Saturday 24 January 2009

Pena Wasiat 8

Oleh : Tjan ID

“Duduklah yang baik di situ, bila berani melakukan sesuatu gerak-gerik yang mencurigakan, jangan salahkan kalau aku akan merenggut nyawamu......”

Setelah membuka tutup botol dan mengeluarkan sebuah butir pil berwarna putih, katanya kembali.

“Sekarang, buka mulutmu lebar-lebar, coba dulu sebutir!”

Di bawah ancaman kematian, Pi Kay berubah menjadi sangat penurut sekali, ia segera membuka mulutnya dan menelan pil tadi.

Menunggu pil itu sudah masuk ke dalam perutnya, Pek Bwe baru menelan pula dua butir, katanya.

“Dua butir sudah cukup?”

Pi Kay manggut-manggut.

Setelah menelan pil tadi, ia berkata lagi,

“Selanjutnya apa yang musti kulakukan?”

“Mengatur napas agar obat itu mulai bekerja.”

“Semoga saja obat yang kau berikan kepadaku itu adalah obat pemunah yang sebenarnya.”

Setelah menotok kembali jalan darah bisu di tubuh Pi Kay, diam-diam dia mulai mengatur napas untuk bersemedi.

Ternyata obat itu memang betul-betul obat pemunah yang mujarab, setelah mengatur napas dan obat tersebut mulai bereaksi, Pek Bwe merasakan racun dalam tubuhnya mulai lenyap tak berbekas.

Akhirnya setelah pengaruh racun itu lenyap sama sekali, dia baru menepuk bebas jalan darah bisu orang, katanya :

“Sekarang, aku ingin mendengarkan asal-usulmu lebih dulu, nah katakanlah!”

Pi Kay menghela napas panjang.

“Sebetulnya siapakah namamu? Tak kusangka sedemikian hebatnya kepandaianmu.”

Pek Bwe segera berkata.

“Pi Kay, ingatlah baik-baik, yang bertanya sekarang adalah aku, bukan kau, cuma bila kau bersedia menjawab pertanyaanku, dengan sejujurnya Lohu pun bersedia untuk memberitahukan asal-usulku yang sebenarnya kepadamu.”

Pi Kay manggut-manggut.

“Baiklah!” ia berkata, “akan kusebutkan dulu namaku, aku betul-betul she Pi, cuma bukan bernama Kay!”

“Lantas siapa namamu?”

“Pi Sam-long.........”

Mendengar nama itu Pek Bwe segera berseru :

“Oooh.......... kiranya kau adalah Tok-hong (lebah beracun) Pi Sam-long.”

“Kau juga tahu akan aku?” Pi Sam-long tampak agak tertegun.

“Apakah kau adalah anak murid dari Kiu-ci-tok-siu (kakek beracun berjari sembilan) Seng Kong-sin?”

“Dugaanmu benar............. aku berurutan nomor tiga.”

“Seng Kong-sin dengan Lohu bukan cuma kenal saja bahkan mempunyai hubungan persahabatan yang cukup akrab, entah pernahkah ia membicarakan soal diriku ini kepada kalian?”

“Kau orang tua belum menerangkan siapa namamu, dari mana Boanpwe bisa menjawab?”

“Lohu adalah Pek Bwe!”

“To-heng-siu, Pek Bwe?”

“Betul! Itulah Lohu!” Pek Bwe mengangguk.

“Suhu pernah menyinggung soal Cianpwe, katanya tempo hari dia orang tua pernah ditolong oleh Cianpwe.”

“Ah, cuma satu urusan kecil, tidak terhitung seberapa.”

“Tapi Suhu selalu memikirnya di hati, beliau pernah berpesan kepadaku serta kedua orang Suhengku agar bersikap hormat bila bertemu dengan kau orang tua dalam dunia persilatan, sungguh tak nyana Boanpwe telah meracuni orang tua, jika kejadian ini sampai diketahui Suhu niscaya kulitku akan dikelupas!”

Pek Bwe segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh........... haaahhh........... haaahhh........... tidak mengapa, siapa tak tahu dia tak bersalah, kau toh tidak tahu siapakah diriku, mana aku bisa menyalahkanmu?”

“Pek-ya!” kata Pi Sam-long kemudian, Suhu pernah melukiskan raut wajahmu kepada kami, tapi kau sedikit pun tidak mirip saja, Boanpwe meski punya nyali yang besar juga tak akan berani turun tangan terhadap dirimu.”

“Lohu sedang menyamar, tentu kau tak akan mengenaliku, saudara Pi, aku lihat kau pun bukan berwajah yang sesungguhnya!”

“Boanpwe mengenakan selembar kulit manusia, silakan Pek-ya menyebut Pi Sam-long kepadaku, ucapan saudara tak berani Boanpwe terima........”

Setelah berhenti sejenak, terusnya,

“Locianpwe, cepat bebaskan dulu jalan darahku yang telah kau totok itu..........”

“Oya, hampir saja aku kelupaan!” seru Pek Bwe sambil tertawa.

Tangan kanannya bergerak cepat melepaskan dua pukulan ke tubuh Pi Sam-long, seketika itu juga bebaslah jalan darahnya yang tertotok.

Buru-buru Pi Sam-long mengeluarkan kembali sebuah botol porselen dari sakunya, sambil membuka penutup botol itu, katanya,

“Cepat! Cepat telan pil yang berada dalam botol ini.”

“Apa yang telah terjadi?” tanya Pek Bwe agak tertegun.

“Pil yang barusan Locianpwe telan bukan obat pemunah...........”

“Aku sudah mencoba untuk atur pernapasan, rasanya racun yang mengeram di tubuhku telah lenyap,” tukas Pek Bwe.

“Aku tahu, pil itu bernama Yan-tok-wan, setelah ditelan memang sari racun di tubuh akan lenyap untuk sementara waktu, padahal sesungguhnya racun itu hanya tertekan oleh daya kerja obat, begitu kambuh maka kehebatannya berpuluh-puluh kali lipat akan lebih dahsyat, bahkan kemungkinan akan merenggut nyawa.”

“Ooo...... tampaknya kepandaian Suhumu dalam mempergunakan racun, makin lama semakin lihay saja.”

Pi Sam-long sendiri menelan sebutir lebih dulu, kemudian baru berkata lagi,

“Locianpwe, cepat telan, lalu kita ke tempat penginapanku untuk mendesak keluar sari racun itu lebih dulu, kemudian baru bercakap-cakap lagi.”

Menyaksikan kegelisahan yang menyelimuti wajahnya, Pek Bwe tak berani berayal lagi, buru-buru ia telan pil yang disodorkan kepadanya itu.

Setelah menyimpan kembali botol pil itu, Pi Sam-long berkata :

“Hayo berangkat! Tempat ini bukan tempat untuk berbicara, mari kita bercakap-cakap di rumah penginapan saja.”

“Jauhkah dari sini?”

“Tidak terlalu jauh, di seberang jalan sana rumah penginapan Hong-im-khek-can”

Agaknya dia sangat gelisah, sebelum Pek Bwe berbicara lagi, dia telah beranjak dan meninggalkan tempat itu.

Terpaksa Pek Bwe harus mengikuti di belakangnya.

Tempat yang ditinggali Pi Sam-long dalam rumah penginapan Hong-im adalah sebuah kamar kelas satu di halaman kedua.

Mungkin untuk menunjukkan ketulusan hatinya, begitu berada dalam kamar, ia segera melepaskan topeng kulit manusianya hingga tampak wajah aslinya.

“Locianpwe silakan duduk di pembaringan untuk bersemedi dan mendesak keluar sari racun dari tubuh, Boanpwe akan menyiapkan air panas untukmu.”

“Kenapa? Apakah perlu membersihkan badan?”

“Bila racun itu sudah didesak keluar oleh Locianpwe dengan tenaga dalammu, maka sari racun akan berubah menjadi keringat yang berbau busuk, tentu saja badan musti dibersihkan.”

Dalam keadaan demikian, walaupun dalam hati kecilnya Pek Bwe masih agak curiga, namun ia tidak enak untuk memperlihatkan di wajahnya, maka jago tua ini pun mengangguk.

“Kalau begitu, aku musti merepotkan kau!”

Dengan cepat ia duduk bersila, memejamkan mata dan mulai atur pernapasan untuk mendesak keluar sari racun dari dalam badan.

Betul juga, begitu mulai bersemedi, dia baru merasakan bahwa racun jahat masih tetap mengeram dalam tubuhnya.

Untung saja tenaga dalam yang dimilikinya cukup sempurna, setelah bersemedi sekian waktu, akhirnya peluh sebesar kacang mengucur keluar membasahi sekujur badannya.

Lamat-lamat Pek Bwe mulai mengendus bau amis yang sangat busuk bercampur dengan air keringatnya.

Bahkan makin lama bau busuk tersebut makin menebal sehingga amat menusuk hidung.

Tapi dengan mengucurnya keringat berbau busuk itu, ia merasa racun dalam tubuhnya mulai lenyap, akhirnya ketika ia selesai bersemedi sekujur tubuhnya telah basah kuyup.

Ketika membuka matanya kembali, tampak Pi Sam-long dengan senyum di kulum telah berdiri di hadapannya.

Andaikata Pi Sam-long berniat mencelakainya, maka di saat Pek Bwe sedang mengatur pernapasan tadi, ia pasti sudah turun tangan. Seandainya sampai begini, sekalipun Pek Bwe punya cadangan nyawa sebanyak sembilan lembar pun pasti akan habis semua di tangannya.

Sambil tersenyum Pi Sam-long berkata :

“Locianpwe, air telah kusiapkan, silakan membersihkan badan lebih dulu sebelum bercakap-cakap!”

Dalam kamar mandi sudah tersedia air segentong besar dan satu setel baju, persiapannya ternyata cukup baik.

Selesai membersihkan badan dan ganti pakaian baru, Pek Bwe mendapatkan baju itu pas betul dengan perawakan tubuhnya, tanpa terasa ia mulai berpikir.

“Walaupun nama bocah ini di dalam dunia persilatan kurang baik, namun kepandaiannya dalam pergaulan cukup hebat.”

Keluar dari kamar mandi, dalam kamar telah tersedia semeja hidangan lezat.

Pi Sam-long yang berada di sisinya segera berkata sambil tertawa :

“Locianpwe, setelah mengatur napas untuk mendesak keluar racun dari tubuh, kekuatan Cianpwe pasti banyak berkurang, silakan bersantap sedikit sambil bercakap-cakap.”

Ketika itu Pek Bwe sudah muncul dengan wajah yang sebenarnya, sambil duduk ia lantas berkata seraya tertawa :

“Kau melayani aku dengan cara begini, sebetulnya apa tujuanmu?”

“Suhu telah meninggalkan pesan kepada hamba, dan Boanpwe berjodoh bisa berkenalan dengan Cianpwe, tentu saja Boanpwe harus melayani dengan sebaik-baiknya, masa aku bisa bertujuan lain?”

“Baik, kau pun boleh duduk!” kata Pek Bwe sambil tertawa, “menghadapi pelayananmu terhadap Lohu, paling tidak aku pun harus membantu dirimu, mari kita bicarakan dulu persoalan Lohu.”

“Aku tahu, jika kau orang tua tidak sedang menjumpai masalah yang sangat penting, tak nanti kau akan pergi dengan wajah menyaru.”

“Betul, untuk gampangnya, Lohu akan bertanya kau yang menjawab!”

“Boanpwe turut perintah.”

“Sekarang katakan dulu, kenapa kau datang kemari, dan mengapa harus dengan jalan menyaru? Apakah kau takut asal-usulmu diketahui oleh orang lain?”

“Kedatangan Boanpwe kemari adalah atas undangan orang, tujuannya adalah untuk menghadapi Kay-pang, maka aku terpaksa musti berganti rupa dengan jalan menyaru.”

Satu ingatan segera melintas dalam benak Pek Bwe, pikirnya :

“Bagus sekali, baru sepatah kata tujuanku sudah tercapai, ini menunjukkan kalau dia berbicara sejujurnya.”

Berpikir demikian, dia pun lantas berkata,

“Siapakah yang mengundangmu untuk datang kemari menghadapi Kay-pang? Kau toh tahu Kay-pang adalah organisasi besar yang anggotanya tersebar sampai di mana-mana, bila bermusuhan dengan Kay-pang, apakah kau bisa tancapkan kakimu kembali dalam dunia persilatan di kemudian hari?”

“Itulah sebabnya terpaksa Boanpwe harus menyamar, sedangkan mengenai siapa yang telah mengundang Boanpwe, kalau dibicarakan mungkin Locianpwe tak akan percaya.”

“Apakah orang itu berkain cadar...........”

“Bukannya berkain cadar, dia adalah seorang perempuan,” jawab Pi Sam-long cepat.

“Perempuan? Perempuan macam apakah dia?”

“Seorang perempuan berusia dua puluh empat lima tahunan yang sangat genit, tapi orangnya royal sekali, ia mengundangku kemari dengan janji bila aku turun tangan dua kali kemudian angkat kaki, maka dia akan memberi lima ribu tahil perak sebagai balas jasanya, bahkan sebelum bekerja, ia memberi persekot dua ribu lima ratus tahil perak lebih dahulu.”

“Siapa nama perempuan itu?” tanya Pek Bwe setelah termenung sebentar.

“Dia tak mau menyebutkan nama aslinya, tapi, semua orang memanggilnya sebagai nona Sui.”

Pek Bwe segera mendehem pelan.

“Pi Sam-long, aku rasa bukan melulu lantaran uang saja kau bersedia untuk memberikan bantuanmu?”

“Ketajaman mata Cianpwe memang luar biasa, Boanpwe tak berani membohongi dirimu, nona Sui memang seorang gadis yang genit dan pandai bermain cinta.”

Mendengar itu Pek Bwe segera menghela napas panjang.

“Ai, jika uang dan perempuan bekerja sama tak heran kau bisa ditaklukkan olehnya.”

“Sesungguhnya antara perguruan Boanpwe dengan pihak Kay-pang memang mempunyai sedikit perselisihan, maka Boanpwe menyanggupi permintaannya, siapa tahu nasibku memang tak mujur, baru turun tangan sudah bertemu dengan kau orang tua.”

“Masih untung aku yang kau jumpai, jika orang Kay-pang yang menjadi korbanmu, bukan berhasil sebaliknya malah akan mendatangkan kesulitan yang sangat besar buat Seng Kong-sin. Betul antara Suhumu dengan Kay-pang terjadi perselisihan, tapi bukan suatu dendam kesumat sedalam lautan, sudah lama Kay-pang melepaskan persoalan ini untuk tidak dipersoalkan kembali, kenapa kau justru malahan mencari gara-gara?”

Pi Sam-long tertawa getir,

“Mungkin iman Boanpwe belum cukup terlatih, sehingga mudah diperalat mereka,” katanya.

“Kau tak bisa dikatakan telah diperalah,” ujar Pek Bwe sambil tertawa, “andaikata kau tidak setuju, siapa pun tak akan berhasil memaksamu apa lagi Suhumu tidak terlalu mementingkan soal peraturan, rasanya kalian yang menjadi muridnya juga pernah terikat oleh peraturan perguruan bukan?”

“Walaupun dalam perguruan kami tidak berlaku peraturan rumah tangga, tapi Suhu pernah berpesan agar kami tidak meracuni tiga hal.”

“Tiga hal yang mana?”

“Pertama tidak meracuni orang yang berbakti kepada orang tua, setia kepada atasan, kedua tidak meracuni perempuan yang saleh dan ksatria yang jujur, ketiga tidak meracuni orang yang tak pandai bersilat.”

Pek Bwe segera tertawa.

“Kay-pang selamanya menitikberatkan pada kesetiaan dan jiwa ksatriaan, jika kau meracuni orang Kay-pang bukankah berarti telah melanggar pantangan yang kedua?”

“Pek-locianpwe, sepanjang tahun orang Kay-pang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, terus terang saja mereka tidak terhitung seorang ksatria yang jujur, betul peraturan perkumpulan mereka menitikberatkan pada soal kesetiaan, namun mereka pribadi bukan seorang yang ksatria, Suhu pernah menerangkan secara khusus kata jiwa ksatria tersebut, karena Suhu tak ingin kami menganggap semua yang gagah dalam dunia persilatan orang-orang ksatria yang jujur.”

“Mari kita tak usah membicarakan soal itu lagi, hanya ingin kuketahui nona Sui saat ini berada di mana? Tahukah kau?”

“Aku hanya tahu ia berdiam dalam lorong tersebut, sedangkan rumah yang manakah yang dihuni, Boanpwe kurang begitu jelas.”

Pek Bwe termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya :

“Asal gangnya diketahui, rasanya jauh lebih baik daripada mencari secara membabi buta di seluruh kota Siang-yang, katakanlah kepadaku, dia berada di gang mana?”

“Tentang soal itu mah, Boanpwe sanggup menghantar Cianpwe ke situ.”

“Bagus sekali, Lohu masih ingin menanyakan satu hal.”

“Bila Cianpwe ada pertanyaan, silakan saja ditanyakan, pokoknya asal Boanpwe sanggup melaksanakan, pasti akan Boanpwe kerjakan sedapat mungkin.”

“Apa pula yang terjadi dengan si nona berbaju hijau yang berada di loteng Wong-kang-lo?”

“Siapakah mereka? Datang dari mana? Boanpwe sendiri juga kurang jelas, tapi mereka bukan sekomplotan dengan nona Sui, tentang soal ini Boanpwe berani menjamin kebenarannya.”

“Kenapa kau berani mengatakan demikian?”

“Perintah pertama yang Boanpwe terima dari mereka adalah meracuni nona berbaju hijau itu, maka Boanpwe baru sengaja duduk memilih tempat sedekat itu dengan mejanya, tapi sejak kemunculan Locianpwe, mereka lantas memberi perintah kepada Boanpwe agar meracuni Locianpwe, pokoknya aku telah mengabulkan permintaannya untuk turun tangan sebanyak dua kali, bila semuanya berjalan lancar, hari ini juga aku bisa terima sisa uang yang lain dan segera meninggalkan tempat ini.”

“Selama ini Lohu memperhatikan terus sekeliling tempat itu, mengapa tidak kulihat orang yang memberi tanda kepadamu?”

Pi Sam-long segera tertawa,

“Mereka mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, setiap hal yang kecil dan sepele pun mereka atur dengan teratur dan cermat, dengan mempergunakan suatu kode tertentu mereka memberi tanda kepadaku untuk turun tangan, biasanya kode itu sekitar menggunakan alat yang ada di loteng itu, dengan sendirinya gerak-gerik mereka tak akan menimbulkan perhatian orang.”

Pek Bwe manggut-manggut,

“Jadi kalau begitu, sewaktu Lohu membawamu meninggalkan tempat itu, jejak kita tentu sudah mereka ketahui bukan?”

“Yaa, mereka sudah tahu.”

“Kenapa tidak nampak ada orang yang menyusul datang?”

“Sebab aku telah memberi tanda agar mereka jangan menyusul kemari.”

“Sungguhkah mereka bisa percaya dengan perkataanmu?” kata Pek Bwe sambil tersenyum.

“Mungkin saja tak percaya, tapi paling tidak mereka pun tak berani segera melanggarnya.”

“Pi Sam-long, apakah di pihak mereka sana terdapat banyak orang?”

“Kau maksudkan nona Sui sekalian?”

“Ya, Pi Sam-long, tentu sudah lama bukan kau melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, pernahkah kau dengar tentang suatu organisasi yang sangat misterius?”

Mendengar pertanyaan itu, Pi Sam-long menjadi tertegun, kemudian serunya tertahan :

“Betul! Kalau bukan disinggung Locianpwe, aku pun tak sampai berpikir ke situ, cara kerja mereka memang menyerupai suatu organisasi, tapi anehnya tak seorang pun yang tahu akan munculnya organisasi yang sangat besar itu.”

“Pi Sam-long, Lohu hendak mengetes dirimu, coba menurut pendapatmu apa yang menyebabkan terjadinya hal ini?”

“Mungkin mereka adalah suatu organisasi yang baru saja dibentuk dalam dunia persilatan.”

“Mungkin juga mereka adalah suatu organisasi dalam dunia persilatan yang telah kita ketahui, tapi muncul kembali dengan wajah yang lain?” sambung Pek Bwe.

“Betul! Kalau mereka adalah suatu organisasi yang baru muncul dalam dunia persilatan, paling tidak kita pasti akan mendengar tentang kabar beritanya.”

“Pi Sam-long, belakangan ini apa saja yang pernah kau dengar dari dunia persilatan?”

“Tidak ada, selama setahun lebih, dunia persilatan tampaknya sangat tenang.”

“Semenjak kedatanganmu di kota Siang-yang, apakah kau temukan suatu yang aneh?”

Pi Sam-long termenung dan berpikir sejenak, kemudian jawabnya :

“Tampaknya organisasi kaum nelayan Siang-yang cuan-pang telah ketimpa suatu kejadian penting, belasan buah sampan cepat mereka telah berlabuh semua di dermaga, biasanya sampan-sampan tersebut dipakai oleh mereka yang berkedudukan tinggi dalam organisasi perahu, tidak mungkin bukan dalam waktu singkat ada puluhan buah sampan yang berlabuh menjadi satu di dermaga andaikata tidak terjadi suatu peristiwa besar?”

Mendengar ucapan tersebut, kembali Pek Bwe berpikir di dalam hati :

“Tampaklah perkumpulan Pay-kau yang memimpin organisasi perahu sudah mulai melakukan aksi, sekalipun Pay-kau tidak menunjukkan rasa terima kasih yang tebal kepada Ling-kang seperti apa yang diperlihatkan pihak Kay-pang, namun mereka pun tidak melupakan budi kebaikan Ling-kang terhadap Pay-kau, dari berkumpulnya begitu banyak sampan cepat di dermaga, menandakan kalau banyak jago lihay dari pihak Pay-kau telah berkumpul di kota Siang-yang.”

Tentu saja kemungkinan berkumpulnya orang-orang itu disebabkan kematian dari Tiong Ling-kang.

Terdengar Pi Sam-long berkata lebih lanjut,

“Kalau berbicara menurut keadaan biasanya, ini menandakan kalau banyak jago lihay dari Pay-kau telah berkumpul di sini.”

Ketika berbicara sampai di situ, mendadak ia menjadi terperanjat sendiri, sambil melompat bangun gumamnya :

“Yaa, heran amat, mau apa begitu banyak jago dari Pay-kau berkumpul di sini?”

Melihat kekagetan orang, Pek Bwe tertawa, dia segera mengalihkan kembali pokok pembicaraan ke soal lain, katanya :

“Pi Sam-long, menurut pendapatmu, apakah mereka juga sudah mengetahui akan gerak-gerikmu?”

“Soal ini sulit untuk dikatakan!”

“Sekarang apakah kau berani untuk kembali?” tanya Pek Bwe kemudian sambil tertawa ewa.

Pi Sam-long berpikir sejenak, lalu jawabnya :

“Asal mereka belum mengetahui keadaanku yang sebenarnya, tentu saja keadaanku masih aman sekali.”

“Jangan terlalu dipaksakan, kalau kau merasa posisimu sudah mulai terancam oleh mara bahaya, maka carilah akal untuk pergi.”

Dengan suara rendah ia menyatakan tempat tersebut, bahkan memberitahukan pula kepadanya apa yang harus dikatakan.

Mendengar itu Pi Sam-long segera manggut-manggut.

“Locianpwe,” katanya, “aku lihat kau seperti lagi menyelidiki sesuatu. Apakah masih perlu menyamar?”

Pek Bwe segera tersenyum dan menggeleng.

“Tak usah, selama berkelana dalam dunia persilatan hampir puluhan tahun lamanya aku tak pernah ganti nama tak pernah ganti rupa, sekalipun hari ini kugunakan topeng kulit manusia, namun rasanya kurang leluasa. Apalagi pihak lawan tak dapat mengenaliku, orang sendiri pun sama juga tak dapat mengenaliku.”

“Eeeh kenapa? Apakah Locianpwe masih mengutus pula anak buah yang lainnya?” tanya Pi Sam-long cepat.

Pek Bwe hanya tertawa, dia segera mengalihkan kembali pembicaraan ke soal lain, katanya kembali :

“Oleh sebab itu lebih baik Lohu berjalan dengan wajah yang sebenarnya saja.”

“Tolong tanya, Locianpwe bermaksud hendak ke mana?”

“Rumah makan Wong-kang-lo, nona berbaju hijau itu sangat mencurigakan, dua orang perempuan setengah umur yang mengiringi juga bukan manusia baik, aku musti kembali ke situ karena tempat yang kalut, tepat sebagai tempat untuk beradu otak dengan lawan.”

“Baiklah, kalau begitu Locianpwe harap berjalan selangkah lebih duluan, Boanpwe pun akan kembali ke situ, cuma aku tak bisa meniru cara Locianpwe, aku harus menyamar lebih dulu.”

“Baik, kalau begitu Lohu akan berangkat selangkah lebih duluan.”

“Locianpwe lebih baik berhati-hati, keluar lewat jendela saja,” bisik Pi Sam-long.

“Jangan kuatir,” Pek Bwe tertawa, “Lohu bisa berhati-hati.”

Setelah berputar satu lingkaran, dia muncul kembali di rumah makan Wong-kang-lo.

Kali ini ia muncul dengan wajah Pek Bwe yang asli, betul juga, kedatangannya segera menarik perhatian beberapa orang.

Pek Bwe pun diam-diam memperhatikan sekitar tempat itu, ia menemukan paling tidak ada empat orang yang sedang memperhatikan dirinya di dalam rumah makan Wong-kang-lo tersebut.

Orang-orang itu semua mengenakan pakaian yang amat bersahaja, sedikit pun tidak membawa bau sebagai seorang jago persilatan.

Walaupun demikian, Pek Bwe tahu bahwa orang-orang itu adalah kawanan jago persilatan yang telah menyamar.

Tamu yang bersantap dalam rumah makan Wong-kang-lo masih tetap banyak, nona berbaju hijau itu pun masih tetap duduk di tempatnya semula.

Pek Bwe mencari tempat duduk, memanggil pelayan, dan memesan sayur dan arak.

Pada saat itulah salah seorang dari dua orang perempuan setengah umur itu memalingkan kepalanya secara tiba-tiba dan memandang sekejap ke arah Pek Bwe.

Melihat kejadian itu, Pek Bwe mengerutkan dahinya, lalu berpikir,

“Agaknya perempuan itu kenal dengan aku, kenapa Lohu tidak teringat akan dirinya? Di manakah kami pernah bersua?”

Sementara itu dari bawah tangga muncul kembali seorang tamu, dia adalah seorang sastrawan berbaju biru yang perlente, dengan langkah yang gagah ia masuk ke lain ruangan.

Orang itu langsung menuju ke meja yang ditempati Pek Bwe dan duduk tepat di hadapannya, lalu tertawa, katanya :

“Lo-heng, tolong tanya apakah kau she Pek?”

“Terlalu banyak orang yang kenal Lohu di dunia ini, tolong tanya siapakah nama anda?”

Orang itu bukannya menjawab, sebaliknya bertanya kembali :

“Apakah kau adalah Pek Bwe, Pek Loya-cu, orang persilatan menyebutmu sebagai To-heng-siu (kakek sakti yang berjalan seorang diri) Pek-tayhiap?”

“Lote, kau pandai amat mengumpak orang, mana Loya-cu mana Pek-tayhiap membuat hatiku menjadi gembira saja, coba katakan, ada urusan apa kau mencari aku?”

“Kalau begitu aku tidak salah mencari orang,” bisik orang berbaju biru itu.

“Orang yang kau cari memang benar aku, tak bakal salah lagi, akulah To-heng-siu Pek Bwe!”

“Bagus, bagus sekali, tampaknya nasibku memang lagi mujur.”

“Lote, kau sudah banyak berbicara tapi tak sepatah kata pun yang berguna,” tegur Pek Bwe sambil berkerut kening.

Manusia berbaju biru itu segera tertawa.

“Ini namanya melempar batu bata mencari batu kemala, kata-kata yang enak didengar tentu saja akan segera kuutarakan.”

“Lohu siap mendengarkan dengan seksama!” ucap Pek Bwe dengan wajah serius.

“Aku ingin menjual semacam benda kepadamu, entah bolehkah kita bicarakan soal harganya?”

“Harus kulihat dahulu benda macam apakah benda itu, kalau barangnya bagus tentu saja harganya tinggi, kalau barangnya jelek siapa yang mau membayar mahal?”

“Sepucuk surat!”

“Surat? Surat siapa?”

Orang berbaju biru itu memandan sekejap sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya ada beberapa pasang mata sedang memperhatikan ke arahnya, ia segera menghela napas panjang.

“Aaai.........! aku lihat tempat ini kurang cocok kalau dipakai sebagai tempat untuk berunding.”

“Oooh, maksudmu kau hendak berpindah ke tempat lain saja untuk membicarakan persoalan ini?”

“Betul, apakah Pek Loya-cu tertarik untuk melanjutkan perundingan ini?”

Pek Bwe segera tertawa,

“Setiap masalah tiada yang tak bisa dibicarakan, Lohu rasa tempat ini paling cocok untuk merundingkan persoalan itu, jadi kalau hendak berbicara, silakan diutarakan.”

Manusia berbaju biru itu termenung sebentar, akhirnya ia berkata setengah berbisik,

“Masalah tentang perguruan Bu-khek-bun.”

“Bu-khek-bun? Kenapa dengan Bu-khek-bun?”

“Bukankah orang-orang Bu-khek-bun sudah tertimpa musibah?”

“Ehmm!”

Orang berbaju biru itu segera merendahkan suaranya, pelan-pelan dia berkata lagi :

“Seorang she Tiong yang menyuruh aku membawa sepucuk surat datang kemari!”

Ucapan tersebut ibaratnya sebuah martil berat yang menghantam dada Pek Bwe, sekujur tubuhnya kontan bergetar keras.

Tiba-tiba ia bangkit berdiri tapi segera duduk kembali, katanya kemudian dengan suara lembut :

“Orang muda kuhormati secawan arak kepadamu.”

Sementara pelayan telah menyiapkan sepasang sumpit dan sebuah cawan untuk pemuda itu, Pek Bwe segera memenuhi isi cawannya.

“Terima kasih, terima kasih,” kata orang berbaju biru itu, ia segera mengangkat cawan dan meneguk isinya sampai habis.

Pek Bwe meneguk pula secawan arak, katanya kemudian :

“Lote, siapa namamu?”

“Aku she Ciu, bernama Ciu Kim-im.”

“Ciu Kim-im?” dengan cepat otaknya berputar kencang berusaha untuk mengingat siapa gerangan Kim-im ini.”

Sebelum berhasil mendapatkan jawabannya, sambil tertawa Ciu Kim-im telah berkata lagi,

“Pek-cianpwe, apakah tempat ini tidak kurang leluasa untuk berbicara.......”

“Ciu-lote, asal kita merendahkan suara pembicaraan kita, sekalipun orang lain agak curiga, mereka tak akan menduga apa yang sedang kita bicarakan.”

“Pek-locianpwe, kenapa kau bersikeras untuk mengadakan pembicaraan di sini?”

“Apakah kau tidak merasa bahwa suatu badai besar akan segera melanda di tempat ini?”

“Jika kita tinggal di sini, maka pasti ada kesempatan untuk kita guna menonton keramaian ini.”

Ciu Kim-im hanya tertawa dan tidak banyak berbicara lagi.

Ternyata Pek Bwe cukup dapat menguasai diri, dia pun tidak bertanya lagi :

Dalam pada itu, salah seorang dari dua orang perempuan setengah umur itu telah bangkit berdiri, katanya mendadak :

“Nona, kita harus berangkat!”

Nona berbaju hijau itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya,

“Ia berjanji akan datang kemari, tak nanti dia akan membohongi diriku, aku harus menunggu lagi di sini.”

“Nona, sekarang tengah hari sudah lewat, ia telah berjanji tak akan lewat tengah hari,” ucap perempuan setengah umur itu sambil menghela napas.

“Gin-so, kita sudah menempuh perjalanan sejauh ini datang kemari, siapa tahu kalau sepanjang jalan ia sudah menjumpai kejadian yang lain?”

Gin-so berpaling dan memandang sekejap ke arah perempuan setengah umur lain yang masih duduk itu, bisiknya :

“Toaci, menurut pendapatmu apa yang harus kita lakukan?”

“Kalau nona segan melakukan perjalanan, apa yang musti kita lakukan?”

“Kau turunlah lebih dulu untuk menyiapkan kereta, aku akan menemani nona untuk duduk sebentar lagi.”

Agaknya Gin-so masih ingin mengucapkan sesuatu, tapi ketika kata-kata itu sampai di ujung bibir segera ditelannya kembali, dengan langkah lebar dia segera berlalu dari situ, bahkan bantalannya juga dibawa serta.

“Pek-cianpwe,” tiba-tiba Ciu Kim-im berbisik, “pengetahuanmu cukup luas, apakah pernah menjumpai nona ini sebelumnya?”

Pek Bwe segera menggeleng,

“Aku tidak kenal dengannya, aku pun tak pernah mendengar tentang dirinya.”

“Agaknya ia sedang menunggu kedatangan seseorang?”

Pek Bwe mengangguk.

“Betul, dia berjanji dengan seseorang untuk bertemu di loteng Wong-kang-lo, sekarang ia telah datang memenuhi janji, sebaliknya yang lain tidak datang untuk menepati janjinya.”

“Sudahkah Pek Loya-cu perhatikan dengan saksama, nona ini mempunyai paras muka yang cukup cantik,” bisik Ciu Kim-im.

“Ehmm, kecantikannya memang mengagumkan, meski Lohu tidak memperhatikan dengan seksama, namun dalam sekilas pandangan bisa kubedakan mana batu mana kemala.”

“Pek-ya, kita tetap tinggal di sini apakah lantaran nona tersebut?”

“Kalau dibilang karena dia sih tidak, Lohu cuma ingin tahu siapakah yang telah berjanji dengannya?”

Sementara itu tengah hari sudah lewat, tamu yang bersantap pun banyak yang sudah buyar, tapi masih ada belasan orang lain yang belum juga mau berlalu dari sana.

Diam-diam Pek Bwe menghitung jumlahnya, kecuali dia, Ciu Kim-im, si nona berbaju hijau, dan perempuan setengah baya itu, di atas loteng masih ada delapan orang.

Empat orang duduk berkelompok dalam satu meja, sedangkan empat orang yang lain terpisah dalam dua meja, mereka sedang berbisik-bisik membicarakan sesuatu, agaknya semuanya berkomplot.

Ciu Kim-im mencoba untuk bersabar, tapi akhirnya habis sudah kesabarannya, dengan cepat tegurnya :

“Pek-ya, agaknya kau tidak terlampau menguatirkan persoalan itu?”

“Kau maksudkan surat itu?”

“Benar! Kalau Pek-ya tidak berharap mengetahui lebih banyak tentang persoalan itu, aku ingin mohon diri lebih dahulu.”

Pek Bwe segera tersenyum,

“Orang she Tiong yang ada di dunia tak terhitung jumlahnya, entah siapakah pemuda yang kau maksudkan, apa pula hubungannya dengan Lohu?”

Melihat ketenangan orang, Ciu Kim-im berpikir pula :

“Jahe tua ini betul-betul pedasnya bukan kepalang, dia begitu tenang dan pandai menguasai diri, sungguh membuat orang tak dapat menebak apakah ia sedang gelisah atau tidak?”

Berpikir demikian, katanya kemudian,

“Konon pemuda itu bernama Tiong It-ki, cuma betul atau tidak aku tak terlalu yakin karena daya ingatku kurang baik.”

Pek Bwe pun manggut-manggut.

“Kalau dia bernama Tiong It-ki, memang benar ada hubungannya dengan Lohu.”

“Apa hubunganmu dengannya?”

“Masih famili. Nah, Lote! Sekarang berikan surat itu kepadaku.”

Ciu Kim-im kembali celingukan ke sana kemari, kemudian katanya,

“Pek-ya, apakah kau hendak meminta surat tersebut di sini juga?”

“Benar, di sini juga.”

“Aku rasa tempat ini kurang begitu baik,” ucap Ciu Kim-im sambil tertawa lebar.

“Jangan kuatir Lote, usiaku sudah tua, banyak sudah kejadian yang kualami, jangankan baru daratan atau sungai, samudra luas pun pernah kukunjungi. Jangan toh baru urusan sekecil ini, masalah lebih besar pun aku juga berani.”

“Jika Pek-ya memang berkata begitu, baiklah aku akan menuruti perintah saja.”

Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah sampul surat dan menyerahkannya ke depan.

“Silakan dibuka!” katanya.

Setelah menerima sampul surat itu, Pek Bwe menimangnya sebentar, kemudian sambil tertawa dia berkata,

“Isi sampul surat ini kecuali selembar surat, entah masih ada apa lagi isinya?”

“Pek-ya, surat itu belum pernah kurobek, di atasnya masih disegel dengan lak merah!”

Pek Bwe manggut-manggut, dia pun merobek sampul surat tersebut.

Ternyata isinya kecuali selembar kertas surat, masih ada dua butir pil dan sebuah mata kunci :

Sikap Pek Bwe sangat wajar, setelah membaca isi surat itu dengan seksama, pelan-pelan ia masukkan kembali ke dalam sampul dan berkata :

“Ciu-lote, tahukah kau apa yang ditulis dalam surat tersebut?”

“Entahlah,” Ciu Kim-im menggelengkan kepalanya berulang kali, “aku belum pernah membaca isi surat itu, jadi aku tak tahu apa isinya.”

Sambil tertawa Pek Bwe mengelus jenggotnya yang putih.

“Ciu-lote, perlukah kuberitahukan hal ini kepadamu?” ia berkata.

“Bila Pek-locianpwe merasa tiada halangannya bagiku untuk ikut mengetahui, dengan senang hati akan Cayhe dengarkan.”

“Baiklah, isi surat itu tak lebih hanya merupakan suatu perintah yang amat memaksa orang.”

“Ooh.........”

Setelah tertawa dingin, Pek Bwe berkata kembali,

“Dalam surat itu, dia minta Lohu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan olehnya..........”

“Maksud Locianpwe?”

“Ciu-lote, sudah kau lihat kedua butir pil tadi?”

“Yaa, sudah kulihat, pil mustika apakah itu?”

“Pil racun! Dalam surat sudah tertulis jelas, Lohu harus menelan pil beracun itu, kemudian membawa kunci tersebut dan ikut Lote pergi, setelah tiba di depan sebuah gedung, buka pintu gerbang gedung itu dengan kunci tersebut..........”

“Dalam gedung itu.........,” tukas Ciu Kim-im.

“Di situlah cucu luarku Tiong It-ki berada!”

“Oooh......... rupanya keturunan langsung, apakah Pek-ya akan pergi menengoknya?”

“Aaaai......... pergi ke sana? Lohu sih ingin pergi, cuma aku pun merasa agak kuatir!”

“Apa yang kau kuatirkan?”

“Selembar nyawaku!”

“Pek-ya kan sudah terbiasa melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, banyak angin dan badai yang pernah kau jumpai, masakah persoalan sekecil ini pun kau pikirkan di hati?”

“Yang lain Lohu tak usah merasa kuatir, yang kukuatirkan justru adalah kedua butir pil beracun itu, aku takut perutku tak tahan.”

“Maksud Pek-ya.....”

“Begini saja Ciu-lote, mari kita bekerja sama saja.”

“Apakah aku dapat membantu?”

Pek Bwe memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu pikirnya :

“Empat orang yang duduk sendiri-sendiri itu salah satu di antaranya pasti Pi Sam-long, entah Siau-hong si bocah itu ikut datang atau tidak.......?”

Tujuannya muncul dengan wajah asli adalah cepat-cepat bertemu dengan Cu Siau-hong, tapi ia merasa amat kecewa, karena selama ini tidak memperoleh tanda dari yang diharapkan.

Pek Bwe telah perhatikan setiap sudut loteng Wong-kang-lo tersebut, akan tetapi ia selalu tak berhasil menemukan jawaban dari Cu Siau-hong.

Berapa kali sudah ia menunjukkan kode yang dijanjikan dengan anak muda itu, setelah dinantikan jawabannya tak pernah kunjung tiba, akhirnya Pek Bwe pun mengambil kesimpulan bahwa Cu Siau-hong tidak berada di rumah makan itu.

Persoalan tentang nona berbaju hijau itu jelas akan terjadi perkembangan lain, tapi bagaimanapun juga jauh lebih penting soal yang menyangkut diri Tiong It-ki.

Setelah berpikir sekian lama, akhirnya Pek Bwe memutuskan untuk meninggalkan loteng Wong-kang-lo, dia ingin mengorek keterangan yang lebih banyak lagi dari mulut Ciu Kim-im tersebut.

Demikianlah, sesudah mengambil keputusan, katanya sambil tertawa :

“Tentu saja dapat! Cuma hal ini tergantung apakah Lote bersedia membantu atau tidak......”

“Coba katakan dulu! Asal bisa kulakukan tentu tak akan kutampik.”

“Bagus sekali......” ia lantas bangkit berdiri, berjalan ke samping Ciu Kim-im dan mencekal tangannya, “Ciu-lote, aku sudah tua dan liang kubur semakin dekat dengan diriku, terus terang saja soal mati hidup tak pernah kupikirkan lagi di hati. Tapi aku sangat berharap dengan kepergianku ini dapat bertemu dengan It-ki.”

Ketika tangannya digenggam orang, Ciu Kim-im merasa hatinya sangat tegang, sebenarnya ia bermaksud melancarkan serangan, tapi ketika dirasakan genggaman jari tangan Pek Bwe sama sekali tak bertenaga, ia menjadi lega pula, sahutnya sambil tertawa :

“Aku pikir, mungkin kalian bisa saling berjumpa muka.”

“Lote, terus terang saja, andaikata pil ini kutelan dapatkah aku segera mati?”

“Aku rasa mungkin tidak, kalau pil itu setelah dimakan lantas mematikan, mana mungkin kau bisa berjumpa dengan cucu luarmu?”

Pek Bwe segera manggut-manggut.

“Betul juga perkataanmu itu, hanya saja..........”

Tiba-tiba kelima jari tangannya dirapatkan, kontan saja Ciu Kim-im merasakan lengan kanannya menjadi kaku, segenap tenaganya lenyap tak berbekas, paras mukanya segera berubah hebat.

“Pek-ya!” serunya, “apa maksudmu?”

“Ciu-lote, aku hanya ingin kau suka membantuku untuk menelan kedua butir pil beracun ini.”

“Eeh, hal ini mana boleh terjadi.”

Menggunakan kesempatan di kala ia sedang berbicara inilah, Pek Bwe bertindak cepat, tiba-tiba tangan kanannya menyentil, dua butir pil beracun itu segera meluncur masuk ke dalam tenggorokkan Ciu Kim-im.

Begitu tepat sentilannya dan cepat gerakannya membuat Ciu Kim-im yang pada dasarnya memang sama sekali tak siap itu segera menelan kedua butir pil itu ke dalam mulutnya.

Pek Bwe meletakkan sekeping uang perak ke atas meja, kemudian berseru :

“Pelayan, uang sisa kuhadiahkan kepadamu untuk membelikan satu setel pakaian untuk binimu.”

Di antara ucapan terima kasih dari sang pelayan, Pek Bwe menarik tangan Ciu Kim-im dan mengajaknya meninggalkan rumah makan Wong-kang-lo tersebut.

Beberapa kali Ciu Kim-im berusaha untuk mengerahkan tenaga sambil meronta, tapi setiap kali ia meronta sekali, jari tangan Pek Bwe mencengkeramnya makin kencang.

Hal mana segera membuat Ciu Kim-im sama sekali kehilangan kesempatannya untuk melawan.

Meskipun begitu kalau dilihat dari luaran, seakan-akan Pek Bwe sedang menuntun Ciu Kim-im seperti seorang sobat lama sedang memayang temannya yang sedang mabuk.

Setelah meninggalkan loteng Wong-kang-lo, pelan-pelan Pek Bwe berkata :

“Ciu-lote, mulai sekarang kau musti bekerja sama denganku, jika berani meronta lagi, jangan salahkan kalau Lohu pun tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi terhadap dirimu.”

Waktu itu Ciu Kim-im merasakan separuh badannya kaku, jalannya susah dan harus bersandar di tubuh Pek Bwe baru bisa berjalan, tak terlukiskan rasa sedih dan mendongkol yang bergelora dalam hatinya.

Sambil tertawa dingin, dia berseru :

“Kau laknat tua, rase terkutuk, manusia licin, paling banter aku mampus di tanganmu.”

“Betul, memang tepat ucapanmu, kalau ingin membunuh dirimu, aku hanya perlu menotok jalan darah kematianmu saja.”

“Jika aku mati di tanganmu, dengan cara apa kau bisa berjumpa dengan Tiong It-ki?”

“Cucu luarku itu mempunyai nilai yang sepuluh kali lipat lebih berharga darimu dalam pandangan mereka, sekalipun mereka menyaksikan aku membunuh dirimu, tak nanti mereka berani mencelakai cucu luarku itu.......”

“Bagus amat perhitunganmu!”

“Tentu saja! Mereka bisa mempertahankan nyawa cucu luarku, hal mana menunjukkan bahwa ia berharga jika masih hidup, bahkan nilainya lebih tinggi dari pada kematianmu. Ciu-lote, kau tak lebih hanya seorang manusia kelas empat, manusia semacam dirimu ini meski mampus delapan atau sepuluh orang lagi juga tak akan mereka pikirkan di dalam hati.”

Ciu Kim-im tertegun, sesaat kemudian katanya :

“Benar juga perkataanmu, aku sesungguhnya bukan orang mereka!”

Pertanyaannya ini dengan cepat membuat Pek Bwe berbalik menjadi tertegun.

“Kalau kau bukan orang mereka, mengapa kau bersedia mendengarkan perintah mereka?”

“Apa boleh buat, istri dan anakku telah terjatuh ke tangan mereka, untuk menebuskan bini dan anakku itu mereka menitahkan kepadaku untuk menghantar surat ini kepadamu, mereka telah berjanji asal aku bisa membawamu ke tempat yang telah ditentukan, maka bini dan anakku akan dilepaskan. Aaai! Siapa tahu...... siapa tahu aku malah kena dicelakai olehmu!”

“Sungguhkah pengakuanmu ini?” tanya Pek Bwe kemudian.

----------------------------

8

“Aaai……..! di dalam keadaan seperti ini apa gunanya aku berbohong kepadamu?” keluh Ciu Kim-im.

Pek Bwe termenung dan berpikir sebentar kemudian katanya kembali :

“Ciu-lote, kini anak binimu telah terjatuh ke tangan orang lain, aku pikir kau tentunya juga tak ingin mati bukan?”

“Aaai.......! antara kita berdua tak pernah terikat dendam sakit hati atau permusuhan, tapi aku telah mencelakaimu, sekalipun kau membunuh aku, hal ini juga sudah sepantasnya.”

“Kau berbuat demikian karena dipaksa orang, itu pun bukan kesalahanmu, cuma andaikata kau bersedia untuk bekerja sama dengan Lohu, sekarang masih belum terlambat bagimu.”

“Terlambat sudah Pek-ya, aku telah menelan pil beracun itu, bila racun itu mulai bekerja, maka tubuhku akan lumpuh lebih dahulu, dua belas jam kemudian jiwanya baru melayang, aku hanya berharap agar Locianpwe bersedia cepat-cepat memberi kepuasan saja kepadaku, agar aku bisa terbebas dari segala penderitaan.”

“Kenapa?”

“Aku sudah pasti akan mati, tapi aku berharap bisa melindungi nyawa anak biniku, jika Locianpwe bersedia memenuhi keinginanku, bunuhlah aku sekarang juga, bila aku sudah mati nanti, mungkin mereka pun akan mengampuni jiwa anak biniku!”

“Seandainya kau bersedia untuk bekerja sama dengan Lohu, bukan saja dapat menolong jiwa anak binimu, bahkan nyawamu pun mungkin masih bisa diselamatkan!”

“Tolong tanya kerja sama macam apakah yang kau harapkan?” tanya Ciu Kim-im.

Sambil tertawa Pek Bwe lantas membeberkan rencana yang telah disusunnya itu.

Selesai mendengarkan rencana itu, Ciu Kim-im segera manggut-manggut, katanya,

“Baiklah! Akan kucoba.”

“Lote, kau harus dapat menahan diri, Lohu percaya kemungkinan kita untuk berhasil besar sekali.”

“Pek-ya,” kata Ciu Kim-im sambil tertawa getir, kalau aku yang musti mati, tak akan kusesali dengan hati yang tulus, tapi kalau sampai mempengaruhi mati hidup bini dan anakku, pertaruhan ini beru terasa amat besar sekali.”

“Percayalah Ciu-lote, walaupun cara ini kurang begitu baik, tapi kecuali cara tersebut, agaknya kau sudah tidak memiliki pilihan lain.”

Ciu Kim-im segera menghela napas panjang.

“Aaai.......! Pek-ya, seandainya aku sampai ketimpa musibah dan tidak beruntung anak biniku juga mengalami nasib yang sama, aku hanya berharap agar Pek-ya bersedia membelikan sebuah peti mati untuknya, jangan biarkan ia seorang perempuan harus mati tanpa tempat kubur.”

“Lote unjukkan kepala juga sekali bacokan, menarik diri juga sekali bacokan, perbesar nyalimu, kesempatan kita untuk berhasil paling tidak masih ada lima puluh persen.”

Ciu Kim-im tidak berbicara lagi, ia membawa Pek Bwe menuju ke depan sebuah gedung besar.

Gedung itu terletak dalam sebuah gang yang terpencil dan amat sepi, tidak banyak orang yang berlalu lalang di situ.

Pintu gerbang yang terbuat dari kayu tertutup rapat-rapat.

Pek Bwe segera melepaskan cengkeramannya pada pergelangan tangan Ciu Kim-im, katanya kemudian :

“Lote, sekarang kau harus berbalik mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan tanganku.”

Dengan cepat Ciu Kim-im mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Pek Bwe dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya segera menutuk pintu.

Ketukan itu dilakukan tiga kali cepat dua kali pelan, pintu kayu pun segera terpentang lebar.

Pek Bwe mencoba untuk memperhatikan sekeliling tempat itu, terasa suasana di sini amat sepi, tak seorang manusia pun yang tampak.

Ketika Ciu Kim-im melangkah masuk ke dalam halaman, tiba-tiba pintu itu menutup kembali secara otomatis.

Pek Bwe adalah seorang yang berpengalaman, ia cukup dapat menguasai diri, berpaling sekejap pun tidak.

Ciu Kim-im tidak langsung memasuki ruangan itu, sebaliknya hanya berdiri di tengah halaman, serunya dengan lantang,

“Sungguh beruntung aku tak sampai melalaikan tugas,, Pek Bwe telah berhasil kubawa kemari.”

Tempat itu adalah sebuah halaman yang empat penjuru yang merupakan bangunan rumah.

Tapi anehnya, ternyata setiap bangunan rumah yang berada di sana berada dalam keadaan tertutup rapat, sehingga tidak diketahui bagaimanakah keadaan dalam ruangan tersebut.

Dari ruangan sebelah tengah berkumandang suara teguran yang amat dingin :

“Bagaimana dengan kedua biji pil itu?”

“Telah ia telan!” jawab Ciu Kim-im.

Suara yang dingin menyeramkan itu segera berkumandang kembali :

“Pek Bwe, dengarkan baik-baik, setelah menelan pil tersebut lebih baik jangan mencoba untuk menggunakan tenaga dalam sekarang kau sama sekali sudah tidak memiliki tenaga untuk melakukan perlawanan lagi, aku ingin membicarakan satu hal denganmu.”

“Dalam surat tersebut kau telah menulis segala sesuatunya dengan jelas, aku harap kalian dapat memenuhi janji tersebut dan membiarkan aku bertemu muka dengan Tiong It-ki.”

Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa terkekeh-kekeh,

“Heeehh............ heeehh........... heeehh.......... Pek Bwe, bagaimanapun juga separuh waktu hidupmu telah kau gunakan untuk melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan, masa kau masih belum tahu akan kelicikan dan bahayanya dunia persilatan? Kalau janji dari seorang sahabat, mungkin masih dapat dipercaya, tapi kita bukan teman, kita adalah musuh yang saling bertentangan, menggunakan tentara lebih baik menggunakan siasat, makin licik siasat makin baik.”

“Kenapa? Kau hendak membatalkan janji yang telah disetujui bersama itu?” tegur Pek Bwe.

Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa dingin.

“Ciu Kim-im!” teriaknya, “benarkah kau telah memberikan pil beracun itu kepadanya?”

“Dia sendiri yang bersedia menelan pil itu seusai membaca isi surat tersebut.”

“Oh, kalau begitu coba angkat tanganmu yang mencengkeram pada urat nadi pada pergelangan tangan Pek Bwe itu.”

Ciu Kim-im menurut dan segera mengangkat tangannya.

Betul juga, kelima jari tangan kanan Ciu Kim-im telah mencengkeram pada urat nadi penting di atas pergelangan tangan kanan Pek Bwe.

Melihat itu, orang yang berada dalam ruangan gedung segera tertawa, serunya :

“Pek Bwe, dengan pengalamanmu sebagai seorang jago kawakan, mengapa kau rela menerima ancaman dari orang she Ciu itu serta mandah diatur segala sesuatu olehnya?”

“Siapa pun jangan harap bisa mengancam diriku, aku tak lebih hanya ingin menengok cucu luarku!”

Setelah menghela napas panjang, katanya kembali,

“Sobat, apa yang kalian perintahkan telah kulaksanakan satu per satu, aku berharap kau pun bisa memegang janji dengan membawa aku untuk bertemu dengan It-ki.”

Orang yang berada dalam ruangan itu tidak menggubris perkataan dari Pek Bwe lagi, sebaliknya dengan suara dalam ia berseru :

“orang she Ciu, kau benar-benar masih ingin bertemu dengan anak binimu......?”

Ciu Kim-im merasakan hatinya bergetar keras, cepat-cepat sahutnya :

“Aku rela menyerempet bahaya demi urusan kalian, tentu saja aku berharap anak biniku bisa hidup dengan selamat.”

“Kalau begitu perundingan di antara kita bisa dilangsungkan lebih lancar lagi. Serahkan saja tanggung jawab soal anak binimu itu kepada kami, mereka pasti akan kami hantar pulang ke desa kelahirannya, cuma........ terpaksa kami harus merepotkan sahabat Ciu.”

“Apa lagi yang harus kulakukan?” tanya Ciu Kim-im cepat.

“Mati! Kami tak ingin membiarkan siapa pun untuk melacaki jejak kami.”

Sebenarnya Ciu Kim-im telah sungguh-sungguh mencengkeram urat nadi Pek Bwe, demi menyelamatkan jiwa anak bininya, ia telah bersiap-siap untuk mengkhianati Pek Bwe, bila mana perlu dia akan menceritakan keadaan yang sebenarnya kemudian mencengkeram nadi Pek Bwe sehingga jago tua itu benar-benar tak sanggup memberikan perlawanan.

Tapi sekarang pelan-pelan Ciu Kim-im telah mengendurkan kelima jari tangannya dan melepaskan cengkeramannya pada urat nadi pada pergelangan tangan lawan.

Diam-diam Pek Bwe menghembuskan napas panjang, hawa murninya segera dihimpun menjadi satu untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan.

“Ciu Kim-im, apakah kau tidak bersedia untuk mati?” tegur orang yang berada dalam ruangan itu dengan suara dingin.

“Meskipun aku pernah belajar silat, tapi ilmu silat kupakai untuk menyehatkan badan saja, aku tak ingin mati, aku lebih-lebih tak ingin menyaksikan anak biniku menderita, kami bukan orang persilatan, harap kan kami hanya bisa pulang ke tempat kelahiran dan hidup bercocok tanam di sana.”

“Ciu Kim-im, bukalah sedikit pikiranmu,” ujar orang dalam ruangan itu, ada sementara persoalan yang sesungguhnya sudah tak bisa kau putuskan sediri.”

Pek Bwe yang mengikuti jalannya pembicaraan tersebut segera menghela napas panjang, katanya :

“Sahabat Ciu, agaknya bukan aku saja yang telah tertipu, kau pun ikut ditipu pula oleh mereka, mereka bukan anggota perkumpulan resmi dari dunia persilatan, melainkan anggota perampok dari suatu organisasi rahasia yang bermain sembunyi, sekalipun kau bersedia untuk mati bagi mereka belum tentu anak binimu bisa selamat, mereka sudah berbicara cukup jelas, tak seorang saksi pun akan dibiarkan hidup, mereka hendak membabat rumput sampai ke akar-akarnya.”

Ciu Kim-im merasakan hatinya bergetar keras, serunya dengan cepat,

“Benarkah apa yang diucapkan oleh Pek-ya ini?”

Ia telah bertekad untuk bekerja sama dengan Pek Bwe, bekerja sama secara sebaik-baiknya.

Tampaknya orang yang berasa dalam ruangan itu belum curiga, ia tertawa terbahak-bahak.

“Haaahh...... haaahhh....... haaahhh....... jangan kau percaya dengan kata-katanya yang bersifat mengadu domba itu.”

“Kemungkinan besar mereka telah mencelakai anak binimu.....” sambung Pek Bwe dengan suara lantang.

“Omong kosong!” tukas orang itu, “mengapa kami harus mencelakai jiwa kaum wanita dan kanak-kanak?”

“Sahabat Ciu,kalau kau masih belum percaya dengan perkataan Lohu, kenapa tidak minta kepada mereka untuk berjumpa sejenak dengan anak binimu?” seru Pek Bwe lagi.

Setelah berhenti sejenak, dengan ilmu menyampaikan suara dia melanjutkan,

“Lote, sekarang kau harus percaya kepada Lohu, lakukanlah tugasmu seperti apa yang telah kita rencanakan!”

Ciu Kim-im menghembuskan napas panjang, katanya kemudian :

“Kita tak pernah bermusuhan, kalian pun sudah menyuruh aku melakukan banyak pekerjaan, bila anak biniku kalian bunuh pula, maka kalian betul-betul tak punya liang-sim.”

Orang yang berada dalam ruangan itu segera tertawa dingin.

“Orang she Ciu, sekarang baru memahami akan hal itu, tidakkah kau merasa terlalu terlambat?”

Mendadak cahaya tajam berkelebat lewat, dengan sempoyongan Ciu Kim-im mundur ke belakang dan melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Pek Bwe,

Perbuatan keji yang dilakukan musuh sungguh luar biasa kejam dan jahatnya, sehingga Pek Bwe sendiri pun merasa sedikit di luar dugaan, dengan hati terkesiap ia mempertinggi kewaspadaannya terhadap mereka.

Ketika berpaling, tampaklah sebilah pisau terbang telah menancap di punggung Ciu Kim-im.

Agaknya di ujung pisau terbang tersebut telah dipolesi dengan sejenis racun yang sangat jahat, Ciu Kim-im menekan punggungnya dengan tangan kanan menahan rasa sakit yang luar biasa, dia hanya sempat mengucapkan sepatah kata :

“Kalian..... kalian sungguh kejam......”

Belum habis perkataan itu, tubuhnya sudah roboh terkapar ke atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Pek Bwe sendiri sedang menggerak-gerakkan tangannya berlagak seakan-akan jalan darahnya baru saja terbebaskan, pelan-pelan dia berkata dengan lirih,

“Kematian orang ini betul-betul penasaran......”

Dari balik ruangan berkumandang suara gelak tertawa nyaring.

“Haaahh........ haaahh....... haaahh....... sungguh tak kusangka To-heng-siu yang amat tersohor itu ternyata adalah seorang manusia yang berhati baik.”

“Lohu hanya menyayangkan kematiannya saja.”

“Manusia semacam ini sesungguhnya tak perlu dikasihani, seperti apa yang telah dia ucapkan, antara dia dengan kau sesungguhnya tidak saling mengenal, tapi ia bersedia mencelakaimu.........”

“Itulah dikarenakan paksaan dari kalian,” kata Pek Bwe cepat.

“Betul, kami yang telah memaksanya, cuma, jika dia adalah seorang kuncu yang sejati, tidak seharusnya ia menerima gertakanku serta melaksanakan apa yang telah kuperintahkan.”

Pek Bwe segera menghela napas panjang,

“Aaai.....! Benar juga perkataanmu, orang ini memang terlalu mementingkan diri sendiri.”

“Jikalau kau memang merasa bahwa tindakanku ini tidak terhitung salah sekarang, semestinya kita harus mulai membicarakan persoalan yang penting.”

“Katakanlah, Lohu akan mendengarkan dengan penuh perhatian.”

“Pek-loji, tahukah kau apa maksud kami mengundangmu datang kemari?” tanya orang dalam ruangan itu.

“Aku bersedia menelan racun, bersedia menuruti perintah orang untuk datang kemari semuanya ini tak lain hanya ingin menjenguk cucu luarku itu.”

“Itu kan menurut jalan pemikiran Pek-loji, sedang jalan pemikiranku adalah sama sekali berbeda.”

“Apakah kau sengaja mengatur siasat busuk itu hanya untuk membohongi diriku saja.”

“Oooh...... begitu sih tidak, Tiong It-ki memang betul-betul sudah terjatuh ke tangan kami, bahkan aku bisa memberi kabar kepada Pek-loji bahwa sanya dia masih hidup segar bugar sama sekali tidak mengalami cedera apapun.”

“Bagus sekali kalau memang begitu, entah apa yang musti Lohu lakukan agar bisa bertemu dengannya?”

“Kau boleh bertemu dengannya, tapi bukan sekarang, karena ia sama sekali tidak berada di kota Siang-yang ini.”

“Jadi kalau begitu, permainan busuk kalian ini tak lebih hanya suatu tipuan belaka?”

“Tipuan juga bukan, karena Tiong It-ki betul-betul berada di tangan kami, asal Pek-ya bersedia untuk bekerja sama dengan kami, pokoknya kau pasti mempunyai kesempatan untuk bertemu muka dengan cucu luarmu itu.”


"Oooh........!”

“Pek-ya, kau harus mengerti, sekarang kau sudah tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perlawanan lagi,” kata orang dalam rumah memberi peringatan.

“Oleh karena itu, aku sudah sepantasnya mendengarkan semua perintah yang kalian ucapkan?”

“Rasa-rasanya kau memang hanya mempunyai sebuah jalan ini saja untuk ditempuh,” jawab orang itu dingin.

“Baiklah! Aku pikir, sekarang aku sudah tidak memiliki kemungkinan untuk meloloskan diri lagi.”

“Pek-ya sudah lama melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, lebih banyak urusan persilatan yang dapat kau pahami, aku rasa tak perlu banyak penjelasan dari diriku lagi, silakan masuk ke dalam ruangan untuk duduk!”

Pintu kayu di depan ruangan tengah tersebut mendadak terbuka dengan sendirinya.

Pek Bwe mencoba untuk menengok ke dalam, namun suasana dalam ruangan itu sunyi senyap tak nampak sesosok bayangan manusia pun.

Biar memasuki ruangan itu ibaratnya masuk ke sarang naga gua harimau, Pek Bwe telah bertekad untuk mencobanya juga, sebab dia bertekad hendak membuat jelas semua duduknya persoalan.

Sambil diam-diam menghimpun tenaga dalamnya untuk bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, selangkah demi selangkah ia berjalan masuk ke dalam ruangan.

“Lohu sudah hidup sekian lama, hidup juga tak ... mati juga tak menyesal, apakah kalian hendak mempergunakan aku si tua bangka ini sebagai sandera?” tegurnya.

Gumam itu diucapkan dengan suara yang tidak terlampau keras, tapi jelas ditujukan kepada lawan.

Sekalipun suaranya kecil, asal dalam ruangan itu betul-betul ada orangnya maka suara gumaman tersebut pasti akan terdengar oleh mereka.

Setelah masuk ke dalam ruangan, ia memperhatikan kembali sekeliling tempat itu, kecuali beberapa buah bangku dan sebuah meja besar, dalam ruangan itu tidak nampak perabot lain, seorang manusia pun tidak nampak berada di situ.

Pek Bwe menarik sebuah bangku dan berduduk di situ, katanya kembali :

“Lohu sudah masuk ke dalam ruangan, Saudara, aku pikir kau musti munculkan pula dirimu.”

Pelan-pelan dari balik ruang tidur di sebelah kanan ruangan muncul seorang manusia, sambil menampilkan dirinya ia berkata :

“Bertemu sama halnya dengan tidak bertemu, apa gunanya setelah saling bersua muka?”

Orang itu berdandan sangat aneh, dia mengenakan sebuah jubah hitam yang besar dan kedodoran untuk menutupi perawakan tubuhnya, bahkan sepasang tangannya juga tertutup oleh jubah yang panjang dan lebar itu, wajahnya tertutup pula oleh selembar kain hitam, sehingga yang terlihat hanya sepasang matanya yang jeli serta sebaris giginya yang putih.

Pek Bwe duduk tak berkutik di tempat semula, diawasinya manusia berjubah hitam itu sekejap, lalu sambil tertawa dingin berkata :

“Kau sesungguhnya seorang lelaki ataukah seorang perempuan?”

Perkataan semacam ini biasanya merupakan suatu cemoohan, suatu penghinaan bagi pendengaran orang persilatan.

Tapi agaknya manusia berjubah hitam itu sama sekali tidak memperdulikannya, dia malahan balik bertanya :

“Menurut pendapatmu?”

“Kalau kudengar dari nada perkataanmu, nampaknya kau seperti seorang laki-laki, tapi kalau kulihat dari caramu menyembunyikan diri, tampaknya kau seperti seorang perempuan.”

Manusia berjubah hitam itu segera tertawa terbahak-bahak.

“Haaahhh...... haaahhh....... haaahhh........ kalau orang hendak mati, biasanya dia mengucapkan kata-kata yang bajik, sebaliknya ucapan anda jauh lebih tajam dari pada sebilah pisau.”

“Aaai.......! Sobat, seorang kuncu tak bolehlah berbuat sewenang-wenang, kalian telah memaksa diriku untuk menelan pil beracun, membohongi aku pula untuk datang kemari, sekarang kau menjumpai aku dengan dandanan seaneh ini, sungguh membuat aku tidak habis mengerti, sesungguhnya apa maksudmu?”

No comments: