Thian-siang sambil tertawa dingin.

Tiba-tiba ia menerjang ke depan, sebuah jotosan keras langsung diayunkan ke dada lawan.

Tiong Ling-kang merupakan seorang ahli pedang yang dihormati dan disegani oleh umat persilatan di dunia, pedang Cing-peng-kiam tersebut entah sudah mengalahkan berapa banyak jago lihay selama puluhan tahun belakangan ini?

Tapi sekarang ternyata Liong Thian-siang tidak menganggap sebelah mata pun terhadap ahli pedang yang termasyhur ini, bahkan ia berani menghadapi serangannya dengan tangan kosong belaka.

Tindakannya yang melanggar kebiasaan ini tak lain dikarenakan dua alasan, pertama Liong Thian-siang terlalu sombong, memandang enteng musuhnya, dan kedua ia memang mempunyai rencana busuk.

Tiong Ling-kang sebagai seorang jago yang berpengalaman luas, tentu saja cukup mengerti kalau tindakan Liong Thian-siang ini bukan hanya terbatas karena kejumawaannya belaka.

Sambil menarik napas panjang ia mundur dua langkah, tubuhnya berkelebat ke samping untuk menghindarkan diri, kemudian pedangnya dibabat ke bawah menebas pergelangan tangan kanan lawan.

Liong Thian-siang mendengus dingin, sambil turunkan pergelangan tangannya ke bawah, ia putar badan, “Weess,” sebuah pukulan digentarkan, menyusul kemudian tubuhnya melejit ke udara dan berputar satu lingkaran besar sejauh satu kaki lebih untuk menyelinap ke belakang punggung orang she Tiong itu.

Tiong Ling-kang membentak keras.

“Suatu jurus Pat-poh-hwe-gong (delapan langkah terbang di udara) yang amat bagus!”

Pedang Cing-peng-kiam digetarkan dan segera mengembangkan serangkaian serangan balasan.

Bayangan pedang segera berkelebat ke sana kemari memenuhi angkasa, pedang Cing-peng-kiam itu berubah menjadi selapis cahaya tajam yang melindungi tubuhnya rapat-rapat.

Menghadapi serangan ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat yang maha dahsyat itu, untuk sesaat Liong Thian-siang agak kateter, namun ia masih juga menghadapinya dengan tangan kosong belaka.

Ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna ternyata telah dikombinasikan dengan ilmu langkah Pat-poh-hwe-gong yang dahsyat, membuat ia dapat bergerak ke sana kemari dengan seenaknya sendiri, bahkan sepasang tangannya sebentar menotok sebentar memukul dan membacok ke sana kemari, semuanya ditujukan untuk mengincar jalan darah lawan.

Untuk sesaat lamanya posisi mereka tetap berada dalam keadaan seimbang alias sama kuat.

Secara beruntun Tiong Ling-kang telah melancarkan tiga puluh jurus serangan lebih, namun ia selalu gagal untuk merebut posisi yang menguntungkan karena semua serangannya sebagian besar dapat dihindari lawan.

Liong Thian-siang yang mendekam diri selama dua puluh tahun, kini betul-betul berubah menjadi lihay sekali, bahkan kehebatan ilmu silatnya sama sekali di luar dugaan Tiong Ling-kang.

Tapi dengan demikian justru telah memancing rasa ingin menang di hati Tiong Ling-kang. Ia berpekik nyaring, serangan pedangnya segera dilancarkan makin gencar.

Cahaya tajam tampak berputar kian kemari, cahaya pedang dari kecil berubah makin besar dan kemudian berkembang menjadi sebuah lingkaran besar seluas satu kaki persegi yang mengurung tubuh Liong Thian-siang di balik lingkaran cahaya pedang tersebut.

Menyusul kemudian lingkaran cahaya pedang itu dari besar menyusut semakin kecil seperti sebuah jala ikan yang ditarik ke atas, jaring tersebut makin lama makin kencang dan makin bertambah rapat.

Kali ini cahaya pedang tersebut berlapis-lapis dan lihaynya bukan kepalang.

Dalam keadaan demikian, sekalipun Liong Thian-siang memiliki ilmu langkah Pat-poh-hwe-gong yang lihay, di bawah kepungan cahaya pedang yang berlapis-lapis itu ia menjadi kewalahan juga sehingga tak sanggup berkutik lagi.

Dengan cepat cahaya pedang itu mengancam tiba dengan amat dahsyatnya.......

Menghadapi ancaman lawan yang begitu hebat dan mengerikan, Liong Thian-siang tidak menjadi gugup, ia masih dapat mempertahankan ketenangannya seperti sedia kala.

Mendadak pedang Cing-peng-kiam di tangan Tiong Ling-kang menusuk dada Liong Thian-siang dengan jurus Ciang-hong-hap-it (selaksa ujung pedang bersatu padu).

Tusukan tersebut bukan cuma disertai dengan tenaga serangan yang hebat, lagi pula dipakai tepat pada saatnya, tusukan itu menyerang tiba di kala Liong Thian-siang sedang bersiap-siap menarik kembali telapak tangannya.

Padahal ilmu langkah Pat-poh-hwe-gong sudah terkunci oleh lapisan pedang Tiong Ling-kang hingga tak mampu dipergunakan lagi, menghadapi tusukan yang datang secara tiba-tiba itu, agak sulit juga baginya untuk menghindarkan diri.

Satu-satunya jalan baginya untuk menyelamatkan jiwanya dari ancaman adalah menangkis serang tersebut dengan kekerasan.

Siapa tahu Liong Thian-siang telah memutar balik telapak tangan kanannya yang hendak melancarkan serangan itu, kemudian menangkis datangnya tusukan pedang tersebut dengan kekerasan.

“Traanng......!” benturan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, pedang Cing-peng-kiam itu segera tertangkis pergi.

Padahal tenaga dalam yang dimiliki Tiong Ling-kang cukup sempurna, sekalipun Liong Thian-siang memiliki kepandaian semacam Kim-ciong-co atau Thiat-poh-san, tak nanti ia sanggup menangkis datangnya ancaman pedang itu.

Tiong Ling-kang tak mau terkecoh dengan begitu saja, sebagai seorang jago kawakan yang berpengalaman, ia telah menangkap suara benturan tersebut sebagai benturan antara besi dan besi.

Jangan-jangan Liong Thian-siang memiliki tangan yang terbuat dari baja asli?

Kini orang she Liong itu telah meloloskan goloknya.

Sementara Tiong Ling-kang masih tertegun karena tusukkan pedangnya tertangkis, Liong Thian-siang telah mengembangkan kembali serangannya secepat kilat.

Golok itu meluncur dari balik bajunya, di mana cahaya tajam berkelebat lewat senjata tersebut sudah meluncur keluar.

Sungguh suatu serangan yang keji, licik dan berbahaya.

Ketika sadar akan datangnya bahaya, Tiong Ling-kang segera menarik nafas dan mundur lima depa, sayang tindakannya itu masih terlambat setindak.

Darah segar segera menyembur keluar sejauh tiga empat depa dan berhamburan di tanah.

Sambaran golok dari ujung baju Liong Thian-siang berhasil menembusi bahu kanan Tiong Ling-kang.

Kontan saja lengan kenannya yang menggenggam pedang itu terkulai lemas ke bawah.

Pek Hong buru-buru menghampirinya dan bertanya dengan penuh rasa kuatir.

“Ling-kang, kau terluka?”

Tiong Ling-kang tertawa ewa.

“Tidak menjadi soal, cuma luka kulit saja!” sahutnya.

Padahal darah segar sempat menyembur keluar, mungkinkah luka di kulit berakibat demikian?

Tapi Pek Hong tidak bertanya pula, ia mengambil secarik sapu tangan putih dan cepat-cepat membalut luka di bahu suaminya.

Liong Thian-siang dengan sepasang matanya yang tajam mengawasi terus sepasang tangan Pek Hong yang putih dan halus itu tapa berkedip, rasa dengki, iri, dan cemburu jelas tertera di atas wajahnya.

Namun dia pun tidak memanfaatkan kesempatan tersebut untuk melancarkan kembali serangannya.

Tiong Ling-kang berdiri dengan wajah serius, sekalipun ia berbicara dengan Pek Hong, tetapi sepasang matanya tak pernah beralih dari tubuh Liong Thian-siang.

Selesai membalut luka di bahu suaminya, diam-diam Pek Hong mengundurkan diri dari situ.

Dua titik air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya ketika ia mundur dari situ tadi.

Pelan-pelan Tiong Ling-kang menggerakkan lengan kanannya, kemudian berkata :

“Liong Thian-siang, lenganku ini masih bisa dipergunakan untuk memegang pedang lagi!”

“Hmm! Terlampau cepat kau hindarkan diri, coba sedikit terlambat lagi, niscaya lengan itu sudah bukan milikmu lagi.”

Tiong Ling-kang tertawa ewa.

“Kalau ingin bertarung, bertarunglah secara jujur dan ksatria, tindakanmu mengenakan lengan baja pelindung badan sungguh jauh di luar dugaanku.......”

“Ya, siapa lagi yang musti disalahkan kalau bukan menyalahkan sepasang matamu sendiri yang kurang awas.”

“Liong Thian-siang, kau telah melepaskan kesempatan baik untuk membinasakan diriku, aku tak akan tertipu lagi untuk kedua kalinya.”

“Jangan takabur dulu, dengan tangan kosong pun aku sudah sanggup untuk menghadapi ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoatmu itu, bila kugunakan golokku untuk kedua kalinya, nanti jangan harap kau bisa meloloskan diri dengan selamat.”

“Bila kau yakin bisa membunuhku, inilah kesempatan yang paling baik bagimu untuk bertindak, hanya saja, sebelum pertarungan berlangsung untuk kedua kalinya, aku ingin berjumpa dulu dengan ayah mertuaku.”

“Pokoknya Pek Bwee masih hidup segar bugar, aku tak pernah melukainya walau hanya seujung rambut pun, sekarang kau sudah bermandikan darah, dalam pertarungan ini kau pula yang bakal mampus, apa lagi yang bisa kau lakukan untuk Pek Bwee meskipun dapat menjumpainya?”

Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terkekeh-kekeh.

“Heeehh...... heeehh......... heeehh......... cuma kalau kau sudah tewas dalam pertarungan nanti, aku pasti akan mengajak Pek Hong untuk berjumpa dengan ayahnya.”

Tiong Ling-kang masih tetap tenang, terhadap cemoohan dan hinaan yang dilontarkan Liong Thian-siang, hampir boleh dibilang tak pernah ia pikirkan dalam hati.

Baru seorang jago pedang yang lihay, maka ketenangan, kemantapan, dan keseriusan merupakan pokok-pokok utama yang harus dimiliki menjelang pertarungan yang bakal berlangsung.

Karena itu, Tiong Ling-kang tak berani lengah, dia harus menguasai ketiga pokok utama tersebut sebaik-baiknya.

Agak tercekat juga Liong Thian-siang melihat ketenangan orang, pikirnya kemudian :

“Waaah, tampaknya bukan suatu perbuatan yang gampang untuk membangkitkan hawa amarahnya...........”

Berpikir demikian, tangan kanannya segera di angkat, cahaya putih segera berkelebat lewat menusuk ke dada Tiong Ling-kang.

“Menyimpan golok di balik ujung baju merupakan kepandaian andalan dari Hay-pak-khi-keng-khek, apakah kau sudah menjadi anggota perguruan dari Khi-keng-bun?” tegur Tiong Ling-kang.

Sementara di mulut berbicara, pedang Cing-peng-kiamnya melancarkan serangkaian serangan berantai yang dengan cepat dapat membendung ke tujuh buah bacokan kilat dari Liong Thian-siang.

Kali ini ia telah merubah taktik bertarungnya dengan ketenangan ia berusaha menghadapi gerak serangan musuh.

Setelah melepaskan ketujuh buah serangan berantainya, Liong Thian-siang menghentikan pula serangannya, dengan sepasang mata yang tajam dia awasi wajah Tiong Ling-kang lekat-lekat, dengan harapan ia dapat menangkap rasa menderita yang melintas di atas wajah orang itu.

Tapi Tiong Ling-kang masih tetap tenang setenang air telaga, sama sekali tidak ditemukan sesuatu sikap yang aneh.

Padahal luka yang diderita Tiong Ling-kang cukup parah, setelah menggerakkan pedangnya untuk menangkis ketujuh buah serangan golok dari Liong Thian-siang tadi, mulut lukanya betul-betul terasa sakitnya bukan kepalang.

Tapi dengan paksakan diri ia menahan rasa sakit tersebut, ia tetap berusaha mempertahankan ketenangan di atas wajahnya.

Memang hal itu merupakan suatu persoalan yang sukar dilukiskan, tapi Tiong Ling-kang berhasil melakukannya secara baik.

Pengalamannya dalam menghadapi beratus-ratus kali pertarungan membuat jago ini menang pengalaman, dia tahu jika ingin membunuh musuhnya maka ia musti menunggu sampai tibanya saat yang paling menguntungkan, serangan tersebut harus mematikan dalam sekali penyerangan.

Kini kedua belah pihak saling berhadapan muka sambil menantikan tibanya saat yang paling baik.

Mendadak Liong Thian-siang melakukan serangan dengan sepasang telapak tangannya, dua kilatan cahaya putih dengan cepat meluncur ke depan.

Yang satu langsung menyerang bagian dada sementara yang lain menyerang lambung.

Tiong Ling-kang menggetarkan pedang Cing-peng-kiamnya, menciptakan selapis cahaya tajam mengikuti perputaran tubuhnya, ia menerjang maju lebih ke depan.

Pertarungan ini merupakan adu jiwa yang mempengaruhi mati hidup masing-masing pihak, oleh karena itu kedua belah sama-sama melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga.

Dua gulungan angin serangan dari kedua belah pihak dengan cepat menciptakan selapis hawa serangan yang tajam dan mengerikan.

Dengan cepat Liong Thian-siang mengunci serangan Tiong Ling-kang yang dibarengi gerakan maju itu.

Tapi justru dengan gerakan serbuannya itu, Tiong Ling-kang tidak berhasil menghindarkan diri dari serangan golok musuhnya yang mengancam dada serta lambungnya itu, sepasang senjata lawan kontan bersarang telah di tubuhnya.

Liong Thian-siang mendengus dingin, sepasang goloknya kembali diputar sedemikian rupa menciptakan selapis kekuatan pertahanan yang betul-betul amat tangguh.

Sedemikian tangguhnya pertahanan itu, membuat Liong Thian-siang merasa aman pula atas keselamatan jiwanya.

Dari gembira dan bangga ia menjadi teledor dan gegabah, kegegabahan itu menciptakan pula terbukanya titik kelemahan di atas tubuhnya.

Tiong Ling-kang segera merasakan bahwa saatnya telah tiba, pedang Cing-peng-kiam tersebut disertai sambaran cahaya kilat yang tajam langsung menusuk ke bagian mematikan di dada lawan.

Dari dada pedang itu tembus hingga ke atas bahu bagian belakangnya, darah kental segera berhamburan membasahi seluruh permukaan tanah.

Liong Thian-siang tertegun ketika merasakan dadanya tertusuk, pada hakikatnya segenap jago yang ada di sekitar gelanggang dibuat tertegun oleh kenyataan tersebut.

Lama, lama sekali, masih belum kedengaran juga sedikit suara pun.

Buru-buru Pek Hong maju ke depan menghampiri suaminya yang terluka parah.

Dua orang pengawal Liong Thian-siang segera meloloskan pula senjata mereka untuk bersiap sedia.

Pada saat itulah bayangan manusia berkelebat lewat, dua sosok bayangan manusia kembali meluncur datang ke tengah arena.

Kedua orang yang baru datang itu tak lain adalah Tang Cuan serta Cu Siau-hong.

Dari tebing sebelah belakang melayang turun pula sesosok bayangan manusia, dia adalah Seng Tiong-gak.

Pek Hong meloloskan pedangnya menghadang jalan maju dua orang pengawal dari Liong Thian-siang, kemudian bentaknya dingin :

“Kalian hendak bertempur?”

Dengan suatu gerakan cepat Cu Siau-hong melewati Tang Cuan dan turun di hadapan Pek Hong, lalu sambil menghampiri dua orang laki bersenjata itu, katanya :

“Sunio, lihat keadaan Suhu, serahkan saja kedua orang ini kepadaku!”

Dalam pada itu Liong Thian-siang telah membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, kemudian bisiknya :

“Tiong Ling-kang, kau berhasil mematahkan ilmu golok Thian-seng-to-hoat ku?”

Tiong Ling-kang sendiri pun menderita luka yang cukup parah, tapi ia masih sanggup mempertahankan diri secara perkasa, sikap maupun senyumannya tetap agung dan penuh kewibawaan sebagai layaknya seorang ketua dari suatu perguruan.

Sahutnya sambil tersenyum,

“Aku gagal mematahkan ilmu golokmu itu.”

“Tapi kau berhasil menusuk dadaku dengan telak!” sambungnya.

“Yaa, itulah dikarenakan kau terlalu gegabah, dengan mengandalkan pengalaman maupun kemampuanku, aku tak berhasil menemukan cara yang tepat untuk mematahkan seranganmu, coba kalau kau mempertahankan diri secara baik-baik, niscaya aku akan gagal untuk menusukmu.”

Air mata mulai bercucuran membasahi wajah Liong Thian-siang, pelan-pelan ujarnya :

“Aku telah bersusah payah selama dua puluh tahun lamanya, tapi toh tetap gagal untuk mendapatkan Pek Hong!”

Selesai berkata, tiba-tiba sepasang matanya terpejam, darah kental bercucuran dari mulut dan lubang hidungnya.

Tiong Ling-kang menggetarkan pergelangan tangan kanannya dan mencabut keluar pedang Cing-peng-kiam tersebut, darah segar segera menyembur keluar dari dada maupun punggungnya.

Sementara itu Pek Hong telah mencabut pula kedua bilah golok yang bersarang di tubuh Tiong Ling-kang.

Yang dimaksud golok di balik ujung baju adalah dua lembar pisau tajam yang tipis tapi tajamnya luar biasa, senjata itu dapat digulung menjadi bulatan.

Di balik ujung bajunya, Liong Thian-siang menyembunyikan dua buah kotak besi, di hari-hari biasa kedua bilah golok tipis tersebut bergulung di dalam kotak besi itu, letak kotak tepat di atas lengan baja pelindung tangan yang dikenakannya, sehingga asal ia mengebaskan tangannya kuat-kuat maka kedua bilah golok tipis itu segera akan meluncur keluar dari kotak besi dengan kecepatan luar biasa.

Bila golok tipis itu sudah tak terpakai lagi, asal tombol dalam kotak ditekan, serta-merta golok tadi akan tergulung kembali ke dalam kotak tersebut.

Jika seseorang dapat melatih diri dengan senjata tersebut hingga mencapai kesempurnaan, maka bila dikombinasikan dengan lengan baja pelindung tangannya, maka kedua macam senjata tersebut akan berubah menjadi suatu senjata pembunuh yang benar-benar mengerikan.

Menyaksikan tubuh Liong Thian-siang mulai roboh ke tanah, Tiong Ling-kang merasakan pula tubuhnya mulai tak tahan, ia mundur dengan sempoyongan, kemudian roboh terjengkang ke tanah.

Buru-buru Pek Hong memayang tubuh suaminya.

“Aku tidak mengapa, cuma terlampau besar tenaga yang telah kugunakan.”

“Tiong-gak-sute, Tang Cuan, dan Siau-hong telah berdatangan semua!”

“Jangan lepaskan orang-orang itu, suruh mereka hadang musuh kita dan memaksanya untuk menunjukkan tempat ayahmu disekap.”

Padahal tanpa diperintah oleh Tiong Ling-kang pun, Seng Tiong-gak, Cu Siau-hong dan Tang Cuan telah mengambil posisi segi tiga untuk mengurung ke empat orang itu rapat-rapat.

Empat orang musuh adalah dua orang tukang tandu dan dua orang pengawal bersenjata.

Kematian dari Liong Thian-siang dengan cepat menimbulkan getaran perasaan yang besar di hati mereka berempat, untuk sesaat lamanya mereka hanya berdiri tertegun di tempat semula, tanpa mengetahui haruskah melakukan perlawanan ataukah harus melarikan diri.

“Tang Cuan, Siau-hong, bunuh dulu dua orang di antara keempat orang itu.......!” perintah Seng Tiong-gak dingin.

Tang Cuan dan Cu Siau-hong segera mengiakan, pedang mereka berkelebat lewat, dua orang tukang tandu itu segera roboh terkapar bermandikan darah segar.

Terluka parah guru mereka membuat orang jago muda ini merasa sedih bercampur gusar, tapi karena gurunya belum memberi perintah, mereka pun tak berani sembarangan bergerak.

Karenanya begitu Seng Tiong-gak memberi komando untuk bunuh, kontan saja sepasang pedang mereka berkelebat lewat, dua orang tukang tandu yang jaraknya memang dekat dengan mereka kontan saja menemui ajalnya detik itu juga.

Belum lagi kedua orang pengawal itu meloloskan goloknya, dua bilah pedang yang masih membawa noda darah telah menempel di atas tenggorokkan mereka.

Ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat memang mengutamakan kecepatan bergerak, apalagi Tang Cuan serta Cu Siau-hong memang telah memperoleh seluruh kepandaian dari gurunya, kecepatan gerak senjata mereka sungguh cepatnya luar biasa.

“Jangan bunuh kedua orang itu!” buru-buru Pek Hong berseru.

Seng Tiong-gak menggetarkan pedang untuk memukul rontok senjata golok dua orang pengawal itu, lalu ujarnya dengan dingin :

“Aku tidak memiliki kesabaran seperti ciangbunjin kami, maka kuanjurkan kepada kalian berdua agar menjawab saja semua pertanyaan secara jujur dan tanpa membantah!”

Dua orang pengawal itu saling berpandangan sekejap, kedua belah pihak sama-sama membungkam diri.

Melihat sikap mereka, Seng Tiong-gak tertawa dingin, serunya kembali :

“Apakah harus kubunuh seorang di antara kalian, sehingga sisa yang seorang baru bersedia menjawab?”

Sekali lagi kedua orang itu saling berpandang sekejap, namun belum ada juga yang menjawab.

“Sute!” tiba-tiba Tiong Ling-kang berkata, “jangan kau bunuh mereka berdua, mereka hanya mendengarkan perintah dari Liong Thian-siang sebab dalam sekali gerakan tangan saja Liong Thian-siang sanggup untuk membunuh mereka.”

Seng Tiong-gak manggut-manggut.

“Asal mereka bersedia bekerja sama tentu saja aku tak akan membunuh mereka, cuma kalau tidak dikasih sedikit tanda mata, belum tentu mereka bersedia menjawab.”

Tiong Ling-kang menghela napas panjang, ia pejamkan mata untuk mengatur pernafasan dan tidak berbicara lagi.

Dengan suara lantang Seng Tiong-gak lantas berkata :

“Kalian dengar baik-baik, aku akan mengajukan sebuah pertanyaan kepada kalian masing-masing orang, bila tidak menjawab maka aku akan menusuk tubuh kalian satu kali, soal enteng atau beratnya tusukan itu tergantung pula pada kemujuran kalian masing-masing.”

Sambil berpaling ke arah laki-laki di sebelah kiri, dia mulai bertanya :

“Di manakah Pek-locianpwe?”

Laki-laki si sebelah kiri itu menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian diurungkan.

“Sreert!” Seng Tiong-gak segera menggerakkan pedangnya melancarkan sebuah tusukan.

Laki-laki itu hanya merasakan wajahnya menjadi dingin, separuh potong hidungnya tahu-tahu sudah rontok ke tanah diiringi cucuran darah kental.

Seng Tiong-gak segera mengalihkan sorot matanya yang tajam itu ke atas wajah laki-laki yang di sebelah kanan, katanya :

“Sekarang kau yang haru menjawab, Pek-locianpwe berada di mana?”

Laki-laki di sebelah kanan itu memandang sekejap darah yang bercucuran dari sebagian hidungnya, kemudian menghela napas panjang.

“Ia berada di sebuah rumah petani, lebih kurang belasan li dari tempat ini,” sahutnya lirih.

Seng Tiong-gak alihkan pula sinar matanya ke arah laki-laki di sebelah kiri, lalu bertanya lebih jauh :

“Hayo jawab, luka apa saja yang telah diderita oleh Pek-locianpwe selama berada dalam sekapan?”

Sejak separuh hidungnya kena ditebas, laki-laki itu merasakan kesakitan yang luar biasa, tentu saja ia tak berani berkeras kepala lagi, buru-buru jawabnya :

“Ia tidak menerima siksaan apa-apa, cuma jalan darah bisunya tertotok, selama ini ia berada dalam keadaan tak sadar.”

Seng Tiong-gak kembali berpaling ke arah laki-laki di sebelah kanan sambil tanyanya :

“Berapa orang yang berjaga di tempat itu?”

“Lima orang !”

“Bagaimana dengan kepandaian silat yang dimilikinya?”

“Tidak terlalu jelek!”

Kemudian setelah melirik sekejap ke arah Tang Cuan dan Cu Siau-hong, ia melanjutkan :

“Andaikata dibandingkan dengan mereka berdua, maka kepandaian akan seimbang.”

Seng Tiong-gak berpaling kembali ke arah laki-laki di sebelah kiri, tanyanya lebih jauh :

“Sudah berapa lama kalian mengikuti Liong Thian-siang?”

“Tidak lebih dari tiga bulan!”

“Hanya tiga bulan?” Seng Tiong-gak keheranan.

“Benar!”

“Kalau begitu kalian bukan sekomplotan dengan Liong Thian-siang?” sela Tang Cuan dingin.

“Kami mempunyai delapan puluh orang saudara yang selama ini bergerak di sekitar wilayah Ho-lam sebelah timur dan Shoa-tang sebelah barat, tidak beruntung pada tiga bulan berselang kami telah berjumpa dengan Liong Thian-siang, memang kami agak teledor sehingga salah mengiranya sebagai seekor domba gemuk, baru saja akan turun tangan kepadanya, siapa tahu kami malah ketanggor batunya, dengan tangan kosong tak sampai seratus gebrakan hampir separuh anggota komplotanku kena dibunuh.”

“Oleh karena itu kalian rela takluk dan menjadi pengawal tandunya?” sambung Seng Tiong-gak.

“Benar! Waktu itu ia masih ada dua orang teman perjalanan, salah seorang di antaranya mengusulkan agar kami dibunuh semua saja, daripada meninggalkan bibit bencana dikemudikan hari, tapi Liong Thian-siang mengatakan bahwa kami bisa dipergunakan tenaganya dengan menjadikan kami semua sebagai anak buahnya, lagi pula kami pun dipaksa untuk mengangkat sumpah tak boleh berpikiran nyeleweng, jika berniat memberontak atau melarikan diri, maka bila ketahuan kami akan dibunuh tanpa ampun......”

“Kau bilang, ia mempunyai dua orang teman seperjalanan, manusia macam apakah kedua orang itu?” tanya Seng Tiong-gak cemas.

“Yang seorang adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan, sedangkan yang lain berusia dua puluh tahunan, mereka berdua sama-sama mengenakan baju berwarna hitam....”

Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya mencegah laki-laki di sebelah kanan itu berbicara lebih jauh seraya berpaling ke arah laki-laki di sebelah kiri, katanya :

“coba kau yang melanjutkan keterangan ini!”

“Setelah melakukan kami semua, keesokan harinya Liong Thian-siang berpisah dengan kedua orang rekannya, sedangkan ia membawa kami datang kemari, cuma Liong Thian-siang telah berjanji dengan mereka untuk berjumpa kembali di atas loteng Ui-hok-lo pada bulan satu tanggal lima belas tahun depan.”

“Bagaimanakah raut wajah kedua orang laki-laki berbaju hitam itu?”

“Laki-laki yang berusia empat puluh tahunan itu berperawakan sedang, memelihara jenggot pendek, wajahnya persegi lebar dengan alis mata yang tebal, ia tidak memiliki ciri-ciri yang khusus dan mencolok, berbeda sekali dengan pemuda itu, ia mempunyai tanda-tanda khusus yang mudah dikenali.”

“Apa ciri-cirinya?”

“Ia memiliki kulit badan sangat aneh, seluruh tubuhnya berwarna kuning emas.”

“Oooh.............!”

“Yang lebih aneh lagi, tubuhnya seperti memiliki sisik-sisik yang kuning yang tebal.”

“Mempunyai sisik? Jangan-jangan dia bukan manusia?”

“Jelas dia adalah manusia, bahkan wajahnya terlalu lumayan, di atas wajah maupun tangannya putih bersih dan halus, tapi dari batas pergelangan tangan ke atas lamat-lamat mempunyai sisik tebal yang memantulkan sinar tajam.”

“Omong kosong!” bentak Tang Cuan, “masa dalam dunia terdapat manusia macam begitu?”

“Setiap perkataan Siaute adalah sejujurnya,” buru-buru laki-laki di sebelah kiri itu berseru, “tidak sulit sebenarnya untuk membuktikan persoalan ini, asal pada bulan satu tanggal lima belas mendatang kalian berkunjung ke loteng Ui-hok-lo, hal ini akan segera diketahui.”

Seng Tiong-gak manggut-manggut, setelah termenung sebentar ia berkata kembali :

“Tang Cuan, kau tinggal saja di sini membantu Subo untuk merawat Suhu, sedang Siau-hong ikut aku menyelamatkan Pek-locianpwe, kemudian baru menyusun rencana lebih jauh.”

“Perkataan Sute memang benar,” kata Pek Hong pula sambil menahan sedih dalam hatinya, “usahakan dulu untuk menolong ayahku, dia orang tua memiliki pengalaman yang sangat luas, mungkin keterangannya bisa banyak memberi petunjuk kepada kita.”

Sekalipun ia sangat kuatir atas keselamatan ayahnya yang tersekap, tapi ia pun tak kalah sedihnya oleh luka suaminya yang parah, untuk sesaat ia menjadi serba salah dan tak tahu haruskah menolong ayahnya lebih dulu?

Atau menolong suaminya lebih dulu.

Tapi luka yang diderita Tiong Ling-kang memang terlampau parah, setiap saat luka tersebut mungkin akan mengalami perubahan di luar dugaan.

Karenanya setelah berpikir sejenak, Pek Hong memutuskan untuk tetap tinggal di sana mendampingi suaminya.

Seng Tiong-gak segera menotok jalan darah laki-laki di sebelah kiri itu dan katanya,

“Kau tetap tinggal di sini, sesudah menolong Pek-locianpwe nanti kami akan datang lagi untuk membebaskan dirimu..........”

Lalu kepada laki-laki di sebelah kanan katanya :

“Hayo, kita berangkat, tunjukkan tempat penyekapan tersebut!”

Cu Siau-hong yang selama ini membungkam, tiba-tiba menghembuskan napas panjang, lalu bisiknya lirih :

“Susiok, apakah perlu kita hantar dulu Suhu pulang ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng? Coba lihatlah, luka Suhu parah sekali.”

“Aku rasa tak perlu,” tukas Pek Hong cepat-cepat, “lukanya terlampau parah, dewasa ini lebih baik jangan bergerak-gerak dulu.”

Cu Siau-hong memberi hormat.

“Subo memang benar, Toa-suheng! Baik-baiklah merawat Suhu.”

Selesai berkata, bersama Seng Tiong-gak dan laki-laki berbaju hitam itu berangkatlah mereka meninggalkan tempat itu.

Memandang peluh sebesar kacang yang bercucuran membasahi sekujur tubuh Tiong Ling-kang, Pek Hong merasa sedih sekali hingga air matanya jatuh bercucuran.

Tiba-tiba Tang Cuan bertekuk lutut dan menjatuhkan diri di hadapan gurunya, kemudian dengan keras ia menempeleng wajah sendiri.

“Tang Cuan apa yang sedang kau lakukan,” tegur Pek Hong sambil menahan cucuran air matanya.”

“Kami menyesal kenapa tidak munculkan diri sejak tadi, kini Suhu terluka separah ini kami memang pantas mati.”

Pek Hong menghela napas panjang.

“Tang Cuan!” katanya lagi dengan lembut, “kau tak usah terlalu menyesali diri sendiri, jangankan kalian, aku yang berada di sampingnya pun sama saja tidak turun tangan.”

“Tecu pun merasa sedikit tercengang, mengapa Subo hanya berpeluk tangan saja.”

“Aku tak mampu menolongnya, selama banyak tahun ini kepandaian silat Suhumu telah memperoleh kemajuan yang amat pesat, aku sudah bukan tandingannya lagi, jika aku turun tangan, kemungkinan akan memecahkan perhatiannya malah.”

“Subo, benarkah ilmu silat yang dimiliki Liong Thian-siang lihay sekali?”

“Yaa, lihay sekali, setiap sambaran goloknya mungkin akan merenggut kita semua.”

“Andaikata aku pertaruhkan jiwaku dengan menerima tusukan goloknya, dapatkah Suhu membunuhnya?”

“Tidak dapat, kau sama sekali tak akan mampu untuk menghalanginya, karena itu kau meski turun tangan tidak lebih hanya akan mengorbankan jiwamu dengan percuma.”

“Ooo, kalau begitu meskipun kita turun tangan juga tak akan dapat membantu Suhu.”

“Yaa, sedikit pun tak bisa, maka kalian tak usah menyesal di hati, pun tak usah sedih bila ada orang yang mesti bersedih hati, maka orang itu seharusnya adalah aku.”

“Subo.......”

“Hayo, cepat bangun!” tukas Pek Hong.

“Tidak....... Tecu biar berlutut saja di sini!”

“Tang Cuan, jangan berlutut terus, perhatikanlah sekeliling tempat ini, mungkin masih ada musuh yang tertinggal di tempat ini.”

Tang Cuan segera menjadi sigap dan melompat bangun.

“Benar juga perkataan Subo!” katanya.

Dengan pedang terhunus ia melakukan pemeriksaan dulu di sekeliling tempat itu, kemudian baru kembali ke tempat semua dan berdiri serius di situ sambil mengawasi empat penjuru.

Air mata Pek Hong bercucuran terus tiada hentinya, tapi ia tak berani menangis hingga bersuara.

Luka yang di derita Tiong Ling-kang telah diteliti dengan seksama, luka tersebut memang cukup parah.

Waktu berlalu dengan lambat dalam penantian.

Tang Cuan gelisah, Pek Hong lebih gelisah, tapi mereka tidak berbicara lagi.

Kurang lebih satu jam kemudian, Seng Tiong-gak dan Cu Siau-hong baru kelihatan muncul di sana.

Cu Siau-hong berlari sambil membopong seorang kakek, dia adalah Pek Bwee ayah Pek Hong.

Cepat Pek Hong membesut air matanya, lalu bertanya :

“Apa jalan darah ayahku telah dibebaskan?”

Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya berulang kali.

“Siaute telah mencoba dengan dua macam ilmu totokan yang berbeda, tapi jalan darah Pek-locianpwe belum terbebas juga, karenanya Siaute tak berani gegabah lagi.”

“Kalau begitu, ayah tentu sudah ditotok oleh suatu macam ilmu totokan khusus!” kata Pek Hong sambil tertawa sedih.

“Hembusan napas Pek-locianpwe masih ada, ini membuktikan kalau ia masih hidup, mari kita pulang dulu ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng, kemudian baru mencari cara lain untuk membebaskan totokan jalan darah di tubuh Locianpwe.”

“Yaa, terpaksa kita memang harus berbuat demikian!” Pek Hong manggut-manggut.

“Enso, bagaimana dengan keadaan luka Suheng?” Seng Tiong-gak bertanya setengah berbisik.

Pek Hong gelengkan kepalanya berulang kali.

“Lukanya parah sekali, entah obat mujarab milik kita dapat menyembuhkan lukanya itu atau tidak?”

“Enso, kalau memang begitu kenapa kau tidak kau mengajaknya pulang ke perkampungan? Luka Suheng begitu parah, hayolah kita pulang ke Ing-gwat-san-ceng sambil usahakan pertolongan.”

“Aaai.........!” Pek Hong menghela napas panjang, “terus terang saja, lukanya terlampau parah, sudah beratus kali pertarungan sengit yang pernah kualami selama berkelana dalam dunia persilatan dulu, tapi belum pernah kujumpai pertarungan seperti ini.”

“Maksud Enso..........”

“Berhubung luka yang dideritanya terlampau parah, aku tak berani menggerakkan tubuhnya secara gegabah, sebab salah-salah mungkin akan merenggut selembar jiwanya.”

“Ooh! Jadi kalau begitu...”

“Dapatkah ia mempertahankan diri, hal ini tergantung pada kesempurnaan tenaga dalam serta kemujurannya.”

“Enso, apa maksud ucapanmu itu?”

“Aku kuatir tusukan itu telah menembus ulu hatinya, meski darah yang mengalir sekarang sudah berhenti, tapi aku curiga kalau berhentinya aliran darah itu lantaran ia menutup mulut lukanya dengan mengandalkan hawa murni yang sempurna, oleh sebab itulah aku tak berani sembarangan menggeserkan tubuhnya.”

“Tapi..... Enso, kita toh tak bisa berdiam terus di sini untuk selamanya......”

No comments: