Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 4

Oleh : Tjan ID

“Tunggu saja sebentar lagi! Bila keadaan luka dari Ling-kang betul-betul teratasi, kita baru memikirkan rencana selanjutnya.”

“Enso, menurut pendapatmu, sampai kapankah luka Suheng baru dapat teratasi?”

“Paling tidak harus menunggu setengah jam lagi!”

Tiba-tiba terdengar Tang Cuan menjerit-jerit dengan suara yang tinggi melengking :

“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!”

Seng Tiong-gak dan Cu Siau-hong segera berpaling, tampaklah cahaya api telah membumbung tinggi ke angkasa dan menerangi seluruh permukaan tanah.....

Tempat asal kebakaran tersebut tak lain adalah perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Padahal wilayah puluhan li di sekeliling tempat itu tiada dusun atau rumah penduduk lain kecuali perkampungan Ing-gwat-san-ceng, maka bila sampai terjadi kebakaran, satu-satunya sumber kebakaran tersebut tak lain adalah perkampungan tersebut.

Dengan terperanjat Seng Tiong-gak melompat bangun, lalu serunya :

“Perkampungan Ing-gwat-san-ceng kita yang terbakar!”

“Dalam perkampungan masih ada It-ki, lima orang Suheng dan belasan centeng, kenapa bisa terjadi kebakaran?” seru Cu Siau-hong pula.

“Susiok, bagaimana kalau Tecu pulang dulu untuk melihat keadaan?” tanya Tang Cuan dengan cepat.

“Siau-hong, kau tinggal di sini!” perintah Seng Tiong-gak cepat, “Tang Cuan, ikut aku pulang ke perkampungan!”

“Sute! Jangan sembarangan bergerak!” mendadak Pek Hong melompat bangun sambil berseru.

“Enso, kau.....”

“Jelas ini adalah rencana busuk musuh, kalian jangan pulang secara gegabah......”

“Tapi Enso, apakah kita harus berpeluk tangan belaka membiarkan perkampungan kita dibakar orang?” seru Seng Tiong-gak gelisah.

Bagaimanapun juga Pek Hong adalah seorang jago kawakan yang amat berpengalaman, sejak terjadinya musibah, ia malah dapat menenangkan hatinya.

“Mungkin orang lain telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menunggu kita masuk perangkap,” katanya dingin, “maka jika kalian sampai pulang, kita perguruan Bu-khek-bun pasti akan tertumpas habis.”

“Maksud Enso........”

“Seperti yang kukatakan tadi, kejadian ini merupakan suatu rencana musuh yang sangat keji.,” kata Pek Hong lebih jauh, “kemunculan Liong Thian-siang tidak lebih hanya menyebarkan kekuatan kita saja, sementara kita kemari, pihak musuh dengan kekuatan yang lebih besar menyerbu ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng melakukan penumpasan.”

Pada saat itulah, Tiong Ling-kang yang sedang duduk bersemedi membuka matanya lebar-lebar, lalu mengeluh :

“Satu kali salah bertindak, menyesal pun tak berguna........”

Tiba-tiba ia muntah darah segar, kemudian tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah.

Pek Hong merasa amat terkejut, buru-buru ia membopong tubuh Tiong Ling-kang sambil berseru :

“Ling-kang kau......”

“Aku...... aku sudah tak tahan lagi,” sahut Tiong Ling-kang sambil membuka kembali matanya.

“Mari kita pulang ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng....”

Dengan paksakan diri Tiong Ling-kang tarik napas panjang, kemudian katanya :

“Jangan memikirkan untuk mengobati lukaku dengan obat mujarab Pek Hong, percuma, nadiku telah retak dan kesempatan hidupku telah punah, kecuali kau bisa mencarikan jantung baru bagiku jangan harap nyawaku bisa tertolong, sekarang hawa murniku telah buyar, selesai mengucapkan beberapa patah kata ini jiwaku akan melayang pergi........”

Ketika berbicara sampai di situ, hawa darah di dadanya kembali bergolak, ia muntah kembali darah kental.

Darah tersebut telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman, lagi pula amat kental, jelas jantungnya sudah pecah.

Pek Hong menghembuskan napas panjang, telapak tangannya segera ditempelkan ke atas punggung Tiong Ling-kang, kemudian katanya dengan sedih :

“Ling-kang, apa yang hendak kau katakan? Sekarang katakanlah kepada kami semua.”

Sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tiong Ling-kang, katanya :

“Aku bisa mempunyai seorang istri yang bijaksana seperti kau, hal ini sungguh merupakan suatu kejadian yang patut kubanggakan.......”

Pek Hong tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, air matanya jatuh bercucuran dengan amat derasnya.

“Oh, Ling-kang, dalam kenyataan, akulah yang menyebabkan kau menjadi begini,” rintihnya, “coba kalau tiada aku, mungkin kau pun tak akan mengalami kejadian seperti hari ini...........”

Tiong Ling-kang tertawa getir.

“Tanpa bantuan dan dorongan dirimu, aku mana bisa memperoleh kesuksesan seperti hari ini? Ilmu silat dari Liong Thian-siang memang aneh sekali, tapi aku toh dapat membunuhnya lebih dulu, terhadap dari pertarungan hari ini aku pun merasa amat gembira. Golok dibalik ujung baju merupakan semacam ilmu yang lihay, sebelum kejadian ini tak pernah kujumpainya. Pek Hong, jangan bersedih hati bagi kematianku, aku sudah mendapat banyak sekali dalam kehidupanku ini.........”

Agaknya ia masih mempunyai banyak perkataan yang hendak diucapkan, setelah menghembuskan napas panjang, dengan meminjam kekuatan yang disalurkan Pek Hong ke tubuhnya, ia berkata lebih jauh :

“Selama ini aku selalu berusaha menjaga nama baik Bu-khek-bun, bahkan aku ingin meningkat lebih jauh dengan membawa Bu-khek-bun ke puncak ketenarannya, tapi aku telah melupakan banyak persoalan-persoalan kecil, justru persoalan-persoalan kecil inilah yang membuat aku jadi gagal total dan mengalami keadaan seperti hari ini.”

“Ling-kang, coba katakan, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” kata Pek Hong.

Tiong Ling-kang melirik sekejap ke arah Pek Bwe, kemudian sahutnya :

“Banyaklah minta petunjuk kepada dia orang tua..........”

Sesudah muntah darah lagi, ia berkata lebih jauh :

“Panggillah mereka datang kemari”

Pek Hong segera menggape, Seng Tiong-gak, Tang Cuan, dan Cu Siau-hong segera mengiakan dan maju mendekat.

Mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan tubuh gurunya.

Waktu itu sinar mata Tiong Ling-kang telah pudar, walaupun ketiga orang itu berada di hadapannya ia sudah tak mampu untuk melihat dengan jelas lagi.

Setelah berkedip beberapa kali, akhirnya Tiong Ling-kang dapat juga melihat Seng Tiong-gak dengan jelas, pelan-pelan ia berkata “

“Tiong-gak, beban berat dari perguruan Bu-khek-bun kita mulai sekarang kuserahkan kepadamu, kau.......”

“Toa-suheng hal ini mana boleh jadi,” buru-buru Seng Tiong-gak menukas, “serahkan saja jabatan ketua itu kepada Tang Cuan sedang Siaute akan berusaha dengan sepenuh tenaga untuk membantunya membangun kembali kejayaan Bu-khek-bun kita.”

Tiong Ling-kang manggut-manggut, katanya kemudian :

“Tang Cuan berada di mana?”

Tang Cuan bergerak maju dua langkah dan mendekati Tiong Ling-kang, lalu sahutnya.

“Tecu berada di sini!”

“Dengarlah baik-baik, mulai sekarang kau sudah menjadi ciangbujin dari perguruan Bu-khek-bun......”

“Tecu belum tamat belajar, mana berani menerima jabatan sebagai ciangbunjin? Sepantasnya kalau Susiok yang menerima warisan ini.”

“Tang Cuan! dengan cepat Seng Tiong-gak berseru, “keadaan Suhumu sudah amat kritis, mungkin masih banyak pesan penting yang hendak disampaikan, perhatikan baik-baik, jangan mengacau!”

Tang Cuan agak tertegun, akhirnya ia tak berani berkata lagi.

Sementara itu suara dari Tiong Ling-kang sudah semakin lemah, pelan-pelan ia berkata lagi :

“Tang Cuan, kau tak usah menampik lagi. Hanya saja, di dalam menghadapi setiap masalah, kau harus berunding dengan Susiokmu lebih dulu.”

“Tecu terima perintah!” sahut Tang Cuan pada akhirnya dengan air mata bercucuran.

Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang, sesaat kemudian ia baru berbisik lagi.

“Di mana Siau-hong?”

“Tecu berada di sini!” Cu Siau-hong menjawab.

“Siau-hong, aku tahu kau adalah seorang bocah yang pandai menyembunyikan diri, kau juga merupakan orang yang paling tangguh dalam perguruan Bu-khek-bun kita, aku menaruh harapan yang besar terhadap dirimu, semoga saja kau jangan mengecewakan diriku.”

“Pesan Suhu tak akan Tecu lupakan untuk selamanya!”

“Aku tahu kau cerdik dan berbakat alam, aku tak berani menahanmu terus dalam perguruan Bu-khek-bun, kuijinkan kau untuk berguru dengan orang lain kemudian hari, tapi kau harus bersedia untuk membangun Bu-khek-bun, serta membantu Toa-suheng mu memimpin perguruan kita.”

Cu Siau-hong menyembah di atas tanah dan sahutnya.

“Tecu tak berani, Tecu tak berani, Tecu adalah murid Bu-khek-bun, tentu saja semua masalah dalam Bu-khek-bun adalah masalah Tecu pula, tentu Tecu akan berjuang dengan sepenuh tenaga.”

“Siau-hong, Suhu dapat melihat bahwa di kemudian hari kau pasti akan sukses besar. Bu-khek-bun mungkin akan menjadi penghalang bagi gerak-gerikmu di kemudian hari, maka....... Tang Cuan! ingat baik-baik perkataanku......”

“Tecu siap mendengarkan dengan seksama!”

“Aku dengan kedudukan sebagai ciangbunjin angkatan kesebelas dari Bu-khek-bun menurunkan perintah yang terakhir, mulai sekarang Cu Siau-hong sudah bukan murid Bu-khek-bun lagi, ia tidak terkekang oleh semua peraturan dan pantangan yang berlaku dalam perguruan Bu-khek-bun.”

“Tecu terima perintah!”

“Suhu!” dengan cemas Cu Siau-hong segera berseru, “apakah kau hendak mengusir Tecu dari perguruan.......”

“Tidak, aku hanya menginginkan kau memiliki lebih banyak kebebasan untuk berbuat dan bertindak, Siau-hong mulai sekarang kau boleh bertindak sekehendak hatimu sendiri dan tidak terikat lagi oleh peraturan perguruan.......”

Ketika berbicara sampai di situ, rupanya ia sudah mempergunakan sisa tenaga yang dimilikinya, tiba-tiba tubuhnya berkelojot, sepasang matanya membalik ke atas dan jago lihay ini menghembuskan napasnya yang terakhir.

“Suhu.......!” dengan cemas Tang Cuan berseru, cepat ia mencengkeram baju Tiong Ling-kang.

Setelah mengalami pelbagai peristiwa, Pek Hong malah berubah menjadi lebih tenang dan tabah, sambil membaringkan tubuh Tiong Ling-kang ke atas tanah ia bangkit berdiri, kemudian berkata :

“Tang Cuan, lepaskan cengkeramanmu pada baju gurumu!”

Tang Cuan tertegun, lalu melepaskan cengkeraman atas ujung pakaian Tiong Ling-kang.

Pelan-pelan Pek Hong mengalihkan sinar matanya memandang wajah Tang Cuan, Cu Siau-hong, dan Seng Tiong-gak, kemudian katanya :

“Kalian berdiri semua!”

Seng Tiong-gak sekalian menurut dan segera bangkit berdiri.

Dengan wajah serius, Pek Hong berkata lagi :

“Tang Cuan, Siau-hong, Suhu kalian mati tanpa membawa sesal, usianya sudah melewati setengah abad, tidak terhitung berumur pendek, selama puluhan tahun berkelana dalam dunia persilatan, ia berhasil membawa Bu-khek-bun dari suatu perguruan kecil menjadi suatu perguruan besar, ia mati di ujung golok dibalik baju milik Pak-hay-khi-keng-khek-bun, kematian itu tidak termasuk memalukan, apa lagi ia berhasil membunuh musuhnya lebih dulu, peristiwa ini boleh dibilang merupakan suatu kejadian yang patut dibanggakan.”

Begitulah, suatu peristiwa kematian yang sesungguhnya amat memedihkan hati telah di rubahnya menjadi suatu kejadian yang penuh kebanggaan, hal mana seketika itu juga membangkitkan semangat semua orang.

Pek Hong menghembuskan napas panjang lalu katanya lagi :

“Suhu kalian suamiku, telah mati dengan hati yang tenang dan mata yang meram hasil karyanya tak akan tersia-sia, perjuangan ada penerus yang akan melanjutkan usahanya dan kini tanggung jawab dari perguruan pun telah diserahkan kepada murid pertamanya yang telah dididik sejak kecil.”

“Setelah Tecu menjabat ketua perguruan, Tecu bersumpah akan menjunjung nama baik perguruan, tak akan kusia-siakan harapan suhu,” dengan cepat Tang Cuan berseru.

“Bagus sekali....”

Sinar matanya dialihkan ke wajah Cu Siau-hong, kemudian lanjutnya lagi :

“Siau-hong, jangan salah sangka terhadap maksud baik gurumu.....”

“Tecu tidak berani.”

“Ilmu Siu-tiong-to (golok dibalik baju) dari Khi-keng-khek telah berpindah dari Pak-hay ke dalam daratan Tionggoan, itu menandakan kalau dunia persilatan yang selama ini tegang selama beberapa tahun bakal mengalami pergolakan lagi, peristiwa ini yang terjadi sekarang tak lebih hanya suatu perkumpulan sebelum berlangsungnya suatu badai besar. Perguruan Bu-khek-bun dari kecil tumbuh menjadi besar, peraturan perguruannya ketat dan disiplinnya tinggi, namun peraturan-peraturan yang ketat tersebut meski dapat merubah anggota kita menjadi pendekar-pendekar yang jujur tapi justru mengurangi kepekaannya terhadap segala perubahan, Suhumu tahu bahwa kau berbakat bagus dan pintar, maka ia tak ingin membuat kau pun terbelenggu oleh peraturan yang bermacam-macam, Suhumu berharap agar kau bisa lebih bebas untuk bertindak guna membalaskan dendam bagi kematian gurumu dan melindungi keutuhan perguruan, dengan kemampuan sekarang, hal ini pasti dapat kau atasi....”

Demikianlah, setelah berlangsung pembicaraan yang panjang lebar, dipimpin Tang Cuan. Seng Tiong-gak, Cu Siau-hong, dan Pek Hong bersama-sama berlutut di depan jenazah Tiong Ling-kang dan menyembah tiga kali kepada layonnya.

Dalam pada itu, kobaran api yang membakar perkampungan Ing-gwat-san-ceng makin lama berkobar semakin besar, agaknya seluruh perkampungan tersebut sudah tertelan dibalik lautan api.

Pek Hong yang tabah tidak menampilkan rasa panik atau gugup, terhadap kobaran api yang membumbung ke angkasa, ia bersikap seakan-akan tak pernah melihatnya.

Waktu itu secara tiba-tiba Tang Cuan berlutut di hadapan Seng Tiong-gak, melihat itu sambil membangunkan kembali keponakan muridnya, Seng Tiong-gak berseru :

“Tang Cuan, apa yang sedang kau lakukan?”

“Pesan Suhu tak berani Tecu tampik, dikemudikan hari Tecu masih banyak mengharapkan bantuan dan petunjuk dari Susiok sebagai Tiang-lo perguruan kita.”

“Tang Cuan, Suhumu mewariskan kedudukan ciangbunjin itu kepadamu, hal mana sesungguhnya merupakan peraturan yang berlaku umum dalam dunia persilatan, dan merupakan juga maksud hatiku, tentu saja aku akan berusaha dengan sepenuh tenaga untuk membantumu, soal menjunjung nama baik perguruan, aku masih berkewajiban untuk memperjuangkan....”

Setelah menghela napas, ia melanjutkan :

“Suheng telah mewakili Suhu untuk mewariskan ilmu silat kepadaku, tak terukur budi baiknya kepada diriku, meski dia hanya Suhengku tapi hubungan kami boleh dibilang sangat akrab sekali, sudah pasti aku akan ikut memikul tanggung jawab perguruan dengan meneruskan perjuangannya yang belum selesai.......”

“Terima kasih banyak atas kesediaan Susiok untuk memenuhi harapan kami semua,” cepat-cepat Tang Cuan memberi hormat.

Sinar matanya segera dialihkan ke wajah Cu Siau-hong, lalu katanya lagi :

“Sute.....”

“Ciangbun-suheng ada pesan apa?”

“Sudah kau dengar pesan terakhir dari Suhu?”

“Telah Siaute ingat di dalam hati!”

“Penjelasan dari Sunio juga sudah kau pahami?”

“Siaute telah memahaminya!”

“Pesan Suhu mengandung arti lain yang amat mendalam, semoga saja Sute dapat meresapi kata-katanya.”

“Siaute mengerti!”

“Sejak sekarang, kau sudah tidak terikat lagi oleh peraturan perguruan Bu-khek-bun, ibaratnya ikan berenang bebas di samudra, burung terbang bebas di angkasa, asal kau merasa tindakanmu itu benar, lakukan saja tanpa kuatir kutegur!”

“Siaute masih hendak mengikuti ciangbunjin, Seng-susiok, dan Suhu untuk berjuang demi perguruan Bu-khek-bun kita.”

“Aaai.....! itu terserah pada maksud hatimu sendiri....”

Tiba-tiba Pek Hong mengambil pedang Cing-peng-kiam milik Tiong Ling-kang itu, kemudian diangsurkan ke tangan Tang Cuan katanya :

“Cing-peng-kiam merupakan senjata mustika yang turun-temurun dipegang oleh ciangbunjin perguruan Bu-khek-bun, mulai sekarang pedang ini kuserahkan kepadamu.”

Dengan sangat hormat Tang Cuan menerima pedang itu, lalu sahutnya :

“Tang Cuan turut perintah!”

Ketika Seng Tiong-gak menyaksikan upacara pewarisan jabatan ketua telah dilangsungkan dalam suasana penuh kepedihan, segera ia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya :

“Ciangbunjin, perlukah kita kembali ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng untuk melihat keadaan?”

“Seharusnya kita ke sana untuk melihat keadaan,” jawab Tang Cuan, “siapa tahu kalau-kalau beberapa orang rekan kita masih terlibat dalam suatu pertarungan berdarah yang amat sengit?”

Tiba-tiba Cu Siau-hong berjongkok sambil berkata :

“Kita harus membebaskan dulu jalan darah Pek-cianpwe yang tertotok!” tiba-tiba ia melepaskan tiga buah totokan kilat.

Rupanya secara tiba-tiba ia teringat dengan semacam ilmu membebaskan jalan darah yang tercantum dalam kitab pusaka Kiam-boh, maka tanpa disadari ia telah mempergunakannya.

Tampak sekujur tubuh Pek Bwe gemetar keras, kemudian bangun berduduk, katanya dengan geram.

“Cucu monyet yang tak tahu diri, berani menyergap diriku.....”

Tiba-tiba ia menyaksikan mayat Tiong Ling-kang tergeletak di situ, dengan wajah tertegun segera serunya :

“Hei, apa yang telah terjadi?”

“Ayah, kau telah sadar?” kata Pek Hong tak tahan air matanya bercucuran seperti anak sungai.

Seng Tiong-gak agak terkejut juga melihat kemampuan Cu Siau-hong dalam membebaskan jalan darah Pek Bwe yang tertotok, setelah tertegun sejenak katanya :

Kiranya Seng Tiong-gak telah mempergunakan belasan macam cara untuk membebaskan jalan darah Pek Bwe tapi ia tak pernah berhasil. Sebaliknya Cu Siau-hong hanya melancarkan tiga totokan saja, dan alhasil secara mudah ia berhasil membebaskan jalan darah tersebut.

Sudah jelas, kepandaian yang barusan ia gunakan bukan kepandaian aliran Bu-khek-bun.

Seng Tiong-gak tidak bertanya lebih jauh, ia teringat dengan pesan terakhir Suhengnya, jangan-jangan antara guru dan murid itu sudah mengadakan kontak secara rahasia.

To-heng-siu (kakek yang berkelana seorang) Pek Bwe adalah seorang jago kawakan berpengalaman luas, setelah berpikir sejenak ia berhasil menebak sebagian besar duduk persoalan yang telah terjadi, setelah menghela napas katanya,

“Apakah Ling-kang telah beradu jiwa dengan Liong Thian-siang?”

“Suhu berhasil membinasakan Liong Thian-siang lebih dulu, sedang beliau tewas karena pendarahan yang kelewat banyak,” Tang Cuan segera menerangkan.

Pek Bwe manggut-manggut.

“Kalau begitu kebakaran yang terjadi dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng pun merupakan hasil karya dari Liong Thian-siang?”

“Ayah aku lihat tidak mirip, agaknya ada dua peristiwa yang kebetulan saja berlangsung dalam saat yang bersamaan,” ujar Pek Hong sambil menyeka air mata.

“Nak, tak akan sedemikian kebetulan peristiwa itu berlangsung pada saat yang sama, sudah pasti hal ini merupakan suatu intrik musuh yang keji, cuma kemungkinan sekali di dalam rencana busuk itu Liong Thian-siang tidak ikut serta....”

Kemudian setelah berpaling sejenak, ia bertanya :

“Di mana It-ki?”

“Masih ada dalam perkampungan, dia tidak ikut datang!” sahut Pek Hong cepat.

“Kita tak boleh membiarkan It-ki terbunuh pula di tangan musuh, biar kutengok keadaannya.”

“Locianpwe, kesehatanmu belum pulih kembali, biar Boanpwe saja yang melakukan pemeriksaan!” kata Tang Cuan sambil berpaling dia lantas berseru, “Siau-hong! Ikut aku......”

Ketika selesai berbicara tubuhnya sudah berada dua kaki lebih dari posisi semula.

Cu Siau-hong segera menyusul pula di belakangnya.

“Enso!” Seng Tiong-gak segera berbisik, “baik-baik menjaga Pek-locianpwe, suruh ia duduk atur pernapasan, Siaute ikut ke perkampungan untuk melihat keadaan!”

Dengan terbebasnya Pek Bwe dari pengaruh totokan, kekuatan mereka bertambah kuat, hal mana membuat Seng Tiong-gak merasa amat lega sekali.......

Dengan suatu gerakan cepat Tang Cuan berlarian menembusi hutan kembali ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Di tengah kobaran api yang membumbung tinggi ke angkasa, lamat-lamat terendus pula bau anyir darah yang memuakkan.

Ia mencoba untuk memperhatikan suasana di sekeliling situ, namun tidak terdengar suara benturan senjata tajam.

Itu berarti pertarungan telah berakhir.

Tanpa memperdulikan keadaan sendiri, dengan cepatnya Tang Cuan menerjang masuk ke balik kobaran api.

Cu Siau-hong dan Seng Tiong-gak ikut pula menerjang masuk ke dalam perkampungan yang terbakar itu.

Dengan menempuh kobaran api yang panas, mereka mondar-mandir di sekitar kebakaran itu sambil setiap kali membopong keluar setiap jenazah yang dijumpainya!

Tak lama kemudian, Pek Bwe dan Pek Hong dengan membawa jenazah Tiong Ling-kang telah menyusul pula ke tempat kejadian.

Betul Seng Tiong-gak sekalian memiliki ilmu siat yang lihay, tapi mereka tak mampu untuk mencegah berkobarnya api yang membakar perkampungan mereka.

Untung saja Pek Bwe yang berpengalaman menitahkan mereka untuk merobohkan dinding dan menghadang jalannya kobaran api, sehingga api yang berkobar amat besar diperkecil.

Ketika api telah padam semua, waktu pun menunjukkan tengah hari bolong...............”

Perkampungan Ing-gwat-san-ceng boleh dibilang sembilan puluh persen telah musnah dimakan api, hanya tinggal sebuah ruangan di sudut barat laut yang belum sempat tertimpa bencana.

Hasil pemeriksaan mayat menunjukkan ada tiga puluh sembilan mayat yang ditemukan, bahkan pelayan, dayang, centeng, tukang kayu pun tak ada yang dilepaskan.

Dari ketiga puluh sembilan sosok mayat tersebut tiada seorang pun yang mati karena terbakar, kebanyakan mereka dibunuh lebih dulu kemudian mayatnya dibuang ke dalam liang api.

Justru karena itulah, raut wajah beberapa orang itu secara lamat-lamat masih bisa dikenali.

Dua belas orang murid Bu-khek-bun, kecuali Tang Cuan dan Cu Siau-hong, masih ada sepuluh orang lagi, tapi hanya enam sosok mayat yang ditemukan, itu pun dengan tubuh yang penuh luka besar, jelas sebelum tewas mereka telah melangsungkan suatu pertempuran yang amat seru....

Ketika diperiksa lagi oleh Tang Cuan dengan lebih seksama, ditemukan bahwa saudara seperguruannya yang ditemukan tewas adalah saudara-saudaranya yang ketiga, empat, enam, delapan, sepuluh dan sebelas, sedangkan yang tidak dijumpai adalah mayat dari sute kedua, kelima, kesembilan, dan siau-sute Tiong It-ki.

Rambut Pek Hong sudah awut-awutan kacau terhembus angin, wajahnya penuh dengan noda arang.

Padahal bukan cuma dia saja, setiap orang telah berubah jadi hitam karena hangus.

Hanya dalam satu malam, suaminya tewas dalam medan pertempuran, perkampungannya terbakar hancur, putranya lenyap dan tak diketahui mati hidupnya, pukulan batin ini cukup berat. Sekalipun Pek Hong tabah, toh tak tahan juga menghadapi kesemuanya itu.

Sambil berdiri termangu-mangu di depan pintu ruangan, ia awasi deretan mayat itu dengan sinar mata sayu, kesedihan yang mencekam perasaannya benar-benar sudah melampaui batas.

Pelan-pelan Tang Cuan berjalan menghampirinya, lalu berbisik dengan lirih :

“Subo, jenazah siau-sute tidak ditemukan....”

“Aku tahu!” jawab Pek Hong pendek, sekalipun wajahnya agak muram, namun pikirannya masih segar.

Di pihak lain, Seng Tiong-gak sedang terlibat pula dalam suatu pembicaraan serius dengan Cu Siau-hong.

Sejak Cu Siau-hong berhasil membebaskan jalan darah Pek Bwe dengan satu totokan saja, Seng Tiong-gak telah mempunyai pandangan yang lain atas diri anak muda tersebut.

Sesudah mendehem pelan ia pun berkata :

“Coba lihatlah, menurut pendapatmu siapa yang melakukan perbuatan durjana ini?”

“Dari sekitar tempat kebakaran kita tidak menemukan tanda apapun,” sahut Cu Siau-hong, “jelas hal ini menunjukkan kalau pihak musuh telah memiliki suatu rencana yang matang, lagi pula datang menyerang dengan suatu kekuatan yang dahsyat. Sebab itulah kelima orang sute dan kelima orang suheng, tak seorang pun berhasil meloloskan diri.......

Tiba-tiba ia membungkam dan tidak berbicara lagi.

Seng Tiong-gak manggut-manggut.

“Siau-hong!” katanya, “selama ini It-ki belajar silat bersamamu, kau lebih memahami dirinya dari pada aku, bagaimanakah kepandaian silat yang dimilikinya sekarang?”

“Usia It-ki sute masih terlalu muda, tenaga dalamnya tak bisa menandingi kesempurnaan Toa-suheng, tapi kesempurnaannya dalam ilmu pedang pasti tak akan berada di bawahku maupun Toa-suheng.”

“Nah, di sinilah letak kecurigaan tersebut. Jika kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki It-ki benar-benar telah mencapai taraf seperti yang kalian miliki, sekalipun ia tak mampu menangkan musuhnya, paling tidak masih mampu baginya untuk melarikan diri.”

“Kecuali sebelum bertarung Tiong-sute sudah kena disergap lebih dulu, sehingga dibalik kesempurnaan rencana mereka, tersisa juga sebuah titik keterangan buat kita.”

“Betul It-ki masih muda,” kata Seng Tiong-gak, “tapi bukannya berarti ia tak berotak sama sekali.”

“Itulah sebabnya, jika bukan orang dikenal yang menyergapnya, tak nanti Tiong-sute bisa kena dipecundangi.”

“Tapi siapa yang telah menyergap It-ki?”

“Masalah ini besar sekali akibatnya, maka dari itu sebelum memperoleh bukti yang nyata, Siau-hong tak berani sembarangan bicara.”

Tiba-tiba terdengar Pek Bwe sedang berkata dengan suara lantang :

“Anak Hong, Ling-kang telah mati, ia pun telah menyerahkan Bu-khek-bun untuk murid tertuanya Tang Cuan, Tiong-gak dan Siau-hong setiap saat akan membantunya juga, dengan demikian tanggung jawab Bu-khek-bun telah ada yang memikul. Tapi para pelayan dan para dayang dari Ing-gwat-san-ceng tak ada yang pandai silat, lagi pula mereka datang karena diundang kau serta Ling-kang, kematian mereka yang penasaran tersebut tak boleh tidak harus kita tuntut balas!”

“Dalam semalam saja suami mati anak hilang, apa yang musti kulakukan sekarang?” keluh Pek Hong sambil bangkit berdiri.

“Hong-ji, Ling-kang bisa berakhir seperti hari ini, sedikit banyak kau pun ikut bertanggung jawab. Sebuah perguruan besar yang termasyhur namanya dalam dunia persilatan, ternyata sama sekali tidak waspada dan bersiap sedia, apa yang dipikirkan hanya bagaimana caranya mencermelangkan nama perguruan, meski keteledoran ini terhitung kecil, tapi justru keteledoran yang kecil inilah mengakibatkan peristiwa yang besar. Aaai...... meski jalannya peristiwa jauh di luar dugaan, tapi bila dipikir kembali sesungguhnya bibit bencana ini sudah sejak lama tertanam di sini.”

“Nasihat Ayah memang benar!”

Tiba-tiba wajah Pek Bwe berubah menjadi amat keren, katanya lagi :

“Aku pernah mendengar dari Liong Thian-siang katanya paling tidak pada enam hari berselang kau telah bertemu dengannya, kenapa kau tidak memberitahukan persoalan ini kepada Ling-kang atau berunding dulu dengan Tiong-gak?”

“Waktu itu putrimu berpendapat, bila pertikaian ini bisa diselesaikan secara damai, bukan hal ini lebih baik lagi....”

“Cinta dan dendam yang terwujud hampir dua puluh tahun lamanya, apa kau anggap bisa dibereskan dengan sepatah dua patah kata saja? Jika kau memberitahukan soal ini kepada Ling-kang, sehingga Bu-khek-bun telah mengadakan persiapan semenjak beberapa hari berselang, tak nanti kalian akan mengalami peristiwa tragis seperti hari ini.”

“Putrimu tahu salah!”

“Aaai....!” sayangnya, ia telah membekuk diriku lebih dulu,” keluh Pek Bwe kemudian sambil menghela napas.

“Dengan cara apa Liong Thian-siang berhasil menaklukkan Locianpwe?” tanya Seng Tiong-gak dengan suara dalam.

“Yaa, bila dibicarakan kembali sebetulnya cukup memalukan, waktu itu ia datang seorang diri menjenguk diriku, aku menahannya untuk makan bersama, kebetulan ia membawa seguci arak wangi, maka kami pun membuka arak itu dan meminumnya sambil bercakap-cakap, tanpa terasa seguci arak itu sudah habis kita minum. Pada mulanya kau masih menaruh was-was kepadanya, tapi ketika selesai minum arak seguci, kewaspadaanku sama sekali mengendur, sungguh tak disangka ketika kuhantar ia pulang, tiba-tiba saja ia melancarkan sebuah totokan untuk merobohkan aku.”

“Locianpwe, mereka telah merampas sebuah rumah petani dan membunuh ketiga orang penghuninya secara keji.”

“Yaa, meskipun Lohu berhasil lolos dari keselamatan, tapi harus pula mengorbankan selembar nyawa Ling-kang, aai.....! Sebetulnya aku ingin berdiam di perkampungan Ing-gwat-san-ceng, tapi aku sudah tertarik oleh bukit kecil itu dengan pemandangan alamnya. Coba kalau sejak dulu aku tinggal di dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng, tak nanti akan sampai terjadi peristiwa semacam ini!”

Cu Siau-hong ikut menghela napas panjang, tiba-tiba timbrungnya :

“Locianpwe, Boanpwe punya pendapat yang bodoh, entah bolehkah kuutarakan pendapatku itu?”

“Siau-hong, katakan saja berterus terang,” seru Seng Tiong-gak, “Pek-locianpwe memiliki pengetahuan yang luas dengan jiwa yang besar, seorang yang hanya membaca sepuluh laksa kitab tak akan menangkan seorang yang telah melakukan perjalanan sejauh selaksa li. Asal dia orang tua bersedia hidup bersama kami, besar tentunya bantuan yang akan kita peroleh.......”

“Aku telah kehilangan satu-satunya menantuku dan kehilangan pula satu-satunya cucu luarku,” kata Pek Bwe dengan sedih.

“Demi satu-satunya putriku, aku tak bisa melepaskan persoalan ini dengan begitu saja, apalagi mereka telah menyekapku selama beberapa hari.......”

Sorot matanya dialihkan ke wajah Cu Siau-hong, kemudian katanya :

“Bocah muda, katakanlah pendapatmu itu!”

“Setelah Boanpwe pikirkan sekian lama, dapat kurasakan bahwa peristiwa ini sebenarnya adalah dua persoalan yang masing-masing berdiri sendiri yang secara kebetulan saja berlangsung pada saat yang bersamaan......”

“Ehm, suatu pendapat yang hebat!” Pek Bwe manggut-manggut, “lanjutkan perkataanmu itu, Siau-hong!”

“Kelompok yang membakar dan membantai anggota perguruan kitalah baru merupakan kelompok yang sesungguhnya mengincar perkampungan Ing-gwat-san-ceng, mungkin rencana ini sudah mereka siapkan cukup lama, hanya secara kebetulan saja mereka mendapatkan kesempatan baik ketika Liong Thian-siang datang mencari gara-gara.”

Pek Hong, Tang Cuan maupun Seng Tiong-gak ikut mendengarkan dengan seksama, tanpa terasa mereka manggut-manggut.

“Bagaimana selanjutnya Siau-hong?” tanya Seng Tiong-gak kemudian.

“Dalam peristiwa ini, siapa pun jangan terlalu menyalahkan diri, sebab andaikata kita tidak menjumpai peristiwa Liong Thian-siang, kemungkinan besar mereka akan melakukan tindakan yang jauh lebih keji lagi terhadap kita semua, rencana ini pasti sudah disusun mereka cukup lama, mereka pun sudah menanti sangat lama. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa mereka adalah sekawanan manusia yang berhati busuk dan berakal panjang, meski Liong Thian-siang telah membantu mereka tapi ia pun telah merusak rencana mereka!”

“Lohu pernah berpikir sampai ke situ, tapi tidak sedalam apa yang kauterangkan sekarang. Luar biasa kau, anak muda! Orang kuno pernah bilang, seorang siucay tanpa keluar pintu pun dapat mengetahui semua persoalan di dunia, tidak sia-sia rasanya kau banyak membaca buku.”

“Bila Boanpwe tidak masuk ke dalam perguruan Bu-khek-bun, tak nanti akan kucapai hal seperti ini,” kata Cu Siau-hong.

“Apa maksud perkataanmu itu?”

“Bila aku tetap belajar di rumah, ayahku pasti akan mengawasi diriku secara ketat, apa yang dibaca pun pasti sekitab kitab-kitab Lun-hi, Cho-co-an, Ngo-keng-su-siu, dan sejenisnya. Tapi setibanya di Bu-khek-bun, Suhu tidak terlalu membatasi bahan bacaan yang kubaca, justru karena itulah aku baru mendapat kesempatan untuk menambah pengetahuanku dalam membaca, tidak sedikit pula bahan bacaan aneka ragam yang berhasil kubaca.”

“Setiap kali Suhumu keluar rumah, ia pasti pulang dengan membawa sejumlah besar buku bacaan, apakah semua buku itu diberikan kepadamu untuk dibaca?” tanya Pek Hong.

“Suhu amat memperhatikan diriku, tapi yang paling membantu Tecu justru adalah dua peti buku yang ditinggalkan Pek-cianpwe untukku itu......”

“Bocah muda, kau telah membaca semua kitab dalam kedua petiku itu......?” teriak Pek Bwe dengan mata melotot.

“Suhu yang memberikan kedua peti buku itu untukku baca, kalau tidak begini, mana Boanpwe berani membongkar barang milik Locianpwe?”

“Maksudku, apa kau memahami isi dari semua kitab bacaan yang kumiliki itu?”

“Walaupun jumlah kitab yang Locianpwe miliki tidak terhitung banyak, tapi memang terhitung kitab-kitab yang sukar dipahami, walaupun di antaranya ada dua jilid yang isinya betul-betul mendalam sekali hingga Tecu merasa kesulitan untuk memahami isinya, tapi untunglah sebagian besar dapat kupahami, di antaranya ada sejilid yang tidak berisikan tulisan kita.”

“Benar! Kitab itu berisi tulisan Thian-tok (India), aku mendapatkannya dari seseorang pendeta tua yang hampir wafat, apakah isinya adalah sejilid kitab sembayangan?”

Cu Siau-hong segera tertawa.

“Boanpwe sendiri pun tidak mengerti huruf Thian-tok, tapi menurut perasaan Boanpwe, isi kitab itu bukan sejilid kitab sembayangan......”

“Kalau bukan kitab sembayangan, lantas apa isinya?” seru Pek Bwe setelah tertegun sejenak.

“Agaknya seperti sebuah cerita.”

“Dapatkah kau menceritakan kisah dalam kitab tersebut kepadaku?”

Agak memerah wajah Cu Siau-hong karena jengah, dengan perasaan apa boleh buat katanya kemudian :

“Aku sama sekali tidak paham dengan isi tulisan itu, kemudian ketika ilmu kitab telah selesai kubaca dan tiada kitab lagi yang bisa kubaca, maka kitab berisi huruf Thian-tok itu kubaca lagi sampai beberapa puluh kali, setelah kuduga berluang kali, akhirnya bisa juga kupahami isi cerita tersebut, tentu saja ketiga gambar yang ada di dalam kitab itu sangat menolong diriku, cuma Locianpwe, Boanpwe betul-betul tak tahu apakah rabaanku ini benar atau tidak? Aaai.... jika permulaan sudah keliru maka selanjutnya pasti akan keliru, karena itulah Boanpwe tak berani sembarangan bicara.”

“Tidak menjadi soal katakanlah! Mungkin Lohu bisa sedikit membatumu!”

Tiba-tiba Seng Tiong-gak menyela :

“Siau-hong, aku masih ingat pada dua tahun berselang Suheng pernah memberitahukan sepatah kata kepadaku, waktu itu aku masih kurang percaya, tapi tampaknya apa yang dikatakan Suheng memang tidak salah.”

“Apa yang dikatakan Ling-kang?” tanya Pek Hong.

Sepasang suami istri itu mempunyai hubungan batin yang amat erat, apalagi Tiong Ling-kang mati belum lama, Pek Hong lebih-lebih merasakan bahwa setiap ucapan yang pernah dikatakan suaminya akan mendatangkan perasaan nyaman bagi dirinya, sebab meski ucapan itu bukan diutarakan dengan suara suaminya, tapi merupakan maksud hati dari suaminya.

“Toa-suheng bilang, Siau-hong hanya menggunakan empat bagian perhatiannya untuk belajar silat dan enam bagian perhatiannya untuk membaca buku, waktu yang dibuang dalam membaca buku jauh lebih banyak dibandingkan dengan waktu belajar silat.”

“Susiok, tak pernah ada kejadian begini,” buru-buru Cu Siau-hong membantah, “setiap kali Suhu memberi pelajaran silat, Tecu pasti hadir di arena!”

“Suhumu pernah berkata demikian semasa hidupnya dulu, jadi benar atau tidak aku tak begitu tahu.”

Pek Bwe lantas mendehem pelan, katanya,

“Tiong-gak, kau harus mencari beberapa orang untuk membebaskan reruntuhan di sini, kita masih harus membangun kembali perkampungan Ing-gwat-san-ceng.”

“Siau-hong, hayo berangkat! Kita pergi mencari orang,” kata Seng Tiong-gak kemudian.

“Biar Siau-hong berada di sini,” cepat Pek Bwe berteriak, “aku masih hendak mengajaknya untuk membicarakan tentang kitab tersebut.”

Seng Tiong-gak mengiakan, dia pun mengajak Tang Cuan berlalu dari tempat itu.

Kini dalam ruang tengah tinggal Pek Bwe, Pek Hong, Cu Siau-hong serta beberapa puluh sosok mayat yang berjajar-jajar.

Dengan perasaan tak sabar Pek Bwe segera berkata,

“Aku pernah membaca pula kitab itu, tapi sayang dasar pengetahuanku amat cetek, tidak seperti kau yang banyak pengetahuan sehingga dapat menebak isi mereka, cuma ketiga lembar gambar itu selalu meninggalkan kesan yang mendalam di benakku, mungkin mengandalkan pengalamanku sendiri, Lohu masih bisa memberikan sedikit bantuan kepadamu.”

Cu Siau-hong termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya :

“Kisah dalam kitab itu agaknya menceritakan seseorang yang hendak melarikan diri dari keluarganya dan berdiam di tengah sebuah gunung yang amat besar, orang itu lebih suka melewati penghidupan yang serba kesepian dari pada kehidupan yang ramai.”

“Apakah orang itu adalah seorang perempuan?” sela Pek Bwe.

“Justru pada bagian inilah aku merasa paling tidak mengerti, mungkin saja tulisan itu menceritakan dengan jelas, cuma aku tidak memahaminya.”

“Aku mengerti akan arti gambar tersebut, memang dalam gambar itu kelihatan agak buram, tapi aku dapat menangkap kalau bayangan itu adalah bayangan seorang perempuan, justru di sinilah letak keheranan Lohu, jika kitab tersebut adalah sejilid kitab sembahyangan, maka benda itu tentunya berasal dari kuilnya para hwesio, kenapa dalam buku itu bisa muncul seorang perempuan?”

“Siapa tahu kalau hwesio itu cuma menulis pengalamannya sendiri.......” tiba-tiba pemuda itu membungkam.

Dengan cepatnya ia membantah kembali pendapat tersebut, sebab kitab itu adalah sejilid kitab yang disusun secara rapi, lagi pula sudah berusia banyak waktu, tidak mirip seperti tulisan tangan dari hwesio itu sendiri.

Pek Bwe menghembuskan napas panjang, lalu berkata lebih jauh :

“Bocah muda, ketika hwesio itu menyerahkan kitab tersebut kepadaku, dia hanya mengucapkan sepatah kata, jika aku dapat menghantarkan kitab itu ke kuil Hui-Liong-si di Cing-hay, dan menyerahkan kepada seorang Taysu yang bernama Mo-gak-taysu, aku bisa mendapatkan tiga biji mutiara asli.

“Mutiara tiada harganya, ada yang baik ada pula yang jelek, andaikata Locianpwe berangkat ke Cing-hay dengan menghantarkan kitab tersebut, sekalipun mereka pegang janji dengan memberikan tiga butir mutiara kepadamu, belum tentu hal mana merupakan suatu penghargaan yang terlalu tinggi.”

“Ketika itu, Lohu tak sampai memikirkan tentang persoalan itu, aku hanya merasa hawa kitab itu merupakan sejilid kitab sembahyangan, bagiku bagi dunia persilatan sama sekali tiada pengaruhnya, maka aku tidak menyanggupi permintaannya, sayang hwesio tua itu pun tidak sempat berbicara lebih jauh dan keburu mati lebih dulu. Setelah kejadian tersebut, aku sering melihat kitab ini, aku hanya menduga kalau isi kitab tersebut mungkin adalah suatu cerita dalam kitab sembayangan, walaupun Lohu pun gemar membaca tapi sayang tidak memiliki bakat dan kecerdasan seperti kau, maka setelah mendengar keteranganmu bahwa kitab itu mungkin bukan sejilid kitab sembahyangan........”

“Kalau bukan kitab sembahyangan lantas kitab apa?”

“Mungkin suatu catatan khusus tentang suatu kejadian.”

“Catatan tentang suatu peristiwa?”

“Tak bisa dikatakan demikian, mungkin saja hwesio tersebut membawa kitab itu karena hendak mencari sesuatu, tapi akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tak sanggup menyelesaikan tugas tersebut, maka ia minta kepadaku untuk menyerahkan kitab ini kepada orang lain.”

“Dan orang itu adalah Mo-gak-taysu?”

“Benar! Sayang aku tidak menghantar kitab itu kepadanya, kini peristiwa tersebut telah berlangsung sepuluh tahun lamanya, mungkin Mo-gak-taysu sudah lama meninggalkan kuil Hui-Liong-si.”

Cu Siau-hong tertawa getir, katanya :

“Locianpwe, selamanya kita tak akan sanggup lagi mengantarkan kitab itu ke kuil Hui-Liong-si.”

Pek Bwe terbahak-bahak.

“Sudah terbakar?” katanya.

“Yaa, Boanpwe telah memeriksa tempat menyimpan kitab, sejilid pun sudah tak ada lagi.”

“Ayah!” tiba-tiba Pek Hong menyela, “kau telah memeriksa lokasi tempat kejadian, sebenarnya siapakah yang telah mencelakai diri Ling-kang.....?”

“Anak Hong jika aku berbicara terus terang, kau pasti akan merasa sangat kecewa.”

“Katakanlah Ayah!”

“Aku tidak berhasil menemukan apa-apa, sergapan ini benar-benar merupakan suatu sergapan yang berhasil, suatu sergapan yang sebelumnya telah dipersiapkan suatu rencana yang amat matang.”

“Jika menurut pendapat Ayah, selama hidup kita tak akan sanggup untuk membalas dendam lagi?”

“Tiada bau busuk yang bisa disimpan rapat, apalagi kita tidak menjumpai mayat It-ki, jadi buat kita masih ada sedikit harapan.”

“Harapan apa?”

“Mungkin It-ki belum mati, melainkan diculik oleh mereka, nah inilah satu-satunya titik terang yang kita miliki.”

“Aku benar-benar tidak habis mengerti, kenapa mereka menculik It-ki dalam keadaan hidup?”

“Itulah perhitungan mereka yang jitu, dari pada membunuh It-ki lebih besar manfaatnya bila mereka tetap membiarkan It-ki dalam keadaan hidup.”

“Kalau dilihat dari cara kerja mereka yang kejam sehingga ayam dan anjing pun tak ada yang dibiarkan hidup, menahan It-ki dalam keadaan hidup bukankah sama artinya dengan meninggalkan jejak?”

“Bu-khek-bun adalah suatu perguruan besar, kini dalam satu malam saja bukan cuma anggota perguruannya dibantai habis, rumah pun dibakar sampai ludas, betul kalian orang-orang Bu-khek-bun masih tak tahu apa gerangan yang telah terjadi, tapi hal ini jangan harap bisa mengelabui dunia persilatan, sekalipun mereka berhasil membunuh It-ki, membunuh setiap orang sehingga seorangpun tak ada yang hidup, toh tidak sulit bagi umat persilatan untuk mencari titik terang, jadi dalam hal ini kau tak usah gelisah, yang patut di gelisahkan adalah mengapa mereka biarkan It-ki tetap hidup, di samping itu masih ada pula Siau-hong dan lain-lainnya kenapa mereka pun tidak ikut diburu?”

“Yaa, kejadian ini memang rada sedikit aneh.......”

Cu Siau-hong segera menyela, katanya :

“Ji-suheng Long Ing dan Kiu-sute Tong Thian memang sudah mencurigakan sekali, Toa-suheng telah mendapat perintah untuk mengawasi gerak-gerik mereka sayang peristiwa ini berlangsung terlalu cepat sebelum kita sempat melakukan suatu tindakan mereka sudah bertindak lebih duluan. Yang betul-betul mengherankan justru adalah lenyapnya jenazah dari Ngo-suheng Thio Hong-tiong.”

“Aaai...... salju setebal tiga depa, tak mungkin bisa terjadi dalam sehari,” kata Pek Bwe, “Ling-kang memang terlalu jujur orangnya, meski dia sudah tahu kalau Long Ing si bocah keparat itu ada persoalan, kenapa ia tak mau cepat-cepat bertindak atas dirinya? Paling tidak ia harus mengutus orang untuk mengutilnya dan membongkar rencana busuk orang-orang itu.”

“Suhu telah memperhatikan hal itu dengan serius,” jawab Cu Siau-hong, “bahkan secara khusus menyerahkan tugas ini kepada Toa-suheng, sayang mereka terlalu cepat bertindak.”

“Tak bisa menyalahkan orang lain bertindak terlalu cepat, Nak, dunia persilatan hakikatnya adalah suatu tempat yang menakutkan, kalau toh persoalan ini sudah diketahui, mengapa tidak cepat-cepat dibereskan? Bocah muda, kau harus ingat baik-baik akan hal ini, justru lantaran gurumu terlalu welas kasih, maka ia musti membayar mahal atas sikapnya itu. Suatu pengorbanan yang menyangkut puluhan lembar jiwa manusia.”

Cu Siau-hong menghela napas panjang, katanya :

“Terima kasih atas nasihat Locianpwe, Boanpwe pasti akan perhatikan baik-baik.”

“Nah anak muda, selanjutnya bila kau melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, pikiran dan penglihatanmu musti tajam, bila menghadapi suatu persoalan selidiki dulu sampai jelas, jangan sekali-kali menarik diri di tengah jalan......”

Sesudah menghembuskan napas panjang, lanjutnya :

“Setiap persoalan ada yang berat dan ada pula yang enteng, bagaimana caranya untuk menyelesaikan dulu persoalan yang berat, hal ini tergantung pada kecerdasanmu sendiri.”

“Terima kasih banyak atas nasihat Locianpwe!”

Dalam saat dan keadaan seperti ini setiap ucapan setiap tulisan yang muncul di hadapannya menimbulkan kekuatan yang jauh lebih besar dari pada di hari-hari biasa.

Nasihat yang diucapkan pada saat seperti ini biasanya akan lebih cepat terukir dalam hati orang dari pada nasihat sebanyak seribu kata di hari biasa.

“Hei, pada saat semacam ini pun kalian masih begitu isengnya untuk membicarakan masalah itu,” tiba-tiba Pek Hong berteriak, “seharusnya kalian musti berusaha untuk memikirkan siapa pembunuhnya lebih dulu.”

“Jika di hari-hari biasa kubicarakan tentang soal ini kepadanya, maka ia akan melupakannya kembali setelah didengar, berbeda jika kubicarakan pada saat ini, setiap patah kataku pasti akan terukir dalam-dalam di dasar hati Siau-hong, karena darah Suhunya belum kering, jenazah dari Suheng, Sute, dan pelayan-pelayannya masih membujur di hadapannya, dalam keadaan demikian dia pasti akan mengingat selalu setiap perkataanku ini.”

Cu Siau-hong segera menjura dalam-dalam,

“Sungguh banyak sekali yang berhasil Siau-hong dapatkan pada saat ini.............” katanya.

Pek Bwe tertawa getir, katanya lagi :

“Tak sia-sia Ling-kang berusaha dengan sekuat tenaga untuk membujuk kakekmu dan ayahmu untuk membawa kau masuk menjadi anggota Bu-khek-bun, dalam hal ini ia memang melihat lebih jelas dari padaku, ia memang benar-benar memiliki bakat seorang ketua perguruan.”

“Ayah,” seru Pek Hong lagi, “apakah kita perlu memeriksa lokasi sekali lagi untuk mengumpulkan sedikit bukti?”

“Jangan kuatir Nak, sekalipun aku memeriksa dua kali juga sama saja, tak akan menemukan bukti apa-apa. Mereka tak akan meninggalkan bukti di tempat kejadian, gerakan mereka terlampau cepat, setelah membunuh orang masih ada cukup waktu untuk memusnahkan pelbagai bukti yang ada, cuma kau pun tak perlu kuatir, dengan gerakan mereka yang berjumlah banyak, pasti akan kita temukan suatu jejak untuk diselidiki, hanya saja aku masih ada beberapa yang ingin ditanyakan kepada kalian.”

“Apa yang hendak Ayah tanyakan?”

“Aku masih ingat kalau jumlah anggota Ing-gwat-san-ceng bukan cuma sekian saja, aku lihat sudah berkurang setengah lebih.”

“Yaa, entah mengapa agaknya Ling-kang sudah mendapat firasat jelek, pada bulan berselang, ia sudah membuyarkan para centeng dan anggota perkampungannya yang sudah tua, kemudian membubarkan pula sekawanan pelayan....”

“Kenapa?”

“Aku pernah mendengar Ling-kang membicarakannya sekali, katanya dia hendak mengatur kembali anggota Ing-gwat-san-ceng dan siap melatih sejumlah centeng muda.”

“Hong-ji, coba pikirkan baik-baik, kenapa ia harus bertindak demikian.....?” kata Pek Bwe dengan wajah serius.

Pek Hong berpikir sebentar, kemudian jawabnya :

“Mungkin ia telah merasakan bahwa dalam waktu dekat dalam dunia persilatan bakal terjadi suatu peristiwa, karena beranggapan bahwa setelah kedua belas muridnya meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng nanti, jumlah isi perkampungan menjadi amat sedikit, maka dia hendak melatih enam puluh empat orang centeng lagi agar kekuatan penjaga dalam perkampungan menjadi lebih tangguh.”

“Bila sudah punya rencana seharusnya segera dilaksanakan, coba kalau rencana itu diwujudkan dengan cepat, mungkin keadaannya pada malam ini akan jauh berbeda.”

Sementara itu Tang Cuan telah membawa banyak orang pekerja untuk membereskan puing-puing yang berserakan.

Ketika sang surya mulai terbenam di langit barat, Seng Tiong-gak telah muncul kembali sambil membawa puluhan kereta yang berisi peti-peti mati buat para korban.

Tempat penyimpanan uang dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng ternyata tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan masih berada dalam keadaan utuh, untuk ini semakin membuktikan kalau kebakaran tersebut memang diatur dengan suatu rencana yang matang :

Dari kesedihan yang mencengkam seluruh perasaannya tiba-tiba saja Pek Hong merasa semangatnya bangkit kembali.

Oleh karena ketenangan yang telah diberikan oleh Pek Bwe maka untuk sementara waktu Seng Tiong-gak maupun Tang Cuan tidak membicarakan soal pembalasan dendam.

Demikianlah, di tengah puing-puing yang berserakan tampak berpuluh-puluh buah peti berjajar-jajar, meski ada enam tujuh orang bekerja yang membersihkan puing-puing di sana, toh pemandangan semacam itu cukup meharukan hati setiap orang.

Kini tinggal peti mati dari Tiong Ling-kang serta ketujuh orang muridnya yang belum dikubur, sementara mayat-mayat yang lain telah dikebunkan di sekitar tempat kejadian.

--------------------------------------

Berita tentang peristiwa pembantaian atas anggota Bu-khek-bun dengan cepat telah tersiar dalam dunia persilatan, tentu saja kejadian tersebut amat menggetarkan hati setiap orang.

Tengah hari ketiga, ketua kantor cabang perkumpulan Kay-pang untuk kota Siang-yang, Kim-kou (si kaitan emas) Yu Lip telah muncul di tempat kejadian.

Tongcu perkumpulan Kay-pang yang bermata tajam dan berpendengaran tajam ini muncul diikuti empat orang muridnya.

Di bawah petunjuk Yu Lip, empat orang anggota Kay-pang itu segera turun tangan menyingkirkan puing-puing yang masih berserakan di sana.

Sementara Yu Lip sendiri menuju ke ruang tengah untuk menjumpai tuan rumah.

Pek Hong kenal dengan Yu Lip, sebab tiap tahun paling tidak pengemis ini pasti berkunjung sekali ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng.

Dua hari belakangan ini, Pek Hong telah berhasil pula memulihkan kembali ketenangannya, rasa sedih dan dendamnya terpendam dalam dasar hati kecilnya.

Anggota perguruan Bu-khek-bun yang masih hidup tinggal seberapa, mereka harus memikul suatu tanggung jawab yang sangat berat, oleh karena itu mereka perlu tenang, perlu waspada untuk setiap saat menghadapi segala kemungkinan yang tidak dinginkan.

Bagi orang persilatan berlaku kata-kata :

Mencabut rumput sampai keakar-akarnya. Oleh karenanya, besar kemungkinannya kalau para penyerang Ing-gwat-san-ceng bakal kembali ke situ untuk melancarkan serangan berikutnya.

Untuk menghadapi hal itu, mereka perlu was-was, perlu bersikap tenang, sehingga tidak menjadi korban lagi secara mengenaskan.

Yu Lip membetulkan pakaiannya, lalu masuk ke dalam ruangan sambil memberi hormat kepada Pek Hong, katanya kemudian :

“Yu Lip dari Kay-pang, menjumpai Tiong-hujin!”

“Yu-tongcu, kau tak usah banyak adat!” ucap Pek Hong sambil tertawa getir.

Yu Lip menghela napas panjang, katanya kemudian :

“Sungguh tak kusangka Tiong Buncu telah dilukai orang, peristiwa ini sungguh merupakan suatu ketiak beruntungan buat umat persilatan kita, dan merupakan suatu kerugian pula bagi Kay-pang yang telah kehilangan seorang sobat karib, ketika Pangcu kami mendengar berita kesedihan ini beliau pasti akan bersedih hati.

“Aaai...... peristiwa ini bukan suatu kejadian biasa, duduknya perkara amat panjang dan tak dapat diterangkan hanya dengan sepatah dua patah kata saja.”

“Tiong-buncu adalah seorang enghiong, atas peristiwa ini, aku orang she Yu telah mengirim berita ini kepada kantor pusat, asal Pangcu sudah memperoleh berita ini, beliau pasti akan menyusul ke sini.”

“Aah, hanya soal demikian kenapa musti merepotkan Pangcu kalian? Hal ini malah membuat hatiku menjadi tak tenang.”

“Hujin jangan berkata demikian, Pangcu kami selalu menaruh hormat kepada Tiong-buncu, ia telah menganggap Tiong-buncu sebagai sahabat karibnya.......”

“Yu-tongcu,” kata Seng Tiong-gak, “kami merasa berterima kasih sekali atas kunjunganmu pada saat ini, maaf bila kami tak sanggup memberi pelayanan yang baik kepadamu apalagi dalam suasana begini.”

“Ah, Jiya kenapa kau musti berkata begini? Di waktu-waktu biasa pun aku tak berani bicara apa-apa, apalagi dalam keadaan seperti ini, masa aku bakal mengutarakan ucapan yang tak senang? Cuma ........ ada satu perkataan memang ingin kukatakan, rasanya kurang lega hatiku bila tidak diutarakan keluar.

“Persoalan apakah itu?”

“Rasa hormat dan kagum Pangcu kami terhadap Tiong-buncu, benar-benar muncul dari dasar hatinya, beliau pernah berpesan kepada Cayhe, jika Bu-khek-bun membutuhkan bantuan Kay-pang, maka Cayhe diperintahkan untuk memberi bantuan, baik disuruh terjun ke air maupun disuruh terjun ke api, kami tak akan melakukannya dengan ragu-ragu.”

“Sungguh mengharukan sekali budi kebaikan partai kalian terhadap perguruan kami.”

“Jiya, semua pesan ini disampaikan sendiri oleh Pangcu kepadaku, sebenarnya aku tak ingin mengutarakannya kepadamu, kali ini terpaksa kuucapkan berhubung aku orang she Yu kuatir bila Tiong-hujin serta Jiya enggan menerima uluran tangan partai kami untuk membantu kalian.”

Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan :

“Soal membalas dendam adalah suatu masalah besar, aku orang she Yu tak berani untuk menyinggungnya, tapi soal lainnya aku orang she Yu bersedia untuk menampikan diri guna membantu kalian mengatasinya, seperti soal pembangunan kembali perkampungan Ing-gwat-san-ceng serta masalah lain-lain. Jiya! Bagaimana juga, kalian toh tak bisa berdiam terus di tempat semacam ini? Aku telah suruh orang untuk menyiapkan sebuah gedung di kota Siang-yang, untuk sementara waktu harap kalian bersedia pindah dulu ke kota, bila pembangunan di sini telah selesai Hujin sekalian baru kembali lagi kemari.”

“Untuk sementara waktu perkampungan Ing-gwat-san-ceng tak akan dibangun kembali,” kata Pek Hong, “aku hendak menggunakan tempat ini sebagai tempat bersemayamnya jenazah suamiku beserta ketujuh orang muridnya, menanti kami telah berhasil membalaskan dendam sakit hatinya, jenazah mereka bar akan dikebunkan dan saat itulah perkampungan Ing-gwat-san-ceng baru akan dibangun kembali.”

“Perkataan Hujin memang benar.........”

Pek Hong segera berpaling sekejap ke arah Seng Tiong-gak, lalu bertanya :

“Sute, menurut pendapatmu, perlukah kita pindah ke kota Siang-yang untuk menetap sementara waktu?”

“Hujin, Jiya, aku orang she Yu menyediakan kesemuanya ini dengan hati yang tulus,” kata Yu Lip, “lagi pula beberapa hari kemudian Pangcu kami akan tiba di sini, lebih leluasa bila kalian pindah dulu ke dalam kota Siang-yang.”

“Anak Hong, apa yang dikatakan Yu-tongcu memang benar,” sela Pek Bwe, “setelah mengalami peristiwa ini, Bu-khek-bun memerlukan suatu jangka waktu untuk beristirahat, lagi pula semasa hidupnya dulu Ling-kang memang bersahabat kental dengan Kay-pang, aku pikir maksud baik ini tak perlu ditampik lagi.”

“Apakah saudara ini adalah Pek Loya-cu?” sapa Yu Lip.

“Betul, aku adalah Pek Bwe!”

“Sudah lama, Yu Lip mendengar nama besar Pek Loya-cu, sungguh beruntung kita bisa berjumpa muka pada hari ini.”

“Yu-tongcu tak usah terlalu sungkan, aku pernah beberapa kali bertemu Pangcu kalian, meskipun tidak terhitung suatu sobat karib, tapi merasa cocok dalam pembicaraan. Sungguh tak terkirakan rasa terima kasih kami kepada kalian, atas bantuannya setelah Bu-khek-bun mengalami musibah.”

“Pek Loya-cu tak usah sungkan-sungkan, tapi memang apa yang dikatakan Loya-cu tepat sekali, Tiong-hujin membutuhkan istirahat yang cukup setelah mengalami musibah ini, sebab itu harap Loya-cu segera mengambil keputusan.”

“Tempat ini tak boleh ditinggalkan terlalu lama, lebih baik kita berangkat sekarang juga ke kota Siang-yang sembari menghimpun tenaga kembali.”

“Yaa, memang betul juga perkataanmu itu, anak Hong! Bagaimana pendapatmu?”

“Seng-sute, bagaimana pula pendapatmu?” tanya Pek Hong.

Diam-diam Pek Bwe manggut-manggut, menyerahkan persoalan ini kepada Seng Tiong-gak berarti memaksanya untuk memikul tanggung jawab tersebut.

“Siaute merasa bahwa kita memang butuh tempat dan waktu untuk beristirahat dulu,” jawab Seng Tiong-gak, “bila sudah tenang nanti, kita baru mulai berpikir kembali tentang kejadian ini serta merundingkan apa yang musti kita lakukan selanjutnya.”

“Betul pendapat Tiong-gak, memang benar, saat ini kita butuh ketenangan dan istirahat yang cukup!”

“Enso, kita sudah memutuskan untuk tidak membangun Ing-gwat-san-ceng dalam waktu singkat, maka tempat ini pun tak boleh ditempati terlalu lama lagi.”

Pek Hong termenung sejenak, kemudian mengangguk.

“Baiklah, Sute saja yang mengambil keputusan!” katanya.

Untuk menghormati kedudukan Tang Cuan sebagai seorang ciangbunjin, Seng Tiong-gak merundingkan kembali persoalan ini dengan Tang Cuan.

Tentu saja Tang Cuan menyatakan persetujuannya.

Ketika Yu Lip menjumpai Pek Hong maupun Seng Tiong-gak telah setuju, ia merasa gembira sekali, kemudian :

“Kalian semua pun tak usah berada di sini lagi, soal lain serahkan saja kepada kami. Bagaimana kalau hari ini juga kita berangkat ke kota Siang-yang?”

Ketika menyaksikan jenazah suaminya telah dikuburkan ke dalam tempat persemayaman sementara, Pek Hong menghela napas kemudian sahutnya :

“Baiklah, malam ini juga kita berangkat!”

Tempat persemayaman sementara itu dibuat dari batu bata merah serta batu putih yang membentuk sebuah gundukan besar, di balik gundukan besar itulah peti mati Tiong Ling-kang dan ketujuh orang muridnya disemayamkan untuk sementara waktu.

Setelah menutup kembali gundukan batu itu dengan sebuah batu putih, Pek Hong mundur ke belakang dan jatuhkan diri berlutut.

Seng Tiong-gak, Tang Cuan, Cu Siau-hong serta Yu Lip segera ikut berlutut pula di depan gundukan tanah itu.

Pek Bwe tidak ikut berlutut, tapi ia berdiri serius di situ dengan air mata bercucuran.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang anggota Kay-pang sedang membentak keras,

“Hei, mau apa kau?”

Mendengar itu, serentak Seng Tiong-gak, Tang Cuan serta Cu Siau-hong melompat bangun dan memburu ke tempat kejadian.

Tang Cuan menggenggam sebatang senjata rahasia Thiat-lian-hoa untuk bersiap siaga.

Ketika tiba di tempat kejadian, maka tampaklah seorang gadis berbaju hijau sedang berjalan mendekat dengan wajah tercengang.

Sementara dua orang anggota Kay-pang menghalang jalan pergi gadis berbaju hijau itu.

“Siau-hong, dia adalah nona dari atas gunung,” bisik Tang Cuan kemudian.

“Yaa, memang dia!” Cu Siau-hong mengangguk.

“Mau apa dia datang kemari?”

“Mungkin soal lebah yang dibunuh Suhu!”

Walaupun jalan perginya dihadang oleh dua orang anggota Kay-pang, ternyata gadis berbaju hijau itu tidak merasa jeri, malah sambil tertawa ia menegur :

“Hei, apa yang telah terjadi di sini?”

“Siau-hong, hayo ke situ.......” bisik Tang Cuan, “kita tengok apa maunya kemari.”

Cu Siau-hong mengangguk dan mereka bersama-sama menghampiri gadis berbaju hijau itu.

Ketika melihat kedatangan Cu Siau-hong, gadis berbaju hijau itu segera berseru :

“Cu-kongcu, apa yang telah terjadi di sini?”

“Nona, rumah kami telah dibakar orang, banyak anggota perkampungan kami yang dibunuh orang.”

“Banyak yang dibunuh? Kenapa?” seru si nona dengan wajah tertegun.

Gadis itu masih polos dan sifat kekanak-kanakannya belum hilang, seakan-akan ia belum tahu kalau dunia ini penuh dengan manusia-manusia berhati busuk.

Diam-diam Cu Siau-hong berpikir :

“Jika harus membicarakan masalah ini, rasanya sulit untuk diterangkan dalam waktu singkat......”

Maka setelah termenung sejenak, ia putuskan untuk memberi keterangan dengan kata-kata paling sederhana.

Berpikir demikian, ia pun menjawab :

“Rumah kami telah kedatangan banyak orang jahat, mereka membunuh orang kami semaunya hati, banyak yang terbunuh oleh mereka, setelah itu rumah kami pun dibakar.”

Tampaknya gadis ini sudah terbiasa hidup sederhana, sehingga pandangannya terhadap soal hidup dan mati pun sangat tawar, ia manggut-manggut sejenak lalu bertanya lagi,

“Bukankah empat orang yang pernah kujumpai ketika itu?”

“Benar!”

“Sekarang aku hanya menjumpai kalian berdua, mana dua orang lainnya......”

“Sudah mati!”

Mungkin gadis baju hijau itu merasa kenal dengan Tiong Ling-kang serta Tiong It-ki, maka ketika mendengar kematian mereka, tanpa terasa ia menghela napas panjang.

“Mereka telah mati....? Aaaai..... sungguh kasihan....... benar-benar amat kasihan.......”

Setelah membereskan rambutnya yang kusut, ia bertanya kemudian :

“Lantas bagaimana sekarang baiknya?”

No comments: