Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 9

Oleh : Gan KL

Ia sendiri lagi kesal oleh berbagai persoalan, ditambah lagi urusan sekarang, tentu saja ia tambah kepala pusing, tapi juga tidak berdaya, terpaksa ia cari sepotong batu dan duduk di situ dengan termangu-mangu.

Terlihat raut mukanya yang kecil itu masih kekanak-kanakan, matanya yang besar justru penuh rasa duka orang dewasa, entah dari mana ia mendapatkan sepotong ranting pohon, ia sedang menggores lingkaran di atas tanah, ada lingkaran besar, ada lingkaran kecil, di tengah lingkaran besar diberi lingkaran kecil lagi, lingkaran yang tak terhitung jumlahnya itu terdapat sebuah kotak, di luar kotak ada goresan kotak besar ....

Siapa pun tidak dapat menerka sesungguhnya apa yang sedang dilukisnya.

Malahan mulut Po-ji sendiri juga sedang bergumam, “Apakah ini? .... Sesungguhnya di mana? .... Di mana? ....”

Mendadak seorang mendengus di belakangnya, “Di sini!”

Keruan Po-ji melonjak kaget, hingga terperosot dari tempat duduknya, waktu menoleh, di tengah kegelapan malam dilihatnya entah sejak kapan telah bertambah sesosok bayangan orang.

Meski gerak-gerik orang ini tidak menimbulkan suara, namun perawakannya jelas tinggi besar sehingga hampir tiada ubahnya seperti Gu Thi-wah, wajahnya juga angker, baju pun mewah, cuma sekarang rambutnya kelihatan semrawut, jenggot pun berlepotan tanah, baju yang mentereng juga penuh kotoran serupa habis dikejar orang dan terjatuh ke dalam kolam lumpur, lalu lari lagi hingga tiba di sini.

“Sia ... siapa engkau?” tanya Po-ji.

“Anak kecil semacam dirimu buat apa tanya asal usulku?” jawab lelaki itu dengan suara berat.

Meski keadaannya tampak runyam, namun ucapan dan sikapnya tetap berlagak agung supaya orang tidak berani meremehkan dia.

Po-ji berdiri dan memandangnya dengan terbelalak, katanya pula, “Ada ... ada keperluan apa lagi?”

Lelaki itu menuding kapal kotak Gu Thi-wah dan bertanya pula, “Kapal itu milik kalian?”

“Milik ... milik dia,” jawab Po-ji sambil menunjuk Gu Thi-wah.

“Bangunkan dia,” kata orang itu.

Po-ji menyurut mundur ke sana dengan mata melotot, dipanggilnya Thi-wah hingga beberapa kali, ditambah lagi sekali depakan barulah Thi-wah terjaga, serentak ia melompat bangun sambil kucek-kucek mata dan berseru, “Apakah Losam sudah datang? ....”

Ketika mendadak melihat orang itu, segera ia berteriak, “Hei, sia ... siapa engkau?”

Lelaki itu menjawab, “Tidak perlu kau tanya siapa aku, lekas turunkan kapalmu ke air, bawa Ciangkun ke sana, tentu akan kuberi hadiah, kalau tidak ... hmk!”

Terbelalak mata Thi-wah, ia menegas, “Engkau ini Ciangkun (jenderal)?”

“Jika kau tahu siapa diriku, harus kau turut kepada perintahku,” kata orang itu.

“Ah, tidak betul,” seru Thi-wah. “Menurut cerita yang pernah kudengar, konon seorang jenderal itu sangat angker, tak terduga sekarang dapat kulihat jenderal yang sesungguhnya, tapi ... tapi mengapa engkau tidak angker seperti dalam cerita?”

“Tolol,” omel orang itu, “jenderal dalam cerita mana dapat dibandingkan dengan jenderal yang sesungguhnya.”

Lalu ia mendekati kapal kotak dan berkata, “Nah, lekas berlayar!”

Mendadak Thi-wah berteriak, “Tidak, tidak bisa. Meski engkau ini jenderal, tidak boleh kuluncurkan kapalku.”

“Sebab apa?” tanya orang itu dengan gusar.

“Aku sedang menunggu orang,” tutur Thi-wah.

Kening orang itu bekernyit, tanyanya, “Yang kau tunggu apakah ....”

“Kutunggu adik perempuanku, si Thi-lan,” potong Thi-wah.

“Haha, jadi dia yang kau tunggu?” seru orang itu. “Wah, dia takkan datang kemari, tapi lekas luncurkan saja kapalmu, Ciangkun akan membawamu mencari dia.”

“Apa betul? ....” seru Thi-wah dengan girang. “Apa betul?”

Pertanyaan kedua ini ia tujukan kepada Pui Po-ji.

Sejak tadi Po-ji diam saja, sekarang ia juga cuma mengangguk saja.

Dengan kegirangan Thi-wah berteriak, “Baik, akan kubawamu ke sana ... dan engkau pun membawaku ke sana!”

Segera ia mendorong kapalnya ke dalam air.

Dengan hati-hati lelaki itu menaiki kapal, ketika badan kapal bergoyang, hampir saja ia tergelincir.

Tiba-tiba kening Thi-wah bekernyit, ucapnya sambil menggeleng, “Ah, tidak, tidak betul, masakah seorang Ciangkun tidak becus begini? Jangan-jangan sengaja kau tipu diriku?”

Lelaki itu menjawab, “Tolol, jenderal daratan dengan sendirinya tidak biasa berada di atas kapal. Panglima perang betapa tangkasnya di daratan, kalau naik kapal juga akan mabuk.”

Thi-wah tertawa cerah, katanya, “Aha, betul, betul ....”

Segera ia jalankan kapalnya.

Sekonyong-konyong dari kegelapan sana muncul pula sesosok bayangan orang secepat terbang berteriak, “Tukang perahu, kembali ... kembali.”

“Engkau siapa?” bentak Thi-wah.

“Jangan kau tanya asal usulku, lekas membawaku ke depan sana, tentu Houya akan memberi persen sebanyaknya, kalau tidak ... hmk.”

“Engkau ... engkau ini Houya (pangeran)?” Thi-wah menegas.

Ciangkun tadi menyela, “Lekas kita berangkat saja, jangan gubris dia!”

“Wah, tidak boleh jadi,” seru Thi-wah sambil menggeleng. “Engkau Ciangkun dan dia Houya, betapa pun engkau harus tunduk pada perintahnya.”

Dan tanpa tanya lagi segera ia putar haluan kapal dan menepi pula.

Mestinya Po-ji hendak mencegahnya, tapi setelah berpikir lagi ia urungkan maksudnya.

Sebelum kapal menepi, sesosok bayangan lantas melayang ke atas kapal. Selain nada ucapan orang ini serupa dengan orang pertama tadi, bajunya juga perlente, namun keadaannya juga runyam, hanya pada tangannya menjinjing sebuah peti, rambut dan jenggotnya sama ubanan, usianya jelas jauh lebih tua daripada “jenderal” tadi.

Setelah kedua orang itu saling pandang sekejap, serentak keduanya berseru, si kakek rambut putih berkata dengan tertawa, “Ai, tak tersangka Pek-ma-ciangkun (jenderal kuda putih) Li Beng-sing sudah datang lebih dulu daripadaku.”

Orang yang disebut Pek-ma-ciangkun itu pun tertawa dan menanggapi, “Aha, kukira siapa, kiranya Kim-ih-hou Ciu Hong, Ciu-toako adanya. Entah mengapa jubah kebesaran Houya bisa berubah semacam ini?”

“Dan mengapa kuda putih Ciangkun juga tidak kelihatan lagi?” jawab si kakek alias Ciu Hong dengan tertawa.

Kedua orang lantas sama terbahak-bahak dan berteriak, “Hahaha, bagus ... hahaha!”

Mendadak dari dalam lengan baju Li Beng-sing menyambar keluar tiga titik cahaya perak langsung mengarah dada Ciu Hong. Pada saat yang sama dari peti yang dipegang Ciu Hong juga menyambar keluar selarik cahaya mengarah tenggorokan Li Beng-sing.

Namun kedua orang sama menjatuhkan diri sehingga senjata rahasia masing-masing sama menyambar lewat di atas kepala.

Li Beng-sing lantas melompat bangun, katanya dengan tertawa menyesal, “Ai, tak terduga pegas panahku ini ada kerusakan, entah Ciu-toako terluka atau tidak?”

Ciu Hong menjawab dengan menyesal juga, “Ai, pantas mampus, mesin petiku ini juga mengalami kerusakan, syukur engkau tidak terluka, kalau tidak kan berdosa aku ini.”

“Kebetulan kubawa sebotol arak enak, biarlah kubagi minum bersama Ciu-toako untuk merayakan pertemuan kita ini,” kata Li Beng-sing pula, segera ia mengeluarkan segendul arak, lebih dulu ia sendiri minum dua ceguk, habis itu disodorkan kepada Ciu Hong.

“Ada arak harus ada makanan pengiring, padaku juga ada setengah ekor ayam panggang, biarlah kubagi juga kepadamu untuk menikmati bersama,” kata Ciu Hong. Benar juga ia pun mengeluarkan setengah ekor ayam panggang dan disobeknya separuh untuk Li Beng-sing.

Kedua orang sama tergelak dan berseru, “Ayo silakan!”

Ciu Hong angkat botol sambil mendongak, tapi dialingi dengan lengan bajunya yang longgar, isi botol lantas disiram ke lantai kapal, dengan botol kosong ia pura-pura menenggak arak dan berulang berseru, “Bagus, arak bagus!”

Sebaliknya Li Beng-sing gunakan kesempatan orang sedang mendongak, sepotong ayam panggang tadi segera dilemparkan ke laut, dengan mulut kosong ia pun berlagak mengunyah dengan nikmat sambil berseru, “Hah, bagus, sungguh lezat!”

Terlihat begitu ayam panggang itu menyentuh air, seketika air bergolak dan mengepulkan asap. Lantai kapal yang disiram arak tadi juga tampak hangus sebagian.

Nyata, hanya sebentar saja kedua orang berada di atas kapal, dengan sikap ramah dan tersenyum, keduanya sudah saling serang dengan cara yang keji dan kotor untuk membinasakan lawan kalau bisa.

Po-ji dan Thi-wah sama melenggong menyaksikan permainan luar biasa itu.

Selagi Thi-wah hendak bicara, lebih dulu Po-ji telah mendesis, “Ssst, berada bersama orang semacam mereka, lebih baik jangan bicara, tahu tidak?”

Begitulah terlihat kedua orang itu masih terus main sandiwara, yang satu pura-pura makan dan yang lain berlagak minum, selang sejenak, Li Beng-sing berkata pula, “Jual-beli Ciu-toako di sana tidak jadi, mungkin engkau perlu ganti tempat?”

“Ya, sama-sama,” sahut Ciu Hong dengan tertawa.

“Ketegangan selama dua hari ini sudah memuncak, rasanya harus bertarung mati-matian, bilamana Ciu-toako sudi bekerja sama denganku, kuyakin kita pasti akan mendapat pasaran yang bagus,” kata Li Beng-sing.

“Sebenarnya aku juga ada maksud demikian,” sahut Ciu Hong.

“Kalau mau jual-beli, keadaan kita harus dibenahi dulu,” ujar Li Beng-sing, segera ia suruh Thi-wah mengambilkan air, kedua orang lantas cuci muka dan membersihkan kotoran pada baju mereka, meski tidak sebersih semula, namun keadaannya sudah kelihatan rapi dan gagah.

Kapal kotak itu terus meluncur mengikuti arus sehingga laju dengan cukup cepat, Ciu Hong dan Li Beng-sing duduk bersandar dinding perahu. Tidak lama kemudian mereka sama berseru, “Ah, sudah sampai ....”

Setelah perahu menepi, suasana di pantai gelap gulita, namun di kejauhan ada kerlip cahaya api sehingga menambah seram kegelapan malam yang misterius ini.

Ciu Hong memandang Po-ji dan Thi-wah, katanya kemudian, “Ciangkun tidak boleh tanpa pengawal.”

“Dan Houya juga tidak boleh tanpa kacung,” tukas Li Beng-sing dengan tertawa.

Lalu ia tepuk bahu Thi-wah dan berkata pula, “Ayo, ikut pergi bersama kami untuk mencari adik perempuanmu!”

“Ayo berangkat,” tukas Po-ji.

Ia tahu mau tak mau harus ikut pergi, maka lebih baik menurut saja dengan cepat, apalagi ia juga ingin tahu apa yang akan terjadi.

Dengan sendirinya Thi-wah juga menurut saja. Mereka berempat lantas melompat ke pantai.

Po-ji menarik Thi-wah dan mendesis, “Apa pun yang kau temui nanti sekali-kali jangan bersuara, ingat!”

Keempat orang lantas melanjutkan perjalanan ke arah kerlip cahaya api, tidak jauh, terlihat di depan adalah rawa belaka dengan rumput gelagah, bunga gelagah sudah rontok sehingga rumput gelagah yang gundul itu serupa beribu batang panah yang memenuhi permukaan rawa.

Kerlip cahaya api beradu di tengah semak gelagah sana, sayup-sayup terdengar suara orang bicara dan kumandang suara dayung.

Mestinya Ciu Hong berdua hendak menerobos ke sana, tapi demi melihat semak gelagah ini, seketika berubah pikiran mereka.

“Sungguh tempat sembunyi yang bagus ....” ucap Ciu Hong perlahan dengan tertawa. Entah sengaja atau tidak Po-ji dan Thi-wah diapit oleh mereka di bagian tengah, agaknya mereka sama khawatir akan dikerjai lawan di tengah semak gelagah itu.

Angin meniup menimbulkan suara gemeresik, keempat orang berjalan di tengah semak gelagah. Tidak seberapa jauh, tiba-tiba Po-ji melihat di kanan-kiri mereka juga ada orang merayap ke depan. Waktu Ciu Hong dan Li Beng-sing merandek serentak orang-orang itu juga berhenti, namun tiada seorang pun bersuara.

“Mungkin orang-orang ini pun bertujuan sama dengan kita,” kata Beng-sing perlahan. “Tidak perlu kita takut kepada mereka, jika sama-sama lagi menyusup ke sana, kita justru dapat saling membantu.”

“Betul,” tukas Ciu Hong tertawa.

Dan begitu mereka mulai melangkah, orang-orang itu juga ikut berjalan lagi. Entah berapa banyak orang yang bersembunyi di tengah semak gelagah ini.

Diam-diam Po-ji merasa heran, “Sesungguhnya ada rahasia apakah di sini? Mengapa datang orang sebanyak ini? Ai, entah adakah hubungannya dengan adik perempuan Thi-wah?”

Ciu Hong saling pandang sekejap dengan Li Beng-sing dan tanpa berjanji keduanya lantas melambatkan langkah. Keduanya memang licik dan licin, jelas mereka sengaja berbuat demikian supaya orang lain yang membuka jalan bagi mereka.

Tiba-tiba di tengah semak gelagah di depan ada cahaya tajam berkelebat dua kali, jelas ada orang telah membereskan perangkap di sana.

“Bagus, sungguh hebat,” puji Ciu Hong.

Tidak jauh lagi mereka melangkah maju, air rawa terasa mulai dangkal, agaknya mereka semakin mendekati tepi kolam gelagah.

Li Beng-sing menarik Thi-wah agar berjongkok, Ciu Hong juga mendak, hanya Po-ji saja yang tetap berdiri, sebab perawakannya memang masih kecil, tanpa berjongkok pun air sebatas dadanya.

Dalam pada itu suara dayung dan suara orang bicara sudah semakin jelas.

Li Beng-sing dan Ciu Hong sama menahan napas dan mendengarkan dengan cermat, habis itu barulah mereka menyingkap gelagah dan mengintai ke sana, terlihat kolam seluas ratusan tombak dikelilingi rumput gelagah yang tinggi, di tengah kolam berjajar tujuh buah perahu kotak dan dirantai menjadi satu, mungkin digunakan sebagai rumah terapung dan jelas sudah lama tidak pernah bergeser dari kolam ini.

Padahal kolam ini tidak begitu dalam, perahu kotak ini sukar meluncur di tempat seperti ini. Hanya terkadang ada sampan kecil menyusur kian kemari di tengah kolam.

Di haluan ketujuh kapal kotak itu hanya diterangi tiga lentera, cahaya lentera tidak terang, dipandang dari jauh terlihat ada bayangan orang berkelebat di dalam kabin.

Seluruh kolam tidak memperlihatkan sesuatu tanda aneh, cuma diliputi semacam suasana seram dan misterius, seperti setiap saat bisa terjadi sesuatu.

Sekonyong-konyong sebuah sampan meluncur keluar dari semak gelagah sana, di haluan sampan tergantung sebuah lentera kerudung, sesosok bayangan orang setengah tiarap di haluan sampan, perawakannya kelihatan ramping, waktu angin meniup, ia miringkan kepala dan membetulkan rambutnya. Cahaya lentera menerangi sebagian wajahnya sehingga jelas dapat dikenali dia adalah Gu Thi-lan.

Segera Thi-wah hendak berteriak, tapi pinggangnya keburu dicubit sekerasnya oleh Po-ji, saking kesakitan mulutnya yang terpentang tidak jadi mengeluarkan suara.

Sampan itu langsung menuju ke kapal kotak yang tengah, sesudah dekat, sekali lompat Gu Thi-lan hinggap di atas kapal, nyata Ginkangnya memang sudah cukup hebat.

Meski Gu Thi-wah tidak jadi bersuara, tapi mulut pun sukar terkatup lagi, sorot matanya yang penuh rasa kejut itu seakan-akan ingin tanya, “Mengapa Thi-lan bisa berada di sini? Untuk apa dia datang ke tempat semacam ini?”

Biarpun polos, ketika Pek-ma-ciangkun tadi bilang hendak membawanya mencari Thi-lan belum lagi membuatnya percaya, siapa tahu benar-benar Thi-lan dilihatnya di sini, hal ini sungguh mimpi pun tidak tersangka.

Tidak lama sesudah Thi-lan masuk ke dalam kapal, mendadak dari dalam kabin terbit bentakan orang gusar, menyusul terdengar suara gemerantang, suara pecahnya mangkuk piring, agaknya ada orang murka dan gebrak meja di dalam kapal itu.

Kemudian sayup-sayup terdengar suara Gu Thi-lan yang sedang membujuk dan menghiburnya, namun orang itu masih membentak dengan gusar, “Mereka berani main gila, mereka berani datang kemari? Bilamana aku Kiang Hong membuat mereka pulang dengan hidup, biarlah selanjutnya aku tidak she Kiang.”

Suaranya keras lantang, dari jauh pun anak telinga tergetar.

Selang sejenak, suara orang yang mengaku Kiang Hong tadi bergema pula, “Jangan hadirin menertawai diriku, perangaiku memang kasar, tapi anak kelinci itu memang terlampau menghina padaku.”

Habis itu lantas ramai orang tertawa dan orang membujuknya.

Dengan tertawa Kiang Hong itu berkata pula, “Baiklah, aku tidak marah lagi. Eh, Thi-lan sayang, kemarilah, biar ku ....”

Suaranya lantas samar-samar dan tidak jelas apa lanjutannya.

Seketika mata Thi-wah melotot, dengan suara parau ia memaki, “Keparat, berani menyebut sayang pada adik perempuanku, biar ....”

Cepat Li Beng-sing mendekap mulut bocah gede dogol itu, sebaliknya Pui Po-ji merasa menyesal, melihat gelagatnya, agaknya Gu Thi-lan telah dijadikan selir pemimpin bajak di tempat ini.

Tiba-tiba ada lagi sebuah sampan meluncur masuk, di ujung sampan juga terpasang lentera, di bawah lentera juga rebah seorang gadis berbaju hijau, hanya pada tangan gadis ini bertambah sehelai panji merah.

Setelah gadis ini masuk ke kabin kapal tadi, serentak lentera di haluan ketujuh kapal kotak itu menyala, beratus obor juga disulut sehingga kolam gelagah ini terang benderang serupa siang.

Pantulan cahaya lentera di dalam air juga menimbulkan beratus obor, suasana berubah semarak.

Terlihat dari setiap kapal itu muncul empat lelaki kekar dan berbaju ringkas, baju mereka sama merah menyala, perawakan ke-28 lelaki itu serupa, langkah pun sama tegap, tangan memegang trompet berhias pita merah.

Ketika ke-28 trompet berbunyi, seketika timbul suara menggetar langit dan bumi.

Berpuluh sampan ringan beriring meluncur keluar dari perairan yang sempit itu di bawah iringan suara trompet, bentuk sampan sangat aneh, tapi juga kecil dan lincah, haluan dan buritan sampan memantulkan cahaya hijau gemerdep, setiap sampan sama membawa sebuah gantolan besi raksasa dan antara gantolan sampan sama berkait sehingga berpuluh sampan itu bereret-eretan serupa seekor ular panjang.

Di haluan sampan pertama tampak duduk bersila seorang lelaki kekar bertelanjang badan, di depannya tertaruh sebuah tambur raksasa berbentuk aneh, lelaki itu memegang pemukul tambur, begitu tambur berbunyi, dayung sampan lantas bekerja sehingga barisan sampan yang panjang itu berputar menjadi suatu lingkaran, lelaki pemukul tambur jadi terkurung di tengah, suara tambur yang berat berpadu dengan suara trompet yang keras sehingga menerbitkan suara dahsyat yang menggetar sukma.

Bila suara tambur bertambah cepat, maka suara trompet juga bertambah keras.

Di seputar sampan tempat tambur itu dikelilingi empat sampan lain, setiap sampan bermuatan dua lelaki kekar bercelana biru ketat dan bertelanjang badan, hanya memakai rompi hitam sehingga kelihatan otot daging yang kuat dengan simbar dada serupa bulu suri kuda, tampaknya serupa binatang, keduanya berjubel di atas sampan yang sempit, tiba-tiba salah seorang dari setiap sampan itu berdiri.

Nyata perawakan keempat lelaki ini sama tinggi melebihi dua meter, keempat orang sama memberi tanda dan serentak terjun ke dalam air, air kolam terlampau dangkal, hanya sebatas dada mereka.

Keempat lelaki lain yang masih di sampan masing-masing lantas berdiri juga, lalu sama melompat ke atas pundak kawannya, ketika mereka meraih ke bawah, sampan tempat tambur itu segera terangkat ke atas disangga sebelah tangan masing-masing.

Sampan itu jadi terapung serupa panggung dan lebih tinggi daripada kapal kotak.

Kedelapan lelaki kekar itu berdiri di dalam air serupa tonggak, suara tambur mendadak berhenti, lelaki pemukul tambur perlahan berdiri di atas sampan yang terangkat di udara itu, tambur diangkatnya tinggi ke atas.

Po-ji tidak tahu permainan apa yang hendak diperlihatkan orang-orang itu, ia merasa tertarik.

Tiba-tiba terlihat sesosok bayangan biru entah muncul dari kapal mana melompat keluar, ujung kaki melejit perlahan di atas pundak lelaki paling bawah dan segera ia melayang ke atas lagi, kemudian hinggap dengan perlahan di atas tambur raksasa yang diangkat tinggi-tinggi itu. Gaya lompatannya sungguh gesit dan indah.

Di bawah cahaya lentera terlihat rambut orang ini panjang terurai, hanya terikat dua gelang emas berbaju biru muda dan berkibar tertiup angin, meski wajah tidak jelas kelihatan, namun gayanya yang indah memesona itu hampir saja membuat Po-ji bersorak memuji.

Mendadak suara trompet berhenti, hanya terdengar gemeresak rumput gelagah yang tertiup angin.

Dengan suara lantang orang berbaju biru itu lantas berseru dengan tertawa, “Haha, ada tamu datang dari jauh, kenapa tuan rumah tidak menyambut keluar, cara Kiang-toacecu meremehkan tamu ini perlu didenda.”

Suaranya nyaring, kalau tidak melihat orangnya tentu orang akan menyangka dia seorang gadis.

“Hai, kau minta kusambut kedatanganmu, memangnya sesuai bagimu?” jawab suara bengis di dalam kapal.

“Haha, lihai amat ....” seru orang berbaju biru dengan terbahak. “Jika gunung tidak mau datang padaku, terpaksa aku yang mendatangi gunung. Entah Kiang-toacecu sudi menerima kawan tidur semacam diriku atau tidak?”

Selain suara tertawanya penuh rasa ejek dan menantang, juga kata “kawan tidur” agak membingungkan.

Diam-diam Po-ji membatin, “Kiang-toacecu itu kan bukan orang perempuan, sungguh aneh dia menawarkan diri menjadi kawan tidurnya.”

Segera terdengar orang di dalam kapal berteriak dengan gusar, “Kentut busuk! Kau setan cilik ini berani ....”

Mendadak ucapannya terputus, seperti mendadak dicegah orang, lalu suara seorang lagi yang bernada berat menukas, “Jauh-jauh Siau-tocu datang kemari, entah ada kepentingan apa, mohon memberi penjelasan.”

Meski berat suaranya, namun kuat dan panjang, sekata demi sekata berkumandang dengan jelas dan menggetar anak telinga.

Agaknya si baju biru agak terperanjat, ia diam sejenak, lalu bicara perlahan, “Tak terduga di tengah Thian-hong-cui-ce ini ternyata benar ada naga sembunyi dan harimau tidur, rupanya ada orang kosen berada di sini, sungguh aku jadi kurang hormat.”

Mendadak Kiang Hong memaki, “Tidak perlu banyak omong, kalau mau kentut lekas keluarkan!”

“Haha, Kiang-cecu memang orang yang suka terus terang,” kata si baju biru dengan tertawa, “kedatanganku ke sini memang ada tiga urusan, padahal ketiga urusan ini kuyakin Kiang-cecu sudah tahu seluruhnya.”

Ketika orang berhenti bicara, Gu Thi-wah lantas membisiki Po-ji, “Sungguh aku ... aku tidak tahan lagi dan ingin bicara.”

“Urusan apa yang membuatmu tidak tahan?” tanya Po-ji.

“Si bocah gede yang mengangkat perahu itu, salah seorang di antaranya adalah saudaraku,” kata Thi-wah. “Mengapa ia pun datang kemari, sungguh aku tidak habis mengerti.”

Po-ji melenggong, apa yang sukar dimengerti dalam benaknya entah berapa kali lipat lebih banyak daripada Thi-wah. Apakah kedua golongan yang berhadapan di kolam gelagah ini ada persengketaan, dan jangan-jangan Gu Thi-lan mengetahui istri kakak kedua adalah anggota gerombolan orang she Kiang ini, maka ia sengaja masuk gerombolan orang she Kiang agar ada kesempatan untuk melampiaskan rasa dendamnya terhadap kakak ipar itu?

Tapi bila kakak iparnya itu termasuk anggota gerombolan rahasia ini, mengapa mau menjadi istri kakak Thi-lan yang sama dogolnya serupa Thi-wah ini? Malahan sejak nikah jelas masih mengadakan hubungan erat dengan sesama anggota perkumpulan, apakah maksud tujuannya?

Jika tujuan perempuan ini cuma hendak memperalat adik Thi-wah dan pura-pura kawin dengan dia, namun seorang anak muda keluarga nelayan meski perawakannya lebih kekar daripada pemuda biasa, betapa besar nilai gunanya? Sungguh rahasia di balik urusan ini sukar dipecahkan Po-ji.

Terdengar si baju biru tadi sedang berseru pula, “Kedatanganku ini adalah ingin minta Kiang-cecu membagi separuh hasil usahanya yang baru didapatnya itu kepadaku agar saudara kami ikut bergembira. Mengenai anak dara itu, asalnya juga anak buah kami yang mendapatkan dia, maka diharap pula Kiang-cecu suka mengembalikan dia kepadaku.”

“Hm, lalu apa lagi?” jengek Kiang Hong di dalam kapal.

“Antara kedua golongan kita mempunyai kekuatan yang seimbang, daripada terus-menerus bertengkar dan bertempur sehingga banyak jatuh korban, kan lebih baik kita berdamai dan berserikat. Asalkan Kiang-cecu menyatakan setuju, dengan kekuatan gabungan kedua golongan kita, tentu tidak perlu hidup terpencil lagi di rawa-rawa ini dan dapat keluar lautan untuk menghadapi si Naga Jenggot Merah.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung, “Apa yang kukemukakan ini timbul dari maksud baik, diharap Kiang-cecu suka mempertimbangkannya.”

Tampaknya Kiang Hong rada tertarik oleh tawaran ini, ia terdiam sejenak, lalu berkata, “Dan apa lagi urusanmu yang ketiga?”

“Urusanku ketiga ini terlebih hebat lagi,” ujar si baju biru dengan tertawa. “Mengingat anggota golongan kalian kebanyakan adalah anak gadis yang belum kawin, sebaliknya anggota golongan kami kebanyakan pemuda bujangan, setelah kita bergabung, antara anggota kedua pihak tentu dapat mencari pasangan sendiri, dan jadilah cerita menarik di dunia persilatan. Malahan antara diriku dan ....”

Belum lanjut ucapannya Kiang Hong lantas berteriak murka, “Kentut busuk!”

Kontan sebuah senjata rahasia lantas menyambar keluar, langsung mengarah muka si baju biru.

Bentuk Am-gi atau senjata rahasia itu tidak kecil, daya sambarnya cepat luar biasa, jarak kedua pihak ada beberapa puluh tombak jauhnya namun menyambar sampai di depan si baju biru senjata rahasia itu masih membawa kekuatan yang tidak lemah.

Namun sedikit mengegos dapatlah si baju biru menangkap Am-gi itu, waktu dipandang, kiranya sebuah poci teh. Bahwa Kiang Hong mampu menyambit sebuah poci sejauh puluhan tombak, sungguh tenaganya cukup mengejutkan.

Diam-diam Po-ji melengak. Terdengar si baju biru berseru dengan tertawa, “Nah, kalau Kiang-cecu setuju tentu sangat baik, bila tidak setuju, kan juga tidak perlu emosi seperti ini.”

Kiang Hong menjawab dengan bengis, “Pekerjaanku sendiri sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu, adik cilik itu juga jangan harap akan kau sentuh dia. Manusia rendah tidak tahu malu semacam dirimu masakah ingin bersekutu dengan Thian-hong-pang? Hah, jangan mimpi. Anak muridmu lebih kotor daripada hewan, mimpi pun jangan harap akan mengincar anggota perempuan kami.”

Sekaligus ia tolak ketiga syarat yang disebut si baju biru, tegas dan ketus.

“Hah, memangnya Kiang-pangcu tidak khawatir akan kuperlakukan kurang hormat?” jengek si baju biru.

“Apa kemampuanmu, boleh coba keluarkan saja, memangnya aku jeri padamu?” jawab Kiang Hong, berbareng itu sesosok bayangan melayang keluar dari dalam kabin, seketika terdengar suara “plang-plung” dua kali, dua lelaki berbaju merah yang berdiri di haluan kapal tertolak jatuh ke dalam air.

Diam-diam Po-ji menggeleng kepala, pikirnya, “Betapa keras dan pemarah watak Kiang Hong ini.”

Waktu ia mengawasi, terlihat orang yang bernama Kiang Hong ini bertubuh kurus kecil, rambut panjang terurai di kanan-kiri pundak, di bawah cahaya lentera yang remang-remang tidak kelihatan wajahnya.

“Haha, hari ini tentu tidak sedikit orang kosen yang kau mintai bantuan, biarlah kesempatan ini kugunakan untuk belajar kenal dengan mereka,” kata si baju biru dengan tertawa.

“Hah, kau sendiri memangnya tidak membawa bala bantuan?” jawab Kiang Hong dengan gusar.

“Betul ....”

Belum lanjut ucapan si baju biru, tiba-tiba sebuah sampan meluncur lewat di sebelah Po-ji.

Mendadak Ciu Hong menepuk perlahan peti rotan yang dibawanya, cahaya perak yang digunakan menyerang Li Beng-sing tadi kembali menyambar ke sana, “cret”, menancap pada dinding sampan itu.

Kiranya cahaya perak ini adalah seutas kawat perak halus, ujung kawat dibuat seperti kaitan, dapat mulur dan dapat mengkeret cepat dan praktis.

Waktu Ciu Hong menarik, sampan itu lantas terseret kemari.

Tentu saja lelaki penumpang sampan membentak gusar, dayung diangkat terus mengemplang kepala Ciu Hong. Tak tersangka dari peti rotan Ciu Hong kembali menyambar keluar sejalur asap, belum lagi dayung lelaki itu menurun, lebih dulu tubuh sudah bergoyang dan kecemplung ke dalam air.

Kiang Hong menoleh dan membentak, “Siapa itu? Tangkap dia!”

Serentak dari kanan-kiri beberapa sampan meluncur tiba dengan cepat.

Ciu Hong melompat ke atas sampan sambil mengacungkan tangan dan berteriak, “Harap Pangcu sabar dulu, ada urusan penting ingin kuberi tahukan.”

Kiang Hong tampak sangsi, tanyanya kemudian, “Urusan apa?”

Dengan sebelah tangan Ciu Hong menarik Li Beng-sing ke atas sampan, lalu berkata, “Apakah Kiang-pangcu tidak ingin tahu orang macam apakah bala bantuan yang diundang kemari oleh Siau Bwe-jiu?”

Kiang Hong melenggong diam, belum lagi ia bersuara, si baju biru alias Siau Bwe-jiu lantas berteriak murka, “Kiranya lagi-lagi kalian berdua manusia tidak tahu malu ini hendak mengacau. Ayo kawan, bekuk mereka!”

“Kedua orang ini sudah berada dalam Thian-hong-cui-tong, memangnya kalian berkuasa di sini?” bentak Kiang Hong. Ia memberi tanda dan berseru, “Bawa kedua orang ini maju kemari.”

Kelima sampan yang mendekat hendak menangkap mereka itu sekarang berubah menjadi pelindung mereka malah. Meski Siau Bwe-jiu sangat marah juga tidak berani sembarangan turun tangan.

Li Beng-sing menoleh dan pesan kepada Thi-wah, “Gendong anak itu dan ikut di belakang sampan.”

Thi-wah memandang Po-ji, anak itu mengangguk dan barulah Thi-wah menegak serta mengulet dengan senyum nikmat, habis itu baru Po-ji digendongnya dan ikut maju ke sana.

Perawakan Thi-wah jauh lebih tinggi besar daripada beberapa lelaki kekar yang mengangkat sampan, air kolam hanya sebatas dadanya saja.

Melihat anak muda segagah ini, Siau Bwe-jiu jadi heran dan kejut pula.

Po-ji mendesis di tepi telinga Thi-wah, “Tunduk kepala, jangan menyapa saudaramu.”

Thi-wah mengangguk tanda mengerti, dilihatnya adiknya berdiri membelakangi diri, kedua tangan menyangga benda berat, dengan sendirinya juga tidak berani sembarangan memandang kian kemari.

Ciu Hong dan Li Beng-sing lantas melompat ke atas kapal kotak, Thi-wah menurunkan Po-ji, lalu merambat juga ke atas kapal bersama Po-ji, keempat orang sama basah kuyup, keadaannya agak runyam.

Namun Ciu Hong dan Li Beng-sing memang mempunyai kepandaian istimewa, yaitu dalam keadaan betapa runyam mereka tetap dapat berlagak santai. Hal ini sudah tidak membuat heran Pui Po-ji lagi, tapi ketika melihat Kiang Hong, hampir saja ia berteriak kaget.

Sebab dilihatnya Kiang Hong itu bertubuh kecil mungil, berbaju sutra halus, rambut panjang terurai, alis lentik dan mata jeli, kulit tubuh seputih kemala, mulut kecil dan bibir merah ....

Bajak yang berwatak pemberang dan suka bicara kasar ini ternyata seorang perempuan cantik dan bertubuh menggiurkan.

Pikir Po-ji dengan terkesima, “Pantas orang she Siau itu bilang mau menjadi teman tidurnya, kiranya dia seorang perempuan. Ai, sungguh mimpi pun tidak terduga.”

Dalam pada itu Li Beng-sing lantas memberi hormat dan berseru lantang, “Cayhe Li Beng-sing dan berjuluk Pek-ma-ciangkun, sahabatku ini adalah Kim-ih-hou Ciu Hong, Ciu-tayhiap.”

Tiba-tiba seorang menukas dari dalam kabin, “Kim-ih-hou ... wah, entah ada hubungan apa antara Anda dengan Ci-ih-hou?”

Suaranya berat dan kuat, jelas orang yang main bentak tadi.

Ciu Hong tergelak, jawabnya, “Tentang hubunganku dengan Ci-ih-hou ... hehe, kukira tidak perlu kukatakanlah.”

Mendadak Siau Bwe-jiu menimbrung, “Huh, manusia yang tidak tahu malu, pakai berlagak segala. Memangnya Ci-ih-hou itu tokoh macam apa? Biarpun kau menjadi kacungnya juga tidak sesuai baginya .... Kiang-pangcu, keparat ini dan orang she Li itu cuma dua penipu belaka, jika kau percaya kepada ocehannya, tentu engkau akan masuk perangkap mereka.”

Kiang Hong menarik muka, ucapnya bengis, “Akhir-akhir ini kabarnya di dunia Kangouw muncul dua penipu besar yang khusus suka menggerayangi kaum hartawan, kiranya kalian berdua ini?”

Dengan tenang Ciu Hong tertawa, jawabnya, “Pangcu adalah tokoh terkemuka, mengapa gampang percaya kepada ocehan orang. Hendaknya dengarkan dulu ceritaku baru nanti mengambil keputusan.”

“Hm, silakan saja bicara,” jengek Kiang Hong.

“Apakah Kiang-pangcu pernah dengar di dunia Kangouw ini ada seorang tokoh Ban-lohujin dengan baju beratus saku dan membawa senjata tongkat beratus pusaka ....”

“Apakah maksudmu ibu kandung Ban-tayhiap?” tanya Kiang Hong dengan melengak.

“Pribadi Ban-tayhiap tulus dan terhormat, tentang Ban-lohujin, hehe ....”

Betapa pun Ciu Hong tidak berani mengejek nyonya tua itu dengan kata-kata kasar, setelah mendengus, lalu berkata, “Siau Bwe-jiu ini justru termakan oleh siasat adu domba Ban-lohujin sehingga timbul maksud jahatnya untuk merampas hasil usaha Kiang-pangcu dua bulan yang lalu, bilamana dia tidak didukung oleh Ban-lohujin, memangnya cuma Siau Bwe-jiu saja berani sembarangan menerobos masuk ke Thian-hong-cui-ce sini?”

Po-ji tidak menyangka urusan ini ternyata menyangkut Ban-lohujin yang berhati keji itu, pikirnya, “Jika Siau Bwe-jiu mendapat dukungan nenek she Ban itu, agaknya Kiang Hong akan susah.”

Ia coba melirik ke dalam kabin, terlihat empat lelaki kekar berbaju perlente duduk berjajar di sana, meski usia keempat orang itu berbeda, namun sama bersikap gagah dan kereng.

Keempat orang tampak duduk diam saja, hanya memandang sekejap saja Po-ji tahu mereka pasti bukan orang yang boleh diganggu, Ban-lohujin pun belum tentu dapat mengalahkan mereka.

Ketika ia berpikir, tidak diketahuinya apa yang telah diucapkan Kiang Hong tadi.

Terdengar Ciu Hong lagi berkata, “Apakah Kiang-pangcu tahu apa sebabnya sudah sekian lama Siau Bwe-jiu ini datang kemari dan belum lagi turun tangan?”

Dengan gusar Kiang Hong menjawab, “Justru hendak kutanyakan padamu, untuk apa kau tanya padaku?”

Ciu Hong terkekeh, katanya, “Petang kemarin, mendadak Ban-lohujin pergi, katanya melihat satu orang dan hendak mengejarnya untuk diajak kemari dan dijadikan pembantu, baru tengah malam tadi dia pulang, sekarang Siau Bwe-jiu melulu bicara saja tanpa turun tangan, tujuannya justru sengaja mengulur waktu hingga datangnya Ban-lohujin.”

Dengan melotot Kiang Hong berteriak, “Hm, dia tidak mau turun tangan, biar aku yang turun tangan lebih dulu.”

“Silakan, silakan,” ujar Siau Bwe-jiu dengan tertawa. “Siapa-siapa yang ingin bergebrak denganku, silakan naik ke atas sini, pasti kuiringi.”

Tempat berdirinya merupakan pusat barisan sampan, para lelaki kekar yang berada di sampan sudah siap tempur dengan senjata terhunus. Bilamana orang lain berani menerjang barisan sampan tentu akan menghadapi rintangan berat, apalagi Siau Bwe-jiu sendiri berdiri di atas dan dapat melihat setiap sudut, siapa pula yang dapat menyergapnya?

Biarpun kungfu Kiang Hong sangat tinggi juga sukar terbang ke atas menara manusia yang beberapa tombak tingginya itu, jelas sulit baginya untuk bergebrak dengan Siau Bwe-jiu.

Seketika wajah Kiang Hong merah padam dan tak berdaya, dilihatnya kawan lelaki yang mengangkat sampan tinggi ke atas itu sejauh itu masih tetap berdiri tegak tanpa bergerak, seperti tidak kenal lelah, biarpun mengangkat sampan bertambur itu selama tiga hari tiga malam.

Tiba-tiba dari dalam kabin seorang berseru dengan suara berat, “Ingin merobohkan orang harus panah dulu kudanya ....”

Tergugah ingatan Kiang Hong, katanya dengan girang, “Betul, lekas panah lelaki yang mengangkat sampan!”

“Hm, boleh saja coba,” jengek Siau Bwe-jiu. “Di sekeliling sini penuh gelagah, bila kau lepas panah segera kuperintahkan menyalakan api, biar kita terbakar bersama, apa boleh buat!”

“Berani kau nyalakan api?!” bentak Kiang Hong gusar. Meski di mulut ia membentak, namun dalam hati ia tahu lawan pasti bertindak demikian sehingga sia-sia ia bersikap galak.

Siau Bwe-jiu tampak gembira, ia malah duduk bersila di atas tambur dan bernyanyi kecil dengan santainya.

Entah mengapa Po-ji berkesan baik terhadap Kiang Hong, makin dipandang Siau Bwe-jiu makin membuatnya muak, tiba-tiba ia tarik ujung baju Gu Thi-wah dan bertanya, “Apakah adikmu suka turut kepada kehendakmu?”

“O, biasanya dia tidak mau tunduk kepada siapa pun, hanya perintahku saja paling dipatuhinya,” tutur Thi-wah dengan tertawa.

“Baik, jika begitu, lekas kau panggil dia kemari,” kata Po-ji.

Tanpa pikir Thi-wah lantas berteriak, “Thi-hiong ... Ji-wah ... Toako berada di sini, lekas kemari ... lekas ....”

Mendengar suara itu, satu di antara keempat lelaki kekar yang mengangkat sampan di udara itu semula melengak, ia berpaling dan memandang dua kejap, mendadak ia lepas tangan terus melompat turun dari pundak orang di bawahnya.

Ketika diangkat empat orang, sampan itu memang sangat mantap, tapi begitu salah seorang lepas tangan, seketika sampan itu kehilangan imbangan, lelaki yang berdiri di atas sampan dengan menyangga tambur itu yang lebih dulu tidak sanggup berdiri tegak lagi, kontan ia terjungkal ke bawah.

Baru saja Siau Bwe-jiu membentak marah atas perbuatan Thi-hiong, saudara Thi-wah itu, tahu-tahu lelaki penyanggah telah jatuh ke dalam air. Maka terdengarlah suara gedebur dan blang-blung yang riuh disertai jeritan di sana-sini.

Banyak orang kecebur ke dalam air, ada juga yang jatuh ke haluan kapal dan menjerit kesakitan, paling akhir terdengar suara gemuruh, itulah suara sampan yang terangkat tadi terbanting di atas sampan bagian bawah.

Benturan dua sampan mengakibatkan papan pecah dan kayu berhamburan, barisan sampan itu seketika menjadi kacau.

Di tengah keributan itulah Gu Thi-hiong lantas lari keluar dari barisan sampan, Gu Thi-wah juga melompat turun dari kapal dan memburu ke arah saudaranya, begitu keduanya berhadapan, serentak mereka saling pukul dan saling rangkul dengan erat tanpa menghiraukan teriakan orang lain dan juga tidak peduli air rawa yang kotor itu.

Kiang Hong memandang Po-ji sekejap, sorot matanya yang dingin untuk pertama kalinya menampilkan rasa simpatik.

Hal ini dirasakan oleh Pui Po-ji melebihi beribu kata pujian, selagi ia membalas dengan tersenyum, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang menubruk ke arah Thi-wah berdua, keruan Po-ji menjerit kaget.

“Jangan khawatir!” seru Kiang Hong, cepat ia menerjang maju juga.

Bayangan yang menubruk tiba itu bukan lain dari Siau Bwe-jiu adanya. Ia menjadi murka karena urusannya digagalkan oleh kedua bocah gede dan dogol ini, saking gemasnya segera timbul niatnya membunuh, dengan dahsyat ia hantam kepala Thi-wah dan adiknya.

Namun sebelum mencapai sasarannya, dari samping menyambar tiba angin pukulan yang kuat, terpaksa ia harus jaga diri lebih dulu, cepat ia berputar dan kedua tangan pun menghantam ke depan.

Pukulan dua orang beradu dan sama menggeliat, tampaknya mereka pun akan jatuh ke dalam air, siapa tahu tangan kedua orang itu sempat menahan di atas pundak Gu Thi-wah dan segera melayang lagi ke samping.

Cuma dalam keadaan kacau mereka tidak dapat lagi membedakan arah, Kiang Hong melayang ke barisan sampan sana, sedang Siau Bwe-jiu melompat ke atas kapal kotak.

Tanpa terasa Po-ji menyurut mundur dua langkah, tiba-tiba pandangan kabur, keempat lelaki yang duduk tenang di dalam kapal tadi entah sejak kapan telah melompat ke luar.

Keempat orang itu serupa malaikat maut serentak mengepung Siau Bwe-jiu di tengah.

Di sebelah sana Kiang Hong telah memukul terjungkal salah seorang penjaga sampan, menyusul seorang lagi ditamparnya hingga terjungkal ke dalam air. Dilihatnya sebuah sampan cepat telah meluncur tiba.

Dengan ringan Kiang Hong melompat ke atas sampan, menyusul ia melayang kembali ke atas kapal kotak, gerakannya sungguh cepat dan gayanya indah.

Dalam pada itu kening Siau Bwe-jiu sudah keluar butiran keringat, sebab berulang ia menggunakan beberapa gerakan dan tetap sukar menerobos keluar dari kepungan keempat lelaki tadi. Betapa ia menggunakan gerakan, betapa ia menerjang ke arah mana pun, asal salah seorang itu menahan dengan sebelah tangan, kontan Siau Bwe-jiu terdesak kembali lagi ke tempat semula.

Melihat gelagatnya, jika keempat orang itu menyerangnya bersama, mustahil jiwa Siau Bwe-jiu takkan melayang. Teringat demikian, mau tak mau Siau Bwe-jiu patah semangat dan tidak berani sok lagi.

“Thi-toako, Song-toako, Li-toako dan Cian-toako, orang she Siau ini sudah kelewat takaran kejahatannya, untuk apa kalian bermurah hati kepadanya?” seru Kiang Hong.

Lelaki berbaju perlente yang sebelah kiri beralis tebal dan berwajah hitam, meski usianya paling muda, namun tampaknya justru paling gagah, agaknya dalam waktu singkat sudah sering mengalami berbagai peristiwa maut sehingga apa yang terjadi sekarang dipandangnya sepele, segera ia mendengus, “Apa susahnya membunuh dia? Cuma, setelah dia terbunuh, anak buahnya tentu akan kalap dan Thian-hong-cui-tong kalian ini bukankah akan rusak keindahannya karena banjir darah.”

Siau Bwe-jiu tertawa terkekeh, “Hehe, kalian ternyata tahu urusan, tentu kalian pun tokoh dunia persilatan, entah boleh tidak mengetahui nama kalian?”

“Eh, bukankah kau sedang menunggu bala bantuan, bilamana pembantumu itu sudah datang, tentu kau pun akan tahu nama kami berempat ....”

Belum lanjut uraian orang itu, tiba-tiba dari jauh berkumandang suara tertawa aneh orang, “Anak sayang, kau pun sudah datang? Bagus sekali, biar nenek memberi permen dan manisan padamu!”

Mendengar suara orang, seketika air muka Po-ji berubah hebat, diam-diam ia mundur ke pojok sana, dicomotnya segenggam lumpur dan dipoles di muka sendiri.

Agaknya lelaki tadi juga tidak sanggup menikmati permen atau manisan, sebelum terjadi sesuatu lebih dulu ia sudah menyingkir, maka terlihatlah bayangan berkelebat, seorang nenek ubanan tahu-tahu melayang tiba dari udara, perawakannya pendek buntak, wajahnya tertawa selalu, tangan memegang tongkat yang panjang, siapa lagi dia kalau bukan Ban-lohujin.

Seketika wajah Siau Bwe-jiu mengunjuk rasa girang, air keringat pada kening pun segera kering.

Ban-lohujin melotot sekejap padanya, ucapnya dengan menarik muka, “Hm, percuma kau berkecimpung sekian tahun di dunia Kangouw, sampai asal usul keempat orang ini pun tidak tahu?”

“Mohon petunjuk Popo,” kata Siau Bwe-jiu.

Ban-lohujin menghela napas, lebih dulu ia ambil sebiji manisan cermai, sembari makan manisan ia tunjuk salah seorang lelaki itu dan berkata, “Inilah Jit-song-cian Thi Un-hou, itu Kay-pi-jiu Song Kong, yang sana Tah-soat-bu-hin Li Eng-hong dan yang ini Ban-jin-tik Cian Siang-sing .... Ai, tokoh terkemuka dunia persilatan daerah Tionggoan kini hanya tersisa mereka berempat ini saja.”

Terperanjat juga Siau Bwe-jiu setelah tahu siapa keempat orang itu, begitu pula Pek-ma-ciangkun Li Beng-sing, diam-diam ia menarik Ciu Hong ke pinggir dan membisikinya, “Meski nama Thian-hong-pang dan Jiu-cui-pang cukup gemilang di wilayah Tiangkang, tapi Kiang Hong dan Siau Bwe-jiu paling-paling cuma jago Kangouw kelas dua saja, mengapa sekarang ada tokoh kelas terkemuka datang ikut campur urusan mereka? Sungguh sukar dimengerti.”

“Kukira hasil usaha yang didapat Kiang Hong tempo hari pasti tidak sedikit, makanya beberapa tokoh terkemuka ini pun perlu datang ke sini,” ucap Ciu Hong dengan tersenyum.

Ketika itu terdengar Ban-lohujin sedang berkata pula, “Dalam pertempuran di Lian-hun-ceng banyak tokoh serupa Tay-lik-sin-ciu dan Jit-jiu-tay-seng juga melayang jiwanya, tapi kalian berempat tahan hidup sampai sekarang, sungguh tidak kecil rezeki kalian. Tapi setelah kalian menyaksikan pertempuran dahsyat di lautan itu, seharusnya kalian pulang dan tirakat saja agar kekuatan dunia persilatan Tionggoan tidak sampai habis ludes, mengapa sekarang kalian muncul lagi di sini? Sungguh nenek merasa tidak mengerti.”

Rupanya Song Kong berempat sudah gemblengan dan tambah sabar setelah mengalami berbagai pertempuran besar, maka apa yang dikatakan Ban-lohujin sekarang tidak membuat mereka marah.

Dengan tak acuh Thi Un-hou lantas berkata, “Silakan memberi petunjuk!”

Ban-lohujin menggeleng kepala, ucapnya, “Umpama kalian hendak berkelahi denganku kan juga tidak perlu terburu-buru, betapa pun hendaknya bicara dulu menurut aturan ....”

“Silakan bicara!” jengek pula Thi Un-hou.

Keempat orang itu tidak suka putar lidah, tidak mau banyak omong percuma.

Diam-diam Po-ji memuji sikap mereka itu, cara demikianlah sikap seorang jagoan sejati, kalau jelas harus berkelahi, untuk apa banyak cincong.

Namun Ban-lohujin justru masih omong lagi, sembari makan manisan ia berkata, “Rupanya kalian berempat mengira nenek dapat diganggu dengan begitu saja, dan ingin main kerubut?”

Thi Un-hou angkat kedua tombaknya ke atas, gemerdep cahaya tombak, ucapnya bengis, “Satu lawan satu, silakan!”

“Ai, orang muda, gagah dan kuat, tapi justru mengganggu seorang nenek, tidak tahu malu ....” sembari mengomel, mendadak tongkat Ban-lohujin menonjok ke depan, berbareng ia bergumam pula, “Baiklah kulayanimu, jika kewalahan hendaknya segera kau keluar!”

Nyata ucapannya yang terakhir itu ditujukan kepada “pembantu” yang tidak kelihatan itu. Tapi sesungguhnya siapa pembantunya itu dan berada di mana, ternyata tiada seorang pun tahu.

Dengan sendirinya timbul rasa heran semua orang dan sama ingin tahu sesungguhnya bala bantuan macam apa yang diajak kemari oleh nenek yang terkenal licik dan licin ini.

Dalam pada itu hanya sekejap saja tongkat Ban-lohujin sudah menyerang beberapa kali, namun Thi Un-hou juga cukup tangkas, semuanya dapat ditangkis oleh tombaknya.

Mendadak Ban-lohujin putar balik tongkatnya terus menyapu serupa toya, cepat Thi Un-hou melompat mundur, tombak berputar, menangkis berbareng balas menusuk.

Tiga jurus serangan Ban-lohujin cukup lihai, namun tiga kali tangkisan Thi Un-hou justru merupakan penangkal serangan nenek itu. Ban-lohujin menjadi murka, seketika berubah lagi jurus serangannya. Akan tetapi apa pun jurus serangannya selalu dipatahkan oleh lawan.

Li Beng-sing menarik Ciu Hong dan berkata padanya, “Tongkat si nenek menduduki nomor lebih tinggi daripada tombak Thi Un-hou menurut daftar senjata dunia persilatan, entah mengapa Ban-lohujin sekarang justru tercecar malah dan hilang sama sekali daya guna tongkatnya itu.”

Tiba-tiba Po-ji menimbrung, “Tongkat si nenek tempo hari telah dipatahkan orang, mungkin tongkat baru belum selesai dibuat lagi ....”

Mendadak Siau Bwe-jiu juga berseru, “Sudah lama permainan tongkat Ban-lohujin terkenal sangat ampuh, mengapa sekarang tidak dikeluarkannya agar menambah pengalaman kami.”

Baginya tentu lebih baik selekasnya Ban-lohujin menjadi pihak pemenang, sebab itulah ia coba memberi semangat. Tak tersangka dugaan Pui Po-ji ternyata tidak keliru, sebab tongkat yang digunakan Ban-lohujin sekarang tidak lebih cuma sebuah tongkat biasa saja, dengan sendirinya tidak selihai tongkat pusakanya dahulu.

Namun dengan pengalaman luas Ban-lohujin dan Lwekang yang tinggi, dapatlah ia bertahan, seruan Siau Bwe-jiu justru membuatnya mendongkol, sebab dengan begitu lawan lantas mencari jalan lain untuk menyerang lagi.

Benar juga, segera terdengar Thi Un-hou membentak, “Awas senjata!”

Berbareng itu tombak sebelah kanan terus menusuk ke depan, cepat Ban-lohujin menyurut mundur selangkah dan tampaknya tusukan tombak sukar mencapai sasaran.

Tak terduga tombak pandak Thi Un-hou mendadak bisa mulur satu kaki lebih panjang, sasaran yang sukar dicapai tahu-tahu terancam.

Untung Ban-lohujin sempat berjumpalitan ke belakang dan turun kembali dalam jarak dua meter jauhnya.

“Kena!” bentak Thi Un-hou dengan gusar.

Dari ujung tombak kanan mendadak menyambar keluar beberapa bintik perak langsung mengincar muka, dada dan perut Ban-lohujin, sedang tombak kiri terus menyambar ke depan untuk menyabet kaki nenek itu, serangan atas dan bawah dilakukan secepat kilat.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan melayang tiba dan mengadang di depan si nenek. Terdengar suara “crat-cret” beberapa kali, suara paku menancap di kayu, beberapa bintik perak sama hinggap di dada pendatang itu.

Menyusul terdengar suara gemerencing, rantai yang terikat pada tombak juga lantas melilit kedua kaki si pendatang, namun orang ini seperti tidak merasakan sesuatu, masih berdiri tegak.

Semua orang sama terperanjat, meski kejut namun Thi Un-hou tidak gugup, cepat ia menarik tombaknya dengan harapan orang akan terseret roboh.

Siapa tahu pada saat itu juga kembali sesosok bayangan kuning melayang tiba dan tepat jatuh di atas rantai yang tertarik lurus itu. Thi Un-hou merasa tangan kesakitan dan tombak pun terlepas.

Tentu saja Song Kong bertiga sama terperanjat, serentak mereka menubruk maju ke kanan-kiri Thi Un-hou.

Maka terlihatlah pendatang pertama bertubuh tinggi kurus, muka gelap, tujuh bintang perak tadi sama menghias baju dadanya dan tidak dapat menancap masuk.

Sedang pendatang kedua telah duduk bersila di lantai, mukanya bulat, meski tersenyum, namun senyuman yang aneh dan sukar dilukiskan, serupa senyuman patung Buddha di biara, kaku dan lucu.

Segera Po-ji dapat mengenali orang yang pertama tadi adalah Bok-long-kun. Sungguh tak terduga olehnya bahwa bala bantuan yang didatangkan Ban-lohujin ternyata orang ini.

Maklumlah, masih jelas teringat olehnya Bok-long-kun adalah musuh Ban-lohujin, entah mengapa sekarang mereka telah berkawan malah.

Ia tidak tahu bahwa kawan atau lawan antarorang Kangouw memang sukar dibedakan, hari ini kawan, besok bisa berubah menjadi lawan, ini sudah biasa terjadi dan tidak perlu diherankan. Asalkan menyangkut keuntungan, dari lawan bisa segera berubah menjadi kawan lagi.

Po-ji cukup kenal kemampuan Bok-long-kun, melihat kemunculannya di sini, diam-diam ia merasa khawatir bagi Kiang Hong dan keempat tokoh terkemuka tadi.

Siapa tahu Thi Un-hou berempat sama sekali tidak memikirkan kehadiran Bok-long-kun, yang membuat mereka jeri justru si baju kuning yang duduk bersila diam itu, pandangan mereka berempat tanpa berkedip terpusat kepada orang ini.

Dengan perlahan Song Kong lantas menegur, “Sudah lama kami mendengar nama Kek-thian-boh-toh-kiong, melihat bentuk sahabat ini, jangan-jangan tamu dari Boh-toh-kiong?”

“Hehe, anak baik, tajam juga penglihatanmu,” tukas Ban-lohujin dengan terkekeh.

Song Kong tidak menghiraukannya, ia tetap menatap si baju kuning dan berkata pula, “Mengapa sahabat tidak bicara? Apakah karena tidak sudi memberitahukan namamu?”

Pendatang baju kuning itu tetap tersenyum dan tidak bicara, hanya dengan tangan menuding telinga sendiri dan menggeleng kepala.

Baru sekarang Po-ji tahu duduknya perkara, pikirnya, “Ah, kiranya orang ini tuli.”

Tiba-tiba terdengar Thi Un-hou berempat bersuara kaget, “Hah, Toh-liong-cu? ....”

Ternyata Li Beng-sing dan Ciu Hong juga tidak kurang takutnya, dengan heran Po-ji coba tanya mereka, “Memangnya siapakah si tuli ini, kenapa ditakuti?”

Ciu Hong menariknya ke samping dan membisikinya, “Toh-liong-cu ini adalah majikan muda Boh-toh-kiong (istana unsur bumi), sejak lahir sudah bisu tuli, namun betapa tinggi ilmu silatnya konon tidak di bawah Kim-ho-ong, Hwe-sin-kun dan lain-lain, malahan wataknya yang keras dan kejam terlebih hebat daripada beberapa iblis tadi. Yang paling celaka adalah kegemarannya pada paras cantik, asalkan melihat perempuan ayu ....”

Bicara sampai di sini mendadak ia berhenti.

Waktu Po-ji memandang ke sana mengikuti pandangan orang, terlihat Toh-liong-cu tidak gubris orang lain lagi melainkan cuma memandang Kiang Hong dengan termangu dan menggapai padanya.

Kiang Hong memang terhitung salah seorang bajak terkemuka di perairan Tiangkang, juga tergolong tokoh perempuan yang cukup menonjol di dunia Kangouw akhir-akhir ini, meski tubuh tampak lemah, namun wataknya keras dan tegas, membunuh orang seperti pekerjaan biasa baginya, biasanya jarang yang meremehkan dia sebagai seorang perempuan lemah, ia sendiri juga tidak mau dipandang sebagai perempuan.

Namun demi melihat sorot mata Toh-liong-cu yang lagi menatapnya itu, tanpa terasa timbul rasa ngeri juga dalam hati Kiang Hong, perlahan ia menyurut mundur, padahal di belakangnya sudah tepi geladak kapal, mundur lagi selangkah tentu akan kecebur ke dalam rawa.

Sekonyong-konyong terlihat bayangan orang berkelebat disertai jeritan kaget, waktu semua orang memandang ke sana, Toh-liong-cu kelihatan masih duduk di lantai, sedangkan entah sejak kapan Kiang Hong sudah berada dalam pelukannya.

Sekujur badan Kiang Hong seakan-akan tak bertenaga lagi dan dirangkul Toh-liong-cu dalam keadaan lemas tak bisa berkutik, malahan terus dicium dan diendus.

Kejut dan gusar pula Po-ji menyaksikan kejadian itu, ia harap Thi Un-hou dan ketiga kawannya akan turun tangan menolong Kiang Hong. Siapa tahu, meski wajah mereka kelihatan gusar, namun mereka tetap berjaga di pintu kabin dan tiada seorang pun berani bertindak.

Keempat lelaki berbaju merah tadi sebenarnya sudah mundur ke samping sana, demi melihat sang Pangcu diganggu orang, serentak mereka membentak terus menerjang maju.

Sama sekali Toh-liong-cu tidak mengangkat kepala, hanya sebelah tangannya terayun ke depan dua kali, terdengarlah suara “blang-blung” dan “plak-plok” empat kali, keempat lelaki itu telah terpukul hingga mencelat dan jatuh ke dalam rawa.

Menyusul lantas terdengar suara “brett”, tahu-tahu baju Kiang Hong telah dirobek Toh-liong-cu sehingga kelihatan dadanya yang putih dan montok.

Keruan Kiang Hong gugup dan malu, saking gusar dan takut ia menjerit dan tidak sadarkan diri.

Song Kong berempat juga tambah prihatin, serentak mereka melolos senjata, namun mereka tetap berjaga di pintu kabin tanpa bergerak, seperti di dalam kapal ada benda mestika yang sangat berharga, asalkan benda dalam kapal dapat dipertahankan dan mereka pun merasa puas, mengenai mati-hidup Kiang Hong seperti bukan soal bagi mereka.

Sungguh gusar Po-ji tak terkatakan, ia pikir percuma orang-orang ini sok anggap dirinya sebagai kesatria gagah, sekarang menyaksikan seorang perempuan dihina begitu saja dan ternyata tiada seorang pun berani bertindak. Meski aku bukan kesatria, betapa pun aku tidak dapat tinggal diam.

Seketika darah panas bergolak dalam rongga dadanya, soal mati-hidup sendiri sama sekali tak terpikir lagi olehnya, segera ia melompat maju sambil membentak, ia memaki sambil menuding Toh-liong-cu, “Huh, kau ini manusia atau binatang? Lepaskan dia!”

Pada hakikatnya Toh-liong-cu memang tidak mendengar, dengan sendirinya ucapan Pui Po-ji tidak digubrisnya.

Sebaliknya demi tampak kemunculan Pui Po-ji, sorot mata Bok-long-kun dan Ban-lohujin sama gemerdep.

Tiba-tiba Ban-lohujin terkekeh, serunya meriah, “Setan cilik, kiranya kau berada di sini. Meski mukamu kau poles lumpur tetap nenek dapat mengenalimu. Eh, mari, anak sayang, makan manisan dulu!”

Bok-long-kun juga lantas mendekati Po-ji dan berteriak parau, “Di mana si setan kepala besar itu? .... Di mana dia? Suruh dia keluar!”

Kedua jarinya terpentang dan siap menerkam, seakan-akan bila Oh Put-jiu berada di situ segera akan dicekiknya hingga mampus. Nyata dendamnya kepada Oh Put-jiu sudah kelewat mendalam dan merasuk tulang.

Dengan tertawa Ban-lohujin berkata pula, “Cui Thian-ki tidak ada di sini, Ci-ih-hou sudah mati, siapa pula yang dapat melindungimu? Anak sayang, lekas kemari dan menjura kepada nenek, biar nenek minta dia jangan membunuhmu.”

Tergerak hati Thi Un-hou berempat, baru sekarang teringat oleh mereka bahwa anak ini memang seperti pernah dilihatnya dari kejauhan di kapal layar pancawarna waktu terjadi pertempuran di pantai tempo hari.

Terlihat Po-ji membusungkan dada dan memaki, “Meski kuanggap kalian ini manusia, siapa tahu kalian sebenarnya adalah hewan. Biarpun kau bunuh diriku juga jangan harap akan ....”

Bok-long-kun menyeringai, kesepuluh jarinya serupa cakar burung itu terus mencengkeram kepala Po-ji.

Selagi Thi Un-hou berempat hendak bertindak, tahu-tahu Ciu Hong telah mendahului menarik Po-ji ke belakangnya, ucapnya dengan terkekeh, “Hehe, masakah majikan muda Jing-bok-tong yang terhormat juga sudi menganiaya seorang anak kecil ....”

“Enyah!” bentak Bok-long-kun dengan gusar, sekali ayun tangannya, kontan Ciu Hong terpukul jatuh.

Akan tetapi Thi Un-hou lantas menarik Po-ji ke sana, desisnya, “Lekas masuk ke kabin kapal, lekas!”

Tanpa menunggu jawaban segera ia dorong Po-ji ke dalam kapal.

Po-ji masih sangsi, siapa tahu pada saat itu juga dari balik tabir di bagian belakang kabin kapal terdengar jeritan tertahan seorang perempuan, “Po-ji ....”

Suara itu rasanya sangat dikenal Po-ji, seketika telinga Po-ji mendengung, darah pun bergolak, cepat ia menerjang ke balik tabir. Belum lagi ia sempat lihat, enam tangan sudah lantas merangkulnya dengan erat, tiga orang pun berseru bersama, “Po-ji, ken ... kenapa engkau datang kemari?....”

Bau harum menusuk hidung, sambil meronta Po-ji coba mengawasi mereka, kiranya ketiga orang ini adalah gadis jelita yang diusir Kim-ho-ong dari kapal layar pancawarna itu.

Ketiga gadis itu merasa girang dan juga kejut serta heran, air mata bercucuran, entah gembira atau duka. Ketiganya memeluk Po-ji dengan erat, ada yang mencium, ada yang membelai sayang, muka Po-ji pun basah oleh air mata, akhirnya sukar diketahui apakah air mata sendiri atau air mata ketiga gadis itu.

Dalam keadaan demikian, Po-ji merasa segala siksa derita yang dialaminya sudah mendapatkan imbalan yang melegakan.

Tiba-tiba seorang mendengus, “Huh, tidak malu, masa gadis orang dipeluk dan dicium segala?”

Muka Po-ji seketika marah, cepat ia melepaskan diri dari rangkulan mereka.

Maka terlihatlah seorang anak dara bermata besar menongkrong tinggi di atas meja, sikapnya dingin, namun mukanya merah dan sedang menatap Po-ji dengan terbelalak, siapa lagi dia kalau bukan Siaukongcu.

Tergetar hati Po-ji dan melenggong memandangi anak dara itu.

“Hah, Siaukongcu bisa saja, orang dibuat marah begini, kami kan kakaknya, kenapa kalau cuma mencium sayang padanya?” ujar kawanan gadis tadi dengan tertawa.

“Masa tidak menjadi soal saling cium?” kata Siaukongcu.

“Dengan sendirinya tidak menjadi soal ....” kawanan gadis itu menjawab dengan tertawa.

Mendadak Siaukongcu pentang kedua tangan dan melompat turun dari meja, langsung Po-ji dirangkulnya, leher anak muda itu terus digigitnya sekali dengan geregetan sambil mengomel, “Telur busuk kecil, mengapa setiap orang sayang padamu? Selanjutnya hendaknya kau berubah memuakkan sedikit agar tidak setiap orang menciummu.”

Berguncang juga perasaan Po-ji, tapi entah manis atau kecut, sungguh ia pun geregetan dan ingin membalas gigit sekali pada muka Siaukongcu.

Tapi belum lagi ia menggigit, tahu-tahu Siaukongcu sudah menggigit dua kali pada mukanya.

Po-ji menjerit kesakitan, sebaliknya Siaukongcu tertawa mengikik, katanya, “Apa sakit? Biar kau mati kesakitan!”

Mendadak ia genjot perut Po-ji, lalu melompat lagi ke atas meja dan duduk membelakangi anak muda itu tanpa menghiraukannya.

Dengan sebelah tangan meraba muka dan tangan lain memegang perut, Po-ji memandang kawanan gadis dengan menyengir. Kawanan gadis tertawa geli terpingkal-pingkal.

“Toako ....” tiba-tiba seorang memanggil dengan agak takut-takut.

Waktu Po-ji menoleh, dilihatnya Gu Thi-lan berdiri di sana.

Tapi sebelum ia bicara, kembali Siaukongcu melompat turun lagi dan berseru, “Kau panggil Toako padanya? .... Telur busuk kecil, tak tersangka kau punya istri besar, sekarang punya lagi adik perempuan besar.”

Muka Thi-lan tampak merah, muka Po-ji juga merah, katanya kepada Thi-lan, “Jangan hiraukan dia ... dia orang gila kecil ... aduhh!”

Rupanya lehernya kembali digigit sekali oleh Siaukongcu.

Pada saat itu juga, mendadak berkumandang jeritan ngeri di luar anjungan. Agaknya pertarungan sengit masih terus berlangsung.

Setelah Thi Un-hou berempat menyelamatkan Po-ji tadi segera mereka mengadang di depan Bok-long-kun. Biarpun Bok-long-kun suka meremehkan orang lain, melihat sikap garang keempat orang itu, mau tak mau tertegun juga dia, tegurnya gusar, “Jadi kalian sengaja hendak ikut campur urusan ini?”

“Ya,” jawab Thi Un-hou tegas.

“Sayang, sungguh sayang!” kata Ban-lohujin tiba-tiba. “Kaum kesatria Tionggoan sejak kematian Liu Siong hingga sekarang sudah mati berpuluh orang, Pek Sam-kong pun dalam keadaan setengah mati, sampai tinggal di rumah sendiri pun tidak berani dan menghilang entah ke mana. Orang gagah yang tersisa tinggal kalian berempat saja, tak tersangka hari ini kalian pun mencari mati.”

“Betul, kami memang ingin mencari mati, silakan!” jengek Thi Un-hou.

“Eh, anak sayang, mengapa terburu-buru ....” ujar Ban-lohujin dengan gegetun.

Mulut bicara, diam-diam hati merancang apa yang harus diperbuatnya. Meski anak buah Thian-hong-pang tidak perlu dikhawatirkan, namun keempat orang ini memang sulit dibereskan.

Sampai sejauh itu Bok-long-kun juga tidak turun tangan, jelas ia pun memperhitungkan bila melulu mengandalkan tenaga sendiri pasti sulit mengalahkan keempat orang ini, biarpun ditambah Ban-lohujin juga tidak bakalan unggul, terpaksa ia menunggu Toh-liong-cu saja turun tangan sendiri.

Akan tetapi Toh-liong-cu justru tidak ambil pusing, biarpun dunia kiamat pun seperti tidak dihiraukannya, yang dipikir hanya Kiang Hong yang terus dipeluknya.

Bok-long-kun mengentak kaki dengan gemas, ia melompat ke samping si tuli, ditepuk pundaknya dan menuding Thi Un-hou, namun Toh-liong-cu tetap anggap tidak tahu.

Dengan mendongkol Bok-long-kun memaki, “Asalkan mendapatkan orang perempuan, jiwa pun tidak dipikirkan lagi oleh keparat ini.”

Ban-lohujin tersenyum, katanya, “Aku ada akal.”

Ia tepuk-tepuk pundak Toh-liong-cu, lalu membentang tangan dan membuat garis tubuh berpotongan gitar, kemudian memperlihatkan tiga jari dan mengacungkan jempol serta menuding ke dalam kabin kapal.

Isyarat tangan ini dapat dipahami setiap orang, yaitu maksudnya di dalam kapal ada tiga perempuan cantik nomor satu.

Sekali ini Toh-liong-cu memerhatikan kata isyarat Ban-lohujin itu, mendadak ia berdiri, Kiang Hong dilemparkan begitu saja ke rawa.

Waktu itu Gu Thi-wah dan adiknya masih saling pukul dan saling rangkul di dalam air, Thi-wah berseru, “Hei, Loji, apakah kau sudah punya bini?”

“Kau sudah makan belum hari ini, Lotoa?” Thi-hiong juga bertanya.

“Wah, Loji, kau sudah tumbuh semakin besar!” kata Thi-wah.

Begitulah keduanya bicara dan bertanya sendiri-sendiri, namun bicara dengan gembira, ada-ada saja yang mereka pertanyakan, namun jawaban selalu menyimpang. Sama sekali mereka tidak menghiraukan orang lain yang sedang ribut dan saling membunuh.

Ketika mendadak seorang jatuh di samping Thi-wah barulah mereka berhenti bicara, cepat Thi-wah membangunkan orang itu, ucapnya sambil tertawa lebar, “Eh, kiranya seorang cewek, aneh, mengapa tidak pakai baju?!”

Dengan sendirinya orang yang dibangunkan itu adalah Kiang Hong, karena kecebur ke dalam air, perlahan ia lantas siuman.

Ketika angin meniup dan merasa tubuhnya silir dingin dengan baju robek dan setengah telanjang, malahan berada dalam pelukan seorang lelaki gede, saking malu dan gemasnya, tanpa peduli siapa orang ini segera ia menjotosnya.

Akan tetapi ia baru siuman, tenaga masih lemah, sebaliknya pembawaan Gu Thi-wah berotot kawat bertulang besi, pukulan Kiang Hong itu seperti menggaruk gatal pada tubuhnya.

Berulang Kiang Hong memukul beberapa kali dan Thi-wah tetap tidak bergerak, bahkan merangkul terlebih erat, katanya dengan tertawa, “Eh, jangan bergerak, nanti jatuh lagi ke dalam air, bisa masuk angin.”

Selama hidup Kiang Hong mana pernah mendapat perlakuan demikian, saking gusarnya, dada merasa sesak dan kembali ia jatuh pingsan lagi.

Sambil bertepuk tangan Thi-hiong lantas berseru dengan tertawa, “Haha, cewek cantik jatuh dari langit, kebetulan dijadikan bini Lotoa ....”

Di sebelah sana Siau Bwe-jiu juga sedang berteriak, “Hai, anak dogol, lekas antar dia ke sini tentu kuberi hadiah besar ....”

“Ah, mana boleh jadi, dia punyaku ....” dengan tertawa lebar Thi-wah menjawab.

Mendadak Siau Bwe-jiu melompat ke arahnya, dan Thi-wah terus lari, meski ia tidak mahir Ginkang, namun perawakannya besar dan kakinya panjang, untuk lari di rawa-rawa begitu tentu saja lebih menguntungkan daripada orang biasa.

Sembari berlari dan meloncat, akhirnya Thi-wah menyusup ke tengah semak-semak gelagah. Siau Bwe-jiu tetap tidak dapat menyusulnya, sampai di depan semak gelagah, sia-sia saja Siau Bwe-jiu gelisah dan mendongkol, namun tidak berani sembarangan mengejar masuk ke semak gelagah yang lebat itu.

No comments: