Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 11

Oleh : Tjan ID

Belum lagi Ouyang Siong sempat berbicara, Tang Cuan telah menukas dengan cepat :

“Tan-cianpwe, tolong berilah kesempatan ini kepada Boanpwe.”

Tan Tiang-kim berpaling dan memandang sekejap ke arah Pek Bwe, lalu serunya :

“Pek-heng, Tang-ciangbunjin.......!”

“Saudara Tan, biarkan anak-anak muda itu mencoba kepandaiannya,” tukas Pek Bwe cepat, “sekalipun kalah juga bukan terhitung suatu kejadian yang memalukan, apalagi kita berdiri di sampingnya, tak mungkin dia akan terluka.”

“Kalau memang Pek-heng berkata demikian, aku si pengemis tua akan turut perintah.”

Tang Cuan segera menggerakkan pergelangan tangan kanannya dan meloloskan pedang Cing-peng-kiam itu dari sarungnya.

“Ouyang Siong, kau boleh meloloskan senjatamu!” katanya.

“Ciangbunjin,” Seng Tiong-gak segera berbisik, “kau sebagai seorang ketua dari perguruan mana boleh turun tangan secara sembarangan, bagaimana kalau serahkan saja pertarungan babak ini kepadaku?”

Tang Cuan menggelengkan kepalanya berulang kali.

“Aku adalah murid pertama dari Bu-khek-bun, mana boleh melarikan diri setelah di medan laga? Susiok, penuhi harapanku ini! Kalau aku tak sanggup nanti, Susiok boleh menggantikan kedudukanku.”

“Yaa, bagaimanapun Pek Bwe, Tan Tiang-kim sekalian melindunginya dari sisi arena, tak mungkin dia sampai terluka parah,” pikir Seng Tiong-gak kemudian.

Karena berpikir demikian, dia pun tidak mencegah lebih jauh.

Ouyang Siong merasa serba susah, sekalipun kedudukan Tang Cuan dalam perguruan Bu-khek-bun adalah seorang ketua, tapi dalam dunia persilatan ia masih belum punya nama maupun kedudukan, sedikit pun menangkan pertarungan ini dia tak bakal gagah, kalau sampai kalah jelas nama dan kedudukannya akan terpengaruh, sekalipun berakhir seri misalnya, dia juga akan turun gengsi.

Sementara ia masih serba salah, tiba-tiba Ti Thian-hua melayang datang dari sisi tubuhnya, sambil menggoyang-goyangkan kipasnya yang satu jengkal delapan inci itu, katanya,

“Tang Cuan, kau masih belum pantas untuk bertarung melawan Ouyang-cianpwe, biar Cayhe saja yang menemanimu bermain beberapa gebrakan.”

“Apa kedudukanmu?” tegur Tang Cuan dingin.

“Persoalan ini menyangkut soal mati hidup,” tukas Ti Thian-hua, “kita harus menentukan menang kalah dari ilmu silat dan mati hidup di ujung senjata, jangan gampangnya jabatan ciangbunjinmu itu, terus terang saja, seluruh Bu-khek-bun masih belum berada dalam pandanganku.”

“Sombong amat kau!”

“Aaah, sama-sama, sama-sama!”

Kipasnya segera digerakkan menotok dada Tang Cuan.

Tang Cuan mendengus dingin, pedang Cing-peng-kiamnya diangkat dan menangkis datangnya serangan kipas itu.

Cu Siau-hong ingin turun tangan, tapi ia segera dihalangi oleh Pek Bwe.

Sebagai seorang pemuda yang pintar, dengan cepat dapat dipahami olehnya akan maksud hati Pek Bwe, dia kuatir jika sampai dirinya turun tangan Ouyang Siong akan menaruh perhatian kepadanya, jika ia sampai menemukan sesuatu darinya, bisa mengakibatkan terpengaruhnya semua rencana yang telah tersusun.

Dalam pada itu, pertarungan yang berlangsung telah meningkat dalam keadaan yang amat seru.

Kipas Ti Thian-hua sebentar terbentang sebentar menutup, sebentar menotok sebentar menepas, semua perubahannya aneh dan di luar dugaan, ditambah pula permukaan kipas yang lebar satu permukaan berwarna putih salju, permukaan lain berwarna merah darah.

Yang merah mencolok mata yang putih menyilaukan mata, akibatnya sinar-sinar pantulan itu menciptakan suatu pengaruh yang luar biasa bagi gerakan lawan.

Akibatnya, dalam waktu singkat Tang Cuan terdesak mundur sejauh tiga langkah lebih, hampir saja ia terluka di ujung kipas lawan.

Pek Hong yang menyaksikan peristiwa itu merasakan jantungnya berdebar keras, sedangkan Seng Tiong-gak mulai meraba gagang pedangnya.

Tang Cuan adalah seorang ciangbunjin dari perguruan Bu-khek-bun, jika sekali bertarung dia sudah dikalahkan orang, terhadap Bu-khek-bun peristiwa ini merupakan suatu penghinaan yang sangat besar.

Tapi, bagaimanapun juga dia adalah murid utama hasil didikan Tiong Ling-kang, sekalipun untuk sesaat ia dibikin bingung oleh perubahan-perubahan jurus aneh dari kipas Siu-lo-san, namun kejadian itu tidak membuatnya menjadi gugup, setelah mundur sejauh tiga langkah, pedang Cing-peng-kiam itu segera melakukan perubahan yang sangat cepat.

Tampak cahaya tajam berkilauan, dalam sekejap mata sudah tercipta selapis daya pertahanan yang kuat, posisi yang semula terdesak pun lambat laun bisa teratasi.

Cu Siau-hong adalah seorang manusia berbakat bagus, ia bisa dalam ilmu sastra pandai pula dalam ilmu silat, sebaliknya Tang Cuan adalah seorang jago yang bersifat ulet dan tangguh, setiap jurus setiap gerakan dari ilmu pedang Cing-peng-kiam tersebut boleh dibilang telah dikuasai sepenuhnya.

Berbicara dalam soal ilmu pedang Cing-peng-kiam saja, Cu Siau-hong masih kalah tiga bagian bila dibandingkan dengan Ciangbun-suhengnya ini....

Jurus pedang yang mantap, gerakan tangan yang sederhana, tapi justru dari setiap gerakan dan jurus serangan tersebut terpancarkan suatu kekuatan serta daya penghancur yang luar biasa.

Sepuluh gebrakan kemudian, Tang Cuan telah berhasil menguasai kembali posisinya yang semula runyam.

Jurus silat dari Ti Thian-hua justru jauh berbeda dari pada Tang Cuan.

Terlihatlah jurus-jurus serangan kipasnya aneh sekali, sebentar berwarna merah sebentar putih, sebentar menebas sebentar membacok, ternyata sebuah senjata kipas dapat dipakai sebagai pedang, pit, dan lain sebagainya dalam genggamannya, ia boleh dibilang lihay dan hebat sekali.

Pertarungan ini menarik ditonton, tapi justru merupakan suatu pertarungan sengit yang mendebarkan sukma.

Di satu pihak serangan-serangannya gencar dengan aneka kombinasi yang menyesatkan pikiran.

Di pihak lain serangan-serangannya datar, sederhana tapi mantap dengan kekuatan yang meyakinkan, pertahanannya ibarat sekokoh batu karang.

Baik pihak musuh maupun pihak kawan yang mengikuti jalannya pertarungan itu, diam-diam merasa hatinya bergetar keras.

Dengan suara berbisik Tan Tiang-kim berkata :

“Saudara Pek, murid ahli waris dari Tiong-buncu ini betul-betul hebat, permainan Cing-peng-kiamnya begitu hidup seakan-akan Tiong-buncu sendiri yang melakukan permainan itu, hebat, sungguh hebat sekali!”

Pek Bwe sendiri pun merasa agak tenang, dia tidak mengira kalau keberhasilan Tang Cuan sudah mencapai tingkatan sejauh itu, sambil tertawa katanya :

“Tan-heng terlalu memuji, ilmu pedang bocah ini memang telah memperoleh seluruh inti kekuatan dari Ling-kang, cuma sayang pengalamannya dalam menghadapi musuh masih cetek, sehingga waktu pertarungan untuk yang pertama kalinya hampir saja ia terluka oleh kipas Siu-lo-san lawan.

“Permainan kipas Siu-lo-san dari bocah she Ti itu lumayan juga,” ujar Tan Tiang-kim lagi, “sekalipun aku turun tangan sendiri, belum tentu ia bisa kukuasai, hebat benar bocah muda itu, entah ia berasal dari perguruan mana?”

“Dalam dunia persilatan dewasa ini hanya Pat-pit-sin-mo (iblis sakti berlengan delapan) seorang yang mempergunakan kipas Siu-lo-san, tapi sudah hampir tiga puluh tahun ia mengundurkan diri dari keramaian dunia persilatan.”

“Aku rasa dia tidak mirip dengan ahli waris Pat-pit-sin-mo, pada tiga puluh tahun berselang aku pernah bertarung dengan Pat-pit-sin-mo, setelah bertarung sengit selama seharian penuh pada jurus yang kedua ribu aku baru berhasil mengalahkan dirinya, itulah sebabnya kesanku atas ilmu kipas iblis tersebut sangat dalam, kalau berbicara dari perubahan ilmu kipas dari bocah muda ini kelincahannya seperti jauh melebihi iblis tua itu.”

“D dalam kipas Siu-lo-san milik Pat-pit-sin-mo disembunyikan sembilan batang tulang kipas yang amat tajam, bila sedang bertarung, bisa dipakai untuk melukai orang, aku lihat bocah ini terlalu licik dan berbahaya, siapa tahu dibalik kipasnya masih ada permainan lain, kita harus memperingatkan Tang-ciangbunjin agar waspada,” bisik Hay Yok-wong lirih.

Pek Bwe manggut-manggut.

“Betul! Tang Cuan terlalu jujur dan polos, ia tak pernah berpikiran curang, ia pasti tak akan menduga atas kelicikan orang-orang dunia persilatan.....”

Berbicara sampai sini, dengan suara yang keras dia lantas berseru :

“Tang Cuan, hati-hati, kemungkinan besar di balik kipas lawan, tersembunyi tulang-tulang kipas yang bisa disampit keluar.”

Dalam pada itu daya kekuatan dari ilmu pedang Cing-peng-kiam yang dimainkan Tang Cuan kian lama kian bertambah tangguh, lamat-lamat ia sudah mulai melepaskan posisi bertahan untuk mengembangkan jurus-jurus serangan.

Mendengar seruan itu, dia lantas menjawab,

“Terima kasih banyak atas peringatan dari Cianpwe, Tecu pasti akan berhati-hati.”

Sementara di pihak sini berbisik-bisik, di pihak lain Ouyang Siong juga sedang berbisik-bisik dengan Lu Peng, katanya,

“Saudara lu, ilmu pedang bocah ini lumayan juga, tampaknya kesempatan bagi Ti-sau-heng untuk meraih kemenangan tipis sekali.”

“sungguh di luar dugaan, ternyata ilmu pedang yang dimiliki Tiong Ling-kang semasa hidupnya cuma begini saja!” kata Lu Peng.

Boan-ko-hui-hoa berbisik pula :

“Tampaknya, kita memang sudah terlalu memandang rendah perguruan Bu-khek-bun.”

“Sebelum meninggal, Tiong Ling-kang menyerahkan jabatan ciangbunjin itu kepadanya, itu berarti bocah ini adalah jago yang paling lihay dalam perguruan Bu-khek-bun sekarang.”

“Konon masih ada seorang she Cu yang katanya hebat juga,” Kiau Hui-nio menambahkan.

“Aaah......... sekalipun lumayan, paling-paling juga tak akan lebih hebat dari bocah she Tang itu.” jengek Lu Peng sinis.

“Kelihaian ilmu silat Ti Thian-hua pun jauh di luar dugaanku,” sambung Ouyang Siong.

“Saudara Ouyang,” kata Kiau Hui-nio, “menurut pendapatmu, siapa yang bakal menangkan pertarungan ini?”

“Kecuali Ti Thian-hua masih memiliki jurus tangguh, rasanya kesempatan baginya untuk meraih kemenangan sudah tidak terlalu besar lagi.”

“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?” bisik Kiau Hui-nio sambil merendahkan suaranya.

“Ti Thian-hua telah membendung Tang Cuan, aku percaya masih sanggup menghadapi Tan Tiang-kim, Lo Lu menghadapi Hay Yok-wong, dan kau..... sanggup tidak menghadapi Pek Bwe?”

“Untuk menghadapi Pek Bwe mah aku tidak yakin, tapi untuk menghadapi Pek Hong, aku yakin masih mampu untuk memakannya.”

“Kalau kau yakin bisa mencaplok Pek Hong, nanti tantang saja diri Pek Hong, bagaimanapun kau toh harus mencari seorang lawan!”

“Urusanku tak perlu kau kuatirkan, tapi kekuatan lawan tampaknya kuat sekali, kita sepertinya sudah kalah setingkat dari mereka.”

Ouyang Siong tertawa hambar.

“sekalipun kita tak bisa menangkan mereka, kita toh masih mampu untuk angkat kaki.”

Sementara itu, pertarungan antara Ti Thian-hua melawan Tang Cuan makin lama berkobar semakin menegangkan.

Sekarang Tang Cuan tidak melulu bertahan belaka, pedang Cing-peng-kiamnya sudah mulai melakukan serangan-serangan yang gencar di samping pertahanan yang tangguh.

Serangan-serangan kipas Siu-lo-san dari Ti Thian-hua pun tidak mengendur lantaran serangan balasan dari Tang Cuan, jadinya kedua belah pihak saling menyerang dan saling menyerobot dengan gencarnya.

Tapi berbicara soal keadaan posisi, Tang Cuan telah berhasil mengokohkan pertahanannya, sekalipun belum bisa dikatakan dari kalah menjadi menang, tapi untuk bertahan dalam posisi seimbang pun sudah lebih dari cukup.

Ketika Tan Tiang-kim menyaksikan Tang Cuan bukan saja berhasil memperbaiki posisinya dari keadaan terdesak menjadi keadaan seimbang, bahkan lamat-lamat kekuatan daya serangannya makin menghebat, diam-diam timbul juga rasa kagumnya terhadap kebolehan pemuda itu.

Setelah hatinya menjadi lega, dia pun mengalihkan sorot matanya ke wajah Ouyang Siong sambil berkata dengan nada dingin :

“Ouyang Siong, sudah lama aku dengar orang bilang bahwa ketujuh jurus ilmu Siu-hun-jiu-hoat mu luar biasa ganasnya dan belum pernah menjumpai tandingan, hari ini aku si pengemis tua ingin menjajalnya, apakah kau bersedia memberi petunjuk?”

“Dalam Kay-pang Su-lo, Cian-li-to-heng menempati urutan ke dua, sudah lama Siaute pun mengagumi nama besarmu.”

“Bagus sekali, kalau begitu hari ini kita masing-masing bisa memenuhi harapan hati.”

Dengan suatu lompatan kilat ia menerjang ke sisi Ouyang Siong, kemudian telapak tangannya di ayun ke muka melepaskan sebuah serangan gencar.

Di balik serangan itu terbawalah segulung tenaga serangan yang sangat kuat dan tajam.

“Suatu serangan yang bagus!” puji Ouyang Siong.

Telapak tangan kanannya segera diayunkan ke muka menyambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras.

“Blaam........!” di tengah benturan keras yang memekikkan telinga, masing-masing pihak terdorong selangkah.

Tidak menunggu Ouyang Siong melepaskan serangan balasan, Tan Tiang-kim segera mendorong kembali sepasang telapak tangannya melepaskan tiga buah serangan berantai.

Dengan ujung baju berkibar terhembus angin, secara manis Ouyang Siong melepaskan diri dari ketiga buah serangan itu.

Pada saat itulah Hay Yok-wong maju dua langkah ke depan sambil berseru.

“Orang she Lu, kita tak usah menonton terus, bagaimana kalau kau temani aku untuk bermain beberapa gebrakan?”

“Tentu saja akan kutemani ku dengan senang hati,” jawab Lu Peng sambil mengelus jenggot kambingnya.

“Weess...............!” sebuah pukulan gencar dilontarkan ke muka.

Dua jago itu segera terlibat dalam suatu pertarungan yang amat seru.

Boan-ko-hui-hoa Kiau Hui-nio tertawa terkekeh-kekeh katanya :

“Tiong-hujin, konon ilmu silatmu mendapat warisan dari ayahmu, kemudian peroleh pula ajaran dari Tiong Ling-kang, sudah pasti kehebatanmu luar biasa, Siau-moay tak becus, ingin sekali mohon beberapa petunjuk dari Hujin.”

“Kiau Hui-nio!” kata Pek Hong dingin, “konon kau berjulukan Boan-ko-hui-hoa, ilmu menjilat pantatmu hebatnya tiada tandingan, hari ini mataku baru betul-betul melek.”

“Oooh...... itu mah belum hebat, kalau bukan mulut bisa membunuh orang, itu baru luar biasa namanya.”

“Sayang, aku tidak doyan dengan permainan semacam itu, manusia munafik lain di muka lain di hati, mungkin manusia semacam kau itulah yang dimaksudkan.”

Kiau Hui-nio segera tertawa terkekeh-kekeh.

“Tiong-hujin, kenapa tidak kau coba sendiri, lihatlah apakah aku Kiau Hui-nio benar-benar cuma lihay dalam kepandaian mulut belaka.”

Pelan-pelan Pek Hong maju ke depan, sambil menghampiri lawannya dia berseru :

“Aku memang ingin mencoba kelihaianmu itu!”

Kiau Hui-nio enggan didahului Pek Hong, dia segera turun tangan, sebuah totokan dilancarkan secepat kilat.

Pek Hong betul-betul sudah menguasai delapan sembilan puluh persen kepandaian dari Pek Bwe, setelah menikah dengan Tiong Ling-kang, ia pun melatih secara tekun ilmu pedang Bu-khek-bun.

Itulah sebabnya kehebatannya ada di ujung pedang.

Tapi sekarang Kiau Hui-nio tidak meloloskan pedang, terpaksa dia harus layani serangan orang dengan tangan kosong.

Meskipun pertarungan dilangsungkan dengan tangan kosong, namun jari tangan dan kepalan saling menyambar, pertarungan itu betul-betul dilangsungkan amat seru.

Dengan terjunnya empat orang jago itu, sekarang tinggal Pek Bwe, Seng Tiong-gak, dan Cu Siau-hong tiga orang yang belum dapat pasangan.

Pek Bwe sadar, kecuali Ouyang Siong, di sekeliling gedung itu masih tersembunyi banyak jago, tapi oleh karena pihak lawan tak mau menampakkan diri, otomatis mereka pun tak bisa berbuat apa-apa.

Dengan demikian, dari empat rombongan yang sedang bertarung, tiga rombongan bertarung dengan tangan kosong.

Hanya Ti Thian-hua serta Tang Cuan yang bertarung dengan mempergunakan senjata tajam.

Tapi keseruan pertarungan dengan tangan kosong sama sekali tidak di bawah pertarungan dengan senjata, pertarungan-pertarungan itu dilangsungkan dalam jarak dekat, semua pukulan dan totokan tertuju pada bagian-bagian mematikan di tubuh lawan.

Dalam waktu singkat, seratus jurus telah lewat, namun keadaan tetap seimbang.

Kiau Hui-nio memang bukan cuma hebat dalam bibir saja, kepandaian silatnya ternyata hebat juga.

Meski demikian, ia masih merasa telah salah memilih pasangan, kenyataan menunjukkan bahwa ilmu silat Pek Hong sangat luas dengan perubahan yang tak terhitung jumlahnya, ia benar-benar telah menguasai ilmu silat dari dua keluarga.

Seratus jurus kemudian, Kiau Hui-nio mulai kateter di bawah angin.

Bukan dia saja, dalam kenyataan setelah lewat seratus jurus, baik Ouyang Siong maupun Ti Thian-hua sekalian kena terdesak pula sehingga berada dalam posisi yang sangat terdesak.

Hal ini bukan dikarenakan ilmu silat mereka terlalu cetek, melainkan karena musuh mereka yang terlampau lihay.

Secara beruntung Ouyang Siong telah menggunakan tiga jurus ilmu Siu-hun-jiu-hoatnya yang hebat, tapi semuanya kena dibendung oleh Tan Tiang-kim. Hal ini membuat dia tak sanggup lagi untuk mempergunakan jurus-jurus berikutnya.

Sekalipun demikian, tiga jurus ilmu Siu-hun-jiu-hoat tersebut cukup mendatangkan perasaan was-was bagi Tan Tiang-kim.

Tujuh jurus ilmu Siu-hun-jiu-hoat dari Ouyang Siong disebut sebagai salah satu ilmu sakti dalam dunia persilatan, ini terbukti kepandaian tersebut memang benar-benar memiliki daya penghancur yang dahsyat.

Seandainya ketujuh jurus ilmu Siu-hun-jiu-hoat itu digunakan secara beruntun, Tan Tiang-kim sendiri pun merasa ragu apakah dia sanggup untuk menyambutnya atau tidak.

Berpikir demikian, ilmu pukulannya segera berubah, dia gunakan tujuh puluh dua jurus ilmu pukulan Liong-ing-ciang yang dikombinasikan dengan dua belas jurus Ki-na-jiu-hoat.

Itu berarti cepat dan lincah digunakan bersama dalam kekuatan yang keras dan lunak.

Apabila bukan menjumpai seorang musuh yang tangguh, jarang sekali Tan Tiang-kim menggunakan kepandaian tersebut.

Serangkaian serangan berantai yang dilancarkan secara beruntun memaksa Ouyang Siong berada di bawah angin.

Tenaga dalam dari Lu Peng meski tidak sanggup menandingi kesempurnaan Hay Yok-wong, namun untuk bertahan sebanyak dua tiga ratus jurus masih bukan suatu persoalan baginya.

Tapi ia terburu napsu, begitu turun tangan, ia telah beradu tenaga sampai lima kali dengan Hay Yok-wong, suatu adu kekerasan yang dilakukan dengan daging beradu daging, tulang beradu tulang.

Padahal ilmu yang dipelajari Hay Yok-wong adalah Lok-han-khikang, meski berjiwa keras namun ilmu itu dilatih dari dalam mencapai luar.

Sebaliknya ilmu pukulan Poh-san-kun dari Lu Peng justru termasuk ilmu tenaga luar.

Setelah terjadi lima kali adu kekerasan, Lu Peng baru merasa tulang tangan kanannya sakit dan terluka, tapi ia tak berani mengutarakannya keluar, sambil menggigit bibir pertarungan dilangsungkan lebih jauh.

Sebenarnya dia bermaksud mengandalkan kehebatan dari tenaga serangannya untuk melukai lawan, siapa tahu malah sebaliknya dia sendiri yang menderita akibatnya.

Ketika pertarungan telah berlangsung mencapai seratus jurus, tiba-tiba Hay Yok-wong mengeluarkan delapan belas jurus Lo-han-kunnya untuk meneter lawan, jurus demi jurus dilancarkan langsung ke tubuh lawan, ia mengejar dan mendesak musuhnya habis-habisan.

Di dalam serangannya itu ia telah pergunakan semua inti kekuatan yang dimilikinya, secara beruntun tiga jurus serangan dilancarkan sekaligus dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.

Lu Peng bermaksud menghindarkan diri dari jurus ketiga lawan, Hui-kan-cong-ciong (tiang terbang menumbuk genta), sayang tak mampu, terpaksa ia harus menyambutnya dengan keras lawan keras.

Dengan luka di tulang yang belum sembuh, mana mungkin ia sanggup untuk menerima pukulan Hay Yok-wong yang ibaratnya penghancur batu nisan ini? Kontan saja tulang jari tangan kanannya remuk dan hancur, ia menjerit kesakitan lalu cepat-cepat mundur sejauh lima langkah.

Walaupun rasa sakit karena remuknya tulang membuat ia kehilangan daya kemampuan untuk bertarung terus, bukan berarti tenaga dalamnya mengalami kerugian. Sambil menghimpun tenaga ia melompat ke atas atap rumah, kemudian tanpa menyapa Ouyang Siong sekalian, dia melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.

Di pihak lain Ouyang Siong juga telah didesak sehingga hanya mampu bertahan belaka, serangkaian pukulan kilat dari Tan Tiang-kim memaksa Ouyang Siong tak mampu untuk menggunakan ilmu Siu-hun-jiu-hoatnya lagi.......

Ketika mendengar jerit kesakitan dari Lu Peng tadi, pikirannya menjadi bercabang, sedikit kurang berhati-hati, sebuah pukulan dari Tan Tiang-kim dengan telak menghajar di atas bahu kirinya.

Di balik serangannya itu mengandung pula ilmu Ki-na-jiu dan ilmu meremukkan tulang, begitu terhajar tadi kontan saja tulang persendian pada bahu kiri Ouyang Siong terlepas dari sendinya, ini membuat peluh dingin mengucur keluar saking sakitnya.

Tapi Ouyang Siong adalah seorang jago kawakan yang cukup berpengalaman, bagaimanapun sakitnya luka pada bahu kirinya, tidak membuat pikiran bercabang, sepasang kakinya melancarkan serangkaian tendangan berantai untuk menghalau serangan Tan Tiang-kim, kemudian sekali berjumpalitan, ia sudah menggelinding ke sudut halaman rumah.

Agaknya hawa pembunuhan sudah menyelimuti wajah Tan Tiang-kim, ia berhasrat untuk menahan nyawa Ouyang Siong di sana, maka ia pun berjaga-jaga kalau musuhnya sampai kabur ke atas atap rumah.

Semisalnya ia melompat ke udara tadi, sudah pasti Tan Tiang-kim akan melepaskan pukulan yang dipersiapkan itu ke tengah udara.

Siapa tahu, dengan kedudukan Ouyang Siong dalam dunia persilatan, ternyata ia berani menggelinding ke tempat gelap.

Baru saja akan memberi tanda kepada Pek Bwe untuk mengepung dari kedua belah sisi mendadak Ouyang Siong melejit ke udara dan melarikan diri ke balik kegelapan sana.

Melihat itu, Kiau Hui-nio segera berseru dengan suara merdu,

“Nona Pek Hong, Enciku yang baik, kau mengajak aku bertarung mati-matian, apakah kau bermaksud hendak merenggut nyawa Siau-moay?”

Di mulut dia berkata, sepasang tangannya dilancarkan serangkaian serangan berantai, ini memaksa Pek Hong terdesak mundur dua langkah, menggunakan peluang itu dia lantas melompat ke atas atap rumah untuk melarikan diri.

Ti Thian-hua segera membentangkan pula kipas Siu-lo-sannya, dua cahaya tajam berkilauan melesat keluar dari balik kipas, sedang tubuhnya menggunakan kesempatan itu melompat ke udara dan melarikan diri dari tempat itu.

Menanti Tang Cuan sadar Ti Thian-hua sudah berada dua kaki jauhnya dari sana.

Pek Hong hendak mengejar, tapi dicegah oleh Pek Bwe, katanya :

“Mereka kabur menuju ke arah yang sama, mustinya di sana ada jebakan yang telah diatur, jangan dikejar.”

“Sungguh menyesal aku,” seru Pek Hong sambil menggigit bibir, “coba kalau kugunakan pedang, ia pasti tak akan lolos dari cengkeramanku.”

“Tecu amat menyesal, musuh berhasil melarikan diri,” kata Tang Cuan pula.

“Tang-ciangbunjin!” kata Hay Yok-wong, “sikapmu dalam menghadapi musuh sudah cukup mendapat pujian dari kami semua. Kungfu bocah she Ti itu tidak terhitung lemah, Siu-lo-san merupakan pula senjata aneh yang tersohor dalam dunia persilatan. Tapi ia toh masih dikalahkan oleh pedang Cing-peng-kiam mu, ditambahkan lagi kusaksikan Bu-khek-bun memiliki ahli waris yang begini tangguh, di kemudian hari perguruan kalian pasti akan jaya kembali.”

“Aaai......... tak mampu membalaskan dendam buat kematian para Sute, Boanpwe betul-betul amat menyesal!”

Tan Tiang-kim menghembuskan napas panjang, selanya,

“Siapa pun tak perlu merasa menyesal, hasil yang berhasil kita raih pada malam ini sudah cukup besar, sekarang kita boleh pulang ke rumah.”

Pek Hong menjadi tertegun, dia ingin membantah, tapi segera dicegah oleh Pek Bwe dengan kerdipan mata.

Sepanjang jalan, Pek Bwe tidak berbicara. Seng Tiong-gak, Tang Cuan sekalian juga tidak berbicara, mereka balik ke dalam gedung.

Tan Tiang-kim dan Hay Yok-wong menghantar Pek Bwe sekalian sampai ke ruang dalam, setelah itu Tan Tiang-kim baru mendehem pelan seraya berkata :

“Hong-titli, kau merasa tidak puas bukan dengan sikapku yang pulang tanpa membawa hasil apa-apa?”

“Boanpwe hanya merasa sepantasnya kalau kita melakukan pengejaran, baik buruk kita musti mencari akal untuk menangkap satu dua orang di antara mereka untuk mengorek keterangan.”

“Sepintas lalu permintaanmu itu seperti masuk di akal, cuma kalau dipikir lebih ke dalam harapan ini tipis sekali!” ujar Tan Tiang-kim dengan tersenyum.

“Satu lawan satu tentu susah diwujudkan, tapi kalau kita bekerja sama untuk mengejar satu sasaran saja, aku percaya untuk menangkap mereka masih bukan suatu masalah yang susah.”

Tan Tiang-kim segera tertawa, kembali ia berkata :

“Pertama, arah yang mereka ambil sewaktu melarikan diri sama semua, sudah pasti di sekitar sana telah diatur persiapan dan jebakan untuk menantikan kedatangan kita, kecuali Ouyang Siong berempat yang turun tangan di situ tiada orang lain, ini membuktikan kalau di sekitar sana ada jebakan. Kedua, sekalipun kita berhasil menang, kemenangan kita hanya terletak pada kemampuan yang setingkat lebih hebat, sekalipun mereka kena dipaksa untuk melanjutkan pertarungan mungkin yang akan terjadi hanya suatu pertarungan sengit. Aaai! Kehebatan kungfu mereka berempat sedikit ada di luar dugaanku.”

Pek Hong termenung sebentar tanpa berbicara, kemudian dia hanya manggut-manggut.

Waktu itu, meski ia beranggapan bila meloloskan senjata mungkin bisa menawan Kiau Hui-nio, tapi setelah sekarang dipikir kembali, terutama ilmu meringankan tubuh Kiau Hui-nio sebelum melarikan diri, ia merasa bicara soal ginkang dia memang masih belum mampu untuk menyusul orang lain..

Tan Tiang-kim tertawa, katanya lebih jauh.

“Kalian semua tahu, Kay-pang tersohor dalam dunia persilatan karena ketajaman mata dan pendegarannya, oleh karena itu kecuali malam ini juga mereka kabur dari kota Siang-yang, dengan kemampuan mereka akan tempat memondok mereka pasti dapat ditemukan oleh anggota kami.”

“Seandainya mereka meninggalkan kota Siang-yang?” tanya Pek Hong tiba-tiba.

“Kalau sampai demikian, persoalan menjadi agak susah, cuma setelah Ouyang Siong, Lu Peng, serta Kiau Hui-nio munculkan diri, itu berarti jejak mereka masih bisa dilacaki, tidak kuatir mereka bisa kabur ke atas langit.”

Ia melirik sekejap ke wajah Pek Bwe, kemudian melanjutkan :

“Pek Hong, bagaimana pendapatmu tentang bocah muda she Ti itu?”

“Ilmu kipas Siu-lo-san iya sangat lihay dan hebat, meski ilmu pedang Tang Cuan mantap dan ketat, bagaimanapun perubahan dan kelincahan yang dilakukan ternyata masih berada di bawah lawan.”

“Soal ini Tecu juga memahami!” kata Tang Cuan, senjata lawan seakan-akan bisa menerobos masuk dari setiap celah yang ada, perubahannya yang begitu gesit lincah sungguh membuat aku rada kewalahan.”

“Tang-ciangbunjin, kau jangan terlalu meremehkan kekuatan sendiri,” kata Hay Yok-wong, “kepandaianmu yang di tengah kesederhanaan tersembunyi kelincahan serta ilmu pedang yang mantap dan kuat bau merupakan suatu kewibawaan sebagai seorang ciangbunjin, sekalipun orang she Ti itu memiliki banyak kemampuan, tapi kau toh tetap di atas angin, jika pertarungan itu dilanjutkan sudah pasti dia akan kehabisan daya.”

“Malam ini kita merasa amat tenteram,” ucap Tan Tiang-kim, bukan saja kita telah menemukan betapa kuatnya kekuatan musuh, kita pun membuktikan juga tekat kita yang kuat.”

“Tan-cianpwe, aku tahu untuk sesaat memang tak mampu membalaskan dendam bagi kematian suamiku, tapi aku tak bisa tidak harus mengerahkan segenap kekuatan untuk menyelamatkan It-ki,” kata Pek Hong.

“Aku dapat memahami perasaanmu, itulah sebabnya aku si pengemis tua telah memutuskan satu hal.”

“Soal apa?”

Dengan wajah serius Tan Tiang-kim menjawab :

“Kecuali Pangcu kami dapat menyusul kemari dengan membawa jago-jago lihay kami, kekuatan yang kita miliki sekarang hanya bisa dihitung setingkat lebih tangguh dari pada Ouyang Siong sekalian, masih ada jago macam apa lagi di pihak lawan? Kita toh tidak tahu, itulah sebabnya aku si pengemis tua bertekad akan bekerja sama dengan orang-orang Pay-kau.”

“Bagus sekali,” seru Pek Bwe sambil tertawa, “sudah lama aku tak pernah bersua denganmu, apakah selama banyak tahun kau tidur di atas gilingan? Kenapa otakmu juga pandai berputar.”

“Pertarungan yang barusan berlangsung telah membuka jalan pikiranku,” ujar Tan Tiang-kim sambil tertawa, “kenyataannya memang membuktikan bahwa anak-anak muda yang mulai bermunculan dalam dunia persilatan jauh lebih tangguh dari kita.”

“Itu mah belum tentu, paling tidak namamu toh masih tercantum di antara jago-jago lihay yang berada dalam dunia persilatan saat ini.”

Tan Tiang-kim menghela napas panjang, katanya lagi :

“Terus terang, aku si pengemis tua belum pernah menyaksikan sendiri kelihaian dari Tiong-buncu, meski perkumpulan kami berhutang budi, namun terhadap masalah itu aku selalu merasa ragu. Tapi malam ini, setelah kusaksikan sendiri ilmu pedang dari Tang-ciangbunjin, timbullah perasaan menyesal di hatiku, Tiong-ciangbunjin ternyata memang benar-benar seorang jago yang tangguh.”

Setelah menghembuskan napas panjang, terusnya :

“Saudara sekalian, silakan beristirahat dulu. Siapa tahu besok pagi kita masih akan melakukan aksi lain, sekarang aku masih harus berkunjung ke sungai untuk melihat siapa saja dari Pay-kau yang telah datang, nah aku mohon diri dulu.”

Seusai berkata, sambil membalikkan badan ia pergi dengan langkah lebar.

Hay Yok-wong mengikuti di belakangnya, sebelum beranjak di masih sempat melirik Tang Cuan sekali lagi dengan sinar mata kagum.

Memandang bayangan Tan Tiang-kim dan Hay Yok-wong yang menjauh, Pek Hong baru berkata :

“Ayah, malam ini kita telah menyia-siakan akan suatu kesempatan baik, ananda merasa amat sayang dan kecewa.”

“Kau harus ingat baik-baik,” ujar Pek Bwe, “persoalan ini tak bisa diselesaikan dengan tergesa-gesa, pihak lawan bukan tersiri dari perorangan yang bertujuan membalas dendam, mereka adalah suatu organisasi, suatu organisasi yang memiliki kekuatan sangat besar, sampai sekarang kita hanya berhasil menemukan pinggiran dari organisasi tersebut, kita belum berhasil menemukan pentolan mereka yang sebenarnya, seandainya tiada bantuan dari Tan Tiang-kim dan Hay Yok-wong, pertempuran malam ini pun belum tentu bisa kita pertahankan. Hong-ji, sekarang sudah terbentang suatu kenyataan buat kita, yaitu dengan mengandalkan kekuatan kita ayah dan anak, ditambah Tiong-gak, Tang Cuan, dan Siau-hong sudah tak mungkin bisa menolong It-ki, juga tak bisa membalas dendam bagi kematian Ling-kang, kita sangat membutuhkan bantuan dari pihak Kay-pang dan Pay-kau.”

“Locianpwe, Siau-hong mempunyai suatu pendapat, entah Cianpwe dapat menyetujui atau tidak?” ujar Cu Siau-hong tiba-tiba.

“Nak, kau mempunyai pendapat apa? Katakanlah kepada kami semua.”

“Boanpwe rasa, tujuan lawan bukan cuma untuk menghadapi Bu-khek-bun belaka, kita tak lebih hanya korban mereka yang pertama.”

Pek Bwe segera manggut-manggut.

“Oleh karena itu,” lanjut Cu Siau-hong, “aku rasa terbasminya Bu-khek-bun telah memberi tanda bahaya untuk segenap umat persilatan di dunia ini, membuat mereka semua merasakan pula ancaman bahaya maut ini.”

Sekali lagi Pek Bwe manggut-manggut,

“Jadi maksudmu Nak.......?”

“Oleh karena itu, kami tidak memohon bantuan dari Kay-pang serta Pay-kau, bantuan mereka kepada kita tak lain adalah membantu mereka sendiri, dalam hal ini aku rasa orang-orang Kay-pang pasti mengerti, orang-orang Pay-kau juga mengerti.”

“Dalam hal ini, aku pikir Tan Tiang-kim maupun Hay Yok-wong telah mempunyai perhitungan dalam hatinya, aku rasa kita pun tak usah menerangkan terlalu jelas.”

--------------------------------------

11

Tiba-tiba paras muka Cu Siau-hong berubah menjadi amat serius, sepasang matanya memancar keluar sinar tajam yang berkilauan, katanya kembali :

“Pek-cianpwe, Subo, Seng-susiok, Tang-ciangbun-suheng...........”

Secara beruntun ia menyebut nama semua orang yang hadir, ini membuat mereka tertarik pula oleh keseriusan wajahnya, sorot mata semua orang segera dialihkan ke wajah Cu Siau-hong.

“Inilah awal dari suatu pertumpahan darah, musnahnya Bu-khek-bun telah memancing kesiap siagaan Kay-pang dan Pay-kau, dalam menanggulangi masalah ini, sekaligus Kay-pang telah mengutus dua orang Tiang-lonya untuk menyusul ke Siang-yang, ini membuktikan kalau mereka telah memandang seriusnya persoalan. Ouyang Siong main-main jadi sungguhan, sekarang bukan saja markasnya ketahuan, rencana mereka juga konangan, masalah yang seharusnya terbatas dalam pertikaian antara Bu-khek-bun dengan mereka, kini telah memancing perlawanan dari segenap umat persilatan di dunia ini.”

“Masuk di akal sekali perkataanmu itu Nak!” puji Pek Bwe.

“Dalam keadaan seperti ini, bila kita mohon kepada mereka untuk sepenuh tenaga menolong It-ki-sute, aku pikir harapan kita ini belum tentu terpenuhi, sebab ibaratnya permainan catur, It-ki-sute tak lain adalah salah satu biji catur dalam permainan tersebut.”

Pek Hong menghela napas sedih, titik air mata meleleh keluar membasahi pipinya.

“Sute tak boleh mempunyai jalan pikiran demikian,” protes Tang Cuan, “Suhu hanya mempunyai seorang putra.........”

“Ucapan Ciangbun-suheng memang benar, kalau kita pandang semua permainan tersebut, It-ki-sute tak lebih cuma sebiji bidah yang hendak dikorbankan, tapi bagi kita dia bukan saja Sute kita, dia adalah satu-satunya keturunan Suhu kita, persoalan ini penting sekali artinya, kita tak dapat mengharapkan bantuan orang, maka kita harus turun tangan sendiri.”

“Nak, dalam hal ini aku sudah menduga, tapi bagaimana caranya untuk turun tangan? Kita sama sekali tak tahu It-ki sesungguhnya disekap di mana?”

“Sekalipun tahu, kita juga belum tentu bisa menyelamatkan jiwanya.....”

“Siau-hong, sekalipun tak bisa, kita juga musti berusaha dengan sepenuh tenaga!” sambung Pek Hong.

“Benar! Untuk menolong It-ki-sute, kita memang harus berjuang dengan sepenuh tenaga, tadi di kala Sunio sedang bertarung sengit, Tecu tidak turun tangan karena Tecu sedang berpikir bagaimana caranya untuk menolong Sute, untung saja sekarang aku bisa memperoleh sedikit gambaran, Tecu dapat menemukan suatu cara yang baik........”

“Bagaimana caranya? Cepat katakan!” buru-buru Pek Hong menyambung.

Cu Siau-hong tertawa ewa, dia lantas membeberkan suatu cara pertolongan yang bagus.

Ucapan itu diutarakan dengan suara lirih, tapi semua orang mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian, sehingga tanpa disadari terciptalah suatu ketegangan yang luar biasa.

Ketika selesai mendengarkan rencana tersebut, tiba-tiba Pek Hong menghela napas panjang, katanya :

“Tidak bisa, Siau-hong! Aku tak bisa membiarkan kau menyerempet bahaya.”

“Sunio, inilah satu-satunya cara yang kita miliki.....” Cu Siau-hong mencoba untuk meyakinkan.

“Tidak! Lebih baik It-ki yang berkorban, daripada menceburkan dirimu ke dalam perangkap.”

“Dalam setiap pertempuran nyawa kita sama saja terancam oleh mara bahaya, malah ancam bahaya tersebut jauh lebih besar daripada gerakan yang Tecu rencanakan ini.”

“Siau-hong!” kata Pek Bwe pula, “aku sangat kagum terhadap keberanianmu, cuma persoalan ini menyangkut soal mati hidup, apalagi kau pun telah bersua muka dengan mereka......”

“Itulah sebabnya, kita harus menciptakan seorang Cu Siau-hong yang lain....”

Pek Bwe tertawa getir, katanya :

“Siau-hong, sulit rasanya untuk melaksanakan rencana ini, siapa yang bisa menyaru menyerupai dirimu, apalagi membuat mereka mempercayainya......”

“Bukan saja orang lain harus percaya, lagi pula kalian juga harus menunjukkan sikap seakan-akan percaya, kalau bisa carilah waktu yang cocok untuk menampakkan diri!”

“Soal ini rasanya sulit untuk dilakukan!” Pek Bwe tetap menggelengkan kepalanya sambil mengeluh.

“Tecu mempunyai sebuah usul bagus, cuma kurang enak diutarakan jadi aku tak berani untuk mengucapkannya.”

“Siapa orang yang kau maksud?”

“Subo!”

“Aku bisa?” seru Pek Hong, “perawakanku lebih pendek sedikit dari padamu.”

“Soal itu bisa dicarikan akal persoalannya, sekarang siapa yang akan menyaru menjadi Subo?”

Pek Bwe termenung sebentar, lalu jawabnya,

“Soal itu sih bisa dicarikan orang lain yang kebetulan dengan Subomu, kita bisa memakai alasan karena sedih memikirkan putranya, dia menjadi sakit dan tak bisa bangun.”

“Jika Subo bisa menyetujui usul ini, Tecu merasa semakin yakin lagi, meski tak berani kukatakan pasti menolong Sute, paling tidak inilah satu-satunya kesempatan kita.”

“Dengan berbuat demikian, kita pun bisa meraba kekuatan pihak lawan,” Pek Bwe menambahkan.

“Mereka tak akan mengira kalau Subo bakal menyaru sebagai Tecu, kalau Subo kerap kali menampilkan diri, sedikit banyak pasti dapat melenyapkan kecurigaan mereka terhadap Tecu.”

“Siau-hong, aku tetap beranggapan bahwa cara ini kelewat berbahaya!” kata Pek Hong.

“Kalau tidak masuk ke sarang harimau, mana mungkin bisa mendapatkan anak macan? Subo, kenapa tidak aku bayangkan bahwa rencana Tecu ini cukup sempurna dan sangat menguntungkan kita, meski tampaknya berbahaya, sesungguhnya aman sekali.”

Pek Hong membungkam dan tidak banyak berbicara lagi.

“Siau-hong, bagaimana kalau kutemani dirimu?” sela Seng Tiong-gak.

“Terima kasih Susiok, kita harus meninggalkan kekuatan di tempat ini, dalam pertarungan tadi, kita telah memperlihatkan ilmu pedang Bu-khek-bun yang tangguh, ini menyebabkan Tan-tianglo berdua mempunyai pandangan yang berbeda atas kemampuan kita, betul kekuatan Bu-khek-bun cuma beberapa gelintir orang, tapi setiap orang justru memiliki dasar kekuatan yang dalam serta ilmu silat yang tinggi.”

Seng Tiong-gak manggut-manggut :

“Aku telah menyaksikan kepandaian kita, kalau itulah yang dimaksudkan sebagai ilmu silat kelas satu, maka kita murid-murid Bu-khek-bun masih termasuk dalam hitungan.”

“Siau-hong, apakah kau sudah bertekad akan pergi?” tiba-tiba Pek Hong bertanya.

Cu Siau-hong mengangguk.

“Tecu telah bertekad untuk pergi, semoga Subo bersedia untuk mengabulkan.”

“Ayah, bagaimana pendapatmu?” tanya Pek Hong kemudian kepada Pek Bwe.

“Aku pikir kecerdasan Siau-hong jauh di atas kita semua, apa yang telah diputuskan olehnya biarlah dia lakukan.”

“Baiklah!” akhirnya Pek Hong setuju juga.

“Subo, kau telah menyetujui?”

Pek Hong manggut-manggut.

Cu Siau-hong segera membalikkan badan tiba-tiba berlutut di hadapan Tang Cuan, katanya :

“Harap Ciangbun-suheng suka mengijinkan.”

Buru-buru Tang Cuan membimbingnya bangun, katanya :

“Hayo bangun, bangun, kalau ada urusan kita rundingkan secara baik-baik, mana boleh sembarangan berlutut?”

“Kepergian Siaute kali ini entah sampai kapan baru akan kembali, keselamatan Subo harap Suheng baik-baik melindunginya.”

“Siau-hong!” seru Pek Hong, “kau......”

“Subo!” tukas Cu Siau-hong, “berhasil menyusup ke tubuh lawan, bagaimanapun juga Tecu akan menyelidikinya sampai jelas dan menolong jiwa Sute.”

“Siau-hong, demi It-ki rasanya kau tak usah menyerempet bahaya......”

“Subo, bila kau berkata lebih lanjut, Tecu merasa malu untuk berdiri di sini lagi.......”

Setelah mengalihkan sorot matanya ke wajah Pek Bwe, dia melanjutkan :

“Locianpwe, kalau bisa rencana Siau-hong ini dirahasiakan pula terhadap Tan dan Hay dua orang Locianpwe?”

“Untuk mengelabui mereka berdua, rasanya tidak gampang, aku lihat lebih baik kita berterus terang saja kepada mereka, agar mereka membantu secara diam-diam........”

Sesudah menghembuskan napas panjang, katanya lebih lanjut :

“Siau-hong, legakan hatimu, persoalan di sini, kami bisa mengaturnya secara baik-baik.”

“Kalau begitu, Siau-hong mohon diri lebih dulu, jangan lupa aku bernama Lim Giok,” kata Cu Siau-hong sambil menjura.

Setelah membalikkan badan, ia berlalu dari situ.

Memandang kepergian anak muda itu, Tang Cuan berbisik dengan lirih :

“Suatu gerakan tubuh yang sangat cepat, Siau-hong-sute, baik-baiklah menjaga diri!”

Sebagai seorang yang serius dan keren, di hari-hari biasa ia jarang tertawa atau bergurau, tapi hati kecilnya bukan tak berperasaan, cuma perasaan yang tersimpan di hatinya tidak gampang terlihat dari luar.

Sebenarnya Pek Bwe hendak menegur dia agar jangan gegabah, tapi sinar matanya segera menangkap wajah Tang Cuan yang telah dibasahi oleh air mata.

Terpaksa ia menahan diri dan menelan kembali kata-katanya.

Pek Hong menghembuskan napas panjang, katanya,

“Ayah, aku merasa sangat kuatir! Siau-hong masih seorang anak, ia belum pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan.”

“Hong-ji, justru karena ia belum pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, maka Ouyang Siong baru bisa dikelabui, tak usah menguatirkan Siau-hong, kecerdasan bocah ini jauh melebihi kemampuan kita semua......”

“Ayah, aku merasa diriku terlalu egois, lantaran It-ki, ternyata aku menyetujui keinginan Siau-hong untuk menyerempet bahaya.”

“Subo, jangan menyalahkan diri sendiri,” hibur Tang Cuan pula, “aku dapat melihat kebulatan tekad Siau-hong-sute, sekalipun Subo tidak setuju, ia bisa jadi pergi tanpa pamit.”

Sementara itu, sepeninggal Cu Siau-hong dari gedung tersebut, dia langsung menuju ke sebuah rumah penginapan.

Setelah menghitung-hitung saat pertemuannya dengan Ouyang Siong, ia merasa masih ada waktu selama tiga hari, sekalipun bisa ke sana sehari lebih awal, itu pun masih dua hari kemudian.

Selama beberapa hari belakangan ini dalam kota Siang-yang telah terjadi banyak peristiwa aneh, sekilas pandangan semua persoalan itu seakan-akan tiada sangkut pautnya dengan mereka.

Maka persoalan pertama yang dipikirkan Cu Siau-hong adalah si nona baju hijau yang pernah dijumpainya dalam loteng Wong-kang-lo, persoalan itu agaknya berdiri sendiri, tapi waktu terjadinya justru hampir bertepatan dengan kejadian yang lain.

Selain dari pada itu, seorang gadis yang duduk di loteng yang ramai untuk menantikan kedatangan orang pada jaman itu masih merupakan berita yang aneh sekali.

Maka dengan perasaan yang terheran-heran dan ingin tahu, Cu Siau-hong memutuskan untuk memanfaatkan sua hari yang tersisa untuk menyelidiki persoalan itu lebih dulu.

Setelah tidur semalam dengan nyenyak, Cu Siau-hong tampak lebih gagah dan segar.

Ia pun menyaru dirinya menjadi Lim Giok, tapi baju Kay-pang dilepas dan diganti dengan satu setel jubah panjang berwarna biru.

Perbedaan antara Cu Siau-hong dengan Lim Giok bukan terletak pada raut wajahnya, betul ada perbedaan namun kecil sekali, meski begitu dengan dasar ilmu menyarunya yang lihay dan kecerdasan otaknya, walau hanya suatu penyaruan yang sederhana, dengan dilenyapkannya ciri-ciri khas dari wajah Cu Siau-hong, maka berubahlah dia menjadi Lim Giok.

Penyaruan yang sederhana tidak melenyapkan kegantengan maupun kegagahannya, tapi dari Cu Siau-hong ia telah merubah dirinya menjadi Lim Giok yang hidup.

Cu Siau-hong yang angkuh dan tinggi hati segera berubah menjadi Lim Giok yang binal.

Kalau berbicara soal ini, maka si Dewa Pincang Ui Thong adalah orang yang paling berjasa, dia telah memberi banyak petunjuk kepada Cu Siau-hong mengenai ilmu merubah wajah, ibaratnya melukis naga memberi mata, hanya suatu perubahan yang sederhana bukan saja telah merubah bentuk muka seseorang, lagi pula merubah pula watak seseorang.

Ini ditunjang pula oleh kecerdasan Cu Siau-hong, ia memang memiliki kemampuan yang hebat, setelah berubah menjadi Lim Giok, ternyata ia dapat melupakan tabiatnya sebagai Cu Siau-hong.

Ia dapat menyelami manusia macam apakah Lim Giok itu, sebagai seseorang yang bisa mengkhianati Kay-pang demi kepentingan pribadi, jelas orang semacam ini bukan seorang enghiong, bukan seorang lelaki sejati, bisa jadi manusia semacam itu adalah seorang manusia munafik yang terlalu mementingkan diri sendiri.

Ia becermin di depan kaca sambil memperhatikan raut wajah baunya itu dengan seksama, memang bukan suatu pekerjaan yang gampang menjiwai peranannya sebagai manusia yang bernama Lim Giok itu.

Dia harus membawakan seorang yang ganteng, pintar tapi agak tidak genah dan lagi sangat egois.

Tengah hari itu, Cu Siau-hong muncul di atas loteng Wong-kang-lo.

Rumah makan Wong-kang-lo adalah rumah makan yang paling besar dan paling tersohor di kota Siang-yang, apa lagi pada jam-jam sibuk seperti ini, hampir semua tempat duduk terisi.

Tapi nona berbaju hijau itu sudah tidak nampak lagi batang hidungnya.

Setelah mendapat tempat duduk kosong, ia mengeluarkan sekeping uang perak, lalu sambil menggape ke arah pelayan, katanya :

“Buatkan empat macam sayur, poci arak wangi, uang sisa boleh untukmu......”

Dengan cepat pelayan itu membayangkan keuntungan, ia tahu kepingan perak itu paling tidak tiga tahil lebih, itu berarti uang tip baginya masih ada dua tahil lebih, senyuman lebar segera menghiasi wajahnya, serunya berulang kali.

“Koan-ya, terima kasih banyak atas pemberianmu.”

Tampaknya Cu Siau-hong sangat memahami arti kegunaan uang.

Setelah menghembuskan napas panjang, dengan suara lirih ia berkata lagi :

“Pelayan, aku ingin mencari satu keterangan darimu, apakah kau bersedia membantu.”

Sambil mengangkat poci air teh dan memenuhi cawan Cu Siau-hong, pelayang itu segera bertanya :

“Koan-ya, kau ingin bertanya apa?”

“Kemarin, bukankah rumah makan kalian kedatangan seorang tamu perempuan..........”

“Kau maksudkan si nona berbaju hijau pupus itu?” tanya si pelayang sambil meletakkan kembali pocinya.

“Benar, orang itu yang kumaksudkan!”

“Ia duduk terus di sini sampai menjelang magrib, seorang kakek telah membawanya pergi.”

“Apakah orang yang ia tunggu telah datang?”

“Agaknya belum,” jawab pelayan itu sambil menggeleng.

Cu Siau-hong segera mendorong uang perak itu ke hadapannya.

“Nah, ambillah.”

Setelah menerima uang perak itu, pelayan tersebut berbisik lagi.

“Koan-kek, nona berbaju hijau itu adalah seorang yang cacat!”

“Cacat?” ulang Cu Siau-hong tertegun.

“Yaa, kaki sebelahnya pincang.”

“Apakah semua tamu di loteng ini tahu?”

Pelayan itu segera menggeleng.

“Tidak! Tampaknya tidak banyak orang yang mengetahui hal ini,” setelah berhenti sejenak dia melanjutkan :

“Sedang kakek tersebut agaknya adalah Yayanya, sewaktu membimbing turun dari loteng, kebetulan hamba berdiri di ujung loteng, maka semua kejadian bisa kuikuti dengan jelas.”

“Oooh!”

“Kongcu meski pengkor, nona itu punya muka berbentuk bulat telur, dia memang cantik sekali.”

Seusai berkata, pelayan itu segera membalikkan badan dan berlalu dengan langkah cepat.

Tak lama kemudian, sayur dan arak telah dihidangkan.

Selesai bersantap, Cu Siau-hong bersiap-siap meninggalkan tempat itu, saat itulah dari balik loteng muncul dua orang manusia.

Paras muka kedua orang itu sangat asing, tapi Cu Siau-hong yakin kalau mereka adalah jago-jago persilatan.

Walaupun kedua orang itu memakai jubah panjang dan berdandan sebagai saudagar, namun sepasang mata mereka memancarkan sinar yang sangat tajam, jelas tenaga dalam mereka sudah mencapai taraf yang sempurna.

Menyaksikan hal itu, diam-diam Cu Siau-hong berpikir,

“Kalau tidak berusaha untuk menyembunyikan sinar mata yang tajam, menyaru sebagai apapun percuma, toh rahasia dirinya tak berhasil disembunyikan.”

Sesudah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kedua orang tadi berjalan mendekat.

Sangat kebetulan ternyata mereka duduk di meja yang dekat sekali dengan Cu Siau-hong.

Dalam keadaan demikian, walaupun Cu Siau-hong memandang cawan arak di hadapannya, diam-diam ia pasang telinga untuk memperhatikan pembicaraan yang sedang berlangsung.

Pembicaraan yang dilangsungkan kedua orang itu sangat lirih, tapi setelah Cu Siau-hong memperhatikan dengan seksama ia masih sanggup menangkap pembicaraan tersebut.

Terdengar orang yang di sebelah kiri berkata :

“Saudara Oh, aku lihat budak itu tak bakal datang lagi.”

“Alah, bagaimana juga sembari makan kita bisa menunggu di sini, soal mau datang atau tidak toh bukan soal yang penting.”

“Aku sudah mendengar suatu berita, katanya budak itu pincang sebelah kakinya,” kata orang di sebelah kiri sambil tertawa.

Pelan-pelan Cu Siau-hong meneguk secawan arak, pikirnya dalam hati :

“Rupanya kedua orang ini pun datang untuk mencari si nona berbaju hijau itu.”

Sementara itu, orang yang di sebelah kiri telah memanggil datang si pelayan.

Ketika Cu Siau-hong melirik ke sana, tampak orang itu sedang menyusupkan sekeping uang perak ke tangan pelayan itu.

Kemudian Cu Siau-hong mendengar pelayang itu mengulangi kembali apa yang telah disampaikan kepadanya tadi.

Cu Siau-hong segera berpikir,

“Orang bilang kusir kereta, kelasi di perahu, kuli kasar, pelayan dan hamba negara yang paling licik, tampaknya ucapan itu ada benarnya juga, cukup berbicara soal nona baju hijau itu, entah berapa uang yang berhasil diraih pelayan ini?”

Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tiba-tiba ia merasa pandangan matanya menjadi silau, seorang nona berbaju hijau sedang pelan-pelan berjalan mendekat.

Tangan kanannya merangkul di atas bahu seorang nona baju biru yang berambut dikepang dua, langkahnya lambat sekali.

Gaunnya yang panjang dan berwarna hijau menutupi sepasang kakinya, ini membuat orang sulit untuk mengetahui apakah dia itu cacat atau tidak........

Nyonya setengah umur yang menemaninya semalam, hari ini tidak turut muncul, tapi sebagai gantinya adalah seorang pelayang yang sangat muda tersebut.

Buru-buru pelayan itu maju menyambut kedatangannya,

“Nona, silakan duduk kemari!” katanya.

Rupanya dari tangan si nona berbaju hijau ini dia berhasil pula mendapatkan untung banyak uang. Itulah sebabnya ketika kemunculan si nona itu, seakan-akan menyambut kedatangan seorang dewa harta saja.....

Nona berbaju hijau itu tertawa ewa, katanya :

“Aku masih menginginkan tempat dudukku yang kemarin itu!”

Pelayan itu segera berpaling, dijumpainya tempat duduk itu sudah ditempati dua orang, seorang tua yang lain muda.

Tapi teringat bahwa nona baju hijau itu mungkin akan menghasilkan beberapa tahil perak lagi baginya, dengan cepat pelayang itu menjura seraya berkata,

“Harap nona tunggu sejenak lagi, akan kurundingkan dengan orang itu....”

Kemarin, nona berbaju hijau itu selalu memalingkan sebagian besar wajahnya keluar jendela, Cu Siau-hong tak sempat melihat raut wajahnya dengan jelas.

Tapi sekarang, ia menghadap ke dalam ruangan, maka sebagian besar tamu yang duduk dalam ruangan itu dapat menyaksikan potongan wajahnya itu sangat terang.

Itulah seraut wajah yang sangat cantik dan menarik, ibaratnya bidadari yang turun dari kahyangan, sungguh mempesonakan hati siapa pun juga....

Pelayan itu betul-betul sangat lihay, dengan dua tiga patah kata ternyata ia berhasil juga membujuk kedua orang tamu itu untuk pindah ke meja lain.

Sambil mempersilakan nona berbaju hijau itu duduk, pelayang itu mengeluarkan kain lap dan membersihkan meja.

Gerak-geriknya sangat cepat, ketika si nona berbaju hijau itu telah tiba di depan meja, pelayan itu pun telah selesai membersihkan mejanya.

Pelan-pelan nona berbaju hijau itu menarik kembali tangan kanannya yang bersandar pada bahu dayang tersebut, kemudian bisiknya dengan lirih :

“Gin-kiok, hadiahkan selembar daun emas kepadanya!”

Gin-kiok mengiakan, dari sakunya ia merogoh keluar selembar daun emas lalu dilemparkan ke meja, serunya,

“Ambillah! Siocia menghadiahkan untukmu!”

Pelayang itu memungut daun emas itu dengan wajah memucat, saking gembiranya sampai tangan kanannya ikut menggigil keras.

Walaupun Wong-kang-lo adalah rumah makan terbesar dalam kota Siang-yang, tapi belum pernah ada tamu yang memberi tip sebesar ini kepada seorang pelayan.

Setelah mengantongi daun emas tersebut senyum pelayan itu makin lebar, malah nyaris mulutnya tak bisa ditutup kembali, sambil membungkuk-bungkukkan badan katanya :

“Nona, apakah kau masih memesan beberapa sayur seperi yang kemarin itu?”

“Yaa! Cuma tambahkanlah dengan dua macam sayur lagi serta tiga pasang sumpit dan cawan.”

“Nona masih ada tamu lain?”

Nona berbaju hijau itu menghela napas sedih,

“Aaaai..........! Entah dia akan datang atau tidak?” gumamnya.

Perkataan itu diucapkan dengan suara yang memedihkan hati, dan lagi nadanya tinggi sehingga semua orang yang hadir dalam ruangan dapat mendengar dengan jelas, semua orang segera merasa hatinya ikut iba dan terharu.

Sejak nona itu muncul dalam ruang loteng, semua hiruk-pikuk dan suara gaduh otomatis berhenti semua, suasana menjadi hening dan sepi tak heran kalau perkataannya itu dapat didengar oleh semua orang.

Diam-diam Cu Siau-hong mengerutkan dahinya, pikirnya :

“Heran, kemarin ia duduk termenung terus tanpa berbicara, tapi hari ini agaknya seperti sengaja hendak memperlihatkan wajahnya kepada orang lain dan memperdengarkan suaranya, kenapa hanya terpaut semalam saja ia sudah mengalami perubahan seperti ini?”

Karena curiga, segenap perhatiannya segera dipusatkan menjadi satu untuk mendengarkan gerak-gerik nona itu lebih seksama, meski paras mukanya masih tetap tenang seperti sedia kala.

Ia tahu, dua orang yang khusus datang untuk mencari nona berbaju hijau itu pasti akan melakukan sesuatu tindakan, itu berarti suatu pertunjukkan bagus segera akan berlangsung di situ.

Benar juga, tak lama setelah nona berbaju hijau itu duduk, dua orang saudara tadi berbisik-bisik, lalu orang yang di sebelah kiri itu bangkit berdiri dan pelan-pelan menghampiri ke meja nona tersebut.

“Apakah nona berasal dari bukit Kiu-hoa-san?” sapanya sambil menjura.

Nona berbaju hijau itu berpaling dan memandang sekejap ke arah laki-laki itu, kemudian tegurnya pula.

“Siapa kau?”

“Aku Be Kui..........”

“Aku tidak kenal denganmu, juga bukan berasal dari bukit Kiu-hoa-san,” jawab nona berbaju hijau itu ketus.

Be Kui mencoba untuk memperhatikan sekeliling tempat itu sekejap kemudian duduk di tempat kosong tepat di hadapan nona itu.

Tindakan Be Kui yang duduk di hadapan nona cantik ini segera memancing perhatian dari segenap tamu yang berada dalam ruang.

Beratus pasang mata, bersama-sama dialihkan ke arah mereka.

Siapa pun menduga si nona berbaju hijau itu pasti akan memberikan reaksinya, tapi kenyataannya jauh di luar dugaan siapa pun, si nona baju hijau itu tetap duduk tak berkutik di tempat semula.

Dengan pandangan dingin, Gin-kiok si dayang itu melirik sekejap ke arah Be Kui, lalu katanya,

“Be-sianseng, duduklah yang baik! Jangan sampai terjatuh.”

Be Kui tertawa, jawabnya :

“Jangan kuatir nona berdua, jangankan baru sebuah bangku, sekalipun di ujung sebilah golok, Cayhe juga dapat duduk dengan tenang.”

Baru selesai dia berkata, mendadak ia melompat bangun sambil mendekap perut, paras mukanya berubah hebat.

Melihat itu si nona berbaju hijau tersebut menghela napas panjang.

“Gin-kiok, berikan obat penawarnya.”

Gin-kiok tertawa hambar, katanya kemudian.

“Nona kami hanya menolong orang satu kali, kalau kau gagal untuk memungut obat penawarnya, lebih baik cepat-cepat pulang dan beri tahu kepada ibumu, katakan kalau kau butuh sebuah peti mati.”

“Racun apa yang telah bersarang di tubuhku?” tanya Be Kui kaget.

“Cu-bu-toan-hun-san (bubuk pemutus nyawa siang malam), siang tidak bertemu malam, malam tidak bertemu siang. Siapa yang terkena pasti mampus, kecuali obat penawar dari nona kami, di kolong langit tak akan kau jumpai obat penawar yang kedua.”

Seusai berkata, dia lantas menggetarkan tangan kanannya dan melemparkan sebuah botol porselen keluar jendela.

Be Kui segera menghimpun tenaganya ingin mengejar obat itu keluar jendela, siapa tahu belum lagi badannya bergerak, ia sudah muntah darah segar.

Sesosok bayangan hitam lainnya dengan cepat meluncur keluar jendela.....

Orang itu bukan lain adalah teman Be Kui.

Cu Siau-hong yang duduk di samping arena dapat mengikuti semua kejadian itu dengan jelas, tapi ia tak sempat mengetahui dengan cara apa nona berbaju hijau itu turun tangan sehingga Be Kui keracunan hebat, atas kelihaian musuhnya itu, diam-diam ia merasa terperanjat.

Nona yang begitu cantik ternyata adalah seorang jago lihay yang bisa membunuh orang dengan racun kejinya, peristiwa ini sungguh di luar dugaan siapa pun.

Kelihatannya Be Kui sedang menahan suatu siksaan dan penderitaan yang amat hebat, nona darah telah mengotori sebagian besar bajunya.

Tapi orang itu cukup perkasa, sekalipun kesakitan hebat ia tidak mengeluh atau merintih, sambil menggigit bibir ia membungkam diri dalam seribu bahasa.

Terdengar suara langkah kaki yang ramai berkumandang memecahkan keheningan, rekan Be Kui itu telah berlarian naik ke loteng sambil membawa botol porselen tersebut.

“Yaa, tampaknya orang itu masih belum tiba saat ajalnya, obat penawar tersebut akhirnya berhasil juga didapatkan,” pikir Cu Siau-hong.

Tampak orang itu dengan gerakan cepat membuka penutup botolnya dan mengeluarkan sebutir pil yang segera dijejalkan ke mulut bekui seraya serunya :

“Telan!”

Setelah menelan pil penawar itu, Be Kui baru merangkul bahu rekannya sambil berbisik :

“Hayo kita pergi!”

No comments: