Saturday 31 January 2009

Pendekar Budiman 6

Karya : Gu Long
Disadur Oleh : Gan KL

Dengan sorot mata mencorong Yu Liong-sing berkata pula, “Kalau Li-heng seorang pencinta pedang, tentunya kau tahu meski pedang ini tidak dapat dibandingkan Hi-jong-kiam, tapi pedang ini pun cukup terkenal pada tiga ratus tahun yang lalu, namanya Toat-ceng-kiam (pedang perampas cinta), barangkali Li-heng belum tahu kisah pedang ini.

“Coba ceritakan,” kata Sun-hoan.

“Pedang ini milik Tik Bu-cu, seorang jago pedang zaman itu, sampai usianya sudah setengah baya dia baru jatuh cinta kepada seorang perempuan. Keduanya sudah mengikat janji, siapa tahu pada malam sebelum upacara nikah mereka berlangsung, nona ini ialah mengadakan pertemuan gelap dengan sahabat Tik Bu-cu sendiri yang bernama si golok sakti Pang Ging. Saking duka dan gemasnya, dengan pedang perampas cinta inilah Tik Bu-cu membunuh Pang Ging, sejak itu hidupnya melulu berkawan dengan pedang dan tidak pernah bicara tentang pernikahan lagi.”

Mendadak Yu Liong-sing menatap Sun-hoan lekat-lekat, katanya, “Mungkin Li-heng menganggap kisah ini sangat sederhana tanpa liku sehingga terasa tawar, tapi kisah ini adalah kisah nyata, bukan dongeng belaka.”

Sun-hoan tertawa, “Kurasa meski ilmu pedang Tik Bu-cu ini sangat tinggi, tapi jiwanya terlalu sempit. Mestinya dia tahu peribahasa yang mengatakan: sahabat laksana kaki dan tangan, istrinya serupa pakaian. Seorang lelaki sejati mana boleh mengingkari persahabatan hanya karena urusan perempuan?”

“Hm, justru kurasakan Tik-locianpwe ini adalah seorang kesatria besar yang gilang-gemilang, hanya kesatria besar demikian dapat mencintainya sedemikian mendalam dan sedemikian polos.”

“Jika demikian, jadi malam ini Anda ingin meniru Tik Bu-cu zaman dahulu?” tanya Sun-hoan dengan tersenyum.

Sorot mata Yu Liong-sing memancarkan cahaya dingin, jengeknya, “Untuk ini terserah kepada Li-heng apakah juga ingin menipu menjadi si golok sakti Pang Ging pada tiga ratus tahun yang lampau itu?”

“Ai, bulan seterang ini dan ada janji dengan si cantik, betapa romantisnya suasana demikian, kenapa Anda sengaja merusak keindahan?”

“Jadi malam ini Anda pasti akan hadir ke sana?” tanya Yu Liong-sing dengan bengis.

“Jika membiarkan nona Lim yang molek itu, menanti kasih secara sia-sia di bawah sinar bulan purnama, tidakkah aku akan menjadi kekasih yang berdosa?” ujar Sun-hoan dengan tersenyum.

Muka Yu Liong-sing yang pucat berubah menjadi merah padam, urat hijau sama menonjol di dahinya, ujung pedang berputar, “sret”, ditusukkannya lewat leher Li Sun-hoan.

Sun-hoan tetap mengulum senyum, ucapnya dengan tak acuh, “Dengan ilmu pedangmu rasanya masih selisih jauh jika ingin menjadi Tik Bu-cu.”

“Dengan ilmu pedang demikian sudah lebih dari cukup untuk membinasakan dirimu!” bentak Yu Liong-sing dengan murka, berbareng dia menusuk pula beberapa kali.

Terdengar desing angin yang keras dan cepat, poci teh di atas meja tersampuk pecah oleh angin pedang, air teh berceceran di atas meja dan mengalir ke lantai.

Beberapa kali tusukannya sungguh cepat luar biasa, namun Li Sun-hoan tetap berdiri di tempatnya, seakan-akan tidak bergeser sedikit pun, dan entah mengapa semua tusukan itu sama mengenai tempat kosong.

Yu Liong-sing menjadi geregetan, serangannya bertambah cepat. Dilihatnya Li Sun-hoan bertangan kosong, sebab itulah dia menggunakan serangan kilat agar Sun-hoan tidak sempat melolos pisaunya. Yang ditakutinya memang cuma “pisau kilat” si Li saja.

Siapa tahu Li Sun-hoan sama sekali tidak bermaksud menggunakan pisaunya, setelah semua serangan orang terhindar, tiba-tiba Sun-hoan tertawa dan berkata, “Dengan usiamu yang masih muda begini dan menguasai ilmu pedang setinggi ini, secara umum sudah terhitung sukar dicari. Tapi kalau dipandang dari perguruan dan keluargamu, jika kau gunakan ilmu pedang demikian untuk berkecimpung di dunia Kangouw, cukup dalam waktu dua-tiga tahun saja papan merek orang tua dan gurumu mungkin harus dicopot.”

Di tengah sambaran pedang Li Sun-hoan dapat bicara dengan seenaknya, keruan Yu Liong-sing merasa gemas dan juga gelisah, namun apa daya, ujung pedangnya tetap tidak mampu menyentuh ujung baju orang.

Akhirnya Yu Liong-sing menjadi nekat, mendadak ia menusuk dada Li Sun-hoan, ia pikir sekali ini jangan harap dapat kau hindarkan lagi.

Tak terduga, kembali perhitungannya meleset, hanya sedikit Li Sun-hoan mengegos saja, tahu-tahu pedang Yu Liong-sing mengenai tempat kosong. Malahan terdengar suara “cring”, jari Li Sun-hoan yang kuat itu menjentik perlahan pada batang pedangnya, kontan Yu Liong-sing merasa tangan kesemutan, setengah badan terasa kaku, pedang tak dapat tergenggam lagi, terdengar suara mendering disertai berkelebatnya cahaya terang melayang keluar jendela.

Li Sun-hoan tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeser, selangkah pun. Sebaliknya Yu Liong-sing merasa darah sekujur badan seakan-akan membanjir ke ubun-ubun kepala, lalu menurun kembali ke telapak kaki dan seluruh tubuh terasa dingin.

Perlahan Sun-hoan menepuk bahu Yu Liong-sing dengan tersenyum hambar, “Sayang pedang, lekas dijemput kembali.”

Dengan gemas Yu Liong-sing mengentak kaki, lalu berlari pergi, sampai di ambang pintu mendadak ia berhenti dan menoleh, serunya dengan agak gemetar, “Jika ... jika berani, hendaknya tunggu setahun lagi, pasti akan kubalas sakit hati ini.”

“Setahun?” Sun-hoan menegas. “Kukira tidak cukup.”

Dengan tersenyum lalu ia sambung dengan perlahan, “Bakatmu memang lumayan, ilmu pedangmu juga tidak lemah, cuma sayang terlalu cepat naik darah, sebab itulah seranganmu cepat tapi kurang mantap. Maka begitu berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, lebih dulu kau sendiri sudah bingung. Padahal kalau bisa bertindak tenang, bukan mustahil hari ini dapat kau jatuhkan diriku.”

Mencorong sinar mata Yu Liong-sing, tapi belum sempat dia bersuara, tiba-tiba Li Sun-hoan menyambung lagi, “Bicara sabar memang mudah, untuk melakukannya yang sukar. Sebab itulah apabila kau ingin mengalahkan aku sedikitnya kau perlu tekun bertapa tujuh tahun lebih dulu.”

Muka Yu Liong-sing sebentar merah sebentar pucat, tangan tergenggam hingga berkeriut saking gemasnya.

“Nah, pergilah sekarang,” ujar Sun-hoan dengan tertawa, “asalkan dapat kuhidup tujuh tahun lagi, silakan kau cari diriku untuk menuntut batas. Tujuh tahun tidak terlalu lama, apalagi seorang lelaki sejati, jika ingin menuntut batas, sepuluh tahun saja belum terlambat.”



*****



Jagat raya kembali sunyi senyap, hanya desir angin menerbitkan gemeresik daun bambu di luar.

Li Sun-hoan memandang cuaca malam di luar, ia berdiri termenung hingga lama, akhirnya menghela napas dan bergumam, “Anak muda, jangan kau dendam padaku Padahal tindakanku ini justru telah menyelamatkan dirimu. Jika kau masih terus tergila-gila kepada Lim Sian-ji, maka tamatlah hidupmu ini.”

Dia mengebaskan lengan baju dan hendak melangkah keluar. Ia tahu saat itu Lim Sian-ji sedang menantikan kedatangannya, bahkan pasti sudah menyiapkan kailnya. Tapi dia tidak gentar sedikit pun, bahkan merasa sangat tertarik.

Jika ikannya terlalu besar, mungkin pengailnya akan terpancing malah. Maka dengan tersenyum Sun-hoan bergumam pula, “Justru akan kulihat umpan macam apakah yang dipasang pada kailnya?”

Sebelum pergi tadi, dengan emosi Yu Liong-sing telah meraung terhadap Li Sun-hoan, “Jika kau pun menyukai Lim Sian-ji, cepat atau lambat kau pasti menyesal. Sudah lama dia menjadi milikku, dia ... dia .... Untuk apa kau pakai sepatu bekas?”

Tapi dengan tertawa tak acuh Sun-hoan telah menjawab, “Sepatu bekas biasanya lebih enak dipakai daripada sepatu baru.”

Bila teringat kepada sikap Yu Liong-sing tadi, Sun-hoan lantas merasa geli dan juga kasihan. Tapi apakah Lim Sian-ji benar anak perempuan jenis sebagaimana dikatakan Yu Liong-sing itu?

Seorang lelaki jika menaksir seorang perempuan dan tidak berhasil, untuk menutupi rasa malunya dan juga untuk melampiaskan dongkolnya, biasanya dia suka menyiarkan berita bahwa perempuan itu sudah pernah mengadakan hubungan intim dengan dirinya dan sebagainya.

Itulah sifat kebanyakan lelaki, sifat yang lucu dan perlu dikasihani.

Perlahan Sun-hoan melangkah ke luar. Tiba-tiba dilihatnya dari depan sana ada cahaya lampu yang menyusuri pepohonan dan sedang menuju ke sini.

Kiranya dua pelayan cilik berbaju hijau dan menjinjing dua lentera berkerudung, sambil berjalan sambil berbicara dan bersenda gurau. Tapi begitu melihat Li Sun-hoan, seketika mereka tidak bicara dan juga tidak bersenda gurau lagi.

Sebaliknya Sun-hoan lantas menyapa dengan tersenyum, “Apakah kalian disuruh menjemput diriku oleh nona Lim?”

Pelayan yang sebelah kiri lebih tua satu-dua tahun, perawakannya lebih tinggi, dengan hormat ia menjawab, “Hujin yang menyuruh kami mengundang Li-siangkong ....”

“Hujin (nyonya)?” Sun-hoan menegas, seketika ia menjadi tegang, “Hujin yang mana?”

“Cengcu kami kan cuma mempunyai seorang Hujin saja,” jawab si pelayan tadi dengan tertawa.

Pelayan yang lain cepat menambahkan, “Hujin tahu Li-siangkong tidak suka diganggu urusan tetek bengek, maka sengaja menyiapkan beberapa macam santapan yang diolah Hujin sendiri di ruangan belakang, Li-siangkong diundang dahar dan sekadar berbincang-bincang di sana.”

Sun-hoan berdiri mematung, pikirannya melayang jauh melintasi hutan sana, terbang ke atas paviliun berloteng sana ....

Sepuluh tahun yang lalu, loteng itu adalah tempat yang sering dikunjunginya, ia masih ingat meja marmer itu selalu tersedia beberapa santapan yang menjadi kegemarannya.

Ia masih ingat ham goreng ayam dengan madu itu selalu tertaruh pada piring warna hijau pupus, tapi piring yang berisi sayur kailan cah udang dan taoge cah samcan selalu berwarna cokelat.

Di belakang meja marmer itu adalah sebuah pintu berkerai, kerai bersulam indah buah tangan si dia sendiri, terkadang juga diganti dengan kerai mutiara. Dan di balik kerai itulah kamar tidurnya.

Masih teringat olehnya waktu si dia muncul dari balik kerai, badannya selalu membawa semacam bau harum yang sedap. Selama sepuluh tahun ini, dia tidak berani lagi mengenangkan tempat ini, ia merasa bila memikirnya, baik terhadap si dia, terhadap Liong Siau-hun, boleh dikatakan semacam pikiran kotor yang tak terampunkan.

Begitulah Sun-hoan terus berjalan ke depan dengan linglung, waktu ia menengadah, tahu-tahu sudah berada di bawah loteng kecil itu.

Cahaya lampu di atas loteng masih sangat lembut, tampaknya tiada berbeda daripada sepuluh tahun yang lalu, bahkan salju yang tertimbun di atas rumah juga putih bersih dan menarik seperti masa lampau.

Tapi sepuluh tahun toh sudah berlalu. Sepuluh tahun yang cukup panjang itu sukar lagi disusul kembali oleh siapa pun.

Sun-hoan menjadi ragu, sungguh ia tidak mempunyai keberanian untuk naik ke atas loteng ini. Setelah peristiwa kemarin, ia tidak mengerti untuk apakah Si-im mengundangnya, sungguh ia merasa tidak berani menemuinya. Akan tetapi tidak bisa tidak dia harus naik ke atas. Entah apa maksud undangan Si-im padanya, tidak ada alasan baginya untuk menolak.

Di atas meja marmer itu telah tersedia beberapa porsi masakan menarik, yang terisi pada piring warna hijau adalah ham goreng ayam, piring warna cokelat berisi kailan cah udang dan seterusnya.

Baru saja Sun-hoan naik ke atas, seketika ia terkesima.

Sepuluh tahun yang panjang itu seolah-olah telah lenyap dalam sekejap itu, dia merasa seperti telah kembali pada keadaan sepuluh tahun yang lalu. Dipandangnya kerai yang terjulur itu, mendadak jantungnya berdebar keras, berdebar seperti remaja yang baru jatuh cinta. Terkenang kehangatan sepuluh tahun yang lalu, teringat impian masa lampau.

Sun-hoan tidak berani berpikir lagi, rasanya berdosa kepada Liong Siau-hun, juga bersalah terhadap dirinya sendiri. Hampir saja ia tidak tahan dan hendak lari pergi.

Tapi pada saat itulah terdengar kumandang suara si dia dari balik kerai sana, “Silakan duduk!”

Suaranya masih tetap lembut seperti sepuluh tahun yang lalu, tapi juga terasa begitu asing, begitu dingin, kalau tidak ada beberapa macam santapan di atas meja itu, sungguh sukar dipercaya bahwa orang di balik tirai adalah kenalan lama berpuluh tahun yang lalu itu.

Terpaksa ia duduk dan menjawab, “Terima kasih.”

Dan waktu tirai tersingkap, keluarlah satu orang.

Bernapas saja hampir berhenti Li Sun-hoan, tapi yang muncul ternyata bukan si dia melainkan anak itu, masih tetap memakai baju merah cerah, tapi mukanya pucat lesu.

Si dia masih berada di belakang tirai, terdengar dia berucap, “Jangan lupa pesan ibu tadi, lekas menyuguh arak kepada paman Li.”

Anak merah itu mengiakan. Dengan sangat hormat dia lantas menuangkan arak, katanya dengan menunduk, “Kalau ada yang salah, maka semuanya adalah kesalahan keponakan sendiri, untuk itu mohon paman Li sudi melupakannya. Budi paman terhadap keluarga Liong kami lebih tinggi daripada gunung, biarpun keponakan terbunuh juga pantas.”

Hati Sun-hoan seperti dipuntir-puntir dan tidak tahu apa yang harus diucapkannya, sekalipun ia yakin dirinya tidak bertindak salah, tapi melihat muka anak yang pucat ini, mau tak mau timbul semacam perasaan berdosa yang sukar dilukiskan.

“Si-im, O, Si-im, kau minta kedatanganku, apakah sengaja hendak kau siksa diriku?” demikian Sun-hoan berkeluh di dalam hati.

Arak ini mana sanggup diminumnya? Akan tetapi mana boleh tidak diminumnya? Ini bukan arak lagi, tapi kegetiran kehidupan, terpaksa harus diterimanya jika dirinya masih hidup.

“Selanjutnya Titji (keponakan) tidak dapat berlatih Kungfu lagi,” kata si anak merah, “tapi seorang anak lelaki tidak dapat bernaung di bawah orang tua selama hidup, maka mohon paman Li sudi mengingat hubungan baik pada masa lampau, ajarkanlah kepada keponakanmu ini semacam kepandaian membela diri agar kelak keponakan tidak diganggu orang.”

Diam-diam Sun-hoan menghela napas menyesal, tangan terjulur dan ujung jari sudah menjepit pisaunya.

Di balik tirai Si-im juga lantas berkata, “Selamanya paman Li tidak mengajarkan pisau terbangnya kepada siapa pun, bilamana memegang pisau itu, samalah kau dapatkan jimat pelindung badan. Ayolah lekas mengucapkan terima kasih kepada paman.”

Segera Ang-hay-ji atau anak merah itu menyembah dan mengucapkan terima kasih.

Sun-hoan tertawa, tapi diam-diam gegetun, katanya, “Cinta kasih seorang ibu sungguh tidak ada bandingannya, tetapi, bagaimana seorang anak terhadap ibunda ....”

Suasana menjadi hening sejenak. Anak itu telah dibawa pergi pelayan, tapi Lim Si-im masih berada di belakang tirai dan belum mau membiarkan Sun-hoan pergi. Mengapa dia menahannya di sini?

Sebenarnya Sun-hoan bukan seorang yang banyak tata adat, tapi berada di sini, tiba-tiba ia merasa kikuk seperti orang linglung.

Cinta memang sesuatu yang ajaib. Dia terkadang bisa membuat orang tolol menjadi mahapintar, sebaliknya juga bisa membuat orang pintar menjadi bodoh.

Sudah jauh malam.

Apakah Lim Sian-ji sedang menunggunya?

“Engkau ada ... ada urusan?” tiba-tiba Si-im bertanya.

“Ti ... tidak ada,” sahut Sun-hoan.

Si-im terdiam sejenak, “Kau pasti pernah bertemu dengan Sian-ji?”

“Ya, pernah bertemu satu-dua kali.”

“Dia seorang anak perempuan yang pantas dikasihani, kisah hidupnya sangat memilukan, jika kau pernah melihat ayahnya, tentu dapat kau bayangkan kemalangannya.”

“Oo?!” Sun-hoan intan tahu.

“Pernah satu kali kupergoki dia hendak terjun ke jurang, maka kutolong dia .... Apakah kau tahu sebab apa dia ingin membunuh diri?”

“Tidak tahu.”

“Justru lantaran penyakit ayahnya,” perlahan Si-im menghela napas, lalu menyambung pula. “Ayah begitu ternyata mempunyai anak perempuan begini, sungguh sukar untuk dipercaya orang. Selain kasihan padanya, aku pun kagum padanya. Dia cantik dan pintar, suka maju. Ia tahu asal-usul sendiri terlalu rendah, maka dalam segala hal dia bekerja terlebih giat, selalu khawatir dipandang hina orang lain.”

“Dan sekarang tentunya tak perlu lagi khawatir dipandang hina orang,” ujar Sun-hoan dengan tertawa.

“Itu juga hasil perjuangannya sendiri, cuma usianya memang masih terlalu muda, hatinya terlalu lunak, selalu kukhawatirkan dia akan tertipu orang.”

Diam-diam Sun-hoan membatin, untunglah bila orang lain tidak tertipu olehnya, masakah dia bakalan tertipu orang?

“Kuharapkan kelak dia akan mendapatkan jodoh yang baik dan jangan sampai tertipu sehingga menderita selama hidup,” demikian kata Si-im lebih lanjut.

Sun-hoan terdiam sejenak, katanya dengan perlahan, “Mengapa engkau bicara urusan ini denganku?”

Si-im juga berdiam sebentar, lalu menjawab, “Sebab apa kubicarakan urusan ini denganmu, memangnya belum lagi kau maklumi?”

Kembali Sun-hoan termenung sejenak, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, “Aha, tahulah aku ... kutahu ....”

Dia memang tahu. Sebabnya Lim Si-im menahannya di sini, rupanya karena tidak menghendaki dia pergi memenuhi janji pertemuan dengan Lim Sian-ji, dengan sendirinya, soal janji pertemuan itu diketahuinya dari Yu Liong-sing.

“Apa pun juga,” kata Si-im pula, “kita kan sahabat lama, maka ingin kumohon sesuatu padamu.”

Pedih hati Sun-hoan, tapi dia malah tersenyum dan berucap, “Kau minta jangan kutemui Lim Sian-ji?”

“Betul,” jawab Si-im.

Sun-hoan menarik napas dalam-dalam, ucapnya, “Kau kira ... kau kira kuincar dia?”

“Tidak kupedulikan bagaimana pendapatmu terhadap dia, cukup kau terima permohonanku,” kata Si-im.

Sun-hoan menenggak habis secawan arak di depannya, lalu bergumam, “Ya, aku ini memang petualang yang sukar diobati pula, jika kupergi mencari dia berarti akan membikin celaka dia ....”

“Jadi kau terima permintaanku?” tanya Si-im.

“Masa kau tidak tahu selama ini kusuka membikin susah orang?” sahut Sun-hoan dengan menggereget.

Sekonyong-konyong sebuah tangan terjulur keluar dan memegang tirai mutiara dengan erat. Sebuah tangan yang halus dan indah, tapi lantaran menggenggam dengan terlalu kencang sehingga urat hijau tampak menonjol pada punggung tangan yang putih mulus itu.

Untaian mutiara tirai sampai terputus dan mutiaranya berserakan di lantai menimbulkan suara gemerencing.

Sun-hoan memandangi tangan itu, perlahan ia berbangkit dan berkata, “Kumohon diri saja!”

Tangan Si-im tergenggam terlebih kencang, ucapnya dengan agak gemetar, “Setelah kau pergi, mengapa ... mengapa kembali lagi? Hidup kami mestinya sangat tenang, meng ... mengapa kau datang lagi untuk mengacau?”

Mulut Sun-hoan terkancing rapat, tapi kulit daging pada ujung mulutnya tampak berkejang ....

Mendadak Si-im menerjang keluar dari balik tirai dan berteriak dengan parau, “Belum cukupkah kau bikin celaka anakku? Dan sekarang hendak kau bikin susah dia pula?”

Mukanya tampak putih pucat dan begitu cantik.

Kerlingan matanya penuh emosi dan juga penuh derita batin.

Selamanya belum pernah dia bersikap kasar begini kepada siapa pun.

Apakah semua ini hanya untuk membela Lim Sian-ji? Masakah yang diperhatikannya cuma Lim Sian-ji saja!

Sun-hoan tidak berpaling. Ia tidak berani menoleh, tidak berani memandangnya.

Ia tahu bilamana sekarang ia memandangnya sekejap, mungkin akan timbul hal-hal yang dapat membuat kedua pihak menderita selamanya, hal ini tidak berani dibayangkannya, apalagi dipikirkannya ....

Dengan cepat ia turun dari loteng paviliun itu sambil berucap perlahan, “Padahal mestinya tidak perlu kau mohon padaku, sebab pada hakikatnya aku tidak pernah menaksir dia!”

Si-im memandangi bayangan punggungnya, mendadak ia jatuh terkulai di lantai.

Air kolam sudah beku, sebuah jembatan kecil melintang di atas air kolam.

Pada musim panas kolam ini penuh bunga teratai yang harum semerbak. Tapi sekarang yang ada cuma semilir angin yang dingin dan kesepian yang tak terhingga.

Sun-hoan duduk termangu-mangu di undakan batu jembatan kecil itu dan memandangi kolam yang sudah beku itu, hatinya juga serupa kolam teratai ini.

“Setelah kupergi, mengapa kukembali lagi ke sini? .... Mengapa kembali lagi? ....”

Terdengar suara kentungan berbunyi, sudah lewat tengah malam.

Dari jauh tertampak cahaya lampu pada paviliun Leng-hiang-siau-tiok sana. Apakah Lim Sian-ji masih menunggu kedatangannya?

Jelas diketahuinya Lim Sian-ji menghendaki kedatangannya malam ini, tentu ada maksud tujuan tertentu, jelas diketahuinya bilamana dia datang ke sana pasti akan terjadi macam-macam hal yang sangat mengejutkan dan juga sangat menarik.

Tapi dia tetap berduduk di sini, memandangi cahaya lampu yang agak guram itu dari kejauhan.

Salju yang menumpuk di undakan batu telah merembeskan rasa dingin ke hatinya. Dia terbatuk-batuk lagi tiada hentinya.

Sekonyong-konyong ada bayangan berkelebat di paviliun sana, cepat sekali bayangan itu melayang ke tempat gelap. Serentak Sun-hoan juga lantas melayang ke sana.

Kecepatannya sungguh sukar dilukiskan, tapi ketika dia mendekati paviliun itu, bayangan tadi sudah menghilang ditelan kegelapan.

“Apakah aku salah lihat?” Sun-hoan menjadi ragu sendiri.

Di bawah pantulan putih salju, tiba-tiba dilihatnya di atas timbunan salju di atap rumah ada bekas telapak kaki yang tidak lengkap. Tapi hanya sebelah bekas kaki ini saja tetap sukar baginya untuk memastikan ke mana menghilangnya orang tadi.

Sun-hoan melayang turun, dilihatnya cahaya lampu di balik jendela masih terang.

Ia mengetuk daun jendela perlahan dan memanggil, “Nona Lim!”

Tidak ada jawaban di dalam rumah.

Sun-hoan memanggil lagi dua kali, tetap tidak ada jawaban. Ia berkerut kening, mendadak ia membuka daun jendela, terlihat di atas meja kecil di dalam rumah juga tersedia beberapa macam santapan, malahan di atas anglo kecil terdapat pula poci arak yang masih panas.

Bau arak memenuhi ruangan, santapan di atas meja juga terdiri dari ham masak ayam dan sebagainya, namun Lim Sian-ji tidak kelihatan berada di situ.

Cepat Sun-hoan melompat ke dalam rumah, segera ditemukan lima buah cawan arak, semuanya ambles ke dalam permukaan meja, dipandang sepintas lalu seperti lukisan sekuntum bunga Bwe.

Bwe-hoa-cat, si maling kumbang bunga sakura!

Apakah mungkin Lim Sian-ji telah diculik oleh maling kumbang itu?

Sun-hoan menekan permukaan meja dan menyalurkan tenaga dalam, seketika kelima cawan arak yang terjepit di permukaan meja itu melenting keluar.

Kelima cawan arak masih tetap utuh seperti baru, cuma permukaan meja telah bertambah lima lubang.

Meja itu bukan meja batu, tapi untuk bisa membikin lima cawan arak ambles, jelas tenaga dalamnya sangat mengejutkan, bahkan Sun-hoan sendiri merasa tidak sanggup. Maka dapat dibayangkan betapa hebat Kungfu si maling kumbang itu.

Tangan Sun-hoan yang memegang cawan arak tanpa terasa berkeringat dingin.

Pada saat itulah, “crit”, mendadak api lilin di atas meja tertimpuk padam, menyusul terdengarlah kesiur angin yang mendesing memenuhi ruangan, entah betapa banyak, senjata rahasia berhamburan ke arah Li Sun-hoan.

Dari suara desing tajam ramai itu, jelas penyerangnya tergolong jago kelas tinggi, bilamana orang lain bukan mustahil dalam sekejap itu tubuhnya akan penuh senjata rahasia seperti badan landak, Akan tetapi senjata rahasia di seluruh jagat ini mana ada yang dapat menandingi pisau terbang si Li kecil?

Sekali Sun-hoan berputar, sekaligus belasan senjata rahasia dapat ditangkap kedua tangannya, menyusul ia terus mengapung ke atas, senjata rahasia yang tidak tertangkap olehnya sama menyambar lewat di bawah kakinya.

Pada saat itulah baru terdengar suara bentakan ramai di luar, “Ayo, maling kumbang, jangan harap akan bisa kabur lagi, lekas keluar menerima kematian!”

“Biarpun kepandaianmu setinggi langit juga sekarang akan kami mampuskan dirimu tanpa terkubur!”

“Supaya kau tahu, Dian-jitya dari Lokyang sekarang juga berada di sini, belum lagi Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, ditambah pula Tio-toaya, Liong-siya dan ....”

Di tengah teriakan itu mendadak seorang membentak dengan bengis, “Jangan berisik, tenang semuanya!”

Meski cuma beberapa kata ucapannya, tapi suara orang ini nyaring sebagai bunyi genta, seketika sirap suara orang banyak.

Sun-hoan menggeleng kepala, pikirnya dengan tersenyum getir, “Ternyata benar Dian-jitya sudah tiba!”

Lalu terdengar orang terakhir tadi berteriak pula, “Jika sahabat sudah datang ke sini, mengapa tidak mau keluar untuk bertemu?”

Perlahan Li Sun-hoan berdehem dua kali, lalu menjawab dengan suara yang dibikin parau, “Jika kalian sudah datang kemari, mengapa tidak mau masuk untuk bertemu?”

Kembali terjadi kegemparan di luar, beramai-ramai mereka berucap, “Awas, bangsat ini sengaja memancing kita masuk ke sana!”

“Betul, musuh di tempat gelap dan kita berada di tempat terang, jangan kita tertipu,” seru seorang lagi.

Pada saat itulah kembali suara orang yang lantang berjangkit pula sehingga suara orang lain tersirap semua, seru suara itu, “Maling kumbang, maling hanya suka main sembunyi-sembunyi dan gelap-gelapan, mana dia berani bertemu dengan orang secara terang-terangan?”

Beramai-ramai yang lain juga ikut memaki, “Ya, maim sembunyi-sembunyi seperti kura-kura, hanya mengkeret di dalam kamar, apa ....”

Dengan mendongkol Sun-hoan berteriak, “Betul, Bwe-hoa-cat biasanya memang suka main sembunyi-sembunyi, tapi apa sangkut pautnya dengan diriku?”

“Memangnya engkau bukan Bwe-hoa-cat? Habis siapa?” tanya suara lantang tadi.

Seorang lantas menukas, “Untuk apa pula Kongsun-tayhiap tanya padanya, masa Tio-toaya bisa salah lihat, tidak perlu diragukan lagi, orang ini pasti maling kumbangnya.”

Mendadak Sun-hoan terbahak-bahak, serunya, “Tio Cing-ngo, memang sudah kuduga semua ini adalah permainanmu!”

Sambil tertawa segesit burung walet ia terus melayang keluar. Serentak sebagian orang di luar berteriak dan menubruk maju, tapi ada sebagian lagi yang melompat mundur dengan menjerit kaget.

Cepat Liong Siau-hun berteriak, “Tunggu sebentar, inilah saudaraku, Li Sun-hoan!”

Dalam pada itu Li Sun-hoan telah menemukan jejak Tio Cing-ngo, ia hinggap di depannya, tegurnya dengan tersenyum, “Tajam benar penglihatan Tio-toaya, apabila aku kurang gesit, mungkin saat ini aku sudah menjadi tumbal bagi Bwe-hoa-cat, jelas kematian yang penasaran!”

Wajah Tio Cing-ngo tampak kelam, jengeknya, “Tengah malam buta main sembunyi di sini, kalau tidak kusangka sebagai Bwe-hoa-cat, habis siapa lagi? Dari mana kutahu sakitmu mendadak sembuh dan diam-diam mengeluyur ke sini?”

“Tidak perlu kumain sembunyi dan berkeluyuran secara diam-diam,” jawab Sun-hoan hambar. “Ke mana pun juga dapat kupergi dengan terang-terangan. Apalagi Tio-toaya kan tidak tahu kedatanganku ini justru atas undangan penghuni tempat ini.”

“Hm, memang tidak kuketahui Anda mempunyai hubungan sebaik ini dengan nona Lim di sini,” jengek Tio Cing-ngo. “Tapi setahuku, malam ini jelas nona Lim tidak berada di sini.”

“Oo?” melengak juga Sun-hoan.

“Lantaran ingin menghindari Bwe-hoa-cat, sejak petang tadi nona Lim sudah pindah dari paviliun ini,” jengek Tio Cing-ngo pula.

“Walaupun begitu, kan seharusnya Anda perlu tanya dulu baru turun tangan?” kata Sun-hoan.

“Terhadap manusia rendah semacam Bwe-hoa-cat, jalan yang paling baik adalah turun tangan dulu dan urusan belakang, bilamana tanya dulu baru turun tangan, maka segalanya sudah terlambat.”

Apa yang dikatakan Tio Cing-ngo selalu masuk di akal dan sukar dibantah.

“Hahahaha, bagus sekali kalimat turun tangan dulu dan urusan belakang!” Sun-hoan terbahak-bahak. “Jika demikian, bilamana tadi kumati di tangan Tio-toaya adalah karena salahku sendiri dan tidak dapat menyesali tindakan Tio-toaya?”

Cepat Liong Siau-hun menengahi pula, ia berdehem dulu, lalu berucap, “Di tengah malam buta memang sering bisa salah lihat, apalagi ....”

“Apalagi, bisa jadi aku tidak salah lihat!” jengek Tio Cing-ngo mendadak.

“Tidak salah lihat?” Sun-hoan menegas. “Memangnya Tio-toaya menganggap orang she Li ini ialah si maling kumbang?”

“Itulah sukar untuk dikatakan,” jengek Tio Cing-ngo pula. “Setiap orang sama tahu Ginkang si maling kumbang itu sangat tinggi, gerak-geriknya sangat cepat, soal apakah dia she Ong atau she Li, siapa pun tidak tahu.”

“Hah, memang betul,” ujar Sun-hoan dengan tenang, “Ginkang orang she Li memang tidak rendah, gerak-gerikku juga tidak lambat, muncul kembalinya si maling kumbang sama juga pada waktu pulangnya orang she Li, kan aneh bilamana Li Sun-hoan bukan Bwe-hoa-cat alias si maling kumbang?”

Ia tertawa, lalu memelototi Tio Cing-ngo dan berucap pula dengan perlahan, “Tapi bila Tio-toaya menganggap orang she Li ialah si maling kumbang, mengapa sekarang tidak lekas turun tangan?”

“Cepat turun tangan atau turun tangan nanti bukan soal, dengan hadirnya Dian-jitya dan Kongsun-tayhiap sekarang, memangnya kau kira dapat lolos begitu saja?” kata Tio Cing-ngo.

Baru sekarang air muka Liong Siau-hun tampak berubah khawatir, cepat ia berkata pula, “Ah, kita hanya bergurau saja, jangan serius. Liong Siau-hun berani menjamin dengan segenap jiwa raganya bahwa Li Sun-hoan pasti bukan Bwe-hoa-cat!”

“Dengan sendirinya urusan ini tidak boleh dibuat bergurau,” ujar Tio Cing-ngo dengan muka masam. “Sudah sepuluh tahun tidak pernah kau lihat dia, mana boleh kau jamin kebenarannya?”

“Tapi ... tapi kutahu persis pribadinya ....” muka Liong Siau-hun tampak merah padam.

Tiba-tiba seorang menukas, “Tahu orangnya, kenal mukanya, tidak tahu hatinya. Tentu Liong-siya pernah mendengar peribahasa ini?”

Yang bicara ini berbadan tinggi kurus, bermuka kuning pucat, tampaknya seperti seorang yang selalu sakit-sakitan, tapi suaranya lantang, kiranya dia inilah Kongsun Mo-in yang terkenal dengan 14 jurus ilmu pukulan Mo-in-jiu yang lihai itu.

Di belakangnya berdiri seorang yang senantiasa tersenyum simpul dengan kedua tangan selalu tergendong di belakang, tampaknya seorang hartawan yang biasa hidup senang dan dipuja, kini tiba-tiba tertawa dan berkata, “Haha, betul, aku Dian Jit juga sahabat puluhan tahun dengan Li-tamhoa, tapi menghadapi peristiwa semacam ini, terpaksa soal persahabatan harus kukesampingkan juga.”

Dengan hambar Sun-hoan menjawab, “Meski tidak sedikit sahabatku, tapi sahabat yang terhormat semacam Dian-jitya kurasa tidak ada satu pun. Maka hendaknya Dian-jitya tidak perlu berbicara tentang persahabatan denganku.”

Muka Dian Jit menjadi kelam, sorot matanya menampilkan nafsu membunuh.

Setiap orang Kangouw sama tahu Dian-jitya tidak kenal ampun, apabila senyuman lenyap dari wajahnya, seketika dia bisa turun tangan membunuh orang. Siapa tahu sekarang dia tidak membunuh orang, malahan bicara saja tidak.

Tertampak Kongsun Mo-in, Tio Cing-ngo dan Dian Jit bertiga telah mengapung Li Sun-hoan di tengah, air muka ketiga orang sama masam dan menggereget benci. Namun ketiganya hanya memelototi pisau di tangan Li Sun-hoan, tampaknya tiada seorang pun ingin mendahului turun tangan.

Sama sekali Sun-hoan tidak memandang mereka, melirik pun tidak, ucapnya dengan adem ayem, “Kutahu saat ini kalau bisa kalian ingin membinasakan diriku, sebab bila aku si maling kumbang ini sudah terbunuh, seketika kalian akan hidup jaya dan si cantik dalam pelukan, bahkan akan mendatangkan pujian dan mendapat nama harum sepanjang masa.”

“Harta dan si cantik adalah urusan sepele,” ucap Tio Cing-ngo dengan menarik muka, “tujuan kami membunuh dirimu hanya demi membasmi kejahatan bagi dunia Kangouw.”

“Haha, sungguh gemilang, sungguh cemerlang, sungguh tidak malu sebagai kesatria bermuka besi yang tidak kenal pilih kasih, sungguh pendekar budiman yang tidak ada bandingannya!” ejek Sun-hoan dengan terbahak. Perlahan ia meraba pisaunya, lalu mendengus, “Dan mengapa Anda tidak lekas turun tangan?”

Sorot mata Tio Cing-ngo berkilat kian kemari mengikuti tangan Li Sun-hoan, ia pun tidak dapat bersuara lagi.

“Aha, tahulah aku,” seru Sun-hoan pula. “Dian-jitya termasyhur dengan toya dan ketiga bola besinya yang menggetarkan dunia Kangouw, tentunya Tio-toaya sedang menunggu Dian-jitya akan turun tangan lebih dulu. Untuk ini tentu saja Dian-jitya akan melakukannya dengan senang hati, begitu bukan?”

Tapi kedua tangan Dian Jit tetap tergendong di belakang, seakan-akan tidak mendengar ucapan Sun-hoan itu.

“Ah, betul, jangan-jangan Dian-jitya juga lagi menanti Kongsun-siansing akan turun tangan lebih dulu,” seru Sun-hoan pula. “Ya, ke-14 jurus pukulan sakti Kongsun-siansing banyak gerak perubahannya dan tidak ada bandingannya, dengan sendirinya Kongsun-siansing yang berkewajiban turun tangan lebih dahulu.”

Namun Kongsun Mo-in mendadak seolah-olah berubah menjadi tuli dan bisu dan tidak bergerak lagi.

“Hahahaha! Sungguh aneh!” seru Sun-hoan dengan bergelak. “Katanya kalian bertekad akan membinasakan diriku, tapi semuanya tidak mau turun tangan, jangan-jangan kalian sama berjiwa luhur, tidak suka berebut jasa dan saling sungkan?”

Kongsun Mo-in bertiga juga benar-benar sabar, betapa pun dimaki dan diejek Li Sun-hoan, mereka tetap tidak menghiraukan, anggap tidak mendengar saja.

Padahal dalam hati ketiga orang itu gemas luar biasa, sungguh mereka ingin sekali depak mampuskan Li Sun-hoan. Tapi mereka juga jeri, sebab “pisau sakti si Li cilik, sekali timpuk tidak pernah meleset”, mereka tahu selama pisau terpegang di tangan Li Sun-hoan, siapa pun tidak berani turun tangan, orang lain lebih-lebih tidak ada yang berani bergerak.

Tiba-tiba Liong Siau-hun berkata dengan tertawa, “Ai, saudaraku, masakah belum lagi kau lihat mereka bertiga cuma bergurau saja denganmu? Ayolah, mari kita pergi minum arak saja untuk menghangatkan badan.”

Sambil bicara ia terus melangkah maju dan merangkul pundak Li Sun-hoan.

Air muka Sun-hoan berubah mendadak, serunya, “He, Toako ....” segera ia bermaksud mendorong Liong Siau-hun, tapi sayang sudah terlambat!

Pada saat itulah, “wutt”, Dian Jit telah melolos toya lemas rotan berbungkus benang emas yang panjangnya cuma empat-lima kaki, seperti ular berbisa memagut, secepat kilat ia sabet kaki Li Sun-hoan.

Dalam keadaan demikian, sia-sia Li Sun-hoan memegang pisau sakti si Li yang merontokkan nyali siapa pun, sebab bahunya dirangkul oleh tangan Liong Siau-hun yang simpatik, dengan sendirinya pisaunya tidak dapat bekerja seperti biasa.

“Plok”, kontan kakinya tersabet toya lemas Dian Jit, saking sakitnya hampir saja ia berjongkok.

Kongsun Mo-in juga tidak tinggal diam, dengan cepat ia menutuk tujuh Hiat-to penting sekaligus di punggung Li Sun-hoan. Menyusul Tio Cing-ngo lantas menambahi sekali tendang sehingga Sun-hoan mencelat dua-tiga tombak jauhnya.

Siau-hun berjingkrak dan meraung, “Mengapa kalian turun tangan secara begini? Lekas lepaskan dia!”

Sambil meraung ia terus menubruk ke arah Li Sun-hoan.

Tio Cing-ngo menjengek, “Hm, lepaskan harimau mudah menangkapnya susah, tidak boleh melepaskan dia!”

“Ya, maaf Liong-siya!” kata Dian Jit.

Berbareng Kongsun Mo-in lantas mengadang di depan Liong Siau-hun. Kedua kepalan Liong Siau-hun menghantam sekaligus, tapi toya rotan Dian Jit sempat mencantol kakinya, sekali tarik, kontan Liang Siau-hun sempoyongan, sebelum dia berdiri tegak lagi, Tio Cing-ngo memberinya satu kali tutukan pada iganya.

Liong Siau-hun jatuh terkulai, teriaknya dengan suara parau, “Tio-toako, ken ... kenapa kau ....”

Dengan muka kelam Tio Cing-ngo menjawab, “Meski kita bersaudara angkat, tapi setia kawan Kangouw jauh di atas urusan persaudaraan, semoga kau maklum hal ini dan janganlah mencari susah sendiri karena membela sampah dunia persilatan ini.”

“Tapi ... tapi dia pasti bukan Bwe-hoa-cat, pasti bukan!” teriak Siau-hun parau.

“Untuk apa banyak omong lagi?” damprat Tio Cing-ngo. “Cara bagaimana dapat kau buktikan dia bukan Bwe-hoa-cat?”

Dengan senyuman yang ramah Dian Jit menukas, “Ya, malahan dia sendiri juga sudah mengaku, untuk apa Liong-siya bersusah payah membelanya?”

“Liong-siya,” Kongsun Mo-in ikut bicara, “engkau orang yang berkeluarga, punya kedudukan dan terhormat, jika kau ikut terambat dan menanggung susah perbuatan manusia kotor ini, kan penasaran?”

Dengan suara serak Siau-hun berteriak, “Asalkan kalian melepaskan dia, betapa besar dosanya, biar orang she Liong menanggung baginya.”

“Kau rela menanggung dosanya?” teriak Tio Cing-ngo dengan bengis, “Akan tetapi bagaimana dengan istrimu? Bagaimana dengan anakmu? Apakah kau tega menyaksikan mereka ikut susah lantaran tindakanmu ini?”

Terkesiap Liong Siau-hun, sekujur badan lantas gemetar.

Terlihat Li Sun-hoan rebah di tanah bersalju dengan kaki terangkat dan lagi terbatuk-batuk tidak berhenti-henti dan tampak napas pun sesak, tapi pisau masih terpegang kencang di tangannya, serupa seorang yang akan mati tenggelam, meski sebatang gelagah saja akan dipegangnya erat-erat, padahal gelagah itu hakikatnya tidak dapat menyelamatkan jiwanya.

Biarpun pisau masih terpegang di tangannya, namun apa daya, selamanya tak dapat lagi disambitkan.

Kesatria yang keras, yang selama hidupnya telah dilaluinya dengan kesepian, apakah akan tamat dengan begini saja?

Tanpa terasa Liong Siau-hun menitikkan air mata, ucapnya gemetar, “O, saudaraku, semuanya gara-garaku, akulah yang membikin celaka dirimu. Ma ... maafkan aku ....”



*****



Sesaat sebelum subuh tiba merupakan saat yang paling gelap, bahkan cahaya lampu di ruangan besar itu pun tidak dapat menembus kegelapan yang tak berujung ini.

Serombongan orang berkumpul di undak-undakan batu di luar sana dan sedang berbisik-bisik membicarakan apa yang baru saja terjadi.

“Dian-jitya memang benar-benar sangat hebat, coba kau lihat betapa cepat gerak toyanya tadi, seumpama Liong-siya tidak kebetulan merangkul pundaknya kuyakin Li Sun-hoan juga tidak mampu menghindarnya.”

“Ya, apalagi di samping masih ada Kongsun-tayhiap dan Tio-toaya.”

“Betul, pantas juga orang bilang kedua kaki Tio-toaya bernilai selaksa tahil emas. Lihat saja tendangannya tadi, sungguh indah dan telak benar.”

“Kenapa heran? Lam-kun-pak-tui (kepalan selatan, kaki utara), kesatria daerah utara kami memang termasyhur karena kehebatan tendangannya.”

“Hah, Dian-jitya, Tio-toaya, ditambah lagi Kongsun-tayhiap, sungguh sial bagi Li Sun-hoan sekaligus bertemu dengan mereka bertiga.”

“Ya, walaupun begitu, andaikan tadi Liong-siya tidak ....”

“Memangnya kenapa dengan Liong-siya? Memangnya dia kurang setia kawan?”

“Soal setia kawan Liong-siya memang tidak perlu disangsikan lagi, sungguh mujur Li Sun-hoan mendapatkan sahabat seperti dia!”

Saat Itu Liong Siau-hun lagi berduduk di kursi besar di tengah ruangan, demi mendengar kata-kata terakhir itu, sungguh hatinya seperti ditusuk jarum, butiran keringat memenuhi dahinya.

Dalam pada itu Li Sun-hoan mendekam di atas lantai dan kembali terbatuk-batuk.

Dengan menangis Liong Siau-hun berkata, “O, saudaraku, akulah yang pantas mampus, sungguh celaka engkau mempunyai sahabat seperti ... seperti diriku. Hidupmu ini hancur gara-gara perbuatanku.”

Sekuatnya Sun-hoan menahan batuknya, katanya dengan tersenyum, “Toako, kuharap engkau mengerti, apabila aku diberi kesempatan hidup sekali lagi mulai dari awal, maka tanpa ragu aku tetap akan bersahabat denganmu.”

Dengan penuh emosi Liong Siau-hun menangis tergerung-gerung, serunya, “Akan tetapi, kalau ... kalau tadi tidak kurintangimu, mana ... mana bisa ....”

“Kutahu, apa pun yang dilakukan Toako adalah demi kebaikanku, maka bagiku hanya ada terima kasih,” ucap Sun-hoan dengan suara lembut.

“Tapi mengapa tidak kau beri tahukan kepada mereka bahwa engkau bukan Bwe-hoa-cat, mengapa ... mengapa kau ....”

“Mati atau hidup adalah urusan jamak, hidupku ini memang sudah cukup, hidup tidak perlu digembirakan, mati juga tidak perlu gentar, untuk apa aku bertekuk lutut di depan manusia rendah dan kotor ini?”

Sejak tadi Dian Jit hanya memandangi mereka dengan mengulum senyum, kini mendadak ia berkeplok tertawa, “Haha, makian tepat, makian bagus!”

Kongsun Mo-in mendengus, “Hm, dia cukup maklum apa yang dikatakannya toh tidak bakalan kita lepaskan dia, terpaksa ia menirukan perempuan bawel saling maki di pinggir jalan, biar mati juga ingin mendapatkan kepuasan mulut!”

“Betul, urusan sudah kadung begini, yang kuharap hanya kematian saja,” kata Sun-hoan. “Kini tanganku sudah tidak memegang pisau, mengapa kalian belum lagi turun tangan?”

Muka Kongsun Mo-in yang kurus kering itu menjadi bersemu merah.

Sedangkan muka Tio Cing-ngo masih tetap masam, ucapnya, “Jika sekarang juga kami bunuh dirimu, bisa jadi ada orang Kangouw yang tidak tahu seluk-beluknya akan bilang kami membunuh dirimu demi kepentingan pribadi Maka untuk membunuhmu harus kami lakukan secara terang dan adil.”

“Tio Cing-ngo, sungguh aku sangat kagum padamu,” ejek Sun-hoan. “Isi perutmu penuh kotoran, tapi bicaramu seolah-olah orang suci bersih, muka tidak merah sedikit pun.”

“Bagus, orang she Li, kau memang kepala batu,” kata Dian Jit. “Jika kau ingin lekas mampus, ada juga suatu caraku.”

“Mestinya juga hendak kumaki dirimu, tapi kukhawatir akan membikin kotor mulutku sendiri.” ujar Sun-hoan dengan menyesal.

Dian Jit berlagak tidak mendengar, ia berkata pula dengan tersenyum, “Asalkan kau mau menulis suatu pernyataan menyesal dan mengakui dosamu, sekarang juga akan kami bikin kau mati dengan enak agar tidak penasaran kematianmu.”

Tanpa pikir Sun-hoan lantas menjawab, “Baik, akan kuuraikan, boleh kau tulis ....”

“Jangan, saudaraku!” seru Liong Siau-hun.

Sun-hoan tidak menghiraukannya, ucapnya pula, “Dosaku memang sudah kelewat takaran dan sukar dihitung, aku munafik, pura-pura bajik, padahal berhati keji dan licik, suka memfitnah dan mengadu domba, menyergap pada waktu orang tidak bersiap. Tidak berbudi, tidak tahu diri, segala perbuatan kotor dan rendah hampir seluruhnya pernah kulakukan, tapi masih sok anggap seorang tokoh yang lain daripada yang lain ....”

“Plok”, mendadak tangan Tio Cing-ngo menggampar muka Li Sun-hoan dengan telak.

Liong Siau-hun meraung gusar, “Seorang kesatria hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dihina, mana boleh kalian menyiksa dia secara demikian?”

“Tidak apa,” ujar Sun-hoan tetap dengan tersenyum, “tamparannya kuanggap sebagai digigit sekali oleh anjing gila.”

Teriak Tio Cing-ngo dengan murka, “Dengarkan, orang she Li, anggaplah aku belum mau membunuhmu, tapi aku mampu membuatmu minta hidup tidak dapat, mohon mati pun sukar, kau percaya tidak?”

Li Sun-hoan terbahak-bahak, “Hahahaha! Jika kujeri terhadap kawanan manusia rendah dan kotor semacam kalian ini, percumalah aku menjadi seorang lelaki. Coba kalian masih mempunyai cara apa, silakan keluarkan saja.”

“Baik,” bentak Tio Cing-ngo, segera ia menanggalkan baju luarnya yang baru saja dipakainya.

Liong Siau-hun berduduk di kursi dengan badan gemetar, teriaknya, “Maafkan saudaraku, engkau seorang kesatria, tapi aku ... aku seorang pengecut, aku ....”

Sun-hoan tersenyum, “Hal ini tak dapat menyalahkan dirimu, Toako, apabila aku beranak-istri, aku pun akan bertindak seperti Toako.”

Dalam pada itu tangan Tio Cing-ngo yang kuat sebagai baja sudah mulai meremas tulang pundaknya, rasa sakitnya sungguh tukar ditahan, meski keringat dingin sudah mengucur, namun Li Sun-hoan tetap bertahan, tetap tersenyum simpul.

Orang-orang yang berdiri di luar ruangan sudah banyak yang berpaling ke arah lain. Kesatria Kangouw umumnya mengutamakan “berani”, keberanian seperti Li Sun-hoan ini sungguh jarang terlihat.

Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar ada orang berseru, “He, nona Lim, engkau pulang dari mana? .... Siapakah tuan ini?”

Tertampak baju Lim Sian-ji morat-marit dengan rambut kusut-masai sedang melangkah masuk dengan tergesa-gesa. Di sampingnya mengikut seorang anak muda, meski hawa sangat dingin, namun baju yang dipakainya sangat tipis, jalannya tegap seakan-akan di dunia ini tiada sesuatu urusan yang dapat membuatnya membungkuk tubuh.

Mukanya kaku serupa batu ukiran, keras, dingin, teguh, tapi juga membawa semacam daya tarik aneh yang sukar dilawan. Yang lebih mengherankan lagi adalah dia datang dengan memanggul sesosok mayat.

A Fei! Anak muda ini ternyata A Fei adanya.

Mengapa A Fei bisa datang kemari?

Terguncang hebat perasaan Li Sun-hoan, entah kejut entah girang? Tapi cepat ia berpaling, sebab ia tidak ingin A Fei melihat keadaannya sekarang. Ia tidak mau A Fei turun tangan dengan menyerempet bahaya baginya.

Tapi A Fei toh melihatnya juga. Seketika air mukanya yang kaku dan dingin itu berubah penuh emosi, ia menerjang maju dengan langkah lebar.

Tio Cing-ngo tidak berani merintanginya, sebab dia sudah pernah merasakan betapa lihai ilmu pedang anak muda ini. Tapi Kongsun Mo-in belum tahu, segera ia melompat maju dan mengadang di depan A Fei sambil membentak, “Siapa kau? Apa kehendakmu!”

“Kau sendiri siapa? Kau mau apa?” jawab A Fei.

“Ingin kubelajar kenal dengan ilmu pedangmu!” seru Kongsun Mo-in, berbareng ia lantas turun tangan.

Tidak ada yang mencegahnya. Hal ini tidak perlu diherankan, rebab Tio Cing-ngo justru berharap agar mereka saling gebrak. Dian Jit juga ingin pinjam tangan orang lain untuk mengukur kepandaian anak muda tak dikenalnya ini.

Dan bagaimana dengan Lim Sian-ji? Dia cuma memandang Li Sun-hoan dengan terkejut dan sama sekali tidak memerhatikan orang lain. Mengenai Liong Siau-hun, dia seperti tidak berniat ikut campur urusan orang lain lagi.

Anehnya, A Fei ternyata tidak mengelakkan serangan Kongsun Mo-in. “Blang”, terdengar suara keras, kepalan Kongsun Mo-in tepat mengenai dada A Fei. Tapi A Fei bergeming sedikit pun, sebaliknya Kongsun Mo-in kesakitan sendiri sehingga menungging.

A Fei tidak memandangnya lagi, ia lewat di sampingnya dan mendekati Li Sun-hoan, tanyanya, “Dia kawanmu?”

Sun-hoan tersenyum, “Kau kira ada kawanku semacam ini?”

Dalam pada itu Kongsun Mo-in telah meraung murka dan menubruk maju pula, kembali ia menghantam punggung A Fei. Mendadak A Fei membalik tubuh dan terdengar pula suara “blang”. Kontan tubuh Kongsun Mo-in mencelat.

Sama berubah air maka para hadirin, siapa pun tidak menyangka tokoh “Mo-in-jiu” yang disegani di dunia Kangouw dapat berubah seperti patung di depan anak muda ini, masa tidak tahan sekali genjot saja.

Hanya Dian Jit saja yang lantas bergelak tertawa dan berseru, “Sungguh cepat amat pukulan sahabat muda ini, sungguh kesatria muda yang mengagumkan,” lalu ia menjura dan menyambung pula, “Cayhe Dian Jit, entah siapa nama saudara cilik yang terhormat, sudikah berkawan dengan Dian Jit?”

“Aku tidak punya nama, juga tidak suka berkawan dengan orang macammu ini,” sahut A Fei dengan ketus.

Air muka para hadirin berubah lagi, tapi Dian Jit tetap tersenyum dan berkata, “Anak muda suka bicara secara blak-blakan, memang harus dipuji. Cuma sayang telah keliru memilih sahabat.”

“Oo?!” A Fei merasa tidak mengerti.

“Dia sahabatmu, bukan?” tanya Dian Jit sambil menuding Li Sun-hoan.

A Fei mengiakan.

“Apakah kau tahu siapa dia?”

“Tahu!” jawab A Fei.

“Dan kau pun tahu dia inilah Bwe-hoa-cat?” tanya pula Dian Jit dengan tertawa.

“Bwe-hoa-cat?” A Fei melengak.

“Urusan ini memang sukar untuk dipercaya bila diceritakan, namun fakta nyata, siapa pun sukar menyangkalnya,” kata Dian Jit.

A Fei menatapnya tajam-tajam seperti ingin menembus hatinya.

Mau tak mau terasa ngeri juga Dian Jit, ucapnya, “Jika Anda tidak percaya, boleh tanya langsung kepadanya ....”

“Tidak perlu kutanyai dia, jelas dia pasti bukan Bwe-hoa-cat!” jengek A Fei.

“Sebab apa?” tanya Dian Jit.

Mendadak A Fei melemparkan mayat yang dipanggulnya itu dan berkata. “Sebab inilah Bwe-hoa-cat yang sebenarnya!”

Para hadirin sama melengak pula, beramai-ramai mereka lantas berkerumun ke depan.

Tertampak mayat ini kurus kering, mukanya malang melintang penuh bekas luka sayatan pisau sehingga tukar diketahui bagaimana bentuk wajah aslinya. Yang dipakai adalah baju hitam ringkas sehingga tulang iga saja kelihatan menonjol.

Mulutnya tampak terkatup rapat, mati pun mengertak gigi kencang-kencang, tiada kelihatan sesuatu bekas luka pada tubuhnya, hanya bagian leher ditembus oleh sebuah lubang.

Dian Jit tertawa pula, katanya, “Kau bilang orang mati inilah Bwe-hoa-cat yang sebenarnya?”

“Betul,” jawab A Fei.

“Hahaha, betapa pun engkau masih muda belia, kau kira orang lain pun sama gampangnya tertipu seperti dirimu,” seru Dian Jit dengan tertawa. “Apabila setiap orang sama membawa pulang seorang mati dan mengatakan dia Bwe-hoa-cat, kan dunia ini bisa kacau?”

Kulit muka A Fei tampak berkerut-kerut, ucapnya kemudian, “Selamanya aku tidak menipu orang, juga selamanya tidak bisa tertipu!”

Dian Jit menarik muka, “Lantas, cara bagaimana akan kau buktikan orang mati ini adalah Bwe-hoa-cat?”

“Coba kau lihat mulutnya!” kata A Fei.

Kembali Dian Jit terbahak-bahak, “Untuk apa kulihat mulutnya? Memangnya mulutnya masih bisa bergerak, masih dapat bicara?”

Orang lain pun sama tertawa, tidak semuanya merasa geli, tapi bila Dian Jit tertawa segembira ini, mau tak mau mereka harus ikut tertawa.

Mendadak Lim Sian-ji memburu maju dan berseru, “Kutahu ucapannya memang benar, orang mati ini memang betul Bwe-hoa-cat.”

“Oo?” Dian Jit merasa heran. “Memangnya orang mati ini yang memberitahukannya padamu?”

“Betul, memang dia sendiri yang memberitahukan padaku!” jawab Sian-ji, dia tidak memberi kesempatan tertawa kepada orang lain dan segera menyambung. “Pada waktu Cin Tiong mati sudah dapat kulihat dia terkena semacam senjata rahasia yang berbisa sangat keji. Tapi masih dapat dimengerti apabila Cin Tiong tidak mampu menghindarkan serangan senjata rahasia semacam ini, mengapa tokoh kosen semacam Go Bun-thian juga tidak dapat mengelakkan senjata rahasia semacam ini? Sejauh itu tidak dapat kupecahkan teka-teki ini, sebab hal inilah yang merupakan rahasianya Bwe-hoa-cat.”

Sinar mata Dian Jit tampak gemerdep, “Dan sekarang teka-teki itu sudah dapat kau pecahkan?”

“Betul, rahasia Bwe-hoa-cat justru berada pada mulutnya,” tutur Sian-ji. Mendadak ia mengeluarkan sebilah pisau kecil untuk mencungkil mulut orang mati itu.

Ternyata pada mulut orang mati ini tergigit sebatang pipa baja bercat hitam.

Lalu Sian-ji berkata lagi, “Lantaran pada waktu dia bicara dengan orang lain, mendadak senjata rahasia menyambar keluar dari mulutnya, maka orang lain sama sekali tidak mengetahuinya dan juga tidak mampu mengelak.”

“Jika mulutnya menggigit pipa baja pembidik senjata rahasia, lalu cara bagaimana dia bicara dengan orang lain?” ujar Dian Jit.

“Justru di sinilah letak rahasia di dalam rahasianya,” kata Sian-ji. Dia mengerling, lalu menyambung dengan perlahan, “Soalnya dia tidak bicara dengan mulut, tapi bicara dengan perut. Mulutnya hanya digunakan untuk membunuh orang!”

Uraian Sian-ji ini meski kedengarannya sangat lucu dari tidak masuk di akal, namun jago Kangouw kawakan semacam Dian Jit malah tidak merasa geli sedikit pun. Sebab jago Kangouw kawakan sama tahu di dunia ini memang ada semacam ilmu ajaib yang disebut “bicara dengan perut”.

Konon ilmu “bicara dengan perut” ini berasal dari negeri sekitar Persi dan India, biasanya dimainkan oleh tukang sulap dan pemain akrobat pengembara, suara yang timbul dari dalam perut tanpa menggerakkan bibir itu kedengarannya rada lucu, tapi bila dikendalikan dengan tenaga dalam oleh tokoh dunia persilatan, maka suara yang keluar dengan sendirinya akan jauh berbeda.

“Coba jawab,” kata Sian-ji pula, “pada waktu Dian-jitya hendak bertempur dengan orang, ke bagian mana Dian-Jitya akan memandangnya?”

“Dengan sendirinya memandangi tubuh pihak lawan,” jawab Dian Jit.

“Bagian tubuh yang mana?” tanya pula Sian-ji.

“Pundaknya, dan bagian tangannya!”

“Itulah dia,” kata Sian-ji dengan tertawa. “Pertarungan di antara jago kelas tinggi, siapa pun takkan menatap mulut lawan. Hanya perkelahian antara dua ekor anjing saja yang akan saling memelototi mulut pihak lawan. Sebab manusia bukan anjing, manusia tidak berkelahi dengan menggigit seperti anjing.”

Para hadirin ikut tertawa lagi. Apa yang dikatakan perempuan cantik seperti Lim Sian-ji, jika mereka tidak merasa geli, kan menunjukkan diri mereka terlalu picik.

Siapa tahu Lim Sian-ji lantas menarik muka malah dan berkata pula dengan menyesal, “Tetapi Bwe-hoa-cat ini justru membunuh orang dengan menggunakan mulutnya, hanya lantaran tidak ada yang menyangka di dunia bisa terjadi hal demikian maka dengan mudah dapat diperdayai olehnya. Semakin kosen lawannya, semakin mudah pula teperdaya. Sebab kalau dua jago kelas tinggi berhadapan, tidak nanti matanya akan memandang bagian pundak ke atas pihak lawan.”

“Dari mana kau tahu rahasia ini?” tanya Dian Jit.

“Kuketahui rahasianya setelah dia membidikkan senjata rahasianya ....”

“Jika begitu, apakah sahabat muda ini memang seekor anjing yang selalu mengawasi mulutnya?” tanya Dian Jit dengan sinis.

Sian-ji tersenyum, “Barangkali Dian-jitya belum lagi mengetahui dia memakai baju kutang Kim-si-kah?”

Terbeliak mata Dian Jit, “Aha, betul, pantaslah pukulan Kongsun-heng tadi bukannya merobohkan lawan, sebaliknya tangan sendiri yang kesakitan malah.”

“Hari ini mestinya aku tidak mau pergi ke paviliun Leng-hiang-siau-tiok, tapi setelah malam tiba, mendadak teringat ada sesuatu barang yang tertinggal di sana, sama sekali tak kuduga setiba di sana segera juga Bwe-hoa-cat lantas muncul.”

Sambil bicara, wajahnya yang cantik itu tampak menampilkan rasa takut, sambungnya lagi, “Bicara sesungguhnya, waktu itu tidak kulihat dia, hanya kurasakan seorang mendadak berada di belakangku, belum sempat kubalik tubuh, tahu-tahu Hiat-to kelumpuhanku sudah tertutuk olehnya.”

“Jika demikian, Ginkang orang ini jelas sangat hebat!” ujar Dian Jit.

Sian-ji menghela napas gegetun, “Gerak tubuhnya sungguh tidak ada ubahnya seperti hantu, dengan begitu saja aku lantas terkempit olehnya dan dibawa kabur. Waktu itu juga sudah kuduga dia pastilah Bwe-hoa-cat, maka lantas kutanyai dia, ‘Hendak kau apakan diriku? Mengapa tidak kau bunuh diriku?’”

“Bagaimana jawabnya?” tanya Dian Jit.

Sian-ji menggigit bibir, “Dia tidak bicara apa-apa, hanya tertawa seram.”

Gemerdep sinar mata Dian Jit, “Oo, kiranya dia tidak memberitahukan padamu bahwa dialah Bwe-hoa-cat?”

“Dia tidak perlu memberitahukan padaku. Yang kupikirkan waktu itu hanya lekas mati saja, tetapi sekujur badanku justru tidak bertenaga. Pada saat itulah tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat dan seorang muncul di depan kami.”

“Yang muncul ini tentulah sahabat muda ini?” Dian Jit menegas.

“Betul, memang dia,” Sian-ji melirik A Fei sekejap, sorot matanya penuh rasa terima kasih. “Kedatangannya sungguh teramat cepat, agaknya Bwe-hoa-cat itu juga terkejut, segera dia melemparkan diriku ke tanah, lalu kudengar dia menegurnya, ‘Apakah kau ini Bwe-hoa-cat?’ dan dijawab oleh Bwe-hoa-cat, ‘Jika betul mau apa? Kalau bukan lantas bagaimana? Apa pun kau adalah orang yang dekat ajal ....’

“Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kulihat secomot cahaya hitam menyambar keluar dari mulutnya. Aku terkejut dan juga takut, kulihat cahaya gilap itu sama mengenai tubuh ... tubuh Kongcu ini, kusangka dia pasti juga akan binasa di tangan Bwe-hoa-cat serupa korban yang lain, siapa tahu dia tidak bergerak sedikit pun, dia masih tetap berdiri dengan tegak.

“Menyusul lantas terlihat sinar pedang berkelebat, kontan Bwe-hoa-cat lantas roboh. Betapa cepat gerak pedangnya sungguh tak dapat kulukiskan.”

Bicara sampai di sini, tanpa terasa semua orang terbelalak memandangi pedang “mainan” yang tergantung di pinggang A Fei, siapa pun tidak percaya pedang rongsokan itu dapat digunakan untuk membunuh, bahkan yang dibunuh ialah Bwe-hoa-cat!

Sambil menggendong tangan di belakang punggungnya Dian Jit juga sedang mengamat-amati pedang A Fei, tiba-tiba terunjuk senyum lagi pada ujung mulutnya, katanya, “Wah, tampaknya jauh sebelumnya sahabat muda ini sudah menunggunya di sana?”

“Betul,” jawab A Fei.

“Dan begitu Anda melihat mereka, segera kau lompat keluar untuk mencegatnya serta menegur dia apakah Bwe-hoa-cat atau bukan?”

“Betul,” kata A Fei.

“Apakah Anda selalu menunggu dalam kegelapan, dan begitu melihat orang pejalan malam lantas kau tegur apakah dia Bwe-hoa-cat bukan?” tanya Dian Jit pula dengan tersenyum.

“Mana aku mempunyai tempo sebanyak itu untuk menunggu?” ujar A Fei.

“Jika kebetulan Anda ada tempo, kebetulan pula memergoki orang pejalan malam, lalu cara bagaimana akan kau tanyai dia?”

“Untuk apa kutanya dia? Memangnya apa sangkut pautnya denganku?”

“Aha, tepatlah kalau begitu,” seru Dian Jit sambil berkeplok. “Jika Anda ingin menegur, tentu akan kau tanya siapa dia. Misalnya tadi Anda menegur Kongsun Mo-in juga cuma bertanya, ‘Siapa kau?’ dan tidak bertanya, ‘Apakah kau ini Bwe-hoa-cat?’ ....”

“Kan sudah jelas diketahui dia bukan Bwe-hoa-cat, untuk apa kutanya dia?” ujar A Fei.

Mendadak Dian Jit menarik muka, katanya sambil menuding orang mati di lantai itu, “Jika demikian, mengapa kau tanya orang ini? Apakah sebelumnya sudah kau ketahui dia inilah Bwe-hoa-cat? Dan kalau Anda sudah tahu dia ini Bwe-hoa-cat, untuk apa pula bertanya?”

“Sebab ada orang memberitahukan padaku bahwa dalam dua hari ini Bwe-hoa-cat pasti akan muncul di sekitar sini.”

“Siapa yang memberitahukan padamu?” tanya Dian Jit sambil melirik Li Sun-hoan. “Apakah Bwe-hoa-cat sendiri? Atau teman si Bwe-hoa-cat?”

Padahal dia tahu A Fei pasti takkan menjawab pertanyaannya ini, tapi baginya asalkan mengajukan pertanyaan itu sudah tercapailah tujuannya dan sesungguhnya tidak memerlukan jawaban.

Sedangkan pandangan semua orang lantas terarah kepada A Fei dan Li Sun-hoan lantaran pertanyaan Dian Jit itu, mereka menganggap apa yang dilakukan A Fei itu hanya persekongkolannya dengan Li Sun-hoan belaka, apa pun penjelasan A Fei tak ada lagi yang mau percaya bahwa mayat yang dibawanya itulah Bwe-hoa-cat.

Merasa mendapat angin, Dian Jit terus mendekati salah seorang hadirin, seorang pemuda berbaju perlente dan bertanya, “Kau Bwe-hoa-cat bukan?”

Keruan pemuda itu terkejut, jawabnya dengan gelagapan, “Mana ... mana bisa ....”

Belum lanjut ucapannya, mendadak Dian Jit menutuk Hiat-to kelumpuhannya, lalu bergumam, “Nah, kembali ada seorang Bwe-hoa-cat dapat kutangkap!”

Kemudian ia berpaling dan berseru kepada para hadirin, “Lihatlah, apakah hadirin percaya Bwe-hoa-cat dapat kutangkap dengan semudah ini?”

Maka ramailah gelak tertawa orang banyak, sebagian di antara mereka lantas saling tegur, “Hai, kau Bwe-hoa-cat bukan? ....”

“Kukira engkau sendirilah Bwe-hoa-cat!”

“Wah, tampaknya makin lama Bwe-hoa-cat di sini bertambah banyak!”

“Ya, jika cara menangkap Bwe-hoa-cat sedemikian gampang, biarlah aku pun akan menangkap satu untuk main-main.”

Begitulah ejekan dan sindiran terdengar di sana-sini.

Muka A Fei tampak masam, tangan sudah meraba tangkai pedangnya.

Tiba-tiba Sun-hoan berkata kepadanya, “Lebih baik kau pergi saja, saudaraku!”

“Pergi?” sinar mata A Fei gemerdep.

“Jika di sini sudah ada Dian-jitya dan pendekar besar semacam Tio-toaya kita ini, mana mungkin Bwe-hoa-cat akan terbunuh oleh seorang anak muda hijau pelonco seperti dirimu ini? Apa pun yang kau katakan tetap tidak ada gunanya,” ujar Sun-hoan dengan tersenyum.

Dengan tangan memegang tangkai pedang A Fei berkata, “Aku pun tidak ingin bicara lagi dengan orang-orang macam begini, namun pedangku ....”

“Biarpun kau bunuh mereka juga tidak berguna,” kata Sun-hoan, “tetap tidak ada orang yang mau mengakui engkau yang membunuh Bwe-hoa-cat, masa hal ini tidak kau ketahui?”

Sorot mata A Fei mulai berubah menjadi guram, ucapnya perlahan, “Ya, kutahu, kupaham ....”

Sun-hoan tertawa, “Makanya jika kau ingin mendapat nama, kau harus mengerti dulu hal ini, kalau tidak, tentu akan serupa diriku, cepat atau lambat akan berubah menjadi Bwe-hoa-cat.”

“Maksudmu, jika aku ingin mendapat nama, lebih dulu aku harus penurut, begitu?

“Tepat sekali,” kata Sun-hoan dengan tertawa. “Asalkan segala urusan yang dapat menonjolkan nama kau serahkan kepada para pendekar besar kita, maka para pendekar besar ini akan menganggap dirimu ini anak muda yang polos, berbakat, dan akan diberi giliran kepadamu untuk menonjol ke atas.”

A Fei terdiam sejenak, tiba-tiba ia tertawa. Tertawa cerah, tapi juga kelihatan hampa.

“Wah, jika begitu, mungkin selamanya aku takkan menonjol,” katanya dengan tersenyum.

“Itu pun tidak buruk,” ujar Sun-hoan.

Melihat senyum A Fei, tertawa Sun-hoan juga bertambah cerah, seperti tertawa geli atas peristiwa yang paling lucu di dunia ini.

Selagi semua orang terheran-heran dan menyangka kedua orang ini mungkin kurang waras, sekonyong-konyong A Fei mendekati Li Sun-hoan dan menarik tangannya sambil berkata, “Ah, peduli namaku akan menonjol atau tidak, yang penting mumpung kita dapat berkumpul sekarang, marilah kita pergi minum arak.”

“Hah untuk minum arak, selamanya aku tidak pernah menolak,” kata Sun-hoan dengan tertawa, “Cuma hari ini ....”

“Hari ini mungkin dia tidak dapat mengiringi kehendakmu,” tukas Dian Jit dengan tersenyum.

“Siapa bilang?” jengek A Fei dengan menarik muka.

Dian Jit tersenyum, ia memberi tanda, serentak dua lelaki menerjang masuk, seorang bergodek dan membawa golok, teriaknya, “Dian-jitya yang bilang! Apa yang dikatakan Dian-jitya, itulah perintah!”

Yang seorang lagi berperawakan tinggi kurus, ia pun membentak, “Dan barang siapa berani membangkang terhadap perintah Dian-jitya, baginya hanya ada mati!”

Kedua orang ini semula berdiri dengan tegak di luar pintu ruangan serupa kaum budak, tapi sekarang gerak-geriknya ternyata sangat tangkas, jelas tergolong jago kelas satu di dunia Kangouw.

Di tengah bentakan mereka, dua golok segera menyambar dari kanan dan kiri dengan membawa deru angin tajam, secepat kilat mereka membacok A Fei.

Namun A Fei hanya menatap mereka dengan dingin, seperti tidak menghiraukan serangan mereka. Tapi mendadak sinar perak berkelebat dua kali, menyusul lantas terdengar dua kali jeritan ngeri, kedua golok terlepas dari pegangan dan mencelat ke atas dan “crat”, semuanya menancap di belandar.

Kedua lelaki itu sama memegangi pergelangan tangan kanan sendiri dengan kesakitan, sampai sekian lama barulah darah merembes dari celah-celah jari dan menetes.

Waktu semua orang memandang pedang si A Fei, ternyata senjata itu masih tergantung di pinggang, siapa pun tidak melihat jelas pedang itu pernah dilolosnya atau tidak, cuma kelihatan pada ujung pedangnya melengket setitik darah segar.

Sungguh pedang yang cepat, pedang kilat!

Seketika senyuman Dian Jit juga membeku sehingga lebih tepat dikatakan menyengir.

“Jika ucapan Dian-jitya adalah perintah, maka pedangku justru tidak mau tunduk kepada perintah siapa pun, dia hanya bisa membunuh orang!” kata A Fei dengan hambar.

Waktu kedua lelaki itu menyurut mundur dan mengendurkan tangan kiri, tertampak pada pergelangan tangan kanan ada setitik bekas luka, tidak miring dan tidak serong, luka itu tepat berada di tengah kedua urat besar, jika ujung pedang miring ke samping sedikit, urat nadi mereka pasti sudah putus dan tangan mereka pun cacat selamanya.

Sungguh serangan A Fei bukan saja sangat cepat, juga jitu tempatnya.

Tanpa terasa air muka kedua orang itu menampilkan rasa ngeri, kembali mereka menyurut mundur beberapa langkah, mendadak mereka berebut lari lebih dulu. Meski pedang tak bisa bicara, tapi ternyata jauh lebih menakutkan daripada perintah siapa pun.

Kembali A Fei menarik tangan Sun-hoan, katanya, “Mari pergi minum arak, aku tidak percaya ada orang berani lagi merintangi kita.”

Belum lagi Sun-hoan menjawab, mendadak Liong Siau-hun berteriak, “Kau ajak dia pergi, mengapa tidak kau buka Hiat-to kelumpuhannya yang tertutuk?”

Kulit daging ujung mulut A Fei tampak berkedut, sekejap itu hati Sun-hoan juga berdetak, tiba-tiba teringat olehnya kejadian tempo hari ....

Waktu itu A Fei telah menawan Ang Han-bin baginya dan ditinggalkan di dapur Sun Gwe, Ang Han-bin tidak ditutuk olehnya melainkan cuma diringkus dengan tali dan diikat di atas kursi.

Tatkala mana Sun-hoan sudah merasa heran mengapa A Fei tidak menutuk Hiat-to tawanannya? Kini barulah ia tahu duduknya perkara.

Rupanya pemuda yang dapat memainkan pedangnya secepat kilat ini tidak mahir Tiam-hiat atau ilmu menutuk Hiat-to manusia.

Mendelu hati Sun-hoan, namun air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu tanda, ia cuma menjawab dengan tersenyum, “Hari ini aku tidak sanggup mentraktir kau minum arak.”

A Fei terdiam sejenak, ucapnya kemudian sekata demi sekata, “Aku yang mentraktir engkau!”

“Tidak, bukan arak yang kubeli sendiri tidak mau kuminum,” kata Sun-hoan.

A Fei memandangnya lekat-lekat, sorot matanya yang dingin tiba-tiba menampilkan secercah rasa pedih. Nyata ia pun tahu Li Sun-hoan sengaja tidak menghendaki dia menyerempet bahaya.

Maklumlah, berhubung dia tidak sanggup membuka Hiat-to Sun-hoan yang tertutuk, untuk mengajaknya pergi terpaksa ia harus menggendongnya, dan jika dia menggendong Li Sun-hoan, dengan tambahan beban ini belum pasti dia mampu menerjang ke luar.

Gemerdep sinar mata Dian Jit, dia sedang mencari apa kiranya yang akan dilakukan orang, tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Li Sun-hoan adalah seorang lelaki sejati tidak nanti dia membikin susah orang lain, maka saudara cilik ini lebih baik pergi sendiri saja.”

Sun-hoan tahu rase tua ini sudah dapat melihat titik lemah A Fei, cepat ia menimpali dengan tersenyum. “Tidak perlu kau pancing dia, tidak nanti dia terjebak olehmu. Apalagi biarpun dia menggendong diriku juga belum tentu kalian mampu melawannya.”

Sebelum orang lain buka suara, segera ia menyambung pula, “Apalagi, kalian juga tahu betapa pun aku takkan pergi. Jika kupergi sekarang, bukankah para pendekar besar seperti kalian ini akan tambah bukti bahwa aku ini memang Bwe-hoa-cat?”

Thursday 29 January 2009

Pena Wasiat 24

Oleh : Tjan ID

Cu Siau hong termenung dan berpikir sejenak, setelah itu sahutnya dengan cepat:
"Baik! Aku akan menuruti perkataanmu itu''
"Sebagai seorang pemuda yang bebas dan tak suka terikat, dia memang tidak begitu ambil perduli terhadap segala persoalan yang tetek bengek, maka begitu selesai berkata pedangnya lantas diputar dan melancarkan sebuah tusukan langsung ke depan.

Dengan cekatan nona cantik berbaju hijau itu miririgkan badannya kesamping) mendadak sambil membalikkan badannya dia menerjang maju kemuka.
Dengan cepat tangan kanannya diayunkan kemuka menotok jalan darah yang berada dilengan kanan.
Cu Siau hong terperanjat, dengan cepat dia mundur beberapa langkah kebelakang, pedangnya segera diputar dan balas memba-cok kepinggang musuh .....
Gerakan tubuhnya ini tidak terhitung terlampau cepat cuma rasa takutnya terhadap senjata tajam tidak besar dan lagi cara penggunaan waktunya jitu sekali.
itulah sebabnya serangan gadis itu menjadi hebat dan lihaynya bukan kepalang.
Nona berbaju hijau itu tertawa ringan, sekali lagi dia maju kedepan untuk mendesak, sebuah tendangan segera diayunkan menyepak pergelangan tangan kanan anak muda itu.
Dengan kening berkerut Cu Siau hong segera berpikir:
"Budak ini benar-benar tidak mauinya nyawanya lagi, aku musti memberi sedikit pe-lajaran kepadanya...'
Gerakan pedangnya yang sedang memyambar ke depan itu segera diarahkan untuk menyerang lutut si nona tersebut.
Dimana pedangnya itu bergerak, dengan telak bersarang telak ditubuh lawan sehingga terdengarlah suara benturan yang memekikkan telinga.
Cu Siau hong agak tertegun.
Kiranya tendangan yarg dilancarkan oleh nona cantik berbaju hijau itu dengan tepat sekali berhasil menendang pergelangan tangan kanan si anak muda itu.
Akibat dari tendangaa itu, pedang ditangan kanan Cu Siau hong segera mencelat ke udara dan terlepas dari genggaman.
Sambil tertawa nona cantik berbaju hijau itu berkata:
Cu Siau hong sekarang kau tidak berpedang lagi, terpaksa kita harus melanjutkan pertarungan ini dengan tangan kosong melawan tangan kosong'
Cu Siau hong maju kedepan, kemudian tegurnya.
�'Nona, apakah dibalik pakaianmu tersimpan tameng besi?�
"Coba kau lihat apakah aku mirip seseorang yang mengenakan tameng besi dibalik pakaianku. ?"
"Paling tidak aku dapat mambedakannya dengan pasti, nona bukan mengandalkan tenaga khikang untuk menyambut bacokan itu."
"Tapi toh aku tidak seharusnya memberi tahukan kepadamu apa alasannya bukan?"
Mendadak dia maju sambil melepaskan serangkaian serangan gencar, semua gerak serangannya itu dilancarkan dengan kecepatan seperti terbang.
Buru-buru Cu Siau hong mengerakkan tangannya untuk menangkis dan membendung datangnya serangan si nona baju hijau yang gencar dan berantai datangnya itu...
Ilmu silat yang dimiliki gadis itu lihay dan aneh, mendatangkan semacam tenaga desakan yang besar sekali, untung saja ilmu silat yang dimiliki Cu Siau hong pun beraneka ragam, setiap kali keadaannya terdesak dan jiwanya terancam mara bahaya, dia selalu melepaskan sebuah serangan yang aneh sekali.
Semua kejadian ini berlangsung amat cepat bukan saja dengan mudah sekali pemuda itu dapat melenyapkan ancaman bahaya yang tiba didepan mata, lagi pula dalam posisi yang terdesak kadangkala dia masih sanggup untuk membalikkan keadaan.
Kenyataan ini bukan saja membuat nona cantik berbaju hijau itu menjadi kejut bercampur heran, sekalipun Cu Siau hong sen-diripun merasakan hatinya bergetar keras.
Hal ini membuktikan bahwa kalau hanya mengandalkan hasil latihan Cu Siau hong selama belasan tahun beserta ilmu silat dari aliran Bu khek bun, dia masih bukan tandingannya.
Tapi ilmu silatnya yang beraneka ragam, yang dipelajarinya dari atas kitab pedang tanpa nama beserta ilmu silat yang dipelajarinya dari si dewa pincang justru memiliki suatu kemampuan yang luar biasa sekali, setiap serangan yang dilancarkan, selalu berhasil memaksa nona cantik berbaju hijau itu merasa terkejut bercampur keheranan, juga dapat membuat serangan si nona yang gencar dan dahsyat seakan-akan kena terbendung seluruhnya.
Sekalipun gadis itu sudah melancarkan serangan dengan menggunakan serangan yang tangguhnya sebanyak sepuluh gebrakan, meski ke sepuluh buah serangan itu membuatnya berada di posisi yang lebih menguntungkan, akan tetapi semua serangan tadi berhasil diatasinya dengan sempurna.

Sekarang, satu-satunya kepandaian silat yang belum dicoba oleh Cu Siau hong adalah beberapa jurus serangan aneh yang diperolehnya dari ketua Kay pang.
Makin bertarung Cu Siau hong merasakan hatinya semakin terperanjat, ia telah merasa bahwa ilmu silat yang dimiliki gadis berbaju hijau itu tampaknya masih jauh diatas kepandaian Keng Ji kongcu ....
Sebaliknya nona cantik berbaju hijau itu pun makin bertarung merasa semakin takut, dia merasa ilmu silat yang dimiliki Cu Siau hong bagaikan bukit yang tinggi atau samudra yang dalam, membuat orang hampir bolen dibilang tak dapat meraba asal usulnya.
Mendadak gadis berbaju hijau itu menghentikan serangannya dan melompat mundur sejauh lima depa lebih, setelah itu ujarnya dingin:
"Cu Siau hong, mari kita berhenti seje-nak''
"Maksud nona.."
"Ada beberapa macam persoalan, seka-rang aku ingin menanyakan lebih dahulu kepadamu"
"Baik, akan kudengarkan pertanyaanmu itu dengan sebaik-baiknya"
"Sesungguhnya kau ini anak murid dari perguruan Bu khek bun atau bukan?''
"Sudah tentu aku adalah murid perguruan Bu khek bun yang asli, apa maksud nona dengan mengajukan pertanyaan ini?'
"Tapi mengapa aliran ilmu silat yang kau gunakan sama sekali tidak mirip dengan aliran ilmu silat dari Bu khek bun?"
"Ooya.. ?"
"Terus terang kukatakan, ilmu silat yang dimiliki oleh orang-orang Bu khek bun telah kami ketahui dengan jelas, sekalipun harus menghadapi dengan berpejam mata aku masih sanggup untuk menghadapinya, tapi buktinya sekarang, setiap kali aku berhasil mencapal posisi yang menguntungkan dan kemenangan sudah berada didepan mata, kau selalu menggunakan jurus serangan yang aneh untuk memunahkan peluangku untuk merebut kemenangan itu dan sebaliknya malah mendesak diriku, padahal jurus pukulan dan jurus telapak tangan yang kau pergunakan sama sekali tak pernah kujumpai sebelumnya, dan selagi serangan yang kau lancarkan secara tiba-tiba itu sungguh membuat orang tak habis berpikir"'
Cu Siau hong tertawa setelah mendengar ucapan itu, katanya:
"Nona, tentunya aku tak akan menerangkan lebih dahulu jurus serangan macam apa-kah yang hendak kulakukan sebelum serangatn itu benar-benar kulancar-kan bukan?"
"Tentu saja kau tak perlu mengutarakan nya keluar, cuma ilmu silat yang kau perguna-kan itu sudah pasti bukan jurus-jurus si-lat dari aliran Bu-khek-bun"
"Nona, pentingkah persoalan itu bagimu?"
'Sudah barang tentu penting sekali"
"Nona, akupun ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu?"
''Pertanyaan apa?"
"Ilmu silat yang nona miliki itu berasal darimana?'
"Dari suhuku"
"Siapakah suhumu itu? Dia bernama siapa dan sekarang berada di mana?"
Nona cantik berbaju hijau segera menghela napas panjang, sahutnya pelan:
"Sekarang aku tak dapat memberi tahukan hal ini kepadamu lagi, karena saat ini aku sudah tidak mempunyai keyakinan untuk membinasakan dirimu lagi"
"Nona, nama besar suhumu pun tidak bersedia kau katakan, tapi kau minta kepadaku untuk menerangkan asal usul dari il-mu silatku, tidakkah kau rasakan bahwa caramu itu sedikit keterlaluan?"
"Perbuatan ini bukan suatu perbuatan yang keterlaluan, aku hanya merasa keheranan saja'
'Aku tak ambil perduli berapa banyakkah pertanyaan yang terkandung didalam hatimu, tapi yang pasti adalah aku tak akan menjawab semua pertanyaanmu itu'
"Mengapa?"
"Sebab kita bukan berteman, melainkan bermusuhan!"
Nona cantik berbaju hijau itu menghela napas panjang, katanya kemudian dengan suara pelan:
"Cu Siau hong, bila aku gagal untuk membunuhmu, aku kuatir tak berani pulang untuk memberikan pertanggungan jawabku dihadapan suhu"
Oya?"
Ketika masih berada didepan guru, aku sudah terlanjur sesumbar pasti dapat membawa batok kepalamu pulang ke rumah"
"Apakah kalian sudah tahu kalau Keng Ji kongcu mati ditanganku?"
"Benar! Kami mempunyai suatu cara penyampaian berita yang amat istimewa, dengan cepat kami dapat mengrtahui akan kejadian tersebut"
"Nona aku rasa lebih baik kau pulang saja! Memandang rendah ilmu silatku toh bukan suatu dosa atau kesalahan yang akan berakibat dijatuhi hukuman mati'
Nona cantik berbaju hijau itu segera tertawa katanya:
"Cu Siau hong, apakah kau merasa bahwa aku masih bukan tandinganmu? '
" Aku berpikir demi nona ....''
"Berpikir apa demi diriku?"
"Bagi nona kejadian semacam ini sesuug-guhnya merupakan suatu perbuatan yang sa-ngat tidak menguntungkan"
"Kau takut akan melukai diriku?"
"Sekalipun kita akan sama-sama terluka, tapi buat apa nona musti berbuat demikian'
Nona cantik berbaju hijau termenung be-berapa saat lamanya, kemudian berkata:
"Aaai, kenapa sih kau musti berpikir begitu banyak bagi seorang musuh seperti aku ini?"
Cu Siau hong mengangkat bahunya sambil menjawab:
'Soal ini mah.... aku rasa mungkin dikarenakan akupun merasa agak takut kepadamu!"
"Takut aku akan melukai dirimu?" sambung si nona berbaju hijau itu sambil tersenyum manis.
"Tepat sekali' Aku memang berpikir demikian"
"Kalau begitu kau memandang tinggi diriku?"
"Benar!"
Pelan-pelan nona cantik berbaju hijau itu menundukkan kepalanya rendah-rendah, ucapnya.
"Terima kasih banyak Cu kongcu, bagaimanapun juga aku tak bisa tidak harus membalaskan dendam bagi kematian Keng-Ji kong cu"

Sebenarnya Cu Siau hong bermaksud untuk menghindarkan diri dari suatu pertarungan yang tidak bermanfaat dan kalau bisa menundukkan lawannya dengan kata-kata agar dia mau pulang saja..
Kemudian secara diam-diam dia akan mengutus orang untuk menguntilnya secara diam-diam, sehingga sarang mereka dapat ditemukan. .
Walaupun perhitungannya itu cukup baik, tapi sayang budak itu agaknya sukar un-tuk masuk perangkap.
Cu Siau hong tak dapat membedakan sikap gadis itu apakah sedang berpura-pura atau bersungguh hati, terpaksa dia tertawa dan berkata.
'Maksud nona, diantara kita berdua harus ditentukan siapa yang bakal mati dan siapa yang bakal hidup?"
"Tidak perlu harus dibedakan antara hidup dan mati, paling tidak kita dapat menentukan siapa yang menang siapa yang kalah, bila aku yang kalah maka hal ini membuktikan kalau ilmu silatku masih belum cukup untuk dipakai membalas dendam, dengan begitu akupun akan merasa hatiku sedikit a-gak lega''
'Seandainya menang?"
''Seandainya beruntung aku yang menang, maka hal ini akan sulit sekali...!'
''Bagaimana sulitnya?"
"Pertama, aku tak tahu bagaimana harus menghukum dirimu, juga tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatasi persoalan ini."
"Terhadap aku, rasanya nona tak usah terlalu susah untuk memikirkannya, bila kau yang menang maka itulah saat yang terbaik bagimu untuk membalaskan dendam bagi kematian Keng Ji kongcu."
"Tapi. . ...'
"Tapi apa?".
"Akupun segan untuk membunuhmu!"
Cu Siau hong segera tertawa hambar, katanya.
"Nona, jika kau sudah bertekad untuk menentukan siapa menang siapa kalah diantara kita berdua paling tidak sekarang kau masih tak perlu untuk memikirkan banyak persoalan seperti itu"
"Menangkanlah diriku lebih dulu nona sebelum kau putar otak untuk menyelesaikan masalah tersebut"
"Baiknya, sampai waktunya kita baru rundingkan kembali bagaimana baiknya ..."
Diam-diam Cu Siau hong berpikir dalam hatinya.
"Budak ini amat lembut, tapi ucapannya tegas dan tanpa aturan, sungguh mendatangkan perasaan apa boleh buat bagi orang yang menghadapinya...'
Dengan cepat kedua orang itu terlibat kembali dalam suatu pertarungan amat seru.
Situasi sewaktu pertarungan itu berlangsung tentu saja jauh berbeda sekali dengan keadaan sewaktu mereka berdua sedang berbincang-bincang tadi..
Cu Siau hong telah melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, semua ancamannya dilepaskan dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, pads hakekatnya setiap jurus serangannya boleh dibilang sanggup merenggut nyawa lawan.
Ilmu pedang yang dimiliki gadis berbaju hijau itupun lihay sekali, selain ganas dan rapat, hampir seluruh badannya dilindungi oleh selapis cahaya pedang yang sangat tebal.
Walaupun Cu Siau hong telah melancar-kan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi ilmu pedangnya selalu tak berhasil menembusi lapisan pertahanan dari lawannya ini.
Malahan justru nona berbaju hijau itu yang kerap sekali melancarkan dua buah serangan balasan yang memaksa Cu Siau hong berada dalam posisi yang berbahaya sekali.
Tapi Cu siau hong sendiripun selalu dapat melancarkan serangan dengan jurus pedang yang sangat aneh, serangan dahsyat itu selalu memaksa gadis berbaju hijau itu mundur sejauh beberapa langkah dari posisi semula ....
Dalam waktu singkat seratus gebrakan lebih sudah lewat, namun menang kalah masih juga belum bisa ditentukan.
Sin jut serta Kui meh yang mengikuti jalannya pertarungan itu hanya bisa berdiri tertegun dan mata terbelalak lebar.
Menyaksikan pertarungan sengit yang begitu hebatnya sedang berlangsung didepan mata, tanpa terasa kedua orang itu berpikir didalam hati:
"Sekalipun Kay pang tianglo sendiri yang turun tangan menghadapi lawan, mungkin tiada orang mampu untuk menahan serangan pedang kilat dari gadis itu, tapi Cu Siau hong sanggup menghadapinya hei .... anak muda ini benar-benar hebat sekali"
Tapi yang membuat kedua orang itu tidak habis mengerti adalah keanehan dari ilmu pedang yang digunakan Cu Siau hong, mereka rasakan gerakan pedang itu terlalu mendadak dan aneh sukar diduga, membuat orang merasa tak tahu serangan tersebut bakal datang dari mana.
Tapi sebagian besar jurus pedang yang dipergunakannya memiliki jurus yang amat teratur.
Sebaliknya jurus pedang yang digunakan gadis cantik berbaju hijau itu lebih hebat lagi, semua jurus serangan yang dipergunakan boleh dibilang merupakan serangan-serangan yang ganas.
Makin menonton kedua orang itu merasa semakin tidak habis mengerti, makin me-mandang semakin pikuk rasanya.
"Traang....'' mendadak terdengar suara benturan nyaring yang menimbulkan percikan bunga api, ternyata sepasang pedang itu sudah saling membentur satu sama lainnya.
Tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu berada dalam keadaan seimbang, karenanya kedua belah pihak tak ada yang mau saling mengalah, namun menang kalah juga tak dapat ditentukan.
Setelah sepasang pedang itu saling mem-bentur satu sama lainnya, tiba-tiba Cu Siau hong mengayunkan tangan kirinya melancarkan sebuah serangan kilat.
Serangan itu dilancarkan dengan suatu gerakan yang aneh sekali, walaupun gadis berbaju hijau itu sudah mengangkat tangannya untuk menangkis, ternyata ancaman tersebut gagal untuk dibendung.
''Blaaaamm....!'' benturan keras menggema, bahu kiri nona cantik berhaju hijau itu terkena sebuah serangan dengan telak.
"Nona cantik berbaju hijau itu mundur beberapa langkah dengan sempoyongan akibat dari serangannya itu.
Kelihatannya Cu Siau hong memiliki kesempatan yang baik sekali untuk melancar-kan serangan, akan tetapi Cu Siau hong sama sekali tidak manfaatkan kesempatan baik tersebut.

Hal ini bukan dikarenakan Cu Siau hong berniat untuk mengampuni selember jiwa musuhnya, melainkan karena dalam perasaannya dia merasa sudah tak sempat lagi untuk melepaskan serangan.
Sambil melintangkan pedangnya didepan dada, nona cantik berbaju hijau itu mengawasi wajah Cu Siau hong lekat-lekat, kemudi-an ujarnya pelan-pelan:
''Benar-benar sebuah pukulan yang sangat lihay!"
"Maaf, maaf. . . ."
Nona cantik berbaju hijau itu menghela napas panjang, dia masukkan kembali pe-dangnya kedalam sarung, lalu berkata:
"Aku benar-benar sudah kalah, aaai .... seranganmu itu datangnya benar-benar lihay sekali, sama sekali diluar dugaan siapapun"
"Nona akhir dari pertarungan ini baik bagi diriku maupun bagi nona, merupakan suatu akhir yang paling baik'
"Ucapanmu memang benar, cuma akupun ada beberapa patah kata hendak menasehati dirimu"
"Silahkan disampaikan!''
"Imu pedang yang Cu kongcu miliki memang amat lihay, terutama beberapa jurus di antaranya, sungguh amat dahsyat dan memi-liki kemampuan yang luar biasa, sehingga mendatangkan perasaan diluar dugaan bagi lawannya, namun jarak antara satu jurus serangan dengan jurus serangan yang lain terasa banyak sekali terdapat peluang yang kosong"
"O ya ?"
"Keadaan tersebut seakan-akan sebuah mata rantai yang sangat kuat sekali, namun sayang antara mata rantai yang satu dengan mata rantai yang lain diikat oleh tali rami belaka, hal mana mendatangkan suatu perasaan yang kosong yang berbahaya sekali, sebab didalam suatu pertarungan yang hebat, peluang-peluang semacam ini justru akan memberikan peluang bagi lawan untuk memanfaatkannya dengan segera"
Cu Siau hong manggut-manggut tanda mengerti.
Gadis cantik berbaju hijau itupun berkat-a lebih jauh:
'Bagaimanapun rapatnya perubahan jurus pedang yang lihay, dalam suatu pertarung-an sengit, hal mana merupakan suatu titik kelemahan bagi Cu kongcu"
"Terima kasih banyak untuk petunjuk dari nona itu"
Gadis cantik berbaju hijau itu menghela napas panjang, katanya lebih jauh:
'' Setelah berlangsungnya pertarungan tadi, aku percaya bahwa kau memang mempunyai kesempatan untuk membunuh Keng Ji Kongcu, tapi aku tidak habis ne-ngerti, kenapa dia dapat mati dengan begitu gampang.''
Diam-diam Cu Siau hong merasa terperanjat juga, pikirnya kemudian dengan cepat.
"Kalau didengar dari nada ucapan budak ini, agaknya dia masih merasa curiga sekali atas kematian dari Keng Ji kongcu tersebut."
Berpikir demikian, dia lantas berkata:
"Keng Ji kongcu benar-benar telah tewas ditanganku, jika dalam kebun raya Ban hoa wan masih terdapat anggota organisasi mu yang menyaksikan jalannya pertarungan tersebut, aku percaya mereka dapat memberitahukan hal ini kepada nona" .
"Aku percaya kau memiliki kemampuan untuk membunuh Keng Ji kongcu, tapi aku tidak habis mengerti didalam keadaan se-perti apakah dia bisa mati terbunuh dita-nganmu?'
"Nona, ilmu pedang Keng Ji kongcu memang lihay, tapi bagaimanakah bila dibandingkan dengan kepandaian nona?"
"Seharusnya dia lebih sempurna dan bertenaga daripada aku, mungkin hanya dalam soal kelincahan saja yang dia masih kalah sedikit daripada diriku.."
"Apakah ilmu pedang nona dan Keng ji kongcu berasal dari satu sumber yang sama?"
"Benar"
"Kalau memang begitu, dapatkah nona memperhitungkan sendiri, apakah didalam jurus-jurus ilmu pedang kalian itu terdapat kemungkinan yang menyebabkan kematian dari Keng Ji kongcu?"
"Kalau berbicara dalam satu jurus gebrakan saja, kau memang memiliki kemampu-an untuk merenggut jiwanya, akan tetapi jika ilmu pedang itu dirangkaikan satu dengan lainnya, aku rasa kesempatan bagimu untuk membunuhnya tidaklah terlalu besar"
Cu Siau hong tertawa hambar.
"Nona!" katanya, "jika aku merangkaikan dua jurus serangan pedang yang sama-sama dahsyatnya menjadi satu, akan muncul akibat macam apakah nantinya?"
"'Tentu saja akan makin dahsyat sekalipun masih belum cukup untuk dipakai membunuh Keng Ji kongcu"
Sekali lagi Cu Siau-hong tertawa.
"Seandainya dia tidak terlalu keras ke-pala dan ingin menonjolkan kemampuan-nya, mungkin aku benar-benar tak mampu untuk membinasakan dirinya.'
Nona cantik berbaju hijau itu terme-nung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian pelan-pelan dia berkata:
"Jadi dia beradu kekerasan''
Cu Siau-hong segera mengangguk.
Nona cantik berbaju hijau itu segera berkata lagi:
"'Sudah hampir tiga tahun lebih kami tak pernah saling bersua muka, sungguh tak kusangka kalau dia akan berubah menjadi begitu takabur dan gegabah, baginya hal mana betul-betul merupakan suatu kejadian yang mengesankan sekali"
"Nona, masib ada satu hal entah kau telah memikirkannya atau belum?"
"Persoalan apa?."
"Dia sangat bernapsu sekali ingin membunuh aku" .
"Akibatnya dia malah kena kau bunuh?"
''Benar! Dia memang terlampau terburu napsu, aku rasa kemungkinan besar dia mempunyai banyak persoalan yang mencekam perasaannya, membuat dia merasa menderita sekali sehingga mesti buru-buru membunuhku agar hatinya dapat menjadi tenang kembali, aku rasa kemungkinan besar hal ini disebabkan dia telah membocorkan rahasia bahwa kebun raya Ban hoa wan merupakan sebuah kantor cabang, maka dia ingin buru-buru membuat pahala untuk menebus dosanya ini"
"Aaai .....! Mungkin saja memang benar, sebab peraturan kami memang terlampau ke-tat dan keras"
Diam-diam Ca Siau hong berpikir kem-bali didalam hati.
''Tampaknya budak ini seorang manusia yang terlalu teliti dan pintar, jika aku bisa mengusahakan sesuatu untuk mengorek keterangan dari mulutnya, mungkin sedikit ba-nyak aku akan lebih memahami tentang organisasi rahasia ini"

Berpikir demikian, dia lantas berkata:
"Nona, sekarang diantara kita masih ada urusan apa lagi?'
'Aku sudah mengaku kalah maka kau masih ingin masa kau masih ingin memaksakan sesuatu pertarungan lagi."
"Itu sih tidak, aku hanya merasa ilmu pedang nona . . ..."
"Ilmu pedangku terlalu jelek?" tukas si nona cantik berbaju hijau itu cepat.
"Aaah tidak! dibandingkan dengan Keng Ji kongcu, agaknya ilmu pedang yang nova miliki masih jauh lebih hebat'
"Sungguh mencorong sinar terang dari balik mata nona cantik berbaju hijau itu.
"Sungguh, ketika membunuh Keng Ji kongcu, aku mengandalkan ilmu pedang yang sebenarnya, sama sekali tidak menggunakan siasat licik atau akal muslihat"
Nona cantik berbaju hijau itu menghela napas panjang katanya.
''Cu Siau hong hari ini aku kalah, tapi masih ada besok, lusa, kali ini aku secara khusus datang ke kota Siang yang, persoalan terpenting yang hendak kulakukan adalah untuk membinasakan dirimu, sebelum berhasil membunuhmu aku tak akan pergi meninggalkan tempat ini."
Cu Siau hong segera tertawa.
"Nona, apakah diantara kita berdua harus diakhiri dengan suatu pertumpahan darah yang tak ada gunanya?" dia berseru.
''Cu Siau hong, coba pikirkan bagiku, apa yang musti kulakukan sekarang? Bila a-ku tidak membunuhmu bagaimana aku musti memberikan pertanggungan jawabku kepada suhuku nanti, bagaimana pula tanggung jawabku terhadap suhengku yang telah mati?"
`Setelah membunuh aku, dia juga tak a-kan hidup kembali, bukankah begitu...?" sambung Cu Siau hong.
"Benar ..... '
"Apa lagi nona juga tidak memiliki keyakinan untuk psati berhasil membunuhku''
"Aku sungguh tak sanggup membunuhmu, itu berarti hanya ada satu cara untuk menyelesaikan persoalan ini, yakni kau yang membunuh aku"
"Andaikata aku hendak membalaskan dendam bagi Bu khek bun, hal ini memang se-pantasnya kulakukan, tapi sayang dalam hatiku sama sekali tidak terkandung rasa dendam kesumat yang demikian dalam`
"Cu Siau hong, akupun tak ingin membunuhmu, aku jarang sekali melakukan perja-lanan dalam dunia persilatan, orang yang kukenal juga tidak terlalu banyak, akibat dari pertarungan yang barusan berlangsung ini dari asing kita telah saling mengenal, Aaai ....! Seandainya kau tidak membunuh Keng Ji kongcu, kemungkinan besar kita dapat menjadi seorang sahabat yang baik sekali?"
"Nona, bila kau tak dapat menghilangkan rasa dendam kesumat yang mencekam didalam hatimu, sukar buat kita untuk berkumpul bersama"
"Sekarang, diantara kita memang tak bisa berkumpul dalam keadaan damai dan tenang, aku tak dapat membalaskan dendam bagi Keng Ji kongcu, terpaksa aku harus membunuh diriku sendiri''
Mendadak terpancar keluar perasaan ka-gum diatas wajah Cu Siau hong, katanya dengan cepat:
"Nona, kau benar-benar hendak mati demni Keng Ji kongcu?"
Gadis cantik berbaju hijau itu manggut-manggut.
"Benar!" sahutnya. "aku sudah merupa-kan calon istrinya, sekarang dia telah mati, tentu saja aku harus membalaskan dendam bagi kematiannya itu'
"Baik nona, kau boleh pergi sekarang, besok jika kita bersua lagi, persoalan ini kita selesaikan lagi sampai tuntas''
'Aku telah membunuh beberapa orang anggota Kay pang, aku yakin mereka pasti akan datang mencariku untuk membalas dendam, konon kau mempunyai hubungan yang baik dengan pihak Kay pang, aku rasa kau dapat menasehati mereka dengan beberapa patah kata!"
"Apa yang harus kukatakan kepada mereka?"
"Jangan biarkan mereka datang mencari aku untuk membalas dendam, mulai sekarang akupun tak akan mencari mereka lagi, aku tak akan membunuhi orang-orang mereka, Nah, tengah hari besok aku akan menantikan kedatanganmu ditempat ini"
"Menunggu aku?" tukas Cu Siau hong.
Gadis cantik berbaju hijau itu manggut-manggut.
'Benar, aku akan mengirim kereta kudaku menjemput dirimu"
''Hanya aku seorangkah yang boleh datang?"
"Tidak. kau boleh membawa seorang lagi, seorang sahabat yang paling kau percayai!"
"Oooh . . ."
"Tahukah kau kenapa aku berbuat demikian?"
"Tidak tahu"
"Didalam pertarungan yang akan berlangsung besok, salah seorang diantara kita bakal ada yang mampus, jika kau sampai mati di ujung pedangku, sahabatmu itu akan membereskan jenazahmu"
Cu Siau hong manggut-manggut.
Sebelum ia sempat menjawab, gadis can-tik berbaju hijau itu telah berkata lebih lanjut.
"Aku akan menyiapkan sebuah peti mati, diantara kita berdua mayatnya boleh dimasukan ke dalam peti mati itu"
"Lalu dikubur?
"Tak usah, bila aku yang mati, mereka dapat membawa peti matiku itu untuk diku-bur ke tengah kebun raya Ban hoa wan dikumpulkan menjadi satu dengan jenasah calon suamiku, sedang mengenai kau pun boleh berpesan kepada sahabatmu itu untuk membereskan urusan terakhirmu itu"
Nona ini memang lemah lembut dengan suara yang halus dan lembut, padahal dibalik kelembutan tersebut, justeru terdapat semangat yang tinggi serta hati yang ke-ras seperti baja.
Setelah manggut-manggut, pelan-pelan Cu Siau hong berkata lagi:
"Baik! Kita akan tetapkan dengan sepa-tah kata ini!"
Nona cantik berbaju hijau itu segera membungkukkan badannya memberi hormat, katanya:
"Kalau begitu, siau-moay akan berangkat selangkah lebih duluan"
Sambil membalikkan badannya, pelan-pelan dia berlalu dari tempat tersebut .....

Memandang bayangan punggung nona berbaju hijau yang menjauh itu, Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, semua rasa kesal di dalam dadanya segera dilampiaskan keluar.
Kui-meh Ong Peng cepat memburu datang dengan langkah lebar, bisiknya lirih:
"Saudara Cu, besok apakah kau benar-benar akan datang kemari?"
Cu Siau hong manggut-manggut.
"Yaa, tentu saja akan datang! Aku telah salah menilai tentang dirinya..." ia menyahut.
"Padahal untuk menghadapi musuh kita tak usah terlalu memegang janji.. "ucap Ong Peng.
Sementara itu terdengar suara derap kaki kuda bergerak menjauh, rupanya nona berbaju hijau itu telah berhasil memperbaiki keretanya dan berlalu dari situ.
Dalam pada itu, Cu Siau hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, u-jarnya:
"Saudara Ong, aku tak bisa berbuat demikian, walau nona itu kelihatannya seder-hana dan polos, tapi pendidikan yang diterimanya penuh dengan ketegasan dan keke-rasan, selain dari pada itu kepandaian silat yang dimiliki maupun senjata rahasia tak bersuara yang diandalkannya membuat gadis itu memiliki daya kemampuan membuat gadis itu memiliki daya kemampuan yang mengerikan sekali, jika aku tidak datang menepati janji, niscaya hal mana a-kan memancing ingatannya untuk melaku-kan pembunuhan secara besar- besaran"
'Saudara Cu, maksudku tak ada salahnya jika kita melakukan sedikit persiapan untuk menghadapi kenyataan tersebut, dewasa ini kekuatan Kay pang yang berada dikota Siang yang cukup kuat dan tangguh, kamipun mempunyai beberapa orang Tianglo yang berkumpul disini, kenapa Cu kongcu tidak merundingkan dulu persoalan ini dengan Tan -tianglo dari perkumpulan kami sehingga kita dapat pula menyiapkan suatu perangkap?"
'Cara inipun kurang baik, menurut pendapat siaute, kutemukan meski nona ini keras kepala namun dia masih memegang teguh akan prinsip-prinsip kehidupan yang sewajarnya, bila kita dapat menaklukkan dia, hal mana justru akan lebih bermanfaat lagi daripada kemenangan yang bisa kita raih dari ilmu silat"
Ong Peng manggut-manggut berulang kali.
Jelas dia sudah kena ditundukkan oleh perkataan dari Cu Siau hong itu.
Setelah menghela napas panjang, Cu Siau hong berkata lagi.
"Besok aku bermaksud untuk mengajak serta dirimu untuk memenuhi janji tersebut"
'Bagaimana dengan aku?" dengan cepat Tan Hong bertanya.
'Nona itu toh sudah berkata dengan sejelas-jelasnya, dia hanya mengijinkan dua orang belaka?"
-ooo0ooo-
BAGIAN 31
AAAI...!" Tan Heng menghela napas panjang, "sesungguhnya budak ini memang lihay sekali. diluar wajahnya dia kelihatan seperti polos dan suci bersih tapi sebetulnya banyak akal muslihat yang dimilikinya, ia berjanji untuk menunggumu esok siang disini, bahkan mengirim kereta untuk menjemputmu, dalam sopan santun hal ini tampaknya amat memenuhi syarat, padahal sesungguhnya dia hendak mengawasi kita, semula kita yang mengawasi gerak geriknya menjadi berbalik kita malah yang dia awasi"
Cu Siau hong manggut-manggut setelah mendengar ucapan tersebut sebab ia merasa apa yang dikatakan memang benar.
''Cu-heng adalah seorang lelaki sejati yang jujur dan berjiwa terbuka" kata Tan Heng lagi, "sekalipun tak ingin bermaksud untuk mencelakai orang, paling tidak toh kau musti berjaga-jaga terhadap niat jahat orang untuk mencelakai dirimu"
"Apa yang musti kucegah?"
'Paling tidak saudara Cu harus berjaga-jaga kalau sampai dia mengatur siasat busuk didalam kereta itu untuk menjebakmu"
''Ehmmm... hal ini merupakan bahan yang patut dipertimbangkan" Cu Siau hong segera manggut-manggut.
Setelah terhenti sejenak, ia melanjutkan:
"Saudara Tan, saudara Ong, siaute mempunyai satu permintaan, aku harap kalian berdua sudi untuk mengabulkannya."
"Silahkan saudara Cu utarakan keluar." -kata Ong peng cepat.
''Sekembalinya ke kota Siang yang nanti, kuharap kalian berdua sutra melimpahkan semua tanggung jawab terhadap peristiwa yang baru terjadi tadi diatas tubuhku, biar aku saja yang menghadapi pertanyaan-pertanyaan mereka, setuju bukan"
''Maksud saudara Cu, kami tidak diperkenankan untuk berbicara?"
"Betul! Suruh mereka tanyakan saja langsung kepadaku!"
"Terhadap orang lain, bisa saja kami berbuat demikian, tapi seandainya Tan ti-anglo yang menanyakan persoalan itu..."
"Kalau begitu terangkan saja secara gamblang, katakan kalau aku tidak berharap kalian menerangkan duduk persoalan yang sesungguhnya, maka jika ingin bertanya, bertanya langsung kepadaku"
Ong Peng segera menghembuskan na-pas panjang, ucapnya kemudian:
"Baiklah! Kami akan meluluskan permintaanmu ini"
Cu Siau hong segera manggut-manggut, katanya lagi:
"Aku tahu peraturan dari Kay pang ketat dan keras, cuma ada sementara persoalan tidak baik kalau diperdebatkan oleh kalian, maka dari itu biar aku yang terangkan, sebab hal ini mungkin akan lebih bisa diterima oleh mereka"
"Baik, kami meluluskan permintaan itu'' Dengan cepat mereka bertiga berangkat kembali ke kota Siang yang.
Sepanjang jalan Cu Siau hong telah menyusun rencana yang padat, dia bermaksud untuk berunding dulu dengan Pek Bwee, kemudian dari mulut Lik Hoo, Ui Bwee dan Ang Bo tan berusaha untuk mencari tahu siapa gerangan nona berbaju hijau itu, kemudian baru pergi menjumpai Tan -Tiang kim.
Ternyata semua kejadian yang kemudian berlangsung sama sekali diluar dugaannya, baru masuk pintu gerbang, Pek Bwee dan Tan-Tiang-kim telah menantikan kedatang-annya disana.
Dari sini dapat dibuktikan kalau pihak Kay-pang maupun Pek-Bwee sangat mengua-tirkan keselamatannya.
Tapi hal mana justru mempengaruhi ren-cana Cu Siau hong, membuat semua jawab-an yang sebetulnya telah dipersiapkan itu menjadi porak poranda tak karuan.
Sambil tertawa Tan Tiang-kim segera ber-kata.

"Cu sauhiap, ciangbunjin perguruan Bu -khek-bun serta Kay-pang pangcu telah menhantikan kedatanganmu, silahkan masuk ke-dalam ruangan tengah ....!"
Didalam ruangan duduk menanti Ui lo pangcu serta Tang Cuan.
Sikap Ui pangcu amat sungkan sekali, dia segera bangkit berdiri seraya menjura.
"Silahkan duduk!"
Tan Heng dan Ong Peng tidak ikut masuk, di dalam ruangan itu hanya terdapat lima orang yakni Ui pangcu, Tang Cuan, Pek Bwee, Tan Tiang kim ditambah Cu -Siau hong.
Sesungguhnya dlsekitar meja memang telah tersedia lima buah kursi, jelas hal ini memang sudah diatur semenjak semula.
Dua orang angkatan muda Kay pang segera datang menghidangkan air teh, kemudian de-ngan cepat mereka mengundurkan diri sekalian merapatkan pimu ruangan.
Setelah meneguk air teh dan tertawa, Ui lo pangcu berkata:
"Cu sauhiap, sudah kau jumpai nona itu?
"Sudah, sudah kujumpai!" sahut Cu Siau hong sambil manggut-manggut.
"Ada sebelas orang anggota Kay pang yang tewas oleh sergapan mautnya yang sama sekali tak ditemukan bukti kejahatannya."
"Tentang soal ini boanpwe telah berhasil menyelidikinya" sahut Cu Siau -hong dengan cepat, "sesungguhnya mereka sudah terkena semacam rumput hijau yang amat lihay, barang siapa terkena, mereka akan jatuh tak sadarkan diri, Tang Heng serta Ong Peng dari Kay pang juga telah terluka oleh duri beracun tersebut"
"Aaaai ..... sungguh tak disangka kalau di dunia ini benar-benar terdapat rumput hijau semacam ini.
Ditinjau dari ucapan tersebut, jelas pang-cu tua dari Kay pang ini telah menduga ke sana.
"Lo pangcu, nona itu berasal dari satu organisasi dengan pihak kebun raya Ban hoa wan" kembali Cu Siau hong melaporkan.
Ui -lo pangcu segera manggut-manggut.
"Cu kongcu apalagi yang telah ia bicarakan dengan dirimu?" dia bertanya.
Cu Siau hong termenung beberapa saat lamanya, kemudian katanya.
"Ketika kita membakar kebun raya Ban hboa wan sehingga menimbulkan ledakan dari minyak yang mereka tanam di bawah tanah, entah dari berapa orang yang turut tewas dalam peristiwa itu"
''Cara kerja kita memang agak keji, bila kita tidak berbuat demikian, mustahil ke-bun raya Ban hoa wan bisa kita punahkan.
''Adapun kedatangan si nona ke Siang -yang kali ini adalah untuk membalas dendam"
"Membalas dendam? Membalas dendam untuk siapa? Bagi semua orang yang berada didalam kebun raya Ban hoa wan"
"Dia bukan pembunuh yang dikirim da-tang" tukas Cu Siau hong. "bila dia ada-lah orang yang diutus organisasi tersebut untuk menghadapi kita, tak mungkin hanya dia seorang yang dikirim kemari, juga tak mungkin dia akan datang secara terang-terangan"
"Kalau begitu dia adalah ....?"
"Semacam pembalasan dendam untuk kepentingan pribadi" jawab Cu Siau hong ce-pat, "dia hendak membalaskan dendam bagi kematian suhengnya juga merupakan bakal suaminya"
"0rang itu adalah . . ."
"Keng Ji kongcu !"
"Kalian telah membicarakan persoalan i-ni ?" tanya Tan Tiang kim.
''Benar! Telah kami perbincangkan"
"Lantas ba.galmana dengan penyelesaian-nya?"
"Telah kuakui kalau Keng Ji kongcu memang tewas ditanganku, kamipun telah bertarung satu kali, namun tidak berhasil me-nentukan siapa menang siapa kalah, oleh karena itu kami berjanji akan melangsungkan sebuah pertarungan sengit lagi esok siang''
''-Cu kongcu, dalam menghadapi masalah ini Kay Pang tak bisa berpeluk tangan be-laka, besok kami akan mengutus beberapa orang untuk melakukan perjalanan bersama mu''
"Tak usah" tampik Cu Siau hong sambil menggeleng, dia menantang aku untuk bertvarung satu lawan satu.. ."
"Siau hong" tukas Tang Cuan decngan cepat, persoalan ini toh bukan urusanmu seorang, paling tidak kami tak bisa berpeluk tangan belaka, berbicara soal dendam sakit hati, kamipun sudah seharusnya mencari dia, besok aku akan mengikutimu pergi kesana."
'Tang suheng, besok aku boleh membawa satu orang, tapi orang itu seharusnya anggota Kay-pang"
"Hanya membawa seorang?" tanya Tan Tiang kim.
'Benar! hanya membawa seorang, orang itu sudah kupilih, mohon pangcu suka me-ngabulkannya"
"Siapakah orang itu?"
"Ong Peng!"
"Kui meh Ong peng?"
"Yaa, benar!"
'Cu kongcu, seperti yang kita maklumi, mereka adalah suatu organisasi yang amat besar, dan lagi cara kerja mereka amat kejam dan brutal, bagaimana seandainya mereka persiapkan jebakan? Niat untuk mencelakai orang tak boleh ada, tapi kewaspadaan terhadap alat busuk orang tak boleh hilang, aleh karena itu aku sipengemis tua menganjurkan agar kita bicarakan persoalan ini secara baik-baik, lalu kirim lebih banyak orang untuk menghadapinya.."
"Tidak bisa Tan cianpwe, aku telah mengabulkan permintaannya untuk datang seorang diri untuk memenuhi janji tersebut, aku tak ingin melanggar perjanjian ini."
"Soal ini, soal ini...."
''Tiang kim dalam peristiwa ini tak usah kau risaukan" tiba-tiba Ui lo pangcu menukas.
Buru-buru Tan Tiang kim membungku-kkan badannya memberi hormat.
"Tiang kim turut perintah!"
Ui pangcu manggut-manggut,ujarnya.
"Baiklah Cu kongcu, bawalah serta Ong peng, selain itu akupun menyetujui keinginanmu untuk memberikan semua hak dan kekuasaan atas persoalan ini kepadamu, walaupun dia telah membunuh belasan orang anggota Kay pang, namun kamipun sudah banyak membunuh orang-orang mereka, tentang persoalan ini pihak Kay pang boleh saja tidak menuntut apa-apa."
'Terima kasih lo pangcu"
Sorot matanya segera dialihkan ke atas wajah Tang Cuan, kemudian melanjutkan:
''Ciangbun suheng, siaute mohon kepada suheng agar meluluskan pula permintaan siaute itu"
Tang Cuan menghela napas panjang.
"Aaaai....sebetulnya kau boleh tak usah mengikatkan diri dengan peraturan perguru-an, sebelum suhu menghembuskan napas yang penghabisan, beliau juga menyetujui hal ini, cuma Siau hong, bagaimanapun juga aku tak perlu tahu dengan cara apakah kau hendak menghadapi persoalan ini, tapi kaupun tak boleh mewakili Bu khek bun untuk meme-nuhi permintaan yang diajukan orang itu"
"Tentang soal ini, siaute pasti tahu diri, tak perlu ciangbun suheng risaukan"
"BAIK kalau begitu pergilah! Cuma Siau--hong, kau musti berhati-hati dalam menghadapi persoalan ini"
"Terima kasih atas perhatian suheng"
"'Siau hong, menurut pesan suhu menjelang ajalnya, kau boleh tak usah terikat oleh peraturan perguruan Bu khek bun, oleh karena itu akupun tak akan berpesan apa--apa kepadamu, hanya aku yang menjadi suhengmu mempunyvi suatu pengharapan, entah bolehkah aku mengutarakannya keluar?"
Buru-buru Cu siau hong bangkit berdiri kemudian menjura dalam-dalam, sahutnya:
"Perkataan dari Ciangbun suheng terlalu serius, siaute tidak berani, bila ada persoalan harap sampaikan saja secara berterus terang."
''Walaupun tiada peraturan perguruan yang mengikatmu, tapi sebagai seorang le-lakisejati, kau harus tahu bagaimana ca-ranya menyayangi diri sendiri, bagaimana pun juga kau toh berasal dari perguruan Bu-khek-bun"
"Siaute akan mengingatnya selalu, aku pasti akan setiap hari mengingat pesan suheng ini, paling tidak dalam menghadapi setiap masalah aku harus teringat dulu pada kepentingan perguruan"
Tang Cuan merasa puas sekali, katanya sambil tertawa:
'Jit sute, aku tahu kau berasal dari keluarga sastrawan, sekalipun memiliki il-mu silat yang tinggi otakmu penuh pula dengan aneka macam pengetahuan, kata-kata semacam itu mungkin saja tak perlu banyak kukatakan."
"Setiap nasehat suheng merupakan kata-kata yang tak ternilai harganya" sambung Cu Siau-hong cepat-cepat.
Ui pangcu yang duduk dikursi utama tiba-tiba menghela napas panjang, katanya:
"Tang ciangbunjin, aku si pengemis tua pun ada beberapa patah kata hendak di sampaikan kepada dirimu"
Tang Cuan segera bangkit berdiri dan menjura dalam-dalam, sahutnya dengan cepat:
"Lo-pagucu, kau tak usah sungkan-sungkan, silahkan kau utarakan, boanpwe akan mendengarkan dengan seksama" ,
"Tang ciangbunjin, tahukah kau apa se-babnya menjelang ajalnya tiba, suhumu telah melepaskan Cu Siau-hong dari belenggu peraturan Bu-khek-bun?"
"Tentang soal ini ..... tentang soal ini... boanpwe bodoh, masalah ini kurang kupahami"
'Hal ini dikarenakan suhumu memang mempunyai kemampuan untuk menilai orang."
Jelaskan perkataan itu belum selesai diutarakan, namun secara tiba-tiba Ui pangcu menghentikan kata-katanya dan tak berbicara lagi.
"Mohon lo-pangcu suka memberi penjelasan' buru-buru Tang Cuan berseru kembali.
'Orang yang luar biasa dikala menghadapi persoalan yang luar biasa, ada kalanya harus menggunakan pelbagi cara dan tindakan yang melanggar garis-garis bijaksana, bila terlalu mengikat diri pada peraturan yang ketat maka besar kemungkinan kalau hal ini justeru akan merugikannya daripada suatu keberuntungan"
'Oooh ...."
"Oleh karena itu, aku si pengemis tua beranggapan, ada sementara persoalan perlu dilimpahkan semua hak dan kekuasaan kepadanya sehingga dia bisa bertindak menurut selera dan keinginannya sendiri"
Kembali Tang Cuan manggut-manggut.
"Dalam ini dunia persilatan sedang menghadapi suatu badai pembunuhan yang luar biasa sekali, perubahan besar yang berlangsung kali ini sama sekali berbeda dengan keadaan dimasa-masa lampau, sudah banyak orang yang terbunuh, namun kita masih belum tahu siapakah pihak lawan, bila kita harus menghadapi persoalan yang luar biasa ini dengan tindak tanduk yang jujur dan lurus, aku rasa banyak kesempa-tan baik yang tak bisa dimanfaatkan dengan sebaiknya, maksud dari aku si pengemis tua tentunya dapat dipahami oleh Tang ciang-bunjin bukan?"
"Boanpwe agak mengerti!"
Agak mengerti berarti masih ada hal yang kurang jelas.
Sebagaimana diketahui, Tang Cuan adalah seorang yang berpikir lurus, ia merasa kurang begitu cocok dengan apa yang dikatakan oleh Ui pangcu barusan.
Ui lo pangcu adalah seorang yang sangat berpengalaman, sudah barang tentu diapun dapat menduga kecurigaan diatas orang, sambil tertawa ia lantas berkata lagi:
`Tang ciangbunjin, ambil contoh dengan peristiwa penyerbuan yang menimpa Bu khek bun kalian, coba kalau kita tidak pergunakan sedikit otak dan kecerdasan, dapatkah kita ketahui siapa pembunuh yang sebenarnya?"
Tang Cuan menjadi tertegun dan tak sanggup menjawab lagi.
"Kita ambil contoh dengan diri Cu Siau hong," kata Ui lo pangcu lebih jauh, seandainya dia tidak diberi kebebasan untuk menghadapi perubahan situasi dengan kehendak hatinya, kau anggap dia punya berapa bagian kesempatan untuk melanjutkan hi-dupnya'
Kembali Tang Cuan dibikin tertegun.
Masalah ini merupakan suatu contoh yang amat jelas dan gamblang, terhadap manusia yang suka menyergap dan main curang kita memang tak bisa menghadapinya dengan jalan yang jujur, lurus dan terbuka.
Menyaksikan Tang Cuan sudah tak sang-gup untuk menghadapi keadaan tersebut, Pek Bwee segera menyela.
"Perkataan dari lo pangcu bagaikan gun-tur yang membelah bumi disiang hari bo-long, cuma Siau hong sesungguhnya adalah seorang manusia yang sama sekali belum berpengalaman, namun dia telah menampilkan kecerdasan yang luar biasa, juga telah melakukan beberapa persoalan yang amat berat, sekalipun dibalik kesemuanya itu fak-tor keuntungan merupa-kan pangkal kesuksesannya. Tapi nasib manusia toh tidak selamanya mujur terus."
Ui Lo pangcu tertawa katanya.
"Lote, kau anggap keberhasilan itu terpe-ngaruh pula dari soal kemujuran?"
"Menurut aku si pengemis tua, seharusnya hal ini termasuk semacam kecerdasan, semacam kecerdasan yang muncul karena bakat alam, bakat alam semacam ini bukan setiap orang dapat mempelajarinya.''
Pek Bwee menjadi tertegun, dia tahu Ui pangcu amat mengagumi kemampuan Cu Siau hong, namun sama sekali tak menyangka kalau dia begitu memandang tinggi akan kemanpuannya.

Bukan cuma Pek Bwee saja yang merasa kan hal ini sebagai suatu kejadian yang sama sekali diluar dugaan, sekalipun Tan Tiang kim dan Tang Cuan juga merasa tertegun.
Setelah menghembuskan napas panjang, pelan-pelan Pek Bwee berkata:
"Lo pangcu, dia kan masih seorang bocah, janganlah kau terlalu memanjakan dirinya"
'Ui pangcu segera tertawa, katanya:
"Sudah hampir dua puluh tahun lamanya aku si pengemis tua mengamati perkemba-ngan dunia persilatan, akhirnya kujumpai juga munculnya suatu badai besar dalam dunia persilatan?
Sorot matanya segera dialihkan ketubuh Cu siau hong, setelah itu sambungnya:
'Aku si pengemis tua juga telah bertemu dengan pemuda ini, seorang pemuda yang merupakan tumpuan harapan dari seluruh umat persilatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran .... '
Beberapa patah kata itu terlampau berat, membuat Cu Siau hong merasakan peluh dingin bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, buru-buru dia bangkit berdiri sembari ber-kata:
"Lo pangcu, boanpwe tak berani menerima sanjunganmu itu"
Ui pangcu kembali tertawa, katanya:
"Nak, duduklah dulu, mari kita berbicara secara baik-baik"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan "Tentunya kau sudah pernah bersua de-ngan si Dewa pincang Ui Thong bukan?"
"Benar, boanpwe telah menjumpainya"
''Kenapa? Apakah lo pangcu kenal dengan nya?" seru Pek Bwee.
"Dia adalah seorang adik tongku, kepan-daiannya memang lumayan, tapi ia selalu berusaha untuk melawan takdir, dengan kepandaiannya dia ingin mencegah terjadinya takdir pada manusia, meski di usia tuanya agak menyesal, sayang keadaan sudah terlambat, tidak banyak umat persilatan yang bisa memahami dirinya"
"Banyak sekali yang dia bicarakan dengan diriku" kata Cu Siau hong, "sayang sekali dia sudah ........"
Ui pangcu segera menggoyangkan tangan nya berulang kali mencegah Cu Siau hong berkata lebih lanjut, setelah menghela napas panjang katanya:
"Didalam kehidupannya selama ini banyak penderitaan yang telah dialaminya, terlalu banyak pula yang dipikirkan, dia i-ngin ribut dengan manusia, ingin menen-tang suratan takdir, untuk membangun ru-mah diatas pohon saja entah berapa banyak pikiran yang telah dicurahkan kesana dan pun menyelidiki pelbagai ilmu aneh dengan harapan bisa menemukan sesuatu"
"Apa yang berhasil dia peroleh?" tanya Pek Bwe cepat.
"Ia tak berhasil menemukan apa-apa, Aku pernah menasehatinya agar dia sedikit tahu diri, namun dia menolak anjuranku itu dan lagi dia kuatir akan mempengaruhi namaku, selama ini tak pernah ia singgung kalau aku adalah kakak Tong nya"
Sorot matanya segera dialihkan kewajah Cu Siau hong, kemudian melanjutkan:
"Siau hong, kau tahu? Walaupun kita belum pernah berjumpa namun aku sudah mempunyai bayangan tentang dirimu, itulah pemberitahuan dirinya, ia yang memberitahu kan kepadaku bahwa orang yang bisa menyelamat-kan badai pertumpahan darah dalam dunia persilatan hanyalah kau ....."
"Lo Pangcu, dapatkah kau percayai ucapan tersebut?'' tukas Pek Bwee tiba-tiba.
'Yaa, aku percayai apa yang dia katakan kepadaku belum pernah meleset, ia minta kepadaku untuk percaya kepadanya, dia telah melakukan pemeriksaan yang cermat atas diri Cu Siau hong, dan lagi dia minta aku dengan kedudukan, nama serta kekuatan yang ada pada tubuh Kay pang untuk me-nunjang dirinya ...."
"0ooh.!"
Tan Tiang kim berpaling dan memandang sekejap kearah Cu Siaui hong, kemudian so-rot matanya dialikkan ke Ui pangcu, kata nya:
"Pangcu, asal kau orang memberi perintah, segenap anggota Kay pang akan menu-ruti perintahmu'
"Tiang kim, persoalan ini belum boleh disiarkan dalam dunia persilatan, sebab saat nya belum tiba, apalagi bantuan yang kita berikan kepada Cu Siau hong selama ini sesungguhnya adalah demi membantu Kay pang sendiri, dalam kenyataan dialah yang sedang membantu kita, membantu segenap umat persilatan yang ada didunia ini"
Masalah yang dibicarakan makin lama semakin besar dan serius, suasanapun makin lama semakin tegang, dalam keadaan demikian, agaknya Tang Cuan sudah tak mungkin untuk turut mengambil bagian lagi dalam pembicaraan tersebut.
Akhirnya Cu Siau hong yang berbicara lebih dulu, katanya:
"Lo pangcu, organisasi tersebut telah berhutang darah kepada Bu khek bun kami, hutcang darah ini harus dituntut kembali, ciangbunjin kami dan boanpwe pasti akan berusaha dengan sepenuh tenaga untuk menuntut kembali hutang darah tersebut'
"Dalam kenyataan, musibah yang menimpa Bu kbek bun tak lebih hanya merupakan suatu babak baru didalam dunia persilatan, ketika kalian musnahkan kebun raya Ban hoa wan, bukan saja hal itu sama arti nya telah membalaskan dendam buat Bu khek bun, juga telah mencegah terjadinya suatu pembunuhan-pembunuhan gelap secara besar-besaran...."
'Darimana lo pangcu bisa mengetahui akan hal ini?" tukas Pek Bwee.
"Ui Thong pernah membicarakan tentang soal ini denganku, dia meninggalkan beberapa buah kantungan berisi petunjuk untuk mencegah kejadian besar itu, dia berpe-san apabila dunia sudah mulai kacau dan badai pembunuhan telah dimulai, aku harus membuka kantongnya yang pertama, dalam surat itu dia menulis banyak sekali kejadian-kejadian yang akan berlangsung di dunia ini, setelah kubaca ternyata memang ham-pir sebagian besar yang cocok. Coba, bukankah hal ini aneh sekali?" ..
"Ilmu perbintangan dan ilmu meramal kejadian masa depan merupakan suatu ke-pandaian yang luar biasa sekali, tentu saja hasilnya tak boleh dianggap sebagai bahan permainan"
Ui pangcu menghela napas panjang, katanya:
'Terus terang saja sebetulnya aku merasa kurang percaya dengan segala macdam kepandaian dari Ui Thong tersebut, ta-pi setelah membuktikannya beberapa kali, tampaknya sekalipun aku tak ingin per-caya juga mau tak mau harus mempercayai-nya juga"
"Maka sekarang kaupun percaya?" kata Pek Bwee.
"Ya, sekarang mau tak mau aku musti percaya`
"Maksud lo-pangcu, apakah kau hendak menyuruh Siau-hong untuk menanggung se-suatu?"

"Betul! Oleh karena itu, aku si penge-mis tua mengusulkan agar kalian lepas ta-ngan semua, biar dia sendiri yang mengha-dapi semua persoalan ini"
"Bagaimana dengan lo-pangcu sendiri?"
"Tentu saja aku lebih-lebih tak akan menghalangi niatnya, tapi aku akan mengerahkan segenap kekuatan yang ada didalam Kay-pang untuk membantunya"
''Lo-pangcu" bisik Pek Bwee, "sudahkah kau pikirkan, dia masih muda dan masih kekurangan soal kemantapan, didalam meng-hadapi persoalan, bisa jadi dia akan bertindak gegabah ....'.
'Oooh...!"
Melihat Ui pangcu tidak berniat untuk menjawab pertanyaan itu, tak tahan kembali Pek Bwee berkata:
''Lo pangcu, bertindak secara gegabah memang tak akan sampai mencelakainya, tapi aku kuatir kalau cara kerjanya agak sesat"
"Pek lote, yang hendak kita hadapi sesungguhnya adalah suatu organisasi kaum sesat, seandainya kita menghadapi dengan cara yang lurus, aku kuatir belum tentu a-kan peroleh hasil yang diinginkan"
"Pek Bwee menjadi terbungkam, ia sama sekali tidak menyangka kalau tokoh persila-tan yang berkedudukan amat tinggi ini bi-sa begitu memandang serius kemampuan Cu Siau hong, sehingga masalah besar dari dunia persilatan ini telah diserahkan pertanggungan jawabnya atas diri seorang bocah yang baru berusia dua puluh tahunan.
Setelah hening, beberapa saat lamanya, Pek Bwe berkata:
''Baik, kalau begitu kita tetapkan begini saja''
"Loya cu...." seru Cu Siau hong:
"Kau tak perlu kuatir" tukas Pek Bwe
"Soal suniomu, serahkan saja kepadaku"
'Baik!" kata Ui pangcu kemudian, "Tang ciangbunjin, apakah kau bersedia memberi muka kepada aku si pengemis tua?'
Jelas tingkatannya ini merupakan pembe-rian muka untuk Tang Cuan, buru-buru pemuda itu menjawab.
"Perintah dari lo pangcu, mana berani Tang Cuan tolak'
Agaknya Ui pangcu merasa puas sekali dengan jawaban tersebut, katanya sambil tertawa.
''Bagus sekali, kalau begitu aku putuskan demikian saja, aku telah mengeluarkan pe-rintah Tiok hu lang, tak lama kemudian sepasukan jago dari Kay pang akan dikirim kemari, selain itu aku si pengemis tua juga telah berjanji dengan beberapa orang jago dari Pay kau, aku hendak bertemu dengan mereka serta membicarakan soal kerja sama kedua belah pihak."
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Tang Cuan, kemudian melanjutkan:
"Ciangbunjin, aku rasa lebih baik kau turut serta didalam pembicaraan ini."
'Lo pangcu'' buru-buru Tang Cuan berseru.
"Aku Tang Cuan hanya seorang manusia ke-cil, mana berani mengikuti perundingan besar seperti itu? Aku rasa tak usah ...."
"Nak, jangan terlalu memandang rendah diri sendiri" 'kata Ui pangcu sambil meng-gelengkan kepalanya berulangkali, "kau adalah seorang ciangbunjin dari perguruan Bu khek bun, berarti kedudukanmu sama pu-la dengan kedudukan ciangbunjin partai lain'
Tang Cuan merasa sedikit terkejut mendengar ucapan tersebut, namun juga mera-sakan beban yang menekan bahunya sema-kin berat, dengan wajah serius ujarnya:
"Lo pangcu, aku..."
"Ui pangcu menggoyangkan tangannya mencegah Tang Cuan berkata lebih lanjut, katanya.
"Kau tak usah merendah lagi, keputusankru sudah bulat"
"Baik!''kata Tang Cuan dengan sikap yang sangat menghormat, "pesan dari cianpwe boanpwe laksanakan' .
"Ui pangcu mengalihkan kembali sorot matanya kewajah Cu Siau hong, kemudian ujarnya:
"Siau-hong, pergilah! Mulai sekarang Tan Heng, Ong Peng sudah menjadi anak buahmu, aku serahkan mereka kepadamu, aku serahkan mereka kepadamu, mulai kini dan sementara waktu membiar-kan mereka terlepas dari Kay-pang"
"Soal ini boanpwe rasa tak perlu" Ui pangcu segera tertawa.
'Dalam kenyataan, mereka amat ber-sedia untuk bisa terlepas dari belenggu peraturan Kay-pang yang begitu berat untuk sementara waktu, selama ini kedua orang ini selalu memandang tinggi diri sendiri, tapi aku telah bertanya kepada mereka, agaknya merekapun merasa takluk sekali kepadamu, maka dengan menyerahkan mereka kepadamu, akupun tak usah kuatir jika kedua orang itu sampai nakal''
'Lo pangcu... . ."
"Baiklah kita putuskan demikian saja" tukas Ui pangcu!... sekarang pergilah beristirahat! Besok kau hendak membawa serta siapa untuk memenuhi janjimu, lebih baik kau putuskan sendiri"
Cu Siau hong mengiakan, dia lantas beranjak dan mohon diri dari ruang itu.
Memandang bayangan punggung Cu Siau hong hingga lenyap dari pandangan mata, Ui pangcu menghembuskan napas panjang, -katanya.
"Pek lote, apakah kau merasa keputusan yang kuambil hari ini terlalu luar biasa?"
"Buat seorang locianpwe seperti kau, tentu saja didalam mengatasi masalah sema-cam ini tak perlu berunding lagi dengan orang lain'' jawab Pek Bwe segera.
Ui pangcu tertawa getir, kembali ujarnya: 'Tang ciangbunjin, Pek lote, ada beberapa persoalan aku ingin berbicara dulu de-ngari kalian"
'Boanpwe akan mendengarkan dengan seksama!"
''Walaupun aku mengusulkan Cu Siau hong untuk pergi menempuh bahaya, tapi aku sama sekali tidak berkeyakinan bahwa dia pasti aman tenteram tak akan menjumpai bahaya apa-apa, di dalam hal ini kalian berdua harus mempersiapkan batin sendiri sebaik-baiknya''
"Lo pangcu, benarkah dalam persoalan kali ini, kita biarkan dia pergi dengan hanya membawa satu orang pembantu saja." tanya Tang Cuan.
"Benar, seluruh kekuasaan telah kita serahkan kepadanya, biar dia hadapi menu-rut pendapatnya sendiri, entah apapun yang hendak dia lakukan, kami tak akan turun tangan"
"Lo-pangcu, apakah dari pihak Bu khek bun kami perlu juga mengutus seorang utusan?"
''Aku rasa tak perlu, pertama pihak lawan tidak memperkenankan dia pergi membawa orang, kedua, dengan diutusnya seseorang dari Bu khek bun, berarti membuat tindak tanduknya menjadi tidak leluasa"
"Paling tidak sewaktu terperangkap dalam jebakan musuh, ia mempunyai seorang pembantu yang lebih banyak'

"Tang Cuan" kata Ui pangcu, "tindakanmu itu bukan saja tak akan membantu dirinya, malah kemungkinan besar justru akan menyulitkan dirinya."
Setelah berhenti sejenak dia melanjutkan:
"Kau harus mengerti, yang sedang dihadapi Cu Siau hong sekarang adalah rase yang liciknya bukan kepalang, mereka juga seperti harimau licik seperti rase, kecuali orang yang bisa menghadapi perubahan situasi dengan otak cerdasnya, lebih baik kita jangan mencampurinya, Tang Ciangbunjin yang ku-maksudkan sebagai tindakan menghadapi perubahan situasi meliputi pula soal kecerdas-an, siasat licin bahkan tipu menipu"
"Soal ini aku rasa kurang begitu baik!"
"Tindakan penyerbuan terhadap Bu khek bun ditengah malam buta apakah terhitung pula suatu perbuatan lelaki sejati?"
Tang Cuan segera terbungkam setelah mendengar perkataan itu.
Kembali Ui pangcu berkata:
"Aku percaya dia dapat menghadapi keadaan tersebut, perduli bagaimanakah ilmu silatnya atau kecerdasan otaknya, seandai-nya kita turut campur, hal ini benar-benar merupakan suatu tindakan merusak suasana."
Tergerak juga hati Pek Bwee setelah mendengar perkataan itu, katanya kemudian:
"Lo pangcu bagaiinana paras muka nona itu?"
"Cantik jelita bak bidadari dari kahyangan"
"Pangcu, terhadap persoalan ini aku kuatir kalau Cu Siau hong bertindak kurang cermat."
"Budak itu baru pertama kali terjun kedalam dunia persilatan, menurut apa yang kudengar dari mereka, konon dia adalah seorang gadis yang keras kepala, bagaimana cara untuk menghadapinya, aku rasa saat ini merupakan suatu persoalan yang pelik"
'Benar!
"YAA, apa boleh buat? Bila sehari tak dapat menentukan siapa yang lebih unggul diantara kita, bisa saja kita bertarung selama dua hari dua malam untuk menentukan siapa yang lebih unggul diantara kita berdua.
"Tidak bisa, aku tidak mempunyai waktu yang cukup banyak untuk berbuat demiki-an'
''Lantas maksud nona?"
"Kita harus mencari suatu akal yang bagus untuk menentukan menang kalah diantara kita dengan secepatnya"
"Aaaah, agak sulit, kau tak mampu membunuhku, akupun tak mampu membu-nuh nona, coba kau pikirkanlah kita masih mempunyai cara apa lagi yang bisa digunakan untuk menentukan menang kalah diantara kita berdua ....?.
"Aku masih mempunyai sebuah cara lagi, bahkan cara ini amat praktis dan bisa menentukan menang kalah diantara kita berdua dalam waktu sesingkat-singkatnya�"'
"Oya? Coba, nona terangkan"
"Cu Siau hong, sebetulnya tidak pantas kalau kuberitahukan cara ini kepadamu, tapi kami merasa cocok satu dengan lain-nya, maka dari itu aku hendak memberi kesempatan kepadamu untuk mempersiap-kan diri dengan sebaik-baiknya"
"Baik, akan kudengarkan dengan seksama"
"Kau mengerti tentang ilmu pedang terbang?"
"Pernah kudengar, konon kepandaian tersebut merupakan semacam ilmu pedang tingkat tinggi?"
''Kau pernah melatihnya?"
'Belum pernah"
''Aku pernah melatihnya!'
"Oya. . . ?"
"Agar menang kalah diantara kita berdua bisa ditentukan secepatnya, terpaksa aku harus mempergunakan ilmu pedang terbang ini untuk menghadapi dirimu"
Tergetar juga perasaan Cu Siau hong setelah mendengar ucapan tersebut, diam-diam pikirnya:
"Menurut suhu, untuk menggunakan ilmu pedang terbang maka seseorang akan menghimpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya untuk melancarkan sebuah se-rangan, mati hidup, menang kalah akan segera terlihat hanya dalam satu gebrakan saja, aku lihat budak ini masih amat muda, masa dia sudah dapat mempelajari ke-pandaian tingkat tinggi semacam ini?"
Dalam hati ia berpikir demikian, sementara diluaran katanya:
"Nona Ih, benarkah kau hendak menan-tang aku untuk bertarung mati-matian ....."
'Perkataanmu memang benar, bagaimana pun juga menang kalah diantara kita me-mang harus ditentukan, sebab daripada le-bih lambat semenit, toh lebih baik lebih a-wal sedikit?"
Cu Siau hong tertaweagetir, lalu katanya kembali:
"Nona, bila kau memang bersikeras un-tuk berbuat demikian, terpaksa aku akan mempertaruhkan nyawa untuk mengiringi kehendakmu itu"
"Baik, bersiap-siaplah kau, mulai sekarang, setiap saat aku bisa melancarkan serangan"
Selesai berkata pelan-pelan pedangnya diangkat ke atas dan disilangkan di depan dada.
Mengikuti gerakan pedangnya itu, sikap Ih Bu lan pun turut berubah menjadi dingin dan amat serius.
Itulah keseriusan yang telah di perlihat-kan, ketulusan dihati dan kewibawaan diluar.
Sekalipun seseorang yang tidak mengerti tentang iimu pedangpun dapat merasakan juga, apalagi serangan mana dilancarkan sudah pasti akan mendatangkan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya.
Cu Sian hong telah memusatkan segenap perhatiannya untuk mengawasi gerak gerik lawan, ia merasa seluruh tubuh Ih Bu Ian seakan-akan telah melebur menjadi satu dengan pedangnya, hal ini membuat hatinya merasa amat gemetar keras.
Tiba-tiba Ong Peng memburu maju kede-pan sambil berseru:
"Cu kongcu, Kau tak boleh menyambut se-rangan itu"
Sekarang dalam jarak lima kaki disekitar tempat ini sudah tiada burung hidup yang bisa melewatinya lagi, sebab seluruh wila-yah sudah dilingkupi oleh hawa pedangnya yang amat kuat, sekalipun kita ingin pergi juga tak akan berhasil untuk berhasil melepaskan diri dari sini"
Ong peng sendiripun dapat merasakan a-danya segulung hawa pembunuhan yang sa-ngat kuat menyelimuti sekeliling tempat itu.
Dengan suara lantang Cu Siau hong se-gera berseru:
"Nona Ih, harap tunggu sebentar, aku hendak memberitahukan rekanku ini tentang beberapa hal"
"Katakanlah aku akan menunggumu, ta-pi jangan terlalu lama"
Cu Siau hong manggut-manggut, sambil berpaling kearah Ong peng, ujarnya:
"Seandainya aku sampai tewas diujung pedang nona Ih nanti, tolong antar jena-jahku kepada pihak Bu khek bun dan serah-kan kepada ciangbun suheng, minta ke-pada mereka untuk menguburnya dalam perkampungan Ing gwat san ceng, tak perlu diangkut pulang kedesa kelahiranku...."
"Kongcu........"
"Dengarkan baik-baik" tukas Cu Siau hong, "waktu kita untuk berbicara tidak terlalu banyak"
"Baik, aku akan mendengarkan dengan seksama"
''Beritahu kepada sunioku, dendam kesumat ini tak mungkin bisa kami balas, suruh dia bubarkan perguruan Bu khek bun, lalu mengajak It ki sute pergi jauh, keujung langit dan mengasingkan diri, jangan sekali-kali memikirkan lagi soal pembalasan den-dam"
"Kongcu ..... '. Ong peng teramat sedih.
''Dengarkan kata-kataku selanjutnya" tukas Cu Siau hong.
Benar juga, Ong Peng tak berani banyak berbicara lagi.
Cu Siau hong menghembuskan napas pelan lalu berkata:

"Bila berjumpa dengan lo pangcu beritahu dua hal kepadanya, pertama katakan kalau aku tak dapat menunaikan tugas sampai selesai'
'Persoalan yang kedua?" tak tahan air mata jatuh terlinang membasahi wajah Ong Peng.
"Suruh dii mempersatukan kekuatan dari segenap perguruan yang ada didunia ini dan orang-orang yang telah mengasingkan diri untuk bersama-sama menghadapi organisasi ini, kalau hanya mengandalkan Kay pang dan Pay kau saja mungkin masih belum cukup.
"Hamba akan mengingatnya semua" buru-buru Ong Peng membungkukkan badannya memberi hormat.
Cu Siau hong segera tertawa.
''Baik, kalau memang sudah diingat, lak-sanakan dengan sebaik-baiknya"
Kemudian sambil membalikkan badannya pelan-pelan dia mengangkat pedangnya ke atas udara, kemudian melanjutkan.
'Nona, aku telah selesai untuk menyampai-kan pesan-pesan akhirku, harap nona suka memegang janji dan jangan membunuh pula orang yang akan menyampaikan pesan terakhirku ini'
"Matilah dengan hati yang lega, semua yang telah kusanggupi pasti akan kulakukan dengan sebaik-baiknya"
"Kalau memang begitu, akupun tak usah merasa kuatir lagi, nah, silahkan nona melancarkan serangan"
''Kau hanya meninggalkan beberapa patah kata itu saja?"
"Benar, hanya beberapa patah kata ini saja."
"Konon ayahmu masih hidup sehat wal-afiat, apakah kau tidak akan meninggalkan pesan apa-apa kepada mereka!
"Orang tuaku bukan anggota persilatan, mereka tak akan memahami persoalan seperti itu"
'Kalau begitu, tinggalkanlah beberapa pa-tah kata untuk istrimu!"
'Sayang sekali aku belum beristri"
'Kalau begitu tentunya kau mempunyai kekasih hati atau pujaan hatimn bukan?'
"Juga tidak ada, cuma aku memang mempunyai beberapa orang dayang yang genit--genit"
"Dayang?"
"Benar, orang yang mengurusi soal makan minum dan tempat tinggalku, setelah aku mati, mungkin mereka akan datang menjumpai nona, maka aku harap nona bersedia menasehati beberapa patah kata kepada mereka
? Ih Bu lan manggut-manggut.
"Aku pasti akan memenuhi keinginan hatimu itu"
Cu Siau hong segera tertawa getir, lalu katanya:
"Baiklah, sekarang nona boleh segera turun tangan untuk mulai melancarkan serangan."
"Padahal aku benar-benar tak ingin membunuh dirimu, dapatkah kau beritahukan kepadaku, kau bukanlah pembunuh dari Keng Ji kongcu. . . . . ?"
"Tidak dapat, sebab Keng Ji kongcu betul-betul sudah mati ditanganku, mengapa aku tak boleh mengakuinya?"
Dengan sedih Ih Bu Ian menghela napas panjang.
"Aaai.... seandainya kau tidak membu-nuhnya, dia pasti akan membunuh dirimu'
"Nona, bukti nyata sudah berada dide-pan mata, sekalipun aku berusaha untuk menyangkal atau memungkiri persoalan ini juga bukan suatu cara yang tepat, bila nona tidak bermaksud untuk memaafkan kesalahanku itu, terpaksa diantara kita berdua harus melangsungkan suatu pertarungan untuk menentukan menang kalah kita berdua"
"Kau amat keras kepala" bisik Ih Bu lan.
Pelan-pelan pedangnya diangkat kembali ke tengah udara sambil bersiap-siap melancarkan serangan.
Cu Siau hong pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan mengambil posisi menghadapi lawan, hawa murninya dihimpun menjadi satu, segenap perhatian dipusatkan menjadi satu, dia telah bersiap sedia menghadapi serangan maut dari Ih Bu lan terse-but.
Paras muka Ong Peng amat serius dan mengawasi gerak gerik dua orang itu tanpa berkedip.
Walau perkenalannya dengan Cu Siau hong belum berlangsung lama, namun dalam ha-ti kecilnya telah muncul suatu rasa persahabatan yang amat tebal ....
Walaupun selama ini dia hanya berlagak sebagai pembantu anak muda itu, namun dalam dua hari ini, dari dalam hati kecilnya telah timbul semacam perasaan yang sangat aneh, ia merasa bisa mengikuti manusia seperti Cu Siau hong, sekalipun benar-benar menjadi pelayannya juga suatu kejadian yang amat menggirangkan.
Tapi pergaulan yang penuh kegembiraan ini segera akan berakhir, sejenak lagi bila Ih Bu lan melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, Cu Siau hong akan roboh bermandikan darah diatas tanah.
Kendatipun peristiwa itu sendiri belum sampai terjadi, akan tetapi dalam benak Ong peng seakan-akan telah terbayang suatu peristiwa yang tragis, Cu Siau hong dengan tubuh penuh bermandikan darah terkapar diatas tanah.
Mendadak Ong peng membentak keras:
"Tidak bisa!"
Sementara itu, Ih Bu lan sudah bersiap-siap melontarkan serangan, ketika mendengar jeritan lengking dari Ong peng ter-sebut, ia menjadi tertegun .....
Buru-buru serangannya ditarik kembali sambil menegur:
"Mengapa kau berteriak-teriak?"
Ong Peng menghela napas panjang.
"Aaai.... betul-betul suatu pemandangan yang amat tragis dan mengenaskan" gumamnya.
"Pemandangan apa?"
"Aaaai .... apa yang kukatakan hanya suatu khayalan belaka" gumam Ong Peng sam-bil menghela napas, "nona, tak usah kita bicarakan lagi ..."
Tiba-tiba Ih Bu tan tertawa, katanya:
"'Aku tahu, kau pasti telah membayangkan menang kalah yang bakal kami tentu-kan dalam pertarungan ini bukan?"
''Entah apapun yang telah kubayangkan tak mungkin lagi bagiku untuk menghentikan pertarungan ini''.
"Soal ini jangan hanya menyalahkan kepadaku seorang, aku toh sudah memberi kesempatan kepadanya"

Cu Siau hong turut tertawa, ucapnya:
'Hari ini bisa dihindari, belum tentu besok bisa dihindari, lebih baik turun tanganlah dengan segera!"
Ih Bu lan segera berpaling dan meman-dang ke arah Ong Peng, kemudian ujarnya:
"Nah, sudah kau dengar sendiri, dialah yang memaksa aku, bukan aku yang memaksa dia, mengapa kau menyalahkan aku?"
"Nona Ih" kata Cu Siau hong pula sam-bil tertawa, "sekarang, mungkin saja kau memang berhasrat untuk menghentikan pertarungan, tapi hal ini pasti akan menyiksa dirimu dan lagi sedikit banyak akan timbul perasaan tak tenang dalam hatimu di kemudian hari, kau bakal teringat selalu a-kan persoalan ini ...."
"'Sungguh?` tanya Ih Bu lan dengan wa-jah tertegun.
'Sungguh, kau akan selalu menyalahkan diri sendiri, menganggap dirimu sendiri ti-dak berusaha dengan sepenuh tenaga"
"Cu Siau hong, aku merasa sangat pusing, batinku bertentangan sendiri, aaai, . .!" Mungkin aku memang tidak seharusnya da-tang kemari''
"Nona, lancarkanlah seranganmu itu, dalam sernnganmu iti, entah berhasil atau tidak membunuhku, kau pasti akan memperoleh ketenangan"
Ih Bu Ian manggut-manggut, sekali lagi dia mengangkat pedangnya ke tengah uda-ra sambil bersiap-siap. Serangan kali ini dia tidak ragu lagi, sambil me-lejit ke udara, pedangnya seperti sebuah bianglala tajam meluncur ke angkasa dan menyambar ke depan.
Tiba-tiba Ong Peng memejamkan matanya rapat-rapat.
Cu Siau hong menggerakkan pula pedang-nya menciptakan selapis cahaya bianglala putih yang amat menyilaukan mata.
"Traaang..!" terdengar suara benturan nyaring berkumandang memecahkan keheningan, cahaya putih segera lenyap dan ha-wa pedang pun membuyar ke angkasa.
Paras muka Ih Bu lan berubah menjadi pucat pias seperti mayat, keningnya berke-rut kencang, dia berdiri dengan pedang di silangkan didepan dada.
Ternyata keadaan waktu itu tidak seperti apa yang dibayangkan Ong Peng tadi.
Atau paling tidak, Cu Siau hong belum mati, sekarang keadaannya sudah amat jelas, Cu Siau hong berdiri dengan pedang melint-ang badan.
Sekujur tubuhnya basah kuyup oleh darah yang bercucuran keluar amat deras.
Luka itu terletak didada bagian depan, tampak daging yang merekah keluar sampai darah segar yang berhamburan membasahi pakaian.
Dalam keadaan demikian, asal Ih Bu lan melancarkan sebuah serangan lagi, niscaya Cu Siau hong akan terbunun diujang pedangnya.
Ong Peng menjadi tertegun, serunya de-ngan cepat.
"Kongcu... ..!''
Cepat-cepat dia memburu ke depan.
"Ong Ping, aku baik sekali" kata Cu Siau hong sambil tertawa, "aku telah berhasil menyambut serangannya itu"
"'Tapi kau terluka''
''Aaaah, apakah artinya sedikit luka ini? Dibandingkan dengan apa yang kuduga semula, keadaanku sekarang jauh lebih baik"
Sementara itu, Ih Bu lan telah menarik kembali pedangnya seraya berkata pelan:
"Cu Siau hong, aku telah berusaha dengan segala kemampuan yang kumiliki namun aku tak berhasil membunuh dirimu"
"Ehmmm ......"
'Apa yang kau katakan memang benar, hatiku sekarang pun lebih tenang dan tenteram, aku sudah memberikan pertanggungan jawab kepada calon suamiku, dengan tulus hati dan bersungguh-sungguh aku telah be-rusaha untuk membalaskan dendam baginya akan tetapi aku gagal untuk melakukannya."
'Nona, apakah kau masih ada rencana lain?"
"Tidak ada, aku hendak pergi, aku akan pergi meninggalkan tempat ini, jika kau amat dendam kepadaku, setiap saat kau boleh datang mencari aku untuk membuat perhitungan."
Cu Siau hong segera menggelengkan kepalanya berulang kali, Katanya:
'Nona, kau telah berusaha keras demi Keng Ji kongcu, janji kepada dirimu sendi-ripun sudah terpenuhi, sekarang aku ingin mengajak nona untuk mernperbincangkan masalah dunia persilatan"
"Aku tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, orang yang kukenalpun tidak banyak, terhadap urusan dunia persilatanpun mengetahui amat terbatas sekali.
"Mungkin saja persoalan tentang dunia persilatan yang kau ketahui tidak banyak tapi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang tidak timbul dari sanubari ma-sing-masing orang sendiri, hal mana sama sekali tiada sangkut pautnva dengan masa-lah dunia persilatan.
Ih Bu lan termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian berkata:
`Aku tak lebih hanya seorang anak pe-rempuan yang tidak banyak pengalaman, yang tak tahu urusan apa-apa, jangan terlalu mengharapkan diriku, nah aku hendak pergi dulu, baik-baiklah menjaga dirimu baik-baik......"
Setelah tertawa sedih, dia melanjutkan:
"Bukit tidak berbelok, jalannya yang berbelok, mungkin saja kesempatan kita untuk bersua kembali dimasa mendatang masih terbuka lebar ......"
Sambil membalikkan badan, dia mengajak dayangnya beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Dengan termangu-mangu Cu Siau-hong memperhatikan bayangan punggung dari Ih Bu-lan, memandang hingga bayangan itu lenyap dari pandangan mata.
Ong Peng menghembuskan napas panjang, ujarnya kemudian.
"Kongcu, mari kita bungkus lukamu itu!"
Cu Siau-hong manggut-manggut.
'Ong-Peng, dia mengetahui banyak sekali rahasia besar yang kita perlukan, sayang dia enggan untuk mengutarakannya"
"Kongcu, mungkin kau lupa, dia memang sebetulnya adalah musuh kita semua .. ....! '
Setelah mengeluarkan obat luka luar, dia segera membalut luka Siau-hong yang berada dibagian dadanya.
Mulut luka itu dalamnya mencapai tiga inci dengan panjang setengah depa, andaikata luka itu seinci lebih dalam lagi, besar kemungkinannya akan melukai isi perut a-tau otot tulangnya.

Sementara itu Ong Peng sembari membubuhkan obat pada luka dada itu, diam-diam dia berdoa bagi keselamatan Siau-hong.
Sebaliknya Cu Siau hong sendiri tidak memperdulikan keadaan lukanya, dia termenung dengan kening berkerut, seakan-akan sedang mempertimbangkan suatu masalah besar yang amat pelik baginya.
Selesai membalut luka tubuh Cu Siau hong, Ong Peng lalu baru berbisik dengan lirih.
"Kongcu, sudah saatnya buat kita untuk pulang, lukamu itu tidak ringan, lebih baik istirahatlah dulu selama beberapa hari'
Dengan nada setengah menjawab setengah tidak, Cu Siau hong berkata:
'Ong Peng, apakah dari pihak Kay--pang telah mengirim mata-mata yang mengawasi daerah disekitar tempat ini"
"Sebenarnya ada, tapi untuk memenuhi harapan kongcu, Tan tianglo telah menitahkan untuk membuyarkan semua pengawasan disekeliling tempat tersebut.'
Mendadak.Cu Siau hong melompat bangun sambil berseru:
"Kita segera berangkat! Cepat laporkan kepada Tan tianglo, kita harus menguntit nona tersebut"
Berbicara sampai disitu, mendadak ke-ningnya berkerut kencang, seakan-akan me-rasa kesakitan.
Jelas mulut lukanya kembali merekah akibat dari goyangan badannya barusan.
Ong Peng menghela napas panjang, ka-tanya:
"Kepandaian Kay-pang untuk menguntil jejak seorang adalah nomor wahid didunia, tak nanti budak itu meloloskan diri.
Kaupun tak usah kesal karena persoalan ini, yang penting adalah rawat lukamu sebaik-baiknya ......"
Cu Siau-hong manggut-manggut dan berjalan keluar dari hutan.
Ong Peng betul-betul sangat hebat, tak lama kemudian ia telah berhasil mendapat-kan sebuah tandu kecil. .
Dengan naik tandu, Cu Siau-hong segera dilarikan pulang dengan kecepatan tinggi.
Tandu itu langsung masuk ke dalam ru-ang tengah sebelum berhenti.
Sepanjang perjalanan tadi, Cu Siau-hong telah mengatur napasnya dan bersermedi, menanti tandu itu berhenti, ia telah selesai pula dengan semedinya. "
Begitu menyingkap tirai dan melangkah keluar dari tandu, seketika itu juga ia menjadi tertegun.
Tampak Ui lo pangcu, Tan Tiang-kim, Pek Bwee, Pek Hong dan Tang Cuan berlima telah berdiri berjajar didepan tandu.
Buru-buru dia maju ke depan dan menjatuhkan diri berlutut katanya:
"Sunio dan cianpwe sekalian menyambut kalian tak berani Siau hong terima....''
"Bangunlah nak, konon lukamu tidak ring-an" tukas Pek Hong. .
"Nak, rupanya aku salah juga setindak'" kata Ui lo pangcu pula, ak sudah menilai rendah lawanku"
Tang Cuan segera mengulurkan tangan kanannya dan membangunkan Cu Siau hong dari atas tanah.
"Mari kita berbincang-bincang di ruang dalam saja?" kata Ui lo pangcu, kemudian sambil memberi tanda.
Dalam ruangan belakang makanan kecil dan air teh wangi telah disiapkan di atas meja.
Ui lo pangcu, Tan Tiang kim, Pek Bwee Pek Hong, Tang Cuan ditambah pula deng-an Cu Siau hong, enam orang bersama-sama mengambil tempat duduk diruang itu.
Agak kebingungan Cu Siau hong memper-hatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian serunya.
"Lo pangcu adakah suatu kejadian besar"'
"Siau hong, jangan kau tanyak
SAMBIL tertawa Ong Peng segera menggeleng.
''Tidak usah, kita di ruang tengah ini saja, itu. . . meja dekat jendela'
"Maaf toaya, meja ditepi jendela sudah penuh semua"
"Bukankah di sana masih terdapat meja kosong?"
"Meja itu sudah dipesan orang."
"Dipesan siapa?"
"Li ciang-kwee dari toko penjual kain Tay-heng!''
Ong Peng tidak menggubris pelayan itu lagi, dengan langkah lebar dia segara berjalan menghampiri meja tersebut.
Meja itu cukup besar, diatasnya sudah disiapkan mangkuk dan sumpit, malah dicantumkan pula kartu nama dari pemesannya.
Sambil tertawa Ong Peng segera mengambil kartu nama itu dan membuangnya ke lantai, setelah itu ujarnya sambil tertawa:
"Pelayan, aku lihat kami akan menempati meja ini saja"
Sementara itu Tiong It-ki yang bertugas berjalan dipaling belakang sambil mengawasi keadaan disekelilingnya telah naik pula ke dalam ruangan Wang-kang-lo.
'Tiong It-ki tidak duduk bcrsama Cu-Siau hong, melainkan seorang diri duduk dimeja yang berhadapan dengan mulut anak tangga, Hal ini memang disengaja oleh Cu Siau hong, agar bilamana perlu bisa mernberi bantuan dengan secepatnya.
Menyaksikan gerak gerik Cu Siau-hong serta sikap Ong Peng yang siap-siap hendak berkelahi itu, pelayan tersebut menjadi tertegun dan berdiri melongo.
Wang-kang-lo adalah rumah makan terbesar dan termegah di kota Siang-yang, juga merupakan tempat yang paling suka dida-tangi oleh orang-orang persilatan, persoalan sekecil pun yang terjadi ditempat ini, dengan segera akan tersiar sampai dimana-mana.
Cu Siau hong segera mendehem pelan dan mengambil tempat duduk, sementara dua orang Kiam-tong itu segera berdiri disebe-lah kiri dan kanan tubuhnya.
Tan Heng dan 0ng Peng duduk dikedua belah samping sehingga kursi dihadap-an Cu Siau-hong dibiarkan dalam keadaan kosong.
Sambil tertawa Cu Siau-hong segera berkata:
"Ong congkoan, suruh pelayan hidangkan sayur"
Sewaktu bersantap, dikedua belah sampingnya masing-masing berdiri seorang bocah yang menyoren pedang, lagak semacam ini selain amat jumawa pun latah sekali.
Ong Peng segera berpaling memandang ke arah sang pelayan yang masih termangu, kemudian sambil mendengus dingin serunya:
"Hei, mengapa masih berdiri termangu disitu? Hayo cepat siapkan sayur dan arak."
Gerak gerik mereka yang jumawa ditambah perselisihan yang terjadi, dengan cepat menarik perhatian banyak orang yang ada dalam ruangan rumah makan itu.
Sekarang, sebagian besar sorot mata mereka telah tertuju ke arah mereka.
Dengan suara rendah pelayan itu berseru:
"Congkoan toaya, orang yang memesan tempat ini adalah langganan kami, dengan perbuatanmu itu bukankah sama artinya dengan memecahkan mangkok nasi hamba!"
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang ramai berkumandang datang dari arah tangga, kemudian muncul enam orang disitu.
Orang pertama adalah seorang lelaki berjubah panjang, dia adalah Li ciang-kwee dari toko cita merek Tay-heng.
Tampaknya Li ciangkwee sudah mengetahui letak meja yang dipesannya, dia langsung berjalan menuju ke depau Cu Siau-hong
Melihat kedua belah pihak telah saling bertemu, sambil bermasam muka pelayan itu berdiri kaku disamping.
Senyuman yang semula menghiasi bibir Li ciangkwee segera lenyap begitu dilihat-nya meja yang dipesan telah terisi tamu dan segera berpaling ke arah pelayan, kemudian dengan kemarahan yang meluap te-riaknya...
"Hei apa, yang terjadi? Tampaknya usaa Wang-kang-lo terlalu baik sehingga meja yang kami pesan pun sudah di jual kepada orang lain ?"
"Li ciangkwee" seru pelayan itu, sambil terbungkuk-bungkuk penuh ketakutan, "se-benarnya meja ini sudah kami tinggalkan buatmu, tapi beberapa orang toaya ini bersikeras hendak mendudukinya, hamba. . . hamba. ."
Li ciangkwee segera berpaling ke arah Cu Siau-hong, ketika dilihatnya Cu Siau hong mendongakkan kepalanya tanpa me-mandang sekejap matapun terhadapnya, kemarahan nya yang berkobar makin menjadi dan segera tertawa dengan tiada hentinya"
"Heeehh. . . heeehhh. . . heeehh. . . masa kejadian seperti ini? Dalam persoalan apa pun tentu ada perbedaan antara siapa yang datang duluan dan siapa belakangan, apakah lantaran Li toaya suka makan gratis maka tiada tempat bagi ku?. Hmm, panggil ciangkwe kalian! Hari ini aku harus menuntut suatu keadilan dari kalian!''
Pelayan itu segera mengiakan dan membalikkan badan berlalu dari situ.
Tapi Ong Peng segera menghalangi jalan perginya seraya berseru:
'Tunggu sebentar.....'
Setelah bangkit berdiri, Ong Peng mengangkat bahunya seraya berkata lebih jauh:
"Aku pikir, kau tentunya Li ciangkwe dari toko cita merek Tay heng bukan?"
''Betul, aku she Li!"
"Seorang yang mulia tak akan menyalahkan orang kecil, Li ciangkwe, aku lihat kemarahanmu itu tak perlu kau lampiaskan diatas tubuh pelayan tersebut"
''Apa maksudmu?" teriak Li ciangkwe dengan gusar.
"'Pelayan itu sudah mengatakan kalau meja ini telah dipesan oleh Li toa-ciangkwe, cuma kami tidak melihat kehadiran Li toa--ciangkwe disini, maka kami pun datang kemari duluan, kau toh sudah bilang, ada yang datang lebih dulu ada yang belakangan, itulah sebabnya kamipun menempati meja ini lebih dahulu '

"Tapi sekarang kami toh sudah datang'
"Kalian sudah datang terlambat, maka aku minta lebih baik kalian berpindah tempat saja."
*********************************
Hal 9 s/d 12 Hilang
*********************************
kemudian sambil tertawa, "dalam Wang kang-lo ini penuh dengan mangkuk dan piring porselen, berkelahi ditempat ini bukankah hanya akan merusak peman-dangan saja?"
Dimulut dia berkata demikian, sepasang tangannya sama sekali tidak berhenti, secara beruntun dia telah menyambut ke enam buah serangan yang dilancarkan dua orang lelaki berbaju panjang itu.
Kedua orang lelaki berjubah panjang itu masing-masing melanearkan tiga buah- sera-ngan, serangan pertama dan ke du.a dapat dipunahkan Ong P.3ng secara mudah,, sedang serangan yang ketiga ternyata disambut o-leh Ong Peng dengan kekerasan. '
"Blaaammm!" ditengah suara benturan yang amat nyaring, dua orang lelaki berjubah panjang itu masing-masing mundur satu langkah.
Paras muka Li ciangkwe segera berubah hebat serunya:
"Kalian berdua masa tak sanggup untuk membereskan satu orang saja. . ."
Dua orang lelaki berjubah panjang itu segera menundukkan kepalanya dengan wajah malu.
Li ciangkwe menghela napas panjang, kembali gumamnya:
"Memelihara tentera seribu hari, menggunakannya dalam sesaat, dihari-hari biasa kalian makan kelewat mewah, minum kelewat kenyang, setelah menjumpai persoalan satu pun tak becus!''
Cu Siau-hong yang menyaksikan kejadi-an itu, diam-diam lantas berpikir:
"Saudara hanya memikirkan soal rejeki dan uang, orang ini mah sedikit pun tidak mirip seorang saudagar"
Mendadak dua orang lelaki berjubah panjang itu menyingkap jubah panjangnya sambil meraba ke pinggang, tampaknya mere-ka sudah bersiap-siap hendak menggu-nakan senjata tajam.
Dengan kening berkerut Li ciangkwe segera menegur:
'Hei, mengapa tidak segera mengundur-han diri?. Apakah kalian suka kehilangan muka di situ?"
Pada waktu itu, dua orang lelaki berju-bah panjang itu sudah meraba gagang go-lok mereka, tapi setelah mendengar tegur-an tersebut, mereka segera mengendorkan kembali tangannya dan~mengundurkan diri dengan kepala tertunduk.
Dalam pada itu, Cu Siau-hong sedang memutar otaknya menduga-duga siapa gerangan Li ciangkwe tersebut, namun diluar dia bersikap acuh tak acuh, melirik sekejappun kearah Li ciangkwe pun tidak. Tan Heng dan kedua orang kiam-tong itupun hanya berdiri tak berkutik ditempat semula.
Sambil tersenyum Ong Peng, segera berkata lagi.
"Soal bersantap mah setiap hari harus melakukannya beberapa kali, pekerjaan semacam ini bukan terhitung sesuatu yang luar biasa, masa soal isi perut pun mesti beradu jiwa?"
"Perkataanmu memang benar" kata Li-ciangkwe sambil tertawa dingin, "tempat yang kami pesan telah kau serobot, kejadian ini mah kejadian kecil, untuk bersantap juga tak perlu saling beradu jiwa, anggap saja kalian lebih hebat, kami mengaku kalah. . ."
Sambil mempertinggi suaranya, dia melanjutkan:
"Pelayan! kami akan berpindah tempat!"
"Silahkan Li-ya!" buru-buru pelayan itu berseru.
'Dia segera membalikkan badan dan berlalu lebih dulu dari sana.
Li ciangkwe segera mengikuti dari be-lakangnya.
Ong Peng berkerut kening, dia segera berpaling dan memandang sekejap kearah Cu Siau hong, sementara wajahnya memperlihatkan perasaan apa boleh buat.
Agaknya dia sama sekali tidak menyangka kalau Li ciangkwe bisa menahant sabar dengan menyudahi persoalan sampai disitu saja.
Setibanya disamping Cu Siau-hong, dia lantas berbisik dengan suara lirih.
'kongcu, bajingan itu sanggup menyesuaiktan diri dengan keadaan, kenyataan ini benar-benar berada diluar dugaan kami"
"Duduk dan bersantaplah, jangan sampai membuat orang lain tahu kalau kita memang sengaja mencari gara-gara"
Ong Peng mengiakan dan duduk kembali ke tempat semula.
Dengan cepat pelayan datang menghidang-kan sayur dan arak.
Dua oxang Kiam-tong tersebut hanya berdiri dibelakang Cu Siau-hong sambil menun-dukkan kepalanya, mereka tidak berkata apa-apa.
Dalam kenyataan kedua orang itu selalu memperhatikan setiap orang yang berada di ruang Wang kang lo tersebut.
Sayur dan arak telah dihidangkan, dalam waktu singkat seluruh meja telah di penuhi oleh hidangan-hidangan yang lezat.
-ooo0ooo-

BAGIAN 34
SEMENTARA itu, Li ciangkwe bersama semua orang yang dibawanya telah ber-lalu dari pengawasan dari Cu Siau hong sekalian.
Sedang tamu yang berkunjung ke rumah makan Wang kang lo makin lama semakin ba-nyak, sedemikian penuhnya sampai tiada tempat yang kosong lagi.
Tapi tamu yang berkunjung kesana masih berrdatangan terus tiada hentinya.
Diatas ruangan Wang kang lo masih tersedia dua tempat kosong yang dapat menampung dua orang lagi, yaitu di meja yang ditempati oleh Cu Siau hong.
Tapi setiap orang yang melihat tampang Cu Siau hong segera berusaha untuk menyingkir jauh-jauh, tak seorang manusia yang tak ingin mencari kesulitan buat diri sendiri.
Tapi di dunia ini justru ada juga orang yang tidak takut dengan segala macam kesulitan.
Misalkan saja kakek dan orang muda ini.
Yang tua sudah berusia lima puluh tahunan, mengenakan jubah panjang berwarna a-bu-abu, bertubuh kurus, sedemikian kurus-nya hingga tinggal kulit pembuagkus tulang, mungkin dari seluruh badannya belum tentu bisa terkumpul daging seberat tiga kati.
Sepasang matanya mana cekung kedalam, mukanya kuning seperti lilin, tampang se-perti itu persis seperti seorang yang sudah banyak tahun mengidap penyakit t b c.
Sebaliknya yang muda barwajah tampan berbibir merah dan bergigi putih, dia mengenakan pakaian ringkas berwarna biru, sebilah golok lengkung bergagang emas tersoren dipinggangnya.
Diatas sarung golok itu bertatahkan tujuh biji mutiara sebesar buah kelengkeng, Mutiara-mutiara itu jelas tak ternilai harganya, berkelip-kelip memancarkan sinar yang menyilaukan mata.
Dua orang manusia semacam itu melaku-kan perjalanan bersama-sama, dengan cepat memberikan suatu pemandangan yang kontras dan tak sedap dipandang ........
Dua orang itu langsung berjalan kede-pan meja, lalu tanpa mengucapkan sepatah katapun segera duduk.
Kakek kurus berjubah abu-abu itu segera berteriak keras:
"Hei, pelayan, pelayan...."
Semenjak terjadinya keributan tadi, pelayan itu benar-benar tak berani mengusik ketenangan Cu Siau hong sekalian.
Maka sewaktu dua orang itu duduk, walaupun sang pelayan sudah melihatpun pura--pura tidak melihat, buru-buru dia melihat ke arah lain.
Tapi setelah dipanggil, tentu saja dia tak dapat berlagak pilon terus, terpaksa sambil mengeraskan kepala dia berjalan mendekat:
"Tuan, kau ada pesan apa?" tegurnya.
"Tolong tanya apakah tempat ini adalah sebuah rumah makan yang menjual hida-ngan?"
"Betul"
"Kalau betul, mengapa mesti bertanya lagi?. Cepat siapkan sayur dan arak."
Pelayan itu memandang sekejap ke arah Cu Siau hong dan Ong Peng, kemudian se-runya:
"Tuan, disini sudah ada tamu."
"Ada tamu lantas kenapa? Toh disini masih terdapat dua tempat yang kosong. Apalagi sang tamu pun tidak berbicara, buat apa kau mesti cerewet melulu?"
"Aku. . . aku. . ."
Cu Siau hong segera mengangkat cawan araknya dan berkata sambil tertawa:
`Pelayan, tambahkan dua cawan dan dua pasang sumpit"
Sayur yang dipesan Cu Siau-hong benar-benar banyak sekali, meskipun cuma empat orang yang sedang duduk bersantap, paling tidak ada belasan macam sayur yang dihidangkan.
Malahan diantaranya ada setengah yang sama sekali belum di jamah mereka.
Agaknya palayan itu tidak menyangka kalau tamunya yang satu ini sebentar dingin sebentar panas, melihat kesulitan secara tiba-tiba bisa teratasi, dengan cepat dia me-ngiakan dan buru-buru membalikkan badan berlalu dari sana.
Mendadak terdengar kakek berbaju abu--abu itu membentak dengan suara dingin:
"Berhenti kau jangan bergerak!"
Pelayan itu menjadi tertegun, kemudian serunya:
"Ada urusan apa?"
"Lohu bukan seorang peminta-minta, a-kupun bukan seorang yang tak sanggup membayar, mengapa aku mesti makan sisa sayur orang lain? Siapkan hidangan persis seperti yang dia pesan itu!"
"Oooh tuan, kalau pesan seperti itu lagi, mana muat tempatnya?"
Kontan saja kakek berbaju abu-abu itu tertawa dingin. .
"Mengapa tidak muat? Apakah kaliaa tak bisa menyingkirkan hidangan yang sudah mereka?"
'Soal ini, soal ini ...'
Dari dalam sakunya kakek berbaju abu-abu itu mengeluarkan sekeping uang perak seberat tujuh delapan tahil, kemudian sambil diletakkan diatas meja, serunya:
"Kau takut aku makan gratis? Nah, terimalah dulu uangnya'
Sambil tertawa Cu Siau hong segera berkata:
"Pelayan sayur yang sudah kami makan seharusnya kau singkirkakn semua!'
Pelayan itu agak tertegun sebentar, kemudian sahutnya dengan cepat:
"Baik, baik! Tuan berdua tentunya sahabat lama"
"Teman? Teman apa? Lohu tak punya teman'" tukas kakek berbaju abu-abu itu ketus.
Kalau dilihat dari keadaan sekarang, seratus persen dapat dipastikan kalau kakek itu memang datang untuk mencari gara-gara, sebab gaya yang diperlihatkan sekarang adalah gaya orang yang sedang mencari urusan.
Cu Siau Hong segera tertawa, dia keringkan secawan arak yang berada dihadapannya tanpa balas berbicara, malah hawa amarahpun tidak terlihat diatas wajahnya .
Yang paling aneh lagi, adalah Ong Peng, ternyata dia hanya menundukkan kepalanya sambil makan minum dengan la-hap, sepatah katapun tidak diucapkan...

Pelayan itu masih berdiri tertegun disana untuk beberapa saat lamanya dia tak tahu apa yang mesti dilakukan?
Agaknya kakek kerbaju abu-abu itu sudah habis kesabarannya, mendadak dia berkata lagi dengan dingin:
`Pelayan, mengapa kau masih berdiri tak berkutik disitu? Apakah kau anggap lohu tak bisa membunuh orang?"
Walaupun kakek berbaju abu-abu itu berperawakan ceking, namun dia mempunyai suatu hawa seram yang menggidikkan hati, hawa seram tadi bisa membuat orang mera-sa ngeri, seram dan ketakutan.
Pelayan itu segera merasakan hatinya bergetar keras, tanpa banyak berbicara dia lantas membalikkan badan dan berlalu dari situ. Kakek berbaju abu-abu itu segera mendongakkan kepalanya memandang sekejap ke-arah Cu Siau-hong, lalu ujarnya:
"Kau sungguh berjiwa besar!"
"Empat samudra semuanya adalah saudara, kita bisa bertemu boleh dibilang masih berjodoh"
"Aku lihat inilah yang dinamakan musuh bebuyutan jalan terasa sempit . . ."
'Musuh bebuyutan? Kita bermusuhan?"
'Betul, kita memang bermusuhan"
"Aku belum pernah berselisih denganmu, sejak kapan dendam ini terikat? Harap sobat bersedia menerangkan"
Kakek berbaju abu-abu itu segera tertawa dingin.
"Heeehhh..... heeehhh. . . heeehhh. . lohu senang berbicara apa, aku akan berbicara apa, memangnya di dunia ini masih ada orang yang dapat mengurusi diriku?"
"Benarkah tiada orang yang mengurusi dirimu?" tiba-tiba Cu Siau-hong mengejek. .
Mendadak kakek berbaju abu-abu itu menekankan tangannya ke atas meja, sepiring ang-sio-hi yang berada di meja mendadak mencelat ke angkasa dan menyambar ke wajah Cu Siau-hong.
Seakan-akan ada orang yang mengangkat piring tersebut dan menimpuknya ke depan.
Piring tersebut berputar amat kencang di angkasa, kemudian meluncur kedepan dan menerjang pula keatas tenggorokan Cu Siau hong.
Pada waktu itu, Cu Siau hong sedang memengang sebuah cawan, dengan cawan itulah dia menghantam sisi piring tersebut, "Traang" piring yang sedang berputar itu mendadak meluncur balik ke belakang.