Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 5

Oleh : Tjan ID

“Dalam soal apa.....”

“Sebenarnya aku datang untuk menanyakan soal lebah tersebut, lebah itu penting sekali artinya, bila kalian tak bisa membayar ganti rugi, aku kuatir bisa........ bisa..........”

“Bisa apa?” tukas Tang Cuan sambil maju.

Tampaknya gadis berbaju hijau itu tak mampu bersikap galak terhadap Cu Siau-hong, apalagi pemuda itu memang tampan, halus, dan terpelajar, kata-katanya halus dan penuh kesopanan, hal mana sungguh sulit baginya untuk mengumbar hawa amarah.

Berbeda dengan Tang Cuan yang serius dan kata-katanya tegas dan kasar, begitu ia membentak, gadis itu segera merasa bahwa kesempatannya untuk mengumbar amarah telah tiba. Katanya kemudian dengan dingin :

“Kalian harus menggantinya, jika tak mampu, maka akan kami bunuh orang yang telah membunuh lebah-lebah kami itu!”

“Tapi Suhu kami yang membunuh lebah-lebah tersebut, padahal Suhu kami telah mati sekarang.”

“Kau toh belum mati? Hari itu kau hadir pula di sana, maka jika lebah itu tidak diganti, akan kutangkap kau untuk mempertanggungjawabkan diri.....”

Tang Cuan segera mengerutkan dahinya ingin mengumbar amarah, tapi ketika sampai di bibir, kata-kata tersebut segera ditelan kembali.

“Lebah apaan yang sedang kalian ributkan?” tiba-tiba Pek Bwe muncul sambil menegur, “sesungguhnya apa yang telah terjadi?”

“Suatu hari, Suhu membawa kami pergi ke belakang bukit untuk belajar melepaskan senjata rahasia, waktu itu kami pergunakan lebah sebagai sasaran, siapa tahu ternyata lebah itu adalah lebah-lebah peliharaan orang......” kata Tang Cuan.

“Oh, ada peristiwa semacam ini?” seru Pek Bwe.

Tang Cuan manggut-manggut, maka secara ringkas ia menceritakan kembali kejadian tersebut.

Ketika selesai mendengar cerita itu, Pek Bwe menghembuskan napas panjang, lalu ujarnya :

“Siau-hong coba temui nona cilik itu dan ajaklah berbicara, tanya dulu maksud kedatangannya!”

Cu Siau-hong mengiakan, ia lantas maju ke depan dan memberi hormat, kemudian ujarnya :

“Nona, Suhu kami baru saja tewas dibunuh orang, suasana kesedihan masih menyelimuti hati kami semua, apakah Nona bersedia menerangkan maksud kedatanganmu hari ini?”

“Aku kuatir kalian lupa dengan persoalan ini sehingga berakibat yang fatal, maka sengaja ku datang kemari untuk mengingatkan kalian kembali, sungguh tak disangka kalian baru saja ketimpa musibah, aku masih mengira Koay-pepek membohongi aku, ternyata dugaannya memang tepat.”

“Apa yang ia tebak?”

“Ia bilang kalian sedang ketimpa musibah di tempat ini.”

“Oooh....... dari mana ia bisa tahu?”

“Tentang soal itu aku kurang begitu jelas, ia tinggal di luar hutan sebelah sana, sehingga tiap orang yang melewati hutan tersebut pasti akan terlihat olehnya.”

Sementara itu Pek Bwe telah berjalan menghampiri gadis itu.

Sedang Seng Tiong-gak dan Pek Hong meski tidak bergerak, namun mereka ikut mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama.

Cu Siau-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah mendengar perkataan itu, tapi ia berusaha mengendalikan hatinya, pelan-pelan katanya lagi :

“Nona, empek Koay tersebut adalah manusia seperti apa?”

Betul si nona berbaju hijau itu tidak berpengalaman, ternyata otaknya amat cerdas, sambil tertawa dia lantas menegur :

“Kalian curiga kepadanya?”

Pertanyaan yang diajukan secara langsung dan terbuka ini, tentu saja membuat Cu Siau-hong rada gelagapan, sesudah termenung sejenak ia baru menyahut :

“Aku bukannya curiga, hanya kami rasakan hal ini merupakan suatu keanehan, pertama ketika kami lewati hutan hari itu, tidak dijumpai orang tersebut, kedua ia pun tidak kenal dengan mendiang guru kami, kenapa ia bisa tahu tentang peristiwa ini?”

“Apakah kau tidak mendengar dengan sesama? Ia bernama Koay-pepek karena dia adalah seorang pincang, gerak-geriknya sangat tidak leluasa......”

“Kalau memang gerak-geriknya tidak leluasa, kenapa ia tinggal di dalam hutan?”

“Tempat tinggalnya aneh sekali, beberapa batang pohon besar telah dijadikan satu olehnya, kemudian di atas dahan pohon itu dibangun beberapa tempat tinggal, di sana sini dia pun memasang banyak sekali alat-alat rahasia sehingga siapa pun yang tak tahu keadaan sebenarnya, tak nanti bisa mengelabuinya........”

Sudah jelas sekarang, orang yang disebut empek Koay itu adalah seorang tokoh persilatan yang lihay dengan kepandaian yang luar biasa, semua orang menjadi tertegun olehnya.

Gadis baju hijau itu melirik sekejap ke arah Cu Siau-hong, kemudian berkata lebih jauh.

“Ia pandai melihat garis muka orang, pintar pula meramalkan nasib orang, bahkan ramalannya tepat sekali, cuma sayang kedua kakinya lumpuh dan tak bisa berjalan, sering kali kubantu dirinya melakukan pekerjaan, maka hubungan kami akrab sekali, kecuali aku, hanya seekor monyet putih yang menemaninya selama ini.”

Mencorong sinar tajam dari balik mata Pek Bwe setelah mendengar keterangan tersebut, tapi hanya sejenak kemudian telah lenyap tak berbekas, katanya kemudian :

“Nona, apakah kau bisa membawa kami untuk bertemu dengannya?”

Gadis berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang kali.

“Tidak mungkin,” sahutnya, “dia tak nanti mau bertemu dengan orang luar, ia pernah bercerita kepadaku agar tidak menceritakan tentangnya kepada orang lain, hatinya pasti akan merasa sedih.”

“Dari mana ia bisa tahu kalau mendiang Suhu kami bakal tertimpa musibah?” tanya Cu Siau-hong lagi.

“Ia pernah melihat kalian lewat di hutan sana, maka sewaktu aku datang kemari tadi telah bertemu dengannya, ia bilang Suhumu telah tewas dan tidak mengijinkan aku kemari, tapi aku ingin datang kemari.”

“Siau-hong,” Pek Bwe segera berbisik, “cobalah minta kepada nona ini untuk menghantar kita menjumpai tokoh sakti tersebut.”

Cu Siau-hong mengangguk, kepada gadis berbaju hijau itu katanya kemudian :

“Nona, aku tahu kau pasti akan merasa serba susah, cuma, kami benar-benar ingin berjumpa dengannya, bersediakah kau untuk membantu kami........”

Nona berjubah hijau itu menundukkan kepalanya dan tidak menyahut, wajahnya menunjukkan serba salah.

Jelas ia dibuat kesulitan untuk menampik permintaan pemuda tersebut, sehingga untuk sesaat lamanya menjadi serba salah.

Pek Hong yang melihat kejadian itu segera berbisik :

“Ayah, coba lihatlah keadaannya itu, jangan terlalu menyusahkan orang lain.”

“Sstt, jangan kau urusi soal ini,” tukas Pek Bwe sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

Pek Hong cukup memahami watak ayahnya, ia tahu ayahnya sampai menyulitkan orang, hal ini pasti disebabkan oleh alasan tertentu, maka ia pun tidak berbicara lagi.

Agaknya Cu Siau-hong merasa tidak tega juga melihat kesulitan si nona itu, sambil menghela napas dia pun berkata lagi :

“Nona bila kau benar-benar merasa keberatan, aku tak akan memaksa dirimu!”

Pelan-pelan gadis berbaju hijau itu mendongakkan kepalanya, kemudian bertanya :

“Hanya kau seorang yang hendak menjumpainya?”

“Juga Lohu!” cepat Pek Bwe menyambung.

“Kau juga ingin ikut?”

Setelah menghela napas panjang, gadis itu berkata lagi :

“Aku telah menyaksikan semua peristiwa yang kalian alami, memang kejadian itu betul-betul mengenaskan dan memedihkan hati, kalian tentu tak punya waktu lagi untuk mencari lebah-lebah tersebut.”

“Yaa, kami memang mempunyai kesulitan tersebut.”

“Tapi jika kalian tak dapat menyerahkan lebah-lebah itu, jika Ouyang-pepek sampai marah mungkin kesulitan lebih besar bakal kalian jumpai untuk mengatasi persoalan ini, hanya Koay-pepek yang bisa mencarikan akal untuk mengatasinya.”

“Ooo.......”

“Aku sebenarnya juga ingin membawamu untuk pergi memohon bantuan kepadanya, tapi aku tak tahu apakah ia bersedia membantumu atau tidak.”

“Apakah empek Koay kenal dengan Ouyang-sianseng?” tanya Cu Siau-hong kemudian.

“Semestinya kenal, cuma belum pernah kujumpai mereka berdua saling bercakap-cakap.

“Bila nona bermaksud demikian, kami semua pasti akan merasa berterima kasih sekali.”

“Baiklah!” kata nona berbaju hijau itu kemudian, “akan kuajak kalian berdua untuk menjumpainya, tapi wataknya sangat buruk, setelah bertemu nanti kalian musti banyak bersabar.”

“Terima kasih atas petunjuk dari Nona!”

Pek Bwe mendehem pelan, lalu berkata :

“Hong-ji, kini pintu tempat Ling-kang bersemayam telah ditutup, kau tak usah tinggal di sini lagi, ikut saja dengan Yu-tongcu kembali ke kota Siang-yang, sedang aku dan Siau-hong setelah bertemu jago lihay itu akan menyusul pula ke kota Siang-yang.”

“Locianpwe, apa perlu membawa orang lebih banyak?” bisik Seng Tiong-gak lirih.

“Tidak perlu........”

Ia merendahkan suaranya dan melanjutkan kembali :

“Tiong-gak, pesan kepada Yu Lip agar jangan menceritakan kejadian ini kepada siapa pun, kemungkinan besar orang yang dimaksudkan nona itu adalah Koay-sian (dewa pincang) yang sudah tiga puluh tahun lamanya lenyap, terutama di dalam hal ilmu perbintangan dan ilmu meramal nasib, ia memiliki kemampuan yang melebihi siapa pun. Empat puluh tahun berselang, Lohu kesempatan untuk bertemu muka sekali dengannya, atas petunjuknya pula aku berhasil menghindari suatu bencana yang amat besar.”

“Boanpwe mengerti, silakan Locianpwe berangkat!”

Di bawah petunjuk dari nona berbaju hijau itu, berangkatlah Pek Bwe dan Cu Siau-hong menuju ke hutan.

Ketika mereka tiba di depan hutan, gadis berbaju hijau itu kembali berkata :

“Harap kalian tunggu sebentar di sini, akan kuberitahukan dulu kunjungan kalian kepada empek Koay!”

Sehabis berkata, ia masuk ke dalam hutan.

Memandang bayangan punggung si nona hingga lenyap dari pandangan, Cu Siau-hong berkata agak kuatir :

“Locianpwe, jika ia enggan berjumpa dengan kita, apa yang musti kita lakukan?”

“Yaa, lihat saja nanti apa kita lagi mujur atau tidak! Jika ia bersikap keras tak mau berjumpa, sekalipun kita dapat berjumpa dengannya juga percuma.”

“Kalau begitu, Locianpwe kenal dengan orang itu?”

“Bila dugaanku tidak salah, dia adalah Dewa Pincang yang amat tersohor dalam dunia persilatan di masa lalu, tiga empat puluh tahun berselang, pena wasiat Cun-ciu-pit pernah menyampaikan sepatah kata sindiran atas kepandaian ilmu meramalnya, justru karena kata sindiran itu terpaksa ia musti mengundurkan diri dari keramaian dunia. Tak disangka ternyata ia berdiam di bukit Liong-tiong-san. Dulu, ketua Siau-lim-pay yang lalu pernah mengajaknya berkunjung ke kuil Siau-lim-si tanpa sekehendak hatinya, karena itulah meski sudah tiga bulan ia berdiam di situ tak sepatah kata pun yang diucapkan.”

Sementara pembicaraan masih berlangsung dengan langkah cepat gadis berbaju hijau telah muncul kembali.”

“Cu-kongcu!” katanya, “empek Koay bersedia menjumpaimu!”

“Nona cilik, apakah Lohu juga disinggung?” tanya Pek Bwe.

“Ya, kau juga disinggung!”

“Lantas apa katanya?”

“Sebenarnya ia enggan bertemu denganmu, akulah yang memohon berulang kali kepadanya sebelum ia menyanggupi juga, cuma ia minta aku untuk menyampaikan sepatah kata kepadamu................”

“Tunggu sebentar, apakah ia menanyakan bentuk wajahku?” tukas Pek Bwe.

“Benar!”

“Nah, kalau begitu teruskan!”

“Ia minta aku untuk menyampaikan kepadamu, bahwa sesudah berjumpa nanti maka kau hanya diperbolehkan mengajukan dua pertanyaan, sebab itu kau musti berpikir baik-baik sebelum berbicara.”

“Baik, Lohu sudah mengerti!”

Maka gadis berbaju hijau itu pun membawa mereka berdua menuju ke dalam hutan.

Sepanjang jalan Cu Siau-hong memperhatikan sekeliling tempat itu dengan seksama, dia ingin tahu kenapa kedatangannya tempo hari diketahui orang tanpa ia sendiri mengetahuinya, hal mana amat tidak memuaskan hatinya selama ini.

Sebab itulah, begitu masuk ke dalam hutan, biji matanya segera berputar ke sana kemari memperhatikan dengan sesama :

Melihat itu, tersenyumlah si nona berbaju hijau.

“Kau tak akan menemukan jejaknya,” ia berseru, “dia bersembunyi di balik dedaunan yang rimbun, lagi pula sering kali berpindah tempat.”

“Nona!” bisik Cu Siau-hong, “jika seseorang harus bergerak di tengah dedaunan yang rimbun, apakah perbuatannya itu tak akan menimbulkan suara?”

“Tidak mungkin, tubuh empek Koay kurus, kurus sekali, ditambah lagi semua peralatan yang dimilikinya, sekalipun ia melompat-lompat juga tak akan menimbulkan suara apa-apa.”

Cu Siau-hong segera menghembuskan napas panjang.

“Oooh...... kiranya begitu!” ia berbisik.

Dalam pembicaraan itu sampailah mereka di bawah sebatang pohon yang sangat besar.

Sambil menuding ke arah pohon besar itu, nona berbaju hijau tersebut berkata :

“Tunggu saja kalian di situ!”

“Apakah ia di atas pohon besar ini?” tanya Cu Siau-hong sambil mendongakkan kepalanya memperhatikan pohon besar itu.

“Benar!” gadis baju hijau itu lantas mengadah dan berteriak keras, “empek Koay, kami berada di sini!”

Sreet! Sreet! di antara bunyi gemeresik, sebuah tempat duduk yang terbuat dari rotan telah dikerek turun dari atas pohon besar itu.

“Cu-kongcu, silakan duduk di sana!” ujar gadis berbaju hijau itu kemudian sambil tertawa.

“Oooh..........!” Cu Siau-hong segera duduk dalam keranjang tali.

“Empek Koay pernah bilang, setelah duduk di atas kursi ini maka setiap orang musti pejamkan mata dengan begitu keranjang tersebut baru akan bergerak naik ke atas, ia baru boleh membuka matanya kembali bila keranjang itu telah berhenti,” kata si nona.

Cu Siau-hong mengerti, rupanya orang itu kuatir kalau rahasia peralatannya ketahuan orang, maka ia pun pejamkan matanya, bahkan memejam rapat-rapat dengan niat sungguh-sungguh.

Pelan-pelan keranjang itu mulai bergerak naik ke atas, berputar dan dalam perasaannya ia harus naik turun beberapa waktu lamanya sebelum benar-benar berhenti.

Menanti keranjang itu betul-betul berhenti sama sekali, Cu Siau-hong baru membuka matanya.

Ternyata ia telah berada di tengah pepohonan yang berdaun sangat lebat, sedemikian lebatnya sehingga tidak nampak pemandangan apa pun juga.

Di depan sana terpentang sebuah jembatan kayu kecil, suara dingin yang nyaring berkumandang dari seberangan sana :

“Jalan kemari!”

Cu Siau-hong menyeberangi jembatan kayu di ujung sana, ternyata merupakan sebuah rumah kayu kecil.

Bangunan rumah kayu itu dibangun di atas dahan-dahan pohon yang besar dan kuat, dalam ruangan tersebut ada lima buah bangku kayu kecil yang pendek, di atas salah satu bangku pendek itu duduklah seorang kakek ceking.

Sebuah jubah panjang hampir menutupi sepasang lutut sampai kakinya, tapi wajah dan sepasang lengannya dapat terlihat dengan jelas.

Pelan-pelan kakek ceking itu mengelus jenggot panjangnya yang putih, lalu berkata dengan lirih :

“Siapa namamu?”

“Boanpwe bernama Cu Siau-hong!”

“Kau adalah murid Bu-khek-bun?”

“Benar!”

Dari mulut nona berbaju hijau itu, Cu Siau-hong sudah tahu kalau kakek ini tak suka banyak bicara, maka jawaban yang ia berikan diusahakan sesingkat mungkin.”

“Gurumu Tiong Ling-kang sudah mati belum?”

“Sudah mati, murid Bu-khek-bun juga ada tujuh orang yang mati, tiga orang lenyap, sekarang tinggal aku dan Toa-suheng Tang Cuan berdua!”

Kakek ceking itu mendengus dingin :

“Hmm! Tiong Ling-kang terlalu memikirkan soal keberhasilan dan kesuksesan, dia tak tahu bagaimana cara berhubungan dan membawa diri secara baik, oleh karena itu sangat merugikan masa hidupnya di dunia ini!”

Sekalipun ucapannya tidak sungkan-sungkan, tapi nadanya tandas dan meyakinkan.

Cu Siau-hong merasa tak sanggup untuk menjawab, karena itu ia cuma berdiam diri belaka........”

“Bocah kecil apakah kau merasa tidak puas dengan kritik yang Lohu lontarkan ini?” tanya kakek ceking itu lagi.

“Oooh tidak, Boanpwe hanya merasa bahwa ucapan Locianpwe mengandung arti yang amat mendalam, karena itu Boanpwe tak tahu bagaimana harus menjawab.”

Kakek ceking itu tertawa.

“Suatu jawaban yang amat bagus!” katanya, coba kalau Tiong Ling-kang memiliki setengah saja dari sifat lembut yang kau miliki, tak akan dia jumpai bencana besar seperti apa yang dialaminya sekarang, namun apa yang diharapkan dapat diwujudkan semua, nama besarnya menggetarkan pula seluruh dunia persilatan! Sekalipun dia bisa mati dengan puas...........”

“Mendiang guruku berjiwa terbuka, penuh welas kasih dan berhati jujur, karena itulah ia terjebak oleh kemunafikan musuh terkutuk....”

“Walaupun ia mati terlampau cepat, tapi meninggalkan nama harum di dunia persilatan!” tukas kakek ceking itu, “soal bagaimanakah wataknya dan jasanya, kita serahkan saja penilaiannya pada pena wasiat Cun-ciu-pit, kita tak perlu membicarakannya lagi.......”

Pokok pembicaraan pun segera dialihkan ke soal lain, kembali ia berkata lebih jauh :

“Bocah muda, coba kau perhatikan diri Lohu, apakah ada sesuatu yang berbeda dengan orang lain?”

Dengan seksama Cu Siau-hong perhatikan sekejap ke wajah kakek ceking itu, kemudian sahutnya :

“Boanpwe tidak berhasil mengetahuinya, maaf bila aku bermata tak berbiji, hingga tidak melihat apa-apa.”

“Mukaku membawa hawa kematian, umur pun pasti tak akan lama lagi!”

Sekali lagi Cu Siau-hong perhatikan wajah orang dan berusaha mencocokkan dengan apa yang dikatakan itu, tapi kembali ia gelengkan kepalanya berulang kali.

“Boanpwe benar-benar tak dapat melihat tanda-tanda tersebut, tapi.... bukankah Locianpwe masih hidup segar bugar?”

“Orang yang hampir mati biasanya akan tampak selapis hawa kematian yang menyelubungi wajahnya, tapi bila setiap orang dapat melihat tanda-tanda tersebut, Lohu tak akan disebut orang sebagai Dewa Pincang.”

“Jadi kau adalah Dewa Pincang yang sudah termasyhur sejak tiga puluh tahun berselang itu?”

“Yah, Lohu memang si Dewa Pincang Ui Thong........!”

Setelah menghela napas panjang, katanya lebih jauh.

“Tentu budak Giok yang melukiskan wajahku dan Pek Loya-cu berhasil menebak asal-usulku bukan?”

“Jika wajah Locianpwe memang persis seperti dulu, kenyataannya memang demikian.

“Bocah cilik, tahukah kau kenapa Lohu harus mati?” tiba-tiba Ui Thong bertanya lagi.

Cu Siau-hong benar-benar dibikin tertegun oleh pertanyaan tersebut, jika seseorang harus mati dan kematian tersebut ada alasannya dan bisa ditebak duluan, bukankah orang itu bisa mencoba untuk menghindar diri dari kematian itu?

“Hei, anak muda, mengapa kau tidak menjawab?” tegur Ui Thong kembali.

“Boanpwe bodoh sekali dan tak tahu bagaimana harus menjawab, sebab bila seseorang dapat mengetahui saat kematiannya, itu berarti ia sudah mengetahui rahasia langit, pendapat ini terlampau tinggi bagiku, Boanpwe merasa tak dapat memahaminya dengan jalan pikiranku.”

“Haaahhh............ haaahhh.............. haaahhh........... bocah pintar memang patut dipuji, jadi kau percaya kalau takdir itu ada?”

“Sesungguhnya dalam alam semesta yang lebar ini terdapat suatu kekuatan tak berwujud yang mengatur segala sesuatunya, orang bilang siapa berbuat kebaikan dia akan menerima kebaikan, siapa berbuat kejahatan dia akan menerima hukuman, itu berarti karma ada pada diri manusia, dus berarti takdir itu pun ada, takdirlah yang akan menentukan garis-garis kehidupan kita semua sepanjang manusia itu hidup di alam semesta.”

“Kekuatan tak berwujud itulah yang mengatur kita dan menentukan takdir dari tiap-tiap insan manusia tersebut.”

Sementara pembicaraan berlangsung, diam-diam Cu Siau-hong merasa heran kenapa sampai saat itu Pek Bwe belum juga sampai di situ?

Rupanya Ui Thong dapat menebak suara hatinya, sambil tertawa ia lantas berkata :
“Bocah cilik, Lohu telah menggunakan sedikit alat rahasia untuk menunda kedatangannya di sini, bila pembicaraan telah selesai nanti, mereka pun akan tiba pula di sini.”

Tertegun Cu Siau-hong setelah mendengar jawaban tersebut, segera pikirnya :

“Tak heran kalau pena wasiat Cun-ciu-pit mengkritik permainannya, yaa....... permainan alat rahasianya memang aneh, sakti tapi menakutkan sekali.........”

Berpikir sampai di situ, dia pun berkata :

“Tolong tanya, apa yang hendak Locianpwe bicarakan dengan diriku, harap segera dijelaskan, dengan senang hati akan Boanpwe perhatikan dengan seksama, cuma jangan mengutarakannya dengan kata-kata rahasia, Boanpwe tak akan mengerti.”

“Baik!” ujar Ui Thong kemudian, “mari kita bicarakan secara terbuka. Ketahuilah bencana yang Lohu alami akan terjadi dalam sepuluh hari mendatang, sekalipun usiaku sudah cukup tua tapi aku masih belum ingin mati, lagi pula sepanjang hidup aku selalu mempelajari rahasia langit, aku berharap dengan mengandalkan kepandaian yang kumiliki ini bencana tersebut bisa kuhindari.”

“Oooh.........!”

“Setelah Lohu periksa dari segi rahasia langit, dari segi ilmu meramal dan ilmu perbintangan lainnya, kuketahui bahwa aku masih mempunyai setitik harapan untuk hidup lebih jauh, tapi membutuhkan orang untuk meloloskan diri dari bencana itu, secara kebetulan orang yang bisa membantuku itu adalah kau.”

“Aaah! Masa iya? Kau yang mengerti soal ilmu perbintangan dan ilmu meramal pun tak dapat menolong dirimu sendiri, apa yang bisa kubelikan untukmu?”

Ui Thong menghela napas panjang.

“Aaai.........! selama tiga puluh tahun lebih aku menyembunyikan diri untuk menyelamatkan diri, menggunakan kesempatan tersebut aku banyak mencari obat penolong orang dengan maksud memelihara masa kehidupanku, tentu saja jika kau bersedia membantu sekarang, Lohu tak akan menerima bantuanmu dengan begitu saja, suatu balas jasa pasti akan kuperuntukkan bagimu.”

“Jika Boanpwe dapat membantu, tanpa balas jasa pun Boanpwe bersedia membantu diri Cianpwe!”

“Pertama, kau harus bersedia tinggal selama sepuluh hari di sini, dalam sepuluh hari tersebut, segala sesuatunya kau harus menuruti apa yang Lohu pesankan.”

Cu Siau-hong termenung dan berpikir sebentar, kemudian sahutnya :

“Baik! Boanpwe bersedia, apakah masih ada persoalan lain.”

“Seandainya aku tak mampu melawan takdir dan akhirnya meninggal, maka kau pun harus menuruti pesan terakhirku untuk menyelesaikan persoalan terakhirku.”

“Baik! Boanpwe turut perintah.”

Ui Thong segera tertawa, tiba-tiba ia menggerakkan seutas rotan yang berada di samping bangkunya.

Bergeraklah tali itu ke atas dengan membawa Pek Bwe yang duduk di keranjang tersebut.

Pek Bwe ternyata mengingat baik-baik pesan dari gadis berbaju hijau itu, setibanya dalam ruangan ia tak berbicara atau pun menyapa.

Ui Thong mendehem pelan, kemudian ujarnya lebih dulu :

“Apakah budak itu berada di bawah sambil memasang mata? Apa yang hendak kalian katakan? Sekarang boleh kalian utarakan.

Pek Bwe manggut-manggut, tapi ia belum mau juga bersuara.

“Pek-cianpwe!” kata Cu Siau-hong kemudian, “Ui-cianpwe minta kepadaku untuk berdiam selama sepuluh hari di sini untuk membantu dia guna menyelesaikan sedikit persoalan, entah boleh tidak?”

Pek Bwe mengalihkan sinar matanya ke wajah Cu Siau-hong, kemudian tertawa dan tetap tidak berbicara.

Melihat itu, dengan kening berkerut Cu Siau-hong segera bertanya :

“Locianpwe, apakah kau menyetujuinya?”

Pek Bwe masih juga tidak menjawab, tapi sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Ui Thong.

Ia hanya diperbolehkan mengucapkan dua patah kata saja, itu berarti ucapan baginya sangat berharga, sehingga setiap patah kata yang hendak diajukan harus direncanakan lebih dulu dengan matang agar bisa mendapatkan hasil yang sepadan.

Cu Siau-hong masih juga tidak mengerti apa gerangan yang terjadi antara kedua orang itu, terpaksa katanya :

“Saudara berdua, kalau ada persoalan lebih baik dikatakan sekarang juga.”

Ui Thong tertawa, tiba-tiba katanya :

“Pek Bwe, kuijinkan kepadamu untuk berbicara dua patah kata lebih banyak lagi, nah sekarang kau buka mulutmu untuk berbicara!”

Pek Bwe menghembuskan napas panjang, ia segera bertanya :

“Kau sudah tahu kalau Tiong Ling-kang bakal mati?”

“Ehmm! Aku telah melihat hawa kematian di atas wajahnya!”

“Kenapa tidak kau tolong dirinya?”

“Sebab itu sudah kehendak takdir, apakah kau menginginkan aku berbuat melawan takdir?”

Pek Bwe menghela napas panjang.

“Aaai..........! aku sudah menembusi soal mati hidupku sendiri, maka aku pun tak ingin menanyakan soal rejeki atau bencana bagi diriku lagi, aku hanya bertanya kepadamu, bagaimanakah nama baik Tiong Ling-kang? Pantaskah kalau menerima pertolonganmu?”

“Menurut perhitunganku dengan kesuksesan yang dimiliki Tiong Ling-kang sekarang, mana mungkin ia mau percaya dengan perkataanku? Sekalipun kubocorkan rahasia langit, apa pula manfaatnya!”

“Oooh, kiranya begitu! Baiklah, perkataan Lohu telah selesai, aku hendak mohon diri lebih dahulu.”

Kenyataan ini justru malah membuat Ui Thong tertegun,

“Pek Bwe, apakah kau tidak mengharapkan petunjuk dariku?”

“Tidak perlu, tempo hari musti berkata petunjukmu itu aku bisa menghindari suatu bencana, tapi kehidupanku selama dua tahun tersebut sangat tidak tenang, sekarang usiaku sudah tua, soal mati hidup sudah tidak kupikirkan lagi, apa yang kuharapkan hanyalah bisa mati dengan berharga dan mati dengan perasaan tenang.”

“Locianpwe, apakah aku boleh tinggal di sini?” tanya Cu Siau-hong.

“Boleh, cuma kau musti bertanya dulu kepadanya bagaimana caranya mendapatkan lebah besar! Sepuluh hari kemudian, aku akan datang lagi untuk menjemputmu!”

Selesai berkata ia lantas melayang turun ke bawah dan sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.

Dengan termangu-mangu Ui Thong memperhatikan luar pintu tanpa berkedip, sikapnya amat serius dan untuk sesaat lamanya tidak mengucapkan sepatah kata pun.

“Locianpwe!” Cu Siau-hong segera berkata, “pesan apa yang hendak kau sampaikan kepadaku? Katakanlah, cuma aku........”

“Kau mau sedikit syarat dan berharap aku mau menggantikan lebah-lebah beracun milik Ouyang si makhluk tua itu?” sambung Ui Thong.

“Benar! Inilah yang dijanjikan mendiang guruku, sekarang Suhu telah mati maka kami sebagai muridnya berkewajiban untuk melanjutkan janjinya itu.”

Ui Thong manggut-manggut.

“Aku bisa membantumu dengan sekuat tenaga untuk menyelesaikan persoalan ini,” katanya :

“Baik! Sekarang urusanku telah selesai, jika Locianpwe mengharapkan bantuanku, silakan kau ucapkan!”

Dari sakunya, Ui Thong mengeluarkan tiga buah kantong sutra, kemudian sambil diangsurkan katanya :

“Di atas kantong-kantong itu sudah kucantumkan nomor, terhitung mulai hari ini, luhur hari ketiga kau harus membuka kantong pertama, hari kelima kau buka kantong kedua dan hari ketujuh kau buka kantong ketiga, lakukanlah seperti apa yang telah kutulis dalam kantong-kantong tersebut :

“Boanpwe telah mengingat semua pesan Cianpwe, sahut Cu Siau-hong sambil menerima kantong-kantong itu, “tapi bagaimana pula caraku untuk memenuhi janji guruku dengan Ouyang-sianseng? Harap Locianpwe suka pula memberi petunjuk.”

Ui Thong manggut-manggut, kembali ia mengeluarkan sebuah botol porselen dari sakunya, lalu berkata :

“Pergilah dan serahkan botol ini kepada Ouyang-sianseng, maka dia pun tak akan menanyakan lagi soal lebah beracun itu!”

Itulah sebuah botol porselen putih, setelah menerimanya dan dibuat main sebentar, Cu Siau-hong bertanya lagi :

“Locianpwe, apa isi botol ini?”

“Obat!”

“Bolehkah Boanpwe membuka botol ini untuk melihat isinya?”

“Boleh saja, bukalah sendiri!”

Ketika Cu Siau-hong membuka botol itu dan melongok isinya, terlihatlah isi botol porselen itu ternyata adalah setengah botol bubuk berwarna putih.

Cuma saja botol itu besarnya seibu jari, sehingga isi obat pun amat terbatas.

“Nah, kau tak usah kuatir!” kata Ui Thong, “obat tersebut sudah cukup untuk memuaskan hatinya, cuma makhluk tua Ouyang pun seorang yang kikir, maka kau harus baik-baik mengetuknya!”

“Mengetuk bagaimana?”

“Dia memiliki sejenis ilmu sakti yang disebut Ciat-lip-jiu (tangan sakti penerus tenaga), itu terhitung suatu kepandaian yang sangat tinggi, juga merupakan ilmu kebanggaan makhluk tua she Ouyang selama malang melintang dalam dunia persilatan, maka sebelum kau menyerahkan obat ini kepadanya, kau harus memaksanya untuk mewariskan dulu kepandaian tersebut kepadamu :

Cu Siau-hong segera tertawa getir,

“Ui-cianpwe, kalau memang kepandaian tersebut merupakan ilmu simpanannya, masa dia mau mewariskan kepadaku?”

“Dengan obat tersebut sebagai syarat pertukarannya, dia pasti akan penuhi keinginanmu itu.”

“Tapi kalau Boanpwe disuruh memeras orang di kala orang lagi membutuhkan, rasanya....... rasanya aku enggan untuk mengatakannya.”

“Nak, sekalipun enggan, kau juga musti mengatakannya...........”

“Kenapa?” sela Cu Siau-hong.

“Sebab ilmu Ciat-lip-jiu tersebut akan sangat membantu bagi usahamu untuk membalas dendam serta membangun kembali Bu-khek-bun di kemudian hari, kau musti mengerti, tidak besar kesempatan Ouyang lo-koay untuk muncul kembali dalam dunia persilatan, sekalipun secara kebetulan dia pun akan mengasingkan diri kembali, maka jika ilmu tersebut tidak kau pelajari, kemungkinan besar ilmu sakti Ciat-lip-jiu tersebut akan segera lenyap dari muka bumi.”

“Apakah dia tak punya murid?”

“Siau-hong, ilmu sakti semacam itu bukan sembarangan orang bisa mempelajarinya, sekalipun dia punya seorang putra, sayang bukan bahan baik untuk belajar silat.”

Cu Siau-hong termenung sebentar, lalu katanya :

“Bila ilmu tersebut kupelajari bukan demi kepentingan Boanpwe pribadi, Boanpwe sih bersedia untuk mencobanya. Tapi jika Ouyang-cianpwe tidak mengabulkan permintaanku itu?”

“Makanya kusuruh kau gunakan sedikit akal, katakan saja kalau hal ini merupakan syarat dari Suhumu, jika ia menghendaki isi obat dalam botol itu, maka dia harus mewariskan ilmu sakti Ciat-lip-jiu tersebut kepadamu.”

Cu Siau-hong berpikir sejenak, kemudian sahutnya :

“Kalau begitu biar Boanpwe mencobanya :

“Nah, kita boleh berpisah sampai di sini dulu, sampai jumpa lusa mendatang......!”

Seperti ketika naik, sewaktu turun pun Cu Siau-hong menumpang keranjang derek tersebut.

Ketika ia membuka matanya kembali, keranjang itu sudah tiba di bawah pohon, si nona berbaju hijau itu masih menunggu di situ.

“Cu-kongcu!” nona berbaju hijau itu segera bertanya, “apa yang dibicarakan empek Koay denganmu?”

“Ia memberi setengah botol obat kepadaku, mari kita pergi menemui Ouyang-sianseng!”

Agaknya nona berbaju hijau itu menaruh kepercayaan penuh terhadap diri Dewa Pincang Ui Thong, mendengar perkataan itu, sambil tertawa sahutnya :

“Baik! Mari kita berangkat..........”

Di tengah jalan, gadis itu kembali berkata :

“Hubungan empek Ouyang dan empek Koay sangat tidak baik, sekalipun sudah banyak tahun mereka hidup bertetangga, tapi belum pernah kujumpai mereka saling berbicara barang sepatah kata pun.”

“Apakah hubungan mereka berdua memang buruk sekali?”

“Bukan Cuma buruk sekali, empek Ouyang sangat jemu atas diri empek Koay, sering kali ia memakinya sebagai manusia yang pandai mempermainkan rahasia langit tanpa memperdulikan mati hidup orang lain.”

“Oooh.........!”

“Konon empek Ouyang pernah cekcok dengan empek Koay,” kata nona berbaju hijau itu lebih jauh, “cuma aku tidak menyaksikan sendiri jalannya peristiwa itu.”

Cu Siau-hong menghela napas panjang, katanya :

“Apakah Ouyang-locianpwe mempunyai murid?”

“Empek Ouyang mempunyai seorang teman yang sedang sakit, orang itu mengidap suatu penyakit yang aneh sekali, aku tak tahu sejak kapan ia menderita penyakit tersebut, pun tak tahu berapa besar usianya, karena ia selalu berbaring dalam gua itu dan tak pernah keluar.”

“Kau tak pernah memasuki gua itu?”

“Tidak pernah, empek Ouyang tidak mengijinkan aku masuk!”

Cu Siau-hong menghela napas panjang.

“Aaai...... tak kusangka dalam hutan di belakang bukit yang sepi dan terpencil ini telah menetap begini banyak jago sakti, padahal kami yang tinggal di dekatnya sedikit pun tak tahu akan hal ini.”

Nona berbaju hijau itu mengerdipkan matanya yang besar, kemudian berkata :

“Heran, kenapa mereka harus tinggal di tempat seperti ini?”

Setelah menghembuskan napas panjang, katanya lebih jauh :

“Cu-kongcu, menurut apa yang kuketahui di sini kecuali tinggal empek Koay dan empek Ouyang, masih ada seorang lagi, sayang aku tidak kenal dengan dirinya, sehingga tidak kuketahui pula siapa namanya dan berasal dari mana.”

“Nona siapa namamu, kenapa bisa tinggal di tempat seperti ini?”

Nona berbaju hijau itu tertawa.

“Kalau berbicara sesungguhnya, aku sendiri pun tak tahu siapa namaku sendiri, aku lebih hanya seorang manusia bernasib jelek yang dipelihara orang lain.”

“Oooh...... kalau begitu nona tinggal bersama siapa?”

“Dengan ibu angkatku!”

“Siapa nama ibu angkatmu? Sekarang ia berada di mana?”

“Ibu angkatku sudah mati pada tiga tahun berselang, ia dikebunkan di belakang bukit sana dan meninggalkan sebuah rumah gubuk untukku.”

“Oooh........”

Pemuda itu merasa bahwa asal-usul gadis ini amat mengenaskan, sebenarnya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hatinya, tapi dia pun tak tahu harus berbicara dari mana.

Nona berbaju hijau itu melirik sekejap ke arah Cu Siau-hong, kemudian berkata lagi :

“Setelah ibu angkatku meninggal dunia, aku hidup seorang diri dalam rumah gubuk itu, empek Koay, empek Ouyang walaupun saling tidak akur, tapi mereka amat memperhatikan keadaanku.”

“Apakah kau pandai bersilat?”

“Pandai sih tidak, hanya bisa.”

“Siapa yang mewariskan ilmu silat kepadamu?”

“Waktu masih hidup dulu, ibu angkatku yang menurunkan ilmu silat kepadaku, empek Ouyang juga sering memberi petunjuk kepadaku, sedangkan empek Koay kadang kala juga menurunkan satu dua jurus kepadaku bila kebetulan ia sedang bersenang hati.”

“Kalau begitu ilmu silat yang nona miliki tentu lihay sekali?”

“Aku tak tahu, selamanya aku tak pernah bertarung melawan orang lain....”

Cu Siau-hong kembali termenung beberapa saat lamanya, kemudian ia pun berkata :

“Sekarang, mari kita menjumpai Ouyang-sianseng!”

Nona berbaju hijau itu tertawa, manis sekali senyumannya, lalu berkata :

“Baik! Mari kubawa jalan untukmu.”

“Nona, setelah berjumpa dengan Ouyang-locianpwe nanti, biar aku saja yang berbicara!”

Nona baju hijau itu manggut-manggut.

“Baik Cu-kongcu, selama aku berada bersamamu, aku pasti akan mendengarkan semua perkataanmu.”

Nona berbaju hijau itu membawa Cu Siau-hong menembusi hutan dan sampai di bawah sebuah tebing karang, kemudian dengan suara keras teriaknya,

“Empek Ouyang, ada orang datang mencarimu!”

Sesosok bayangan manusia segera berkelebat lewat dari atas sebuah tebing karang yang dua kaki tingginya itu, dalam sekejap mata orang itu sudah tiba di depan mata.

Cu Siau-hong segera kenali orang itu sebagai kakek berjubah abu-abu yang pernah dijumpainya itu.

--------------------------------------------------

5

“Empek Ouyang! Nona berbaju hijau itu segera berkata! Cu-kongcu ada urusan ingin bertemu denganmu!”

“Oooh.......!” kakek berjubah abu-abu itu manggut-manggut, kemudian sambil berpaling tegurnya, “kau datang dari Bu-khek-bun?”

“Betul, Cayhe datang untuk mewakili guruku!”

“Kenapa gurumu tidak datang sendiri?”

“Sebab gurunya sudah mati!” seru si nona berbaju hijau dari samping.

Mendengar jawaban tersebut, kakek berbaju abu-abu itu menjadi tertegun, lalu tanyanya :

“Kapan matinya?”

“Dua hari berselang!” sahut Cu Siau-hong.

“Apakah anggota perguruan Bu-khek-bun tinggal kau seorang?”

“Tidak, masih ada empat orang, beberapa orang lagi lenyap tak berbekas, mungkin mereka masih hidup tak berbekas, mungkin mereka masih hidup mungkin juga sudah mati, aku tak berani menduganya.”

“Waktu gurumu membunuh lebahku tempo hari, apakah kau hadir di tempat kejadian?”

“Benar!”

“Bila kau dapat mewakili gurumu untuk mengembalikan lebah-lebah beracun itu kepadaku, aku bisa menyelesaikan peristiwa tersebut sampai di sini saja!”

“Kau harus tahu kami tidak punya cukup waktu untuk mencari lebah-lebah beracun itu untuk dikembalikan kepadamu, apalagi pergi ke tempat yang begitu jauh.”

“Gurumu menganggap hal ini merupakan suatu pekerjaan yang sangat gampang, dengan kedudukan dan nama besarnya aku percaya akan perkataannya itu dan membiarkan ia pergi, aku percaya dia tak bakal lari, tapi aku tak mengira kalau ia sudah mati.”

Setelah berhenti sejenak katanya lebih jauh :

“Cuma dia masih punya murid, tentu murid-muridnya bisa mewakili gurunya untuk menepati janji.........”

“Jadi rupanya kau melepaskan kami karena sudah mempunya rencana licik!” seru Cu Siau-hong tiba-tiba.

“Anak muda, kata rencana licik kurang sedap didengar, apakah kau anggap Lohu tak sanggup membunuh kalian pada waktu itu?”

Cu Siau-hong segera menghela napas panjang.

“Aaai...... aku baru pertama kali ini terjun ke dalam dunia persilatan, sungguh tak kusangka kesan yang kudapat tentang dunia persilatan ternyata begitu berbahaya dan memuakkan.”

“Dunia persilatan pada hakikatnya memang tempat yang berbahaya dengan segala macam akal busuknya, bocah, kau telah datang mewakili gurumu, pertanggungan jawab apakah yang hendak kau berikan kepadaku?”

“Tidak, sekarang aku telah berubah pikiran.”

“Berubah pikiran?” kakek berjubah abu-abu itu tercengang.

“Yaa, ketika meninggal dunia Suhu tidak berpesan kepadaku untuk mewakilinya memenuhi janji ini, tapi sekarang aku telah datang, aku kemari tak lain hanya ingin mewujudkan rasa baktiku sebagai seorang murid terhadap gurunya, sungguh tak disangka dunia persilatan adalah tempat yang penuh dengan tipu muslihat, karena itu rasanya aku pun tak usah memenuhi janji ini lagi.”

Kontan saja kakek berjubah abu-abu itu tertawa dingin.

“Heeehh.......heeehh........heeehh......... setelah kau tiba di sini, maka jangan harap bisa pergi lagi sebelum memberikan pertanggungjawaban mu, betul Tiong Ling-kang sudah mati, tapi kalian Bu-khek-bun toh masih ada orang yang hidup, karena itu yang masih hidup harus memberikan pertanggungan jawaban kepadaku.”

Seusai mendengar perkataan itu, Cu Siau-hong mulai berpikir dalam hati kecilnya :

“Tampaknya apa yang dikatakan Ui Thong memang betul, meskipun Ouyang-sianseng ini tidak terhitung seorang jahat, tapi ia adalah seorang makhluk aneh, ia hanya tahu demi keuntungan sendiri tanpa memikirkan kesulitan orang lain.........”

Dalam detik itulah ia telah meresapi banyak sekali masalah kehidupan, ia pun menyelami pula kelicikan dan kebusukan dunia persilatan, hal mana dengan cepat menimbulkan pula pendapat dalam hatinya bahwa hidup dalam dunia persilatan tak boleh terlalu jujur, kadang kata kelicikan dan kecerdasan otak memang sangat dibutuhkan.

Berpikir sampai di situ, ia pun bertekad untuk mulai mempergunakan kecerdasan dan segala akal liciknya untuk memasuki dunia persilatan.

Secara tiba-tiba ia meresapi juga makna yang sesungguhnya dari tindakan gurunya yang mengeluarkan ia dari perguruan sesaat sebelum meninggal. Betul, justru dengan keadaan bebas seperti ini, ia dapat bergerak lebih bebas dan leluasa, ia pun dapat membebaskan diri dari banyak ikatan dan belenggu perguruan.........

Tampaknya kakek berjubah abu-abu itu sudah tak sabar lagi menunggu, sambil tertawa dingin segera tegurnya kembali :

“Hei, anak muda! Kau sudah mendengar perkataanku?”

“Yaa, sudah kudengar dengan jelas!”

“Bagaimana pertanggungan jawabmu terhadap Lohu?”

“Aku tak perlu memberi pertanggungan jawab kepadamu sebab bukan aku yang memberi janji, sebelum meninggal Suhu pun tidak berpesan apa-apa lantas bagaimana aku musti memberi pertanggungan jawabnya kepadamu.........”

“Bocah cilik, kau berani mempermainkan Lohu?” kakek berjubah abu-abu itu mulai naik pitam.

“Aaah, ucapan Locianpwe terlalu serius, akukan tak pernah mempermainkan diri Locianpwe.”

“Empek Ouyang,” si nona berbaju hijau yang berada di sisinya segera ikut menimbrung, “Cu-kongcu adalah seorang yang sangat baik, dia tak akan mempermainkan dirimu.”

Kakek berjubah abu-abu itu segera mendengus dingin.

“Bei-giok kau tak usah mencampuri urusan ini, hayo menyingkir dari sini!” serunya.

“Empek Ouyang, dia benar-benar seorang yang baik hati, kau tak boleh memukuli dirinya!”

“Pergilah kau dari sini Nona,” Cu Siau-hong ikut berkata sambil mengulapkan tangannya, “aku hendak berbicara baik-baik dengan Ouyang-sianseng........”

Agaknya nona berbaju hijau itu menurut sekali atas perkataan dari Cu Siau-hong, tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia benar-benar putar badan dan berlalu dari situ.

Sepeninggal gadis tersebut, sambil tertawa dingin kakek berbaju abu-abu itu berkata :

“Bocah muda, katakan sekarang! Apa yang hendak kau lakukan?”

“Semestinya Boanpwe yang mohon petunjuk dari kau orang tua, masa malahan Cianpwe yang bertanya kepadaku?”

“Jika Suhumu tak bisa menepati janjinya, maka kau harus mewakili gurumu untuk memenuhi janji.”

“Tapi bagaimana caranya aku harus memenuhi janji ini?”

“Tiong Ling-kang telah membunuh sekitar seratus ekor lebah raksasa, jika ia tak sanggup membayar gantinya, maka aku hanya menginginkan selembar jiwanya saja, tidak terlalu banyak bukan?”

“Coba kalau Suhuku masih hidup, dia pasti tak akan mengingkari janji, sayangnya dia orang tua telah terbunuh!”

“Sekalipun ia mati terbunuh, Tiong-hujin kan masih hidup, sekalipun segenap keluarganya sudah mati, anak muridnya toh masih hidup.”

Cu Siau-hong segera menghela napas panjang.

“Dan aku pun salah seorang muridnya!” ia berbisik.

“Maka dari itu, kau harus membayar ganti rugi tersebut kepadaku,” sambung kakek berjubah abu-abu itu dengan cepat.

Cu Siau-hong gelengkan kepalanya berulang kali.

“Ouyang-sianseng!” katanya, dalam dunia persilatan berlaku sepatah kata yang mengatakan bahwa barang siapa sudah mati, maka semua perselisihannya ikut buyar, kini Suhuku sudah almarhum, kenapa kau musti mendesak orang terus menerus?”

Kakek berbaju abu-abu itu kembali tertawa dingin.

“Haaahh........ haaahh........... haaahh............ kalau kau ingin pergi, silakan saja pergi, siapa berhutang, dia harus membayar, sekalipun Tiong Ling-kang sudah mati, tapi nyonya Tiong toh masih hidup, kenapa aku musti mencarimu? Silakan pergi!”

Sebelumnya orang ini bukannya sama sekali tak tahu aturan, cuma saja apa yang ia katakan adalah kata-kata yang dianggapnya benar.

Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, katanya kemudian :

“Ouyang-cianpwe, sebenarnya aku merasa bahwa hutang yang telah kami buat seharusnya dibayar, tapi sekarang jalan pikiranku telah berubah.”

“Berubah! Berubah menjadi bagaimana?”

“Rasa menyesal ku sudah lenyap tak berbekas, sekarang aku hendak mengesampingkan dulu soal janjimu dengan guruku, bagaimana kalau kita bicarakan dahulu suatu barter?”

“Barter apa yang hendak kau bicarakan denganku?” ejek kakek berjubah abu-abu itu sambil tertawa dingin.

Cu Siau-hong menarik napas panjang dan secara diam-diam melakukan persiapan, kemudian mengeluarkan botol porselen itu, katanya :

“Locianpwe, kau tahu benda apakah ini?”

“Sebuah botol porselen!” jawab kakek berjubah abu-abu itu dengan hambar.

“Sebuah botol porselen?”

“Apa isi botol itu?” cepat kakek itu bertanya.

Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong, pikirnya kemudian :

“Yang dia harapkan adalah isi botol ini, tentu saja terhadap botol porselennya tidak menaruh perhatian.....”

Berpikir demikian, dia pun membuka botol itu dan mengeluarkan sedikit bubuk putih yang ditebarkan di atas sebuah batu tak jauh dari situ, kemudian ujarnya dengan dingin :

“Ouyang-cianpwe, jika kau sanggup untuk mengenali bahan obat tersebut, silakan kau maju mendekat untuk memeriksanya dulu.”

Pelan-pelan kakek berbaju abu-abu itu maju ke depan, lalu mengambil sedikit bubuk putih itu dengan jari tangannya dan dibau, tiba-tiba dengan paras muka berubah hebat serunya :

“Haaah? Ban-ing-seng-cing-san?”

“Ooo.......... rupanya obat ini bernama bubuk Ban-ing-seng-cing-san,” pikir Cu Siau-hong.

“Betul, memang obat tersebut! Apakah Locianpwe kenali juga obat ini?”

Tiba-tiba kakek berbaju abu-abu itu memutar tubuhnya sambil menubruk ke depan, tangan kanannya berkelebat siap menyambar botol yang berada di tangan pemuda itu.

Dengan cekatan Cu Siau-hong mundur sejauh lima depa dari posisi semula, kemudian katanya dengan dingin :

“Dengarkan baik-baik, kalau kau berniat merampas botol ini, sekarang juga kuhancurkan botol ini agar bubuk itu tersebar di tanah.”

Kakek berbaju abu-abu itu menjadi tertegun, akhirnya ia bertanya :

“Apa...... apa syarat yang hendak kau ajukan....?”

“Semua perjanjian dan perselisihan antara Bu-khek-bun dengan Ouyang sianseng hapus sampai di sini saja.”

“Oooh, tentu saja!” sambil menjawab kakek itu maju ke depan dan siap menyambar botol porselen tersebut.

Cu Siau-hong segera melompat mundur selangkah, lalu teriaknya kembali :

“Kedua........”

“Cepat katakan!”

“Konon kau memiliki semacam ilmu silat.........”

“Ilmu silat yang kumiliki banyak sekali ragamnya!” tukas kakek itu.

“Aku hanya menghendaki satu macam saja!”

“Ilmu silat apa yang hendak kau pelajari?”

“Ilmu Ciat-lip-jiu!”

Kakek berbaju abu-abu itu menjadi tertegun.

“Ciat-lip-jiu? Dari mana kau bisa tahu kalau Lohu memiliki semacam ilmu yang bernama ilmu Ciat-lip-jiu?”

“Soal itu sih tak perlu kita bicarakan, aku hanya ingin bertanya kepadamu, betulkah kau memiliki ilmu yang bernama Ciat-lip-jiu?”

“Betul! Kepandaian tersebut merupakan ilmu sakti andalanku di saat masih berkelana dalam dunia persilatan dulu, tiada orang yang bisa ilmu tersebut kecuali aku.”

“Bagus sekali, cuma aku musti terangkan dulu, aku ingin pelajari ilmu Ciat-lip-jiu tersebut sebagai pertukaran syarat bagimu untuk memperoleh obat ini, itu berarti tiada ikatan apa-apa antara kita lagi pula aku pun tak akan berterima kasih kepadamu.”

Ujung baju kakek berbaju abu-abu itu bergetar keras meski tidak terhembus angin, dengan wajah amat serius katanya :

“Baik! Lohu akan mewariskan ilmu Ciat-lip-jiu tersebut kepadamu, cuma dengan usiamu yang begitu muda serta kesempurnaan tenaga dalam yang kau miliki, aku kuatir ilmu tersebut tak mungkin bisa kau pelajari dalam waktu singkat, maka sebelum kau pelajari kepandaian tersebut, lebih baik kau serahkan dulu bubuk obat itu kepadaku.”

“Kau bisa bertahan untuk hidup sekian lama dengan menanggung derita, rasanya tak sulit bukan untuk merasakan penderitaan satu dua hari lagi? Soal kemampuan tenaga dalam yang kumiliki, harap Cianpwe jangan risaukan, yang ingin kupelajari hanya rahasia dari ilmu Ciat-lip-jiu tersebut, bukan tenaga dalamnya, mungkin saja setelah kukuasai ilmumu itu kepandaian tersebut baru akan kugunakan dua tiga tahun mendatang.”

Tiba-tiba kakek berbaju abu-abu itu tertawa tergelak,

“Bocah cilik, beberapa patah katamu ini memang masuk di akal juga, ilmu Ciat-lip-jiu memang bukan semacam ilmu silat yang dapat dipelajari hanya mengandalkan kecerdasan otak saja, aku mengetahui kalau kau berbakat bagus untuk belajar silat, mungkin hanya kaulah satu-satunya orang di dunia ini yang bakal mewarisi ilmu Ciat-lip-jiu andalanku itu........”

Cu Siau-hong menghembuskan napas panjang, bisiknya :

“Locianpwe.......”

Kakek berbaju abu-abu itu gelengkan kepalanya berulang kali, katanya kembali :

“Sekarang aku akan segera wariskan Sim-hoatnya kepadamu, bagian ini merupakan bagian paling penting dari kepandaianmu. Kau harus tahu, keistimewaan dari ilmu Ciat-lip-jiu adalah merubah tenaga dalam menjadi gulungan angin berpusing yang sanggup menerima tenaga pukulan musuh walau beberapa seribu kati pun, jika kau berhasil mempelajari kepandaian ini hingga suatu tingkatan tertentu, maka kau dapat merubah pula kekuatan musuh demi kepentingan sendiri, bahkan bisa juga dikembalikan ke tubuh musuh sendiri sebagai suatu gempuran balasan, kau harus tahu bahwa ilmuku ini merupakan salah satu ilmu silat paling aneh di dunia ini.”

Sesudah melewati serangkaian pembicaraan, rasa permusuhan di antara mereka berdua pun sudah jauh berkurang.

“Locianpwe, sulitkah untuk mempelajari sim-hoat tersebut?” tanya Cu Siau-hong sambil menghembuskan napas panjang.

“Tidak mudah, tapi kalau bertemu dengan orang yang pintar seperti kau, mungkin saja ilmu ini bisa dikuasai dengan lebih cepat lagi, tapi yang terpenting adalah kemampuan untuk mengerahkan tenaga dan merubahnya menjadi suatu kekuatan berpusing.”

Secara tiba-tiba saja kakek berjubah abu-abu itu merasakan timbulnya suatu niat dalam hati untuk cepat-cepat mewariskan kepandaian tersebut kepada Cu Siau-hong, katanya sambil tertawa,

“Kemarilah Nak, mari kita mulai sekarang juga.”

Belum pernah Cu Siau-hong seserius sekarang dalam mempelajari semacam ilmu, sebab sim-hoat yang dipelajarinya memang benar-benar merupakan semacam kepandaian yang sulit sekali untuk dipelajari.

Kakek berjubah abu-abu yang mewariskan kepandaiannya pun menerangkan semua bagian dari ilmu dengan serius, ini membuat Cu Siau-hong belajar makin tekun.

Tidak sampai dua tiga jam kemudian, ternyata Cu Siau-hong telah berhasil menguasai seluruh rahasia dari kepandaian itu.

Kenyataan tersebut tentu saja amat mengejutkan kakek berjubah abu-abu itu, serunya dengan tercengang :

“Nak, coba kau lakukan sekali lagi di hadapanku.”

Cu Siau-hong mengiakan dan segera mempraktekkan seperti apa yang telah diajarkan kakek berjubah abu-abu itu kepadanya.

Selesai menyaksikan anak muda itu berpraktek, dengan rasa kagum dan tercengang kakek berjubah abu-abu itu berkata lagi :

“Bagus sekali, dalam perkiraanku semula paling tidak tiga sampai lima hari lagi kau baru akan berhasil menguasai ilmu tersebut, sungguh tak kusangka hanya dalam beberapa jam saja semua kepandaianku telah kau kuasai, kecerdasanmu jauh di luar dugaan dan kesempurnaan tenaga dalammu juga di luar dugaanku. Nak, tahu begini, sekalipun tiada pertukaran syarat pun aku rela mewariskan kepandaian ini kepadamu.”

Mendengar itu, Cu Siau-hong kembali berpikir.

“Watak orang ini sesungguhnya tidak jahat, cuma wataknya memang sedikit rada aneh dan eksentrik.......”

Sambil bangkit berdiri, botol porselen itu diserahkan kepada kakek itu seraya berkata :

“Locianpwe, baik-baiklah menjaga diri, Boanpwe hendak mohon diri lebih dahulu.”

Kakek berbaju abu-abu itu menghela napas sedih, katanya :

“Hati-hati dengan si pincang, ia memiliki kepandaian yang hebat dan ilmu perbintangan yang luar biasa, sayang hatinya terlalu jahat.......”

Cu Siau-hong merasakan hatinya bergetar keras, sambil berhenti katanya :

“Maksud Locianpwe.......”

“Aku maksudkan si pincang Ui Thong, orang ini berilmu tinggi, sayang sekali tidak memanfaatkan kepandaiannya demi kebaikan. Wataknya terlalu dingin dan tak berperasaan, kau harus berhati-hati terhadapnya.

“Terima kasih atas petunjuk Cianpwe!” pemuda itu putar badan dan berlalu dari situ.

Memandang hingga bayangan punggung Cu Siau-hong lenyap dari pandangan.

Kakek berbaju abu-abu itu menghela napas panjang, lalu gumamnya :

“Seorang bocah yang berbakat bagus sekali.......”

Sesudah melewati pertarungan adu kecerdasan, Cu Siau-hong sendiri pun dapat merasakan bahwa Ouyang-sianseng meski berwatak aneh dan agak eksentrik, sesungguhnya bukan seorang yang jahat.

Ia tak punya cukup waktu untuk mengetahui latar belakang perselisihan antara Ouyang sianseng dengan Koay-sian, dia pun tak ingin terlibat di dalam masalah tersebut.

Maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun rasa terima kasihnya, ia telah berlalu dengan begitu saja dari sana.

Cu Siau-hong juga tidak langsung menjumpai Ui Thong, ia mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil dalam hutan itu serta mulai melatih diri dengan ilmu Ciat-lip-jiu yang baru saja dipelajarinya itu.

Beberapa kali si nona berbaju hijau mencarinya bahkan berteriak-teriak memanggilnya.

Tapi Cu Siau-hong sadar bahwa waktu baginya saat ini adalah penting sekali, dia harus menggunakan waktu selama sehari semalam untuk berhasil menguasai ilmu Ciat-lip-jiu tersebut secara baik.

Karenanya ia tidak menjawab, ia pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan semadinya sambil mengatur pernapasan.

Betul juga, ketika ia berlatih menurut apa yang diajarkan Ouyang sianseng, segera terasalah segulung hawa murni muncul dari pusar dan bergerak dalam tubuhnya sehingga membuat hawa murni dalam tubuh berputar kencang, akhirnya timbul dua kekuatan berbeda yang saling berputar dengan kencangnya di badan.

Kenyataan ini sangat mengejutkan hatinya, di samping tentu saja rasa girang yang meluap-luap.

Sekarang ia telah membuktikan satu hal, Ouyang sianseng memang tidak membohonginya.

Menanti saat perjanjiannya dengan Ui Thong telah sampai, dia baru keluar dari dalam hutan.

Keranjang tersebut sudah menanti di bawah pohon, Cu Siau-hong segera menggerakkan sendiri alat rahasia untuk menaikkan keranjang tersebut ke atas.........

Tentu saja kesemuanya ini diajarkan sendiri oleh Ui Thong kepadanya.

Keranjang mulai meluncur di antara sela-sela pepohonan yang rindang dan menembusi dahan-dahan pohon yang besar, langsung menuju ke depan ruangan kecil itu.

Ketika ia tiba dalam ruangan, ditemukan Dewa Pincang Ui Thong sudah menggeletak di atas lantai papan dengan sepasang mata terpejam rapat.

Cu Siau-hong merasa terkejut sekali, pikirnya :

“Apakah takdir benar-benar tak bisa dilawan dan ia telah menyelesaikan sendiri perjalanan hidupnya?”

Buru-buru pemuda itu maju ke depan sambil memeriksa dengusan napas Ui Thong, ternyata napas itu sudah putus.

Walaupun demikian, perasaan Cu Siau-hong berkata bahwa Ui Thong belum mati.

Dalam detik itulah, Cu Siau-hong menjadi ragu tak bisa memastikan apakah Dewa Pincang Ui Thong masih hidup atau sesungguhnya telah mati........

Diam-diam ia menghembuskan napas panjang, lalu berpikir :

“Dewa pincang Ui Thong memang benar-benar seorang manusia yang aneh sekali, begitu mudah ia bisa menghitung soal mati hidupnya, sehingga hal mana bisa membuat orang menjadi kebingungan dan tak dapat membedakan secara jelas..........”

Berpikir sampai di situ, ia mengambil keluar kantong pertama dari sakunya yang memang dipesan untuk dibuka pada hari ini.

Setelah kantong dibuka, Cu Siau-hong menemukan secarik kertas yang isinya berbunyi demikian :

“Kini Lohu sudah tak bisa berbicara, tak dapat melihat, nafas lirih dan berada di ambang kematian, tolong gunakanlah kotak kecil di belakangmu serta kain kuning sepanjang sepuluh depa untuk membungkus tubuhku.”

“Berangkatlah dengan membawa tubuhku menuju ke sebelah timur sejauh lima li, tembusi hutan dan menuju ke sebuah tebing yang terjal. Naiklah tebing itu kurang lebih sepuluh kaki, di sana kau akan jumpai sebuah batu cadas berwarna hitam yang di atasnya bertuliskan Sian-ki ( tempat tinggal dewa)

“Buka batu itu dengan menekan huruf di atas batu sekuat tenaga, maka dari balik pintu akan kaujumpai sebuah gua, dalam gua lebih kurang sepuluh kaki lebih tujuh depa dengan tiga kali tikungan di sana akan kau jumpai sebuah ruang batu, dalam ruangan ada lampu yang bisa dipakai untuk menerangi keadaan di situ, pada tengah ruangan terdapat sebuah hiolo batu yang besar sekali, letakkan tubuhku dalam hiolo raksasa itu, kemudian berjagalah di sisi hiolo dan perhatikan jika ada penyerang yang datang dari luar.

Isi surat tersebut sudah tertera amat jelas, sama sekali tidak berkesempatan untuk dibantah, sebab itu terpaksa Cu Siau-hong harus mengerjakannya sesuai dengan perintah.

Betul juga ia berhasil menemukan kain kuning sepanjang sepuluh depa itu, ketika tubuh Ui Thong yang belum mati itu dibungkus rapat, kelihatan sekali kalau ia seperti sesosok mayat.

Apa yang ditulis dalam suratnya memang sangat teliti, karena pemandangan yang dijumpai sepanjang jalan persis seperti apa yang dilukiskan di dalam suratnya.

Pada akhirnya ia berhasil menemukan juga gua tersebut beserta ruang batu di dalamnya.

Di tengah ruangan, ia pun berhasil menemukan hiolo raksasa seperti yang diterangkan.

Hiolo itu entah terbuat dari batu apa, ketika Cu Siau-hong mencoba untuk merabanya, terasa batu itu licin dan mengkilat, membuat orang merasakan tubuhnya hangat dan nyaman, lagi pula batu tersebut seolah-olah mengeluarkan sejenis minyak.

Di tengah hiolo batu itu, masih terdapat pula asap tipis yang mengepul ke udara.

Entah benda apa yang terbakar dalam hiolo itu, yang jelas Cu Siau-hong segera mengendus bau harum yang semerbak.

Hiolo batu itu memiliki bentuk yang sangat aneh, semuanya terdiri dari dua tingkat, kalau pada tingkat atas datar dan halus, lagi pula terdapat sebuah selimut bulu yang sangat tebal, maka pada bagiannya merupakan sebuah wadah yang mengeluarkan asap hijau yang tipis.

Cu Siau-hong segera masukkan tubuh Ui Thong ke dalam hiolo batu itu, ternyata persis sekali, hingga cuma kepalanya saja yang kelihatan dari luar.

Tampaknya hiolo batu itu memang secara khusus digunakan untuk menyembunyikan diri, karena tempat itu persis dengan perawakan tubuh Ui Thong........

Setelah membaringkan tubuh Ui Thong, Cu Siau-hong baru mendongakkan kepalanya dan memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya sinar mata itu berhenti di atas lentera dalam ruangan.

Lentera tersebut dipersiapkan secara teliti, permukaannya terbuat dari kaca dengan sebuah sumbu lampu yang muncul dari balik dinding batu, pada sekeliling kaca tadi terdapat pula beberapa puluh lubang hawa yang amat kecil, tidak diketahui sumbu lampu tersebut terbuat dari apa? Ternyata sama sekali tidak berkedip-kedip sewaktu terhembus angin.

Sekalipun siar yang dipancarkan dari lampu lentera itu tidak terlalu tajam, akan tetapi secara lamat-lamat dapat melihat jelas semua pemandangan dalam ruangan tersebut.

Kecuali hiolo batu raksasa serta lentera aneh tersebut, boleh dibilang dalam ruangan itu tiada benda yang lain.

Sebenarnya tempat itu membawa suasana antik yang menyeramkan, tapi setelah ditambah dengan kehadiran Ui Thong dalam bungkusan kain kuning seperti orang mati dalam hiolo itu, maka suasananya segera terasa sama sekali berubah.

Setelah memperhatikan suasana dalam ruangan batu itu, Cu Siau-hong mulai mempertimbangkan diri atas kejadian itu, selama ini dia harus menunggu selama dua hari lagi sebelum membuka isi kantong yang kedua, atau dengan perkataan lain selama ini dia harus berjaga terus di dalam ruangan batu ini.

Setelah melalui suatu pemikiran yang seksama, akhirnya diputuskan untuk tetap tinggal di sana, sebab inilah kesempatan yang sangat baik baginya, selain bisa menunggu di samping Ui Thong, dia pun dapat mempergunakan waktu yang tersedia untuk melatih baik-baik ilmu Ciat-lip-jiu tersebut.

Dua hari kembali sudah lewat, selama ini Cu Siau-hong hampir terbuai dalam latihannya yang menghisap segenap perhatiannya itu, ia lupa lapar dia pun lupa lelah.

Menanti ia merasakan bahwa ilmu Ciat-lip-jiu yang dipelajarinya berhasil mencapai tingkatan yang memuaskan, pemuda itu baru berhenti berlatih.

Tapi begitu berhenti, perut yang lapar pun mulai merasa melilit-lilit sehingga sukar ditahan.

Anak muda itu bangkit berdiri, kemudian berjalan keluar dengan cepat.

Pemuda itu berwatak cukup tenang, dia pun dapat mempertimbangkan berat entengnya suatu persoalan, maka ia tidak berharap untuk berjumpa dengan siapa pun dalam keadaan seperti ini.

Tempat ini terlalu tenang, itulah kesempatan terbaik baginya untuk melatih diri, lagi pula dia pun harus tetap tinggal di sini, karena itulah ia menginginkan ketenangan dan tak ingin diganggu siapa pun.

Ia harus tetap tinggal di sana, sehingga pada akhirnya bisa melihat hasil dari kejadian ini.

Sebab itu dengan sangat berhati-hati dia meninggalkan ruangan batu, keluar dari gua dan menyembunyikan diri dibalik kegelapan.

No comments: