Friday 23 January 2009

Misteri Kapal Layar Pancawarna 7


Oleh : Gan KL
Jilid 7. Ada Ubi Ada Talas, Utang Budi Harus Membalas
Published by YoKo on 2005/10/17 (1887 reads)

Sesudah berlari satu hari pula, djalanan pegunungan itu makin lama tambah berbahaja. Achirnja anak muda itu tidak sanggup mendaki lagi, terpaksa Tjia Yan-khek menggendongnja dan berlompatan dari suatu tebing ketebing jang lain dan dari suatu lereng kelereng jang lain.

Anak muda itu sampai kebat-kebit melihat lereng2 gunung jang tjuram disekitarnja itu. Terkadang kalau ketmu tempat2 jang tjuram dan mengerikan, terpaka ia pedjamkan mata dan tidak berani melihat.

Pada waktu lohor, sampailah Tjia Yan-khek dibawah sebuah tebing jang menegak tjuram, tinggi mentjakar langit. Dengan bantuan seutas rantai besi jang mendjulur dari atas tebing itu Yan-khek lantas mendaki tebing itu.

Tebing itu sesungguhnja halus litjin dan tegak, djangankan manusia, sekalipun kera djuga susah mendaki keatas. Tjoba kalau tiada rantai besi jang pandjang itu, biarpun kepandaian Tjia Yan-khek setinggi langit djuga belum tentu mampu memandjat keatas.

Sampai dipuntjak tebing itu, Tjia Yan-khek menurunkan anak muda itu, lalu katanja: “Tempat ini namanja Mo-thian-kay (tebing pentjakar langit), karena itulah aku mendapat djulukan sebagai Mo-thian-kisu (pertapa dari tebing pentjakar langit). Maka itu bolehlah tinggal sadja disini.”

Anak muda itu tjoba memandang sekitarnja, ia lihat puntjak tebing itu tjukup luas djua, tapi dikelilingi oleh kabut dan awan sehingga dirinja se-akan2 berada ditengah langit. Tanpa merasa ia mendjadi tjemas dan gelisah. Segera ia tanja: “Katanja kau akan mentjarikan ibuku dan si Kuning ?”

Tapi Tjia Yan-khek telah mendjawabnja dengan dingin : “Dunia seluas ini, kemana aku harus mentjari ibumu? Biarlah kita menunggunja disini sadja, boleh djadi pada suatu hari ibumu akan datang kesini untuk mendjenguk kau, siapa tahu ?”

Biarpun anak muda itu masih ke-kanak2an dan hidjau dalam segala hal, tapi tahu djuga bahwa dia telah diapusi oleh Tjia Yan-khek. Ditempat demikian tjara bagaimana ibunja dapat menemukan dia? Karena itu, seketika ia mendjadi terkesima.

“Kapan2 bila kau ingin pergi dari sini djuga boleh,” kata Yan-khek pula. Diam2 ia pertjaja kalau anak muda itu tak diberi makan, untuk turun kebawah tebing djuga tidak berani, achirnja anak muda itu tentu akan membuka mulut untuk memohon sesuatu padanja.

Biasanja biarpun ibu anak muda itu bersikap sangat dingin, tetapi selamanja tidak pernah mengapusi padanja. Sekarang, untuk pertama kali selama hidupnja dia telah diapusi orang, entah bagaimana perasaannja, air matanja lantas ber-linang2 dikelopak matanja, tapi sedapat mungkin ia menahannja agar air matanja tidak sampai menetes.

Ia lihat Tjia Yan-khek telah memasuki sebuah gua, selang tak lama dari dalam gua tampak mengepul keluar asap, jaitu asap orang sedang memasak. Selang sedjenak pula lantas terendus bau sedap dari dalam gua itu.

Memangnja perut anak muda itu sudah lapar, maka ia lantas masuk kedalam gua. Ia lihat gua itu sangat luas dan tjukup untuk bersembunji beberapa ratus orang.

Rupanja Tjia Yan-khek sengadja menanak nasi dan memasak daging dimulut gua dengan tudjuan memantjing selera makan anak muda itu agar meminta makan padanja. Tak terduga, anak muda itu sedjak ketjil hanja hidup berdampingan dengan ibunja sadja, pada hakikatnja dia tidak tahu tentang milikmu ataupun milikku, asal melihat makanan lantas diambilnja dan dimakan, kenapa mesti pakai minta segala. Karena itulah, demi dilihatnja diatas medja batu didalam gua itu tertaruh sepiring daging rebus dan sebakul nasi, maka tanpa permisi lagi ia lantas mengambil mangkuk dan sumpit sendiri, lalu mengisi nasi dan mengambil dan terus dimakan.

Tjia Yan-khek mendjadi tertjengang sendiri. Pikirnja: “Ia pernah mentraktir aku makan bakpau, bahakan djuga makan di restoran, kalau sekarang aku melarang dia makan masakanku tentu hal ini akan memperlihatkan kerendahan budiku sendiri.”

Karena itulah iapun tidak ambil pusing, segera ia djuga makan sendiri.

Rupanja penghidupan “berdikari” bagi anak muda itu sudah mendjadi biasa, maka sehabis makan ia lantas mentjutji mangkok, piring dan sumpit, lalu membersihkan bakul nasi dan selesai itu ia lantas pergi mentjari kaju semuanja itu dikerdjakannja seperti biasanja kalau dia hidup bersama dengan ibunja.

Sesudah mendapatkan kaju satu pikul, baru sadja dia memikulnja pulang kegua, tiba2 dari semak2 ditepi djalan melompat keluar seekor rusa. Dengan sebat sekali anak muda itu mengangkat kapaknja dan rusa itu kena dihantam mati. Segera ia menjembelih rusa itu dan ditjutji bersih dengan air selokan jang djernih, lalu dibawanja pulang kegua. Ia gantung sebelah badan rusa itu ditempat terbuka agar kena angin dan supaja tidak rusak, daging rusa jang lain ia potong2, lalu direbus didalam kuali.

Ketika mengendus bau sedapnja daging rusa rebus, Tjia Yan-khek tidak tahan lagi, ia tjoba mentjeduk satu sendok kuahnja dan mentjitjipinja. Tiba2 ia mendjadi girang dan masgul pula. Ternjata rasa kuah itu enaknja tak terkira, tjara masaknja ternjata berpuluh kali lebih pandai daripada dia sendiri.

Sungguh tak tersangka olehnja bahwa anak muda itu ternjata masih mempunjai kepandaian simpanan, kalau hidup bersama, tentu selandjutnja dia akan dapat banjak menikmati makanan enak. Tapi lantas teringat pula olehnja, djika anak muda itu dapat berburu dan memasak, tentunja djuga takkan meminta supaja diantar kebawah gunung, maka harapannja agar anak muda itu akan mengemukakan permintaannja itu mendjadi kandas lagi.

Kiranja ibu anak muda itu pintar sekali memasak, tapi tabiatnja aseran dan malas pula, lebih sering dia suruh anak muda itu memasak daripada dia turun tangan sendiri. Bila masakan anak muda itu kurang enak, dikala senang iapun suka memberi petundjuk2 tjara masak dan resep2nja, tapi diwaktu kurang senang, sedikit2 ia lantas mendamperat dan memukul anak muda itu.

Begitulah dengan tjepat beberapa hari telah lalu, selama itu anak muda itu tetap melakukan pekerdjaannja dengan baik, ia memasang perangkap untuk menangkap binatang, membikin djepretan untuk membidik burung, ternjata matjam2 dan ada2 sadja kepandaiannja sehingga setiap hari dia membikin masakan jang serba baru untuk disadjikan kepada Tjia Yan-khek. Kalau tidak habis termakan, maka sisa daging lantas dikeringkan mendjadi dendeng.

Karena kepandaian sianak muda jang serba pintar dan baru itu, Tjia Yan-khek mendjadi ter-heran2. Waktu dia menanjakan dari mana asal-usulnja kepandaian masak itu, sianak muda mendjawab bahwa semuanja itu adalah ibunja jang mengadjarkannja.

Diam2 Tjia Yan-khek tambah heran. Ia pikir kalau ibu dan anak itu sedemikian pandai memasak, maka seharusnja mereka adalah orang2 pintar, ia menduga mungkin ibunja adalah wanita kampung jang telah ditinggalkan sang suami sehingga timbul tabiatnja jang aneh dan mendjendiri, atau boleh djadi karena tabiat pembawaannja jang aneh itu maka telah ditinggalkan suaminja.

Dan karena anak muda itu djarang sekali mengadjak bitjara padanja, diam2 Tjia Yan-khek sendiri mendjadi sedih malah. Pikirnja: “Kalau urusan ini tidak lekas2 dibereskan, betapapun akan selalu merupakan antjaman bagiku. Bila pada suatu ketika anak muda itu mendapat budjukan musuhku dan mendadak dia memohon aku memunahkan ilmu silatku sendiri atau membikin tjatjat anggota badanku sendiri, wah, kan bisa tjelaka ? Atau mungkin sekali dia minta aku djangan turun dari Mo-thian-kay ini untuk selamanja, bukankah itu berarti aku akan mati konjol diatas puntjak jang terpentjil ini?”

Dalam keadaan demikian, biarpun Tjia Yan-khek adalah seorang jang tjerdik, seketika iapun tidak mendapatkan akal jang baik.

Pada suatu hari, lewat lohor, Tjia Yan-khek sedang ber-djalan2 iseng dihutan dekat guanja, sekilas dilihatnja anak muda itu sedang tengkurap diatas batu tjadas dengan tertawa2 senang menghadapi serentetan benda2.

Waktu Yan-khek memperhatikan, kiranja benda2 itu adalah ke-18 buah boneka tanah pemberian Tay-pi Lodjin tempo hari. Anak muda itu telah menaruh boneka2 itu setjara terpisah disana-sini, sebentar dia membariskan boneka2 itu, lain saat boneka itu disuruh perang2an. Sungguh asjik dan senang sekali anak muda itu dengan barang permainannja itu.

Ketika melihat diatas badan boneka2 itu penuh terdapat garis merah dan titik2 hitam, segara Yan-khek mendekatinja, benar djuga seperti apa jang telah diduganja, memang titik2 hitam itu menundjukkan berbagai Hiat-to diatas tubuh manusia dan garis merah itu adalah djalannja urat2 nadi.

Yan-khek mendjadi teringat kepada kedjadian dahulu ketika ia bertanding dengan Tay-pi Lodjin diatas gunung Pak-bong-san, kepandaian Tay-pi Lodjin tatkala itu hanja keras pukulannja dan ilmu Kim-na-djiu-hoat jang banjak perubahannja dan tjepat. Sesudah bertanding lebih satu djam, achirnja Yan-khek telah menang setengah djurus sehingga Tay-pi Lodjin lantas mundur teratur. Ilmu silat Tay-pi Lodjin memang sangat tinggi, tapi mengutamakan kepandaian luar dan bukan kepandaian dalam tau Lweekang, akan tentang tanda2 latihan Lweekang jang terlukis dibadan boneka2 itu mungkin sangat tjetek dan mentertawakan.

Segera Yan-khek mengambil salah sebuah boneka itu, ia lihat tanda2 Hiat-to dan garis2 urat nadi jang terlukis itu memang benar adalah pengantar latihan Lweekang jang tepat, pada umumnja tjara2 permulaan melatih Lweekang dari berbagai golongan dan aliran tiada banjak bedanja seperti apa jang terlukis diatas boneka2 ini dan tiada sesuatupun jang perlu dirahasiakan. Apa barangkali Tay-pi Lodjin kemudian sadar bahwa kepandaiannja jang takdapat melebihi tokoh lain adalah disebabkan kekurangannja dalam ilmu Lweekang, maka entah darimana dia telah memperoleh 18 buah boneka itu dengan maksud hendak mejakinkan Lweekang untuk mengimbangi kepandaiannja jang sudah ada. Tapi untuk mejakinkan Lweekang dengan baik toh tidak dapat disempurnakan dalam waktu singkat sadja, padahal usia Tay-pi Lodjin sampai adjalnja sudah lebih 80 tahun, maka Lweekang jang dikehendakinja itu terpaksa dilatihnja diachirat sadja. Hahaha, sungguh lutju! ~ Demikian pikir Yan-khek dan tanpa terasa achirnja ia bergelak tertawa.

Anak muda itu ikut tertawa, katanja: “Paman tua, tentunja kau geli melihat boneka2 ini berdjenggot dan bukan anak2, tapi semuanja telandjang bulat, makanja kau tertawa geli.”

“Ja, memang menggelikan”, udjar Yan-khek sambil tertawa.

Lalu ia memeriksa boneka2 lain lagi, ia lihat Hiat-to dan urat2 nadi jang terlukis diatas boneka2 itu satu sama lain ber-beda2. Jang 12 buah melukiskan Tjing-keng-tjap-dji-meh, jaitu 12 urat nadi tetap diatas tubuh manusia. Sedangkan 6 buah lainnja melukiskan enam urat nadi aneh diatas tubuh manusia, padahal urat nadi aneh itu mestinja berdjumlah delapan, jaitu apa jang disebut “Ki-keng-pat-meh”. Tapi sekarang dua urat nadi, jaitu Tjiong-meh dan Tay-meh jang paling ruwet dan paling susah dipahami itu ternjata tidak ada, djadi boneka2 itu kurang lengkap.

Diam2 Tjia Yan-khek membatin: “Boneka2 jang dianggap benda mestika dan selalu dibawa oleh Tay-pi Lodjin ini ternjata tidak lengkap. Padahal Lweekang jang dia ingin beladjar ini adalah ilmu kasaran sadja, asal dia mengundang seorang murid salah satu perguruan ilmu silat jang melatih Lweekang untuk memberi petundjuk, maka dengan mudah akan dapat dipahaminja. Tapi, ja, maklumlah, dia adalah tokoh angkatan tua jang kenamaan, masakah dia mau merendahkan diri untuk minta petundjuk kepada orang lain?”

Ia lantas terbajang lagi pada pertandingannja melawan Tay-pi Lodjin dahulu, meski achirnja dia menang setengah djurus, tapi kemenangannja itu diperoleh setjara kebetulan sadja, selama satu djam bertarung dengan mati2an itu beberapa kali ia sendiripun menghadapi bahaja maut, kalau dipikir sekarang, sungguh untung sekali baginja, tjoba kalau waktu itu Taypi Lodjin sudah mempunjai dasar Lweekang jang kuat, tentu tidak sampai setengah djam dirinja sudah dihantam terdjungkal kedalam djurang oleh Tay-pi Lodjin.

Dan baru sadja ia hendak tinggal pergi, mendadak terpikir lagi olehnja: “Djika botjah ini sedemikian senangnja memain boneka2 ini, kenapa aku tidak mengadjarkan Lweekang jang terlukis diatas boneka2 itu padanja supaja dia nanti “Tjau-hwe-djip-mo” (tenaga dalam djalan tersesat sehingga mengakibatkan kematian atau kelumpuhan) dan mungkin djuga akan binasa ? Dahulu aku tjuma bersumpah takkan menggunakan kekerasan kepada orang jang mengembalikan medali wasiat padaku, kalau sekarang dia mampus sendiri karena salah melatih Lweekang, hal ini dengan sendirinja bukan salahku dan bukan aku jang membunuhnja sehingga aku tidak melanggar sumpah. Ja, kukira djalan inilah jang paling baik”.

Demikianlah tindak-tanduk Tjia Yan-khek memangnja tergantung kepada pikirannja seketika itu sadja. Walaupun dia suka pegang teguh tentang kepertjajaan, terutama apa jang pernah dia djandjikan sendiri, tapi dalam hal tingkah laku dan tjara berpikir baginja adalah bukan apa2 dan tidak berharga sepeserpun.

Karena itulah segera ia pegang pula sebuah boneka itu dan berkata: “He, anak ketjil, apakah kau tahu apa artinja titik2 hitam dan garis2 merah diatas boneka ini?”

Anak muda itu berpikir sedjenak, kemudian mendjawab: “Boneka2 ini sedang sakit.”

“Mengapa sakit?” tanja Yan-khek dengan heran.

“Tahun jang lalu akupun pernah sakit dan sekudjur badanku timbul tutul2 merah seperti ini”, udjar sianak muda.

Yan khek mendjadi tertawa geli. Katanja: “Itu adalah sakit gabak. Tapi apa jang terlukis dibadan boneka ini bukan penjakit gabak melainkan rahasia tjara beladjar ilmu silat. Kau telah menjaksikan aku menggendong kau sambil berlari setjepat terbang, kepandaianku itu bagus atau tidak?”

Sampai disini, agar dapat memperteguh keinginan anak muda itu akan beladjar ilmu silat, maka ia lantas melontjat keputjuk sebatang pohon, dengan kaki kiri ia menahan diatas dahan, sekali menjendal, kembali ia melontjat keatas lagi, lalu menurun dengan pelahan kedahan pohon, kemudian melontjat pula keatas dan begitu seterusnja sampai beberapa kali. Pada saat itulah tiba2 diudara terbang lalu dua ekor burung geredja. Karena Tjia Yan-khek sengadja hendak memperlihatkan kepandaiannja jang tinggi, segera kedua tangannja mendjulur keatas, sekali raup, tahu2 kedua ekor burung itu sudah tertangkap olehnja. Kemudian ia melompat turun kebawah dengan enteng sekali.

“Bagus! Bagus! Kepandaian hebat!” demikian pudji sianak muda sambil menepuk tangan dan tertawa.

Waktu Yan-khek membuka telapak tangannja, segera kedua ekor burung geredja itu pentang sajap hendak terbang pergi, tapi baru sadja sajap burung itu menggelepak sekali, tiba2 dari telapak tangan Tjia Yan-khek timbul serangkum tenaga dalam sehingga kekuatan terbang burung2 itu dipunahkan.

Anak muda itu tambah senang demi melihat telapak tangan Tjia Yan-khek terbuka, tapi dua ekor burung itu hanja mengelepakkan sajap sadja dan tetap tidak sanggup meninggalkan tangannja, segera ia ber-teriak2: “Ha, bagus, bagus! Sungguh menarik, sungguh permainan menarik!”

“Sekarang kau boleh tjoba!” kata Yan-khek dengan tertawa. Lalu ia menjerahkan kedua ekor burung itu kepada sianak muda.

Segera anak muda itu memegang burung2 itu dengan kentjang dan tak berani membuka tangannja, kuatir terlepas.

“Nah, ketahuilah bahwa apa jang terlukis dibadan boneka2 itu adalah tjara melatih ilmu jang hebat”, demikian Yan-khek menerangkan dengan tertawa. “Rupanja kau telah membela tua bangka itu dengan mati2an, makanja dia berterima kasih dan menghadiahkan boneka2 itu padamu. Ini bukan barang mainan biasa, tapi adalah benda mestika jang susah dinilai. Asal kau berhasil melatih ilmu jang terlukis diatas boneka2 itu, tentu kau pun dapat membuka tanganmu dan burung2 itu takkan mampu terbang pergi.”

“Wah, menarik djuga djika demikian, aku akan tjoba2 melatihnja?” kata anak muda itu sambil membuka kedua tangannja.

Karena tangannja tidak dapat mengeluarkan tenaga dalam, dengan sendirinja kedua burung geredja itu lantas pentang sajap dan terbang keatas.

Yan-khek tertawa ter-bahak2. Tapi dilihatnja kedua ekor burung geredja jang sudah terbang meninggalkan tangan anak muda itu setinggi satu-dua meter, mendadak burung2 itu terdjungkal lurus kebawah dan kembali djatuh kedalam tangan sianak muda, burung2 itu ternjata sudah kaku, rupanja sudah mati.

Keruan kedjut Yan-khek tak terkatakan sehingga suara tertawanja berhenti seketika. Setjepat kilat ia pegang urat nadi tangan sianak muda, tangan jang lain menuding hidung anak muda itu sambil membentak: “Kau………….kau adalah murid sibangsat tua Ting Put-si, bukan? Le……….lekas mengaku!”

Biarpun Tjia Yan-khek adalah seorang gembong persilatan jang telah banjak berpengalaman, tapi bitjara tentang “sibangsat tua Ting Put-si” suaranja mendjadi agak gemetar djuga.

Kiranja dia mendjadi kaget demi melihat tjara anak muda itu membunuh kedua ekor burung geredja, terang itulah ilmu berbisa “Han-ih-bian-tjiang” (pukulan lunak berbisa dingin) jang mendjadi kemahiran Ting Put-si. Ilmu jang maha lihay dan djahat itu sampai2 saudara sekandung Ting Put-si sendiri, jaitu Ting Put-sam djuga tidak bisa. Tapi sekarang anak muda ini ternjata sedemikian mahir menggunakan ilmu itu, tampaknja paling sedikit sudah terlatih sepuluh tahun lamanja, maka pasti anak muda itu adalah ahli waris Ting Put-si.

Tjia Yan-khek tjukup kenal Ting Put-si, ilmu silat tokoh itu sangat tinggi, tindak-tanduknja aneh dan susah diduga pula, bahkan sangat kedji dan litjin, nama djulukannja jalah “Tje-djit-put-ko-si”, artinja satu hari tidak lebih dari empat, jaitu orang jang akan dibunuhnja setiap hari hanja empat sadja, djadi lebih banjak satu orang menurut ketentuan saudara sekandungnja, jaitu Ting Put-sam.

Demi terpikir bahwa anak muda ini telah memperoleh adjaran ini “Han-ih-bian-tjiang” jang mendjadi andalan Ting Put-si, andaikan botjah ini bukan keturunannja tentu adalah muridnja. Padahal medali wasiatnja sendiri itu diterima kembali dari anak muda ini, rupanja segala sesuatu ini memang sengadja telah diatur oleh Ting Put-si, sebab itulah maka betapapun didesak anak muda ini tetap tidak mau memohon sesuatu apa padanja, rupanja akan tunggu sampai saat terachir jang menentukan barulah akan dikemukakan. Besar kemungkinan saat ini Ting Put-si sendiri sudah berada diatas Mo-thian-kay.

Berpikir demikian, seketika Tjia Yan-khek mendjadi tegang, ia tjoba memandang sekelilingnja, meski tiada nampak sesuatu jang mentjurigakan, tapi sekilas itu didalam benaknja sudah timbul matjam2 pikiran: “Selama beberapa hari ini aku telah banjak memakan daharan jang dimasak oleh anak muda ini, entah didalam makanan itu dia taburi ratjun atau tidak? Djika Ting Put-si bermaksud membikin tjelaka padaku, entah rentjana apa jang telah diaturnja? Dan anak muda ini adalah alat Ting Put-si, entah apa jang akan dia minta agar aku mengerdjakannja ?”

Dalam pada itu karena pergelangan tangannja dipegang dengan kentjang sehingga seperti ditanggam, sianak muda mendjadi meringis kesakitan dan segera berseru: “Ting……………Ting Put-si apa?...........Aku…………aku tidak tahu!”

Karena gugupnja tadi, maka sekuatnja Tjia Yan-khek telah tjengkeram pergelangan sianak muda, sekarang demi ingat ada kemungkinan Ting Put-si sudah berada disekitar situ dan menjaksikan dia menganiaja seorang anak ketjil, hal ini tentu akan menurunkan deradjatnja sebagai seorang tokoh terkemuka, maka ia lantas lepas tangan dan berseru: “Mo-thian-kay ini djarang didatangi oleh orang kosen, djikalau Ting-losi sudah berada disini, mengapa tidak perlihatkan dirimu sadja?”

Ber-ulang2 ia berseru sehingga suaranja berkumandang djauh menggema lembah pegunungan itu, namun sampai lama sekali hanja terdengar suara angin men-deru2 sadja tanpa sesuatu djawaban orang.

Yan-khek tjoba mentjemput burung geredja jang sudah mati itu, ia merasa bangkai burung itu kaku dingin, ia tjoba meremasnja sedikit, bangkai burung itu berbunji kresek2, njata isi perut burung itu telah membeku mendjadi es batu. Dari ini dapat diketahui bahwa dasar kepandaian “Han-ih-bian-tjiang” jang dilatih anak muda itu sudah mentjapai tiga atau empat bagian. Djika Ting Put-si jang menggunakan ilmu berbisa itu tentu bangkai burung itu sudah membeku mendjadi es seluruhnja sampai2 bulunja sekalipun.

Diam Yan-khek terkesiap. Ia berpaling dan berkata dengan suara ramah: “Adik tjilik, tingkah lakumu sekarang sudah ketahuan, buat apalagi kau masih berlagak pilon? Lebih baik kau mengaku sadja Ting-losi itu pernah apamu?”

“Ting-losi? Aku…………aku tidak kenal, siapa dia ?” demikian djawab sianak muda.

“Baik, djika kau tidak mau mengaku, maka tjobalah kau memaki si maling tua Ting-losi itu”, kata Yan-khek.

“Kau pernah mengatakan bahwa kata2 maling tua adalah makian pada orang lain, dia toh tidak berbuat kesalahan apapun padaku, kenapa aku mesti memaki dia ?” sahut anak muda itu.

Lama2 Yan-khek djadi gemas, sungguh dia ingin sekali hantam lantas membinasakan anak muda itu. Tapi lantas terpikir pula: “Rupanja Ting Put-si pertjaja akau takkan mengingkar kepada sumpahku sendiri dan takkan mengganggu orang jang mengembalikan medali wasiat padaku, makanja ia menjuruh anak muda ini ikut aku ketas tebing ini tanpa kuatir.”

Sebenarnja Tjia Yan-khek hanja saling mengenal nama sadja dengan Ting Put-si dan tidak pernah bertemu muka, maka diantara mereka djuga tiada selisih paham atau permusuhan apa2. Tapi demi teringat dirinja mungkin sudah terdjeblos didalam perangkap Ting Put-si jang terkenal kedji itu, mau-tak-mau Yan-khek lantas merinding.

Kemudian ia tanja pula kepada sianak muda: “Adik tjilik, kau punja ‘Han-ih-bian-tjiang’ ini sungguh sangat lihay, sudah berapa tahun kau melatihnja?”

“Apa itu ‘Han-ih-bian-tjiang’? Entahlah, aku tidak tahu”, sahut sianak muda.

Muka Tjia Yan-khek berubah masam, katanja dengan aseran: “Kalau ditanja, semuanja kau djawab tidak tahu. Memangnja kau anggap aku orang she Tjia ini manusia goblok ?”

“Ada apakah engkau marah2 padaku? Sung………….sungguh aku tidak tahu. Ah, barangkali karena aku membikin mati kedua ekor burung jang kau tangkap itu. Tapi kepandaian paman tua sangat hebat, maukah engkau terbang keudara untuk menangkap dua ekor lagi. Bukankah engkau menjatakan hendak mengadjarkan tjaranja menangkap burung sehingga burung2 itu tidak dapat terbang dari telapak tanganku.”

“Bagus, biarlah aku lantas mengadjarkan kepandaian ini padamu”, kata Yan-khek. Lalu ia ambil sebuah boneka jang terlukis Hiat-to dan urat2 nadi itu, katanja pula: “Ilmu ini tidak susah untuk dilatih, djauh lebih gampang daripada kau melatih ‘Han-ih-bian-tjiang’. Ini, sekarang aku mengadjarkan apalannja padamu, asal kau ingat dengan baik, lalu melatihnja menurut titik hitam dan garis2 merah jang terlukis dibadan boneka ini, tentu dalam waktu singkat kau akan dapat menguasainja.”

Segera ia mengadjarkan satu kalimat demi satu kalimat apalan sedjurus ilmu “Yam-yam-kang” padanja.

Tak terduga sianak muda itu tampaknja tjukup tjerdas, pula sudah memiliki beberapa bagian dasar ‘Han-ih-bian-tjiang’. Namun entah pura2 bodoh atau memang sungguh2 ternjata dalam hal Hiat-to, urat nadi, tjara bernapas dan mengerahkan tenaga, sama sekali ia tidak betjus.

Sebabnja Tjia Yan-khek hendak mengadjarkan “Yam-yam-kang” padanja, jaitu sematjam ilmu jang bertenaga dalam maha panas, tudjuannja ialah ingin memunahkan tenaga dingin jang ditimbulkan Han-ih-bian-tjiang jang telah dimiliki anak muda itu, lalu akan dibikinnja pula agar tenaga dalam jang maha panas itu sesat keurat nadi jang salah sehingga antara panas dan dingin saling bertentangan, akibatnja anak muda itu tentu akan binasa.

Sudah tentu “Yam-yam-kang” itu tak dapat dilatih dengan baik dalam waktu singkat, untuk bisa mengimbangi “Han-ih-bian-tjiang” jang dimilikinja sekarang sedikitnja harus berlatih selama beberapa tahun, kalau tidak tentu tidak tjukup untuk membinasakan anak muda itu. Tapi sekarang anak muda itu mengaku sama sekali tidak paham apa2 tentang Hiat-to dan sebagainja, diam2 Tjia Yan-khek mendongkol. Sekarang kau berlagak bodoh, kelak kalau kau sudah tahu rasa barulah kenal kelihayanku. Demikian pikirnja.

Karena itu iapun berlaku sabar sedapat mungkin dan mendjelaskan tempat2 letak Hiat-to jang bersangkutan menurut apa jang terlukis dibadan boneka itu.

Dalam keadaan demikian anak muda itu ternjata tidak bodoh lagi, tapi dapat memahami dengan tjepat, ingatannja djuga tjukup kuat. Lalu Yan-khek mengadjarkan pula tjaranja mengatur pernapasan dan suruh anak muda itu berlatih sendiri.

Untuk selandjutnja, tiap2 hari selain melatih ilmu2 itu seperti biasa iapun pergi berburu, lalu memasak, sedikitpun tidak menjurigakan ilmu jang diadjarkan oleh Tjia Yan-khek padanja itu.

Semula Tjia Yan-khek merasa kuatir kalau Ting Put-si datang ke Mo-thian-kay untuk menjerangnja, untuk mendjaga kemungkinan itu maka ia telah mengerek rantai besi jang pandjang itu keatas.

Sang waktu berlalu dengan tjepat, hari berganti bulan dan bulan berganti musim, dalam sekedjap sadja setahun sudah lalu, selama itu tiada seorangpun jang berusaha naik keatas tebing jang tjuram itu, bahkan diatas Mo-thian-kay seluas belasan li itupun tiada terdapat orang asing.

Karena persediaan beras dan garam sudah hampir habis, Tjia Yan-khek terpaksa harus membelinja kebawah gunung. Tapi ia tidak tega membiarkan anak muda itu tinggal sendiri diatas gunung, kuatir kalau ada orang datang kesitu dan mentjuliknja, djika terdjadi demikian, hal ini berarti dia menjerahkan mati-hidupnja sendiri kepada orang lain. Sebab itulah ia lantas mengadjak anak muda itu kemanapun dia pergi. Ia membeli bahan makanan seperlunja ditambah minjak dan garam, badju, sepatu, dan kaos kaki. Selam turun gunung Tjia Yan-khek selalu berlaku waspada, namun mereka dapat pulang keatas gunung tanpa mengalami halangan apa-apa.

Keadaan begitu telah mereka lewatkan lagi selama beberapa tahun. Dalam setahun mereka suka turun gunung satu-dua kali, habis belandja apa jang perlu mereka lantas tjepat2 pulang keatas gunung lagi.

Sementara itu usia anak muda itu sudah mendjadi 18-19 tahun, perawakannja sekarang tinggi besar, kekar dan kuat, bahkan lebih tinggi daripada Tjia Yan-khek.

Selama itu Tjia Yan-khek tetap berlaku hati2 sekali, diwaktu malam dia tidak tidur bersama didalam satu gua. Diwaktu makan djuga mesti membiarkan anak muda itu mentjobanja dahulu untuk membuktikan didalam makanan itu tiada diberi ratjun. Sehabis itu baru dia berani makan daharan jang disadjikan itu.

Se-hari2 selain mengadjarkan lweekang kepada anak muda itu, untuk omong iseng sadja ia merasa enggan.

Untungnja anak muda itu sedjak ketjil djuga telah diperlakukan setjara dingin oleh ibunja seperti sikap Tjia Yan-khek sekarang. Maka ia tidak merasakan kedjanggalan atas perlakuan Tjia Yan-khek itu. Malahan ibunja sering mendamperat dan memukul dia, sebaliknja Tjia Yan-khek tidak banjak bitjara, tidak tertawa dan tidak marah padanja.

Karena tiada pekerdjaan lain, maka selain berburu dan memasak, kerdja anak muda itu hanja berlatih Lweekang untuk melewatkan tempo jang senggang. Sesudah beberapa tahun, lambat laun “Yam-yam-kang” jang dilatihnja itupun hampir mendekati selesainja.

Tjia Yan-khek sendiri sedjak dulu mengalami sesuatu urusan jang mengetjewakan pada waktu dia berusia 30 tahun, lalu dia tirakat diatas Mo-thian-kay dan djarang lagi berkelana didunia Kangouw. Tapi selama beberapa tahun terachir ini, setiap kali terpikir ada kemungkinan dia sedang diintjar oleh seorang tokoh aneh seperti Ting Put-si, maka siang dan malam dia selalu kebat kebit dan hidup tidak tenteram, terpaksa setiap saat iapun selalu waspada. Maka selain dia giat berlatih ilmu silat perguruannja sendiri, ia mejakinkan pula tiga matjam Tjiang hoat (ilmu pukulan dengan tangan terbuka) dan Kun hoat (ilmu pukulan dengan kepalan) jang chusus digunakan menghadapi Lweekang lawan jang berbisa dingin.

Dalam waktu beberapa tahun bukan sadja Yam-yam-kang jang dilatih sianak muda sudah hampir selesai, bahkan kekuatan Tjia Yan-khek sendiri djuga madju pesat, djauh berbeda kalau dibandingkan pada waktu ia bertemu dengan sianak muda dahulu.

Pagi hari itu Yan-khek melihat sianak muda sedang berduduk diatas batu tjadas disebelah timur sana dan asjik melatih. Dari ubun2 anak muda itu tampak mengepulkan uap tipis. Itulah tanda tenaga dalam jang dijakinkan itu sudah mentjapai tarap jang masak. Diam2 Yan-khek membatin: “Anak setan, sekarang sebelah kakimu sudah berada diambang pintu achirat.”

Ia tahu latihan anak muda itu baru akan selesai mendjelang lohor nanti, maka ia lantas tinggal pergi. Ia gunakan Ginkang jang tinggi dan berlari sampai ditengah hutan tjemara jang berada dibelakang puntjak gunung.

Tatkala itu embun belum lagi kering seluruhnja, hawa masih sedjuk segar. Yan-khek menghirup napas dalam2, lalu dihembusnja kembali dengan pelahan. Habis itu mendadak sebelah tangannja menjodok kedepan, menjusul tangan jang lain djuga memukul dengan tjepat, badannja lantas menggeser pula mengikuti pukulan2nja itu dan menjusur kian kemari ditengah pohon2 tjemara itu. Makin lama makin tjepat larinja dan kedua tangannja djuga naik-turun bekerdja dengan teratur, terdengar suara “tjrat-tjret” jang perlahan, pukulan2nja tiada hentinja diarahkan kebatang pohon. Larinja bertambah tjepat, sebaliknja makin lama pukulannja makin lambat. Djadi kakinja bekerdjanja tambah tjepat, sebaliknja tangannja makin pelahan bergeraknja. Tapi tjepatnja tidak ter-buru2, sedangkan pelahan tidak mengurangi keganasannja. Njata ilmu silatnja sekarang sudah mentjapai puntjaknja kesempurnaan.

Saking semangatnja mendadak Tjia Yan-khek bersuit njaring, “plak-plak”, dua kali pukulannja tepat mengenai batang pohon tjemara, seketika terdengar suara gemersik, lidi tjemara telah rontok sebagai hudjan. Tapi Yan-khek lantas keluarkan ilmu pukulannja, beribu2 lidi tjemara itu telah dipukul mumbul kembali keudara.

Dari atas pohon lidi tjemara itu masih terus bertebaran djatuh, tapi tetap takbisa djatuh ketanah karena terguntjang kembali keatas oleh angin pukulan Tjia Yan-khek.

Hendaklah maklum bahwa lidi tjemara itu mempunjai bobot dan ketjil, tidak seperti daun pohon biasa jang enteng dan mudah kabur terbawa angin. Tapi sekarang angin pukulan Tjia Yan-khek itu mampu membikin lidi tjemara sebanjak itu kabur keatas, njata sekali tenaga dalamnja sudah dapat dikeluarkan dengan menurut sesuka hatinja.

Begitu banjak lidi tjemara jang berterbaran itu sehingga berubah mendjadi suatu gulungan bajangan jang membungkus rapat disekeliling tubuh Tjia Yan-khek. Agaknja dia sengadja hendak mengudji sampai betapa hebatnja Lweekang jang telah dijakinkannja selama ini, maka ia masih terus mengerahkan tenaga dalam, lidi tjemara itu diperlebar dan didorong lebih kedepan.

Dengan meluasnja lingkaran bajangan lidi tjemara, dengan sendirinja tenaga dalamnja mendjadi susah dikuasai setjara merata, maka lidi tjemara jang berada paling luar itu lantas bertebaran djatuh kebawah. Tapi mendadak Yan-khek menarik napas dalam-dalam dan tenaganja tiba2 terpentjar tjepat keluar sehingga lidi tjemara jang djatuh itu dapat ditjegah.

Sungguh girang sekali Tjia Yan-khek, ia terus mengerahkan tenaga dalamnja, ia merasa setiap gerak-gerik kaki dan tanganja dapat dilakukan dengan lantjar, djiwa raganja se-akan2 sudah bersatu padu tak terpisahkan lagi.

Sampai agak lama djuga, ketika dia mulai menahan tenaganja, mulailah lidi tjemara itu bertebaran djatuh ketanah sehingga berwujud sebuah lingkaran hidjau disekelilingnja.

Selagi Yan-khek ber-seri2 puas atas Lweekangnja sendiri itu, se-konjong2 air mukanja berubah hebat. Ternjata entah sedjak kapan, tahu2 disekelilingnja sudah berdiri sembilan orang. Kesembilan orang ini semuanja bersendjata dan sedang memandang kearahnja tanpa berkata.

Dengan kepandaian Tjia Yan-khek jang sudah sedemikian tingginja, djangankan orang hendak mendekati dia, andaikan masih sedjauh satu-dua li tentu djuga akan diketahui olehnja. Soalnja tadi ia sedang asjik mengerahkan tenaga dalamnja untuk melatih sedjurus “Pek-tjiam-djing-tjiang” (ilmu pukulan djarum hidjau), perhatiannja terpusat kepada ilmunja itu sehingga kedatangan orang2 jang sama sekali tak disangkanja itu tak diketahuinja.

Padahal Mo-thian-kay itu selamanja tak pernah dikundjungi orang luar. Sekarang mendadak kedatangan tamu tak diundang sebanjak itu, maka Yan-khek insaf pendatang2 itu tentu tidak bermaksud baik. Tapi ia mendjadi besar hati pula ketika diketahui pendatang2 itu berdjumlah sembilan orang. Maklum, selama beberapa tahun ini jang dia kuatirkan hanja Ting Put-si jang berdjuluk “Tje-djit-put-ko-si” itu. Ia tahu betul, baik Ting Put-si maupun Ting Put-sam selamanja suka djalan sendirian dan tidak pernah bergerombol dengan orang banjak. Kedua saudara sekandung itupun tidak akur satu sama lain dan djarang berada bersama. Sekarang pendatang2 itu berdjumlah sembilan orang, terang diantara mereka tiada terdapat Ting Put-si, karena itulah iapun tidak perlu djeri lagi.

Waktu dia perhatikan lebih djauh, tiba2 ia mengenali tiga orang diantaranja, jaitu seorang tinggi kurus, seorang Todjin dan seorang bermuka djelek. Itulah tiga orang jang telah mengerojok dan membinasakan Tay-pi Lodjin dahulu. Yan-khek ingat betul menurut pengakuan mereka kepada Tay-pi Lodjin bahwa mereka adalah orang2 Tiang-lok-pang.

Sesaat itu timbul matjam2 pikiran dalam benak Tjia Yan-khek. Tak peduli siapapun djuga, kalau datangnja keatas Mo-thian-kay itu dilakukan setjara diam2, terang ini terlalu memandang rendah kepadanja dan tidak gentar untuk memusuhinja. Padahal selamanja dia tiada permusuhan apa2 dengan pihak Tiang-lok-pang. Lalu apa maksud tudjuan kedatangan mereka ini? Djangan2 seperti halnja Tay-pi Lodjin, merekapun akan memaksanja masuk menjadi anggota Tiang-lok-pang mereka?

Ia menaksir kekuatannja tjukup untuk menghadapi ketiga orang jang sudah dikenalnja itu. Tapi bagaimana harus melajani pula keenam orang jang lain?

Dilihatnja usia keenam orang jang lain itu semuanja sudah lebih 40 tahun, dua diantaranja terang memiliki Lweekang jang tinggi.

Kemudian ia lantas menjapa dengan tersenjum: “Apakah saudara2 ini adalah sobat dari Tiang-lok-pang? Maafkan aku tidak menjambut kedatangan kalian setjara mendadak ini. Entah ada kepentingan apa, mohon pendjelasan.”

Kesembilan orang itu serentak membalas hormat. Tadi mereka telah menjaksikan tenaga dalam Tjia Yan-khek ketika memainkan “Pek-tjiam-djing-tjiang” tadi. Mereka tidak menjangka kalau Tjia Yan-khek sedang memusatkan perhatian dalam latihannja itu sehingga tidak tahu akan kedatangan mereka, sebaliknja mereka mengira Tjia Yan-khek sengadja tidak gubris dan anggap enteng datangnja mereka itu. Segera seorang tua diantaranja jang berbadju kuning mendjawab: “Kedatangan kami ini terlalu kurang sopan, diharap Tjia-siansing suka memaafkan.”

Melihat dandanan orang tua itu, mukanja putjat, bitjaranja lemah seperti orang jang berpenjakitan, tiba2 Yan-khek ingat seseorang, segera ia bertanja: “Apakah tuan ini adalah “Tiok-djiu-seng-djun” Pwee-tayhu?”

Orang tua itu memang betul “Tiok-djiu-seng-djun” (sekali pegang lantas sembuh) Pwe-tayhu, sitabib sakti she Pwe. Nama lengkapnja adalah Pwe Hay-tjiok.

Ia merasa bangga djuga demi mengetahui Tjia Yan-khek mengenal namanja. Ia batuk2 dua kali, lalu mendjawab: “Ah, Tjia-siansing terlalu memudji sadja. Djulukan “Tiok-djiu-seng-djun” itu sungguh malu aku menerimanja.”

“Pwe-tayhu terkenal suka bertindak sendiri kemanapun pergi untuk menolong derita sesamanja, entah sedjak kapan djuga telah masuk kedalam Tiang-lok-pang?” tanja Yan-khek.

“Kekuatan seorang adalah terbatas, tapi kalau kekuatan orang banjak bergabung untuk kesedjahteraan sesama manusia, maka kekuatan ini tentu akan besar,” sahut Pwe Hay-tjiok. “Tjia-siansing, kedatangan kami ini memang terlalu sembrono, diharap engkau djangan marah. Sudah tentu kedatangan kami ini ada urusan penting jang harus disampaikan kepada Pangtju kami, maka sudilah Tjia-siansing menghadapkan kami kepada beliau.”

“Siapakah gerangan Pangtju kalian ?” Yan-khek menegas dengan heran. “Mungkin Tjayhe sudah terlalu djarang berkecimpung dikangouw, maka pengetahuanku mendjadi tjetek sehingga nama Pangtju kalian djuga tidak tahu. Tapi mengapa kalian mentjarinja kesini ?”

Kesembilan orang itu tampak kurang senang atas djawaban Yan-khek itu. Pwe Hay-tjiok me-raba2 djenggotnja jang pendek itu sambil batuk2 beberapa kali, lalu katanja pula: “Tjia-siansing, Tjiok-pangtju kami adalah kawan karibmu dan selalu berada bersama, dengan sendirinja segenap anggota Tiang-lok-pang kami djuga sangat menghormati Tjia-siansing dan tak berani kurang sopan sedikitpun. Tentang gerak-gerik Tjiok-pangtju kami, sebagai kaum bawahan selamanja kami tidak berani ikut tjampur. Soalnja adalah karena Pangtju sudah terlalu lama meninggalkan markas dan banjak urusan jang menantikan penjelesaiannja, ditambah lagi pada saat ini ada dua urusan maha penting jang mendesak, maka……..makanja begitu mendapat kabar bahwa Tjiok-pangtju berada diatas Mo-thian-kay sini, segera djuga kami menjusul kesini dengan tjepat.”

1 comment:

Anonymous said...

maaf klo komentar saya ga berkenan...
tapi koq ini pake ejaan jaman baheula yah ? ^^;

diterjemahkan taon berapakah ini ?
perasaan taon 80an aja udah pake ejaan yang disempurnakan, koq masih ada juga "Artifak" yg selamat sampe abad 21 ini ^^;